28 Februari 2010

Manajemen Pengembangan Profesi Guru

A. Manajemen Sumber Daya Manusia (MSDM)

1. Konsep Manajemen SDM

Manajemen SDM secara etimologis merupakan penggabungan dua konsep yang secara maknawi memiliki pengertian yang berbeda. Kedua konsep tersebut adalah manajemen dan sumber daya manusia. Untuk itu, penelusuran dimulai dari pengertian manajemen, diteruskan dengan sumber daya manusia, dan diakhiri dengan memahami secara utuh pengertian manajemen SDM.

Pengertian manajemen menurut Rue & Byars (2000: 4) adalah: ”Management is a form of work that involves coordinating an organization’s resources-land, labour, and capital to accomplish organizational objectives”. Sebuah bentuk manajemen yang melibatkan koordinasi wilayah sumber daya organisasi, tenaga kerja, dan modal merupakan sasaran pemenuhan tujuan organisasi tersebut. Selanjutnya Hasibuan, M. S (2003: 1-2) juga mendefinisikan manajemen sebagai ilmu dan seni mengatur pemanfaatan sumber daya manusia dan sumber-sumber lainnya secara efektif dan efisien untuk mencapai suatu tujuan tertentu.

Pengertian sumber daya manusia menurut Faustino Cardoso Gomes (2002: 1-2) merupakan salah satu sumber daya yang terdapat dalam organisasi, meliputi semua orang yang melakukan aktivitas. Secara umum, sumber daya yang terdapat dalam suatu organisasi dapat dikelompokkan atas dua macam, yakni (1) sumber daya manusia (human resource), dan (2) sumber daya non-manusia (non-human resource). Kelompok yang termasuk dalam sumber daya non-manusia antara lain modal, mesin, teknologi.

Pengertian SDM atau man power merupakan kemampuan yang dimiliki oleh setiap manusia. Sumber daya manusia terdiri dari daya pikir dan daya fisik setiap manusia dan pada daya itulah terletak kekuatan yang mampu untuk menggerakkan suatu organisasi. Dengan demikian, manajemen sumber daya manusia adalah ilmu dan seni yang mengatur hubungan dan peranan tenaga kerja agar efektif dan efisien dalam upaya untuk membantu terwujudnya tujuan organisasi, karyawan, dan masyarakat sesuai dengan waktu pencapaian target yang telah ditetapkan sebelumnya.

Pengelolaan menajemen yang baik akan memudahkan dalam pencapaian tujuan organisasi secara efektif sesuai dengan target waktu yang telah ditentukan bersama. Manajemen sumber daya manusia akan berhasil dengan baik dan berguna dalam pencapaian tujuan organisasi, bila dilakukan oleh sumber daya manusia yang berkualitas dan memiliki keahlian dan keterampilan yang tinggi dalam melaksanakan fungsi manajemen. Dampak yang dapat dirasakan bila sistem manajemen dilakukan dan dikelola secara baik akan meningkatkan pendapatan organisasi dan tentunya akan meningkatkan kegiatan operasional organisasi. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Noe (2003: 3) bahwa:

Human resource management refers to the policies, practices, and systems that influence employees’ behavior, attitudes, and performance. Human resource practices play a key role in attracting, motivating, rewarding, and retaining employees.

Manajemen sumber daya manusia mengacu pada kebijakan, praktek, dan sistem yang mempengaruhi perilaku karyawan/pegawai, sikap, dan penampilan. Praktek sumber daya manusia berperan sebagai kunci penting dalam menarik, memotivasi, dan memberi penghargaan terhadap karyawan.

Pengertian manajemen sumber daya manusia bila dikaitkan dalam bidang pendidikan adalah ilmu dan seni yang mengatur proses pamanfataan sumber daya manusia dalam institusi pendidikan seperti kepala sekolah, guru dan sumber-sumber lainnya secara efektif dan efisien untuk mencapai suatu tujuan pendidikan secara optimal. Dengan manajemen SDM di bidang pendidikan, pencapaian tujuan pendidikan khususnya di SMP Muhammadiyah Ngemplak akan terwujud. Dengan manajemen SDM di bidang pendidikan akan dihasilkan output pendidikan yang memiliki life skill yang tinggi serta memiliki kompetensi di bidang akademik maupun non-akademik.

  1. Pengembangan SDM

a. Konsep Pengembangan SDM

Pengembangan SDM merupakan salah satu bentuk aktivitas dari manajemen sumber daya manusia, seperti dijelaskan oleh (Husaini Usman, 2008: 221) bahwa pengembangan SDM merupakan bagian dari manajemen SDM. Pengembangan SDM ialah proses meningkatkan kuantitas dan kualitas SDM. Peningkatan kualitas SDM dapat dilakukan melalui pengamalan agama, peningkatan kesejahteraan, peningkatan pendidikan, peningkatan pelatihan, peningkatan kesehatan, peningkatan kesempatan kerja, pengendalian kependudukan, peningkatan lingkungan hidup, dan perencanaan karier.

Pengembangan menurut Beebe, et.al (2004: 8) adalah:

The concept of development is a process often linked to both training and human resources. The word development added to other terms suggests a broadening of the behaviors or strategies to achieve a goal. Development is any behavior, strategy, design, restructuring, skill or skill set, strategic plan, or motivational effort that is designed to produce growth or change over time. Development is a process of helping the organization or individuals in the organization do their jobs more effectively. Development involves a set of strategies that can help an individual or organization change to perform more effectively in achieving individual or corporate vision, mission, and goals.

Konsep pengembangan adalah suatu proses yang saling berkesinambungan antara pelatihan dan sumber daya manusia. Kata pengembangan ditambahkan pada bagian lain yang mempengaruhi perilaku atau strategi untuk mencapai suatu tujuan/hasil. Pengembangan adalah segala perilaku, strategi, desain, restrukturisasi, ketrampilan, perencanaan strategis, atau usaha memotivasi yang dirancang untuk menghasilkan pertumbuhan atau perubahan dari waktu ke waktu. Pengembangan adalah suatu proses untuk membantu organisasi atau individu dalam melakukan pekerjaan secara efektif. Pengembangan melibatkan satu set strategi yang dapat membantu individu atau organisasi untuk lebih efektif dalam melaksanakan pencapaian individu atau visi organisasi, misi, dan tujuan/hasilnya.

Pengembangan SDM terbagi menjadi dua bentuk, yaitu pelatihan dan pengembangan (training and development). Program pelatihan dan pengembangan merupakan serangkaian aktivitas yang dirancang untuk meningkatkan pengetahuan, kemampuan, sikap, dan kinerja individu, kelompok, atau seluruh organisasi. Aktivitas ini mengajarkan keahlian baru, memperbaiki keahlian yang ada, dan mempengaruhi sikap karyawan. Aktivitas pelatihan dirancang untuk meningkatkan keahlian pada pekerjaan saat ini. Sebagai contoh karyawan dapat dilatih dalam teknik pengambilan keputusan atau kemampuan dalam sistem pengolahan data. Aktivitas pengembangan dirancang supaya mendidik karyawan di luar keperluan posisi, sehingga dipersiapkan untuk promosi dan mampu memandang peran dalam organisasi secara lebih luas.

Pengembangan sumber daya manusia pada hakikatnya merupakan suatu upaya dalam peningkatan kualitas fisik dan kemampuan di mana kualitas sumber daya manusia ini menyangkut dua aspek, yaitu fisik (kualitas fisik) dan aspek non-fisik (kualitas non-fisik). Sementara itu, Soekidjo Notoatmodjo (1998: 2-3) mengemukakan bahwa untuk meningkatkan kualitas fisik dapat ditempuh melalui program-program kesehatan dan gizi sedangkan untuk meningkatkan kualitas non-fisik dapat melalui pelaksanaan diklat. Lebih lanjut mengungkapkan bahwa yang dimaksud dengan sumber daya manusia secara makro adalah suatu proses perencanaan pendidikan, pelatihan, dan pengelolaan tenaga atau karyawan untuk mencapai suatu hasil yang optimal. Hasil ini dapat berupa jasa maupun benda.

  1. Tujuan Pengembangan SDM

Pengembangan sumber daya manusia bertujuan dan bermanfaat bagi organisasi, karyawan atau masyarakat yang menggunakan barang/jasa yang dihasilkan. Oleh karena itu dalam program pengembangan, harus dituangkan sasaran, kebijaksanaan, prosedur, anggaran, peserta, kurikulukum dan waktu pelaksanaannya. Program pengembangan harus berprinsipkan pada peningkatan efektifitas dan efisiansi kerja masing-masing pegawai pada jabatannya.

Keuntungan adanya pengembangan sumber daya manusia dalam sebuah organisasi menurut Decenzo & Robbins (1999: 232) adalah sebagai berikut:

  1. Pengembangan memberikan pendidikan yang diperlukan oleh pegawai dalam memahami dan menginterpretasikan ilmu pengetahuan. (2) Pengembangan memfokuskan pada perkembangan pegawai secara individual. (3) Pengembangan memberikan ilmu pengetahuan yang dibutuhkan secara menyeluruh. (4) Pengembangan menciptakan sumber daya manusia yang mampu untuk menjabat pekerjaan yang memiliki tanggung jawab yang lebih besar, analitis, memilki rasa kemanusiaan, terkonsep dan memilki ketrampilan yang khusus. (5) Pengembangan menciptakan sumber daya manusia yang mampu untuk berpikir dan memahami secara logis.

c. Metode Pengembangan SDM

Pengembangan SDM ini menurut Decenzo & Robbins (1999: 234-236) terdapat beberapa metode yang merupakan gabungan dari metode-metode dalam:

on-the job techniques (job rotation, assistant to positions, and committee assigments and off the job methods (lecture courses and seminars, simulation exercises, and outdoor training)”.

  1. Job Rotation

Job rotation/rotasi jabatan adalah perpindahan karyawan keberbagai posisi dalam suatu organisasi yang bertujuan untuk meningkatkan ketrampilan, pengetahuan, dan kemampuan karyawan. Rotasi jabatan dapat dilakukan secara horizontal (kebagian atau tugas lain yang sederajat dengan pekerjaan karyawan) maupun vertikal (dipromosikan).

  1. Assistant to Position

karyawan yang memiliki potensi kadang-kadang diberi kesempatan untuk bekerja dengan manajer yang berpengalaman dan sukses di devisi lain dalam organisasi. Tujuannya agar karyawan melihat secara langsung aktivitas pimpinan tersebut dan kemudian dapat menerapkannya.

  1. Committee Assignment

Dengan melakukan committee assignment, sumber daya manusia yang ada dalam institusi pendidikan mendapat kesempatan untuk saling bertukar pendapat dalam hal membuat keputusan dan belajar dari apa yang dilihat serta menginvestigasi problem-problem khusus dalam organisasi.

  1. Lectures Lectures Courses and Seminars

Lectures courses and seminar merupakan metode tradisional dengan kemampuan penyampaian informasi, banyak peserta dan biaya relatif murah. Kelemahannya adalah kurang adanya partisipasi atau umpan balik dari peserta.

  1. Simulation

Simulasi adalah suatu peniruan karakteristik atau perilaku tertentu dari dunia yang nyata, sehingga para peserta pendidikan dan pelatihan dapat merealisasikan seperti keadaan yang sebenarnya. Dengan demikian apabila peserta pendidikan dan pelatihan kembali ke tempat tugasnya akan mampu melaksanakan pekerjaan yang disimulasikan tersebut. Metode-metode simulasi ini mencakup sebagai berikut:

  1. Case Analysis

Peserta pendidikan dan pelatihan diberikan suatu kasus kemudian dipelajari dan didiskusikan antar peserta diklat. Metode ini sangat cocok untuk peserta manajer atau administrator yang akan mengembangkan ketrampilan dalam memecahkan masalah.

  1. Role Playing

Peserta diminta untuk memainkan (berperan) bagian-bagian dari berbagai karakter (watak) dalam kasus. Peserta diminta untuk membayangkan diri sendiri tentang tindakan (peranan) tertentu yang diciptakan bagi oleh pelatih. Peserta harus mengambil alih peranan dan sikap-sikap dari orang-orang yang ditokohkan.

  1. Group Decision Making

Metode ini dilakukan dilakukan dengan memberi bermacam-macam persoalan kepada peserta pelatihan. Dengan kata lain, peserta diberi berbagai persoalan untuk dipecahkan.

6. Outdoor Training

Metode ini merupakan kecenderungan di era 90-an. Fokus utamanya adalah untuk mengajari para trainee akan pentingnya kerjasama dan pentingnya menjadi satu tim kerja yang solid. Secara khusus outdoor training mengembangkan aspek emosi dan fisik peserta.

d. Konsep Pendidikan dan Pelatihan Pengembangan SDM

Menurut Beebe et al. (2000: 6) ”education is the process of or importing knowledge or information. People can educate themselves by reading, or they can have someone teach them what they want or need to learn”. Pendidikan adalah proses untuk memberikan pengetahuan dan informasi. Seseorang dapat mendidik dari sendiri dengan membaca atau dapat belajar dari seseorang yang mampu memberikan pengajaran tentang apa yang diinginkan atau diperlukan di dalam belajar. Pendidikan juga harus mampu menjadikan seseorang memiliki keahlian, memiliki kompetensi untuk berbuat sesuatu dan dari keahlian dan kompetensinya tersebut dapat digunakan untuk mendukung di dalam kehidupannya.

Pelatihan (training) merupakan proses pembelajaran yang melibatkan perolehan keahlian, konsep, peraturan atau sikap untuk meningkatkan kerja para karyawan. Pasal 1 ayat 9 UU No. 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan mendifinisikan pelatihan kerja adalah keseluruhan kegiatan untuk memberi, memperoleh, meningkatkan, serta mengembangkan kompetensi kerja, produktivitas, disiplin, sikap dan etos kerja pada tingkat ketrampilan dan keahlian tertentu sesuai dengan jenjang dan kualifikasi jabatan dan pekerjaan. Pelatihan terdiri atas serangkaian aktivitas yang dirancang untuk meningkatkan keahlian, pengetahuan, pengalaman, ataupun perubahan sikap seseorang.

Lebih lanjut, Beebe et al. (2000: 5) mengemukakan: ”training is the process of developing skill in order to more effectively perform a specific job or task”. Pelatihan merupakan proses untuk mengembangkan keterampilan secara efektif untuk melaksanakan suatu pekerjaan atau tugas yang spesifik. Kaitannya dalam hal ini Soekidjo Notoatmodjo (1998: 95) mengemukakan bahwa pelatihan terhadap pegawai mencakup: (1) pelatihan untuk melaksanakan program-program yang baru, (2) pelatihan untuk menggunakan alat-alat/fasilitas yang baru, (3) pelatihan untuk pegawai yang akan menduduki job atau tugas-tugas yang baru, (4) pelatihan untuk pengenalan proses atau prosedur kerja yang baru, dan (5) pelatihan bagi pegawai-pegawai yang baru.

Penggunaan istilah pendidikan dan pelatihan dalam suatu instansi atau organisasi biasanya disatukan menjadi diklat. Pada dasarnya kedua istilah ini memiliki perbedaan yang cukup berarti. Letak perbedaan tersebut secara teori dapat dilihat pada Tabel 1 berikut ini.

Tabel 1

Perbedaan Antara Pendidikan Dan Pelatihan

No

Sasaran

Pendidikan

Pelatihan

1

Pengembangan kemampuan

Menyeluruh (overall)

Mengkhususkan (specific)

2

Area penekanan

Kognitif, afektis, psikomotor

Psikomotor

3

Jangka waktu pelaksanaan

Panjang (long term)

Pendek (short term)

4

Materi yang diberikan

Lebih umum

Lebih khusus

5

Penekanan penggunaan metode belajar mengajar

Konvensional

Inkonvensional

6

Penghargaan akhir proses

Gelar (degree)

Sertifikat (non degree)

Sumber: Notoatmodjo, 1998: 26

Pengertian pendidikan pegawai disini adalah kegiatan pengembangan SDM untuk meningkatkan total dari pegawai di luar kemampuan di bidang pekerjaan atau jabatan yang dipegang saat ini. Oleh sebab itu pendidikan pegawai dirancang dan diadakan bagi para pegawai yang akan menempati jabatan atau posisi baru, sehingga tugas-tugas yang akan dilaksanakan memerlukan kemampuan-kemampuan khusus yang lain dan kemampuan keterampilann yang dimiliki.

Adapun inti dari kegiatan pendidikan dan pelatihan adalah untuk mengembangkan sumber daya manusia yang hasilnya diharapkan dapat mendukung kinerja dengan sistem organisasi tersebut. Pengembangan sumber daya manusia melalui pendidikan sangat diperlukan dalam sebuah organisasi terutama organisasi publik.

e. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pengembangan SDM

Pengembangan sumber daya manusia dalam suatu organisasi khususnya pendidikan sangat penting dalam mencapai hasil kerja yang optimal, baik secara makro maupun secara mikro. Pengembangan sumber daya manusia merupakan bentuk investasi. Oleh karena itu, pelaksanaan pengembangan SDM perlu memperhatikan faktor-faktor baik dalam diri organisasi itu sendiri maupun di luar organisasi yang bersangkutan. Faktor-faktor tersebut menurut Soekidjo Notoatmodjo (1998: 8-10) sebagai berikut:

  1. Faktor Internal

Faktor internal disini mencakup keseluruhan kehidupan organisasi yang dapat dilakukan, baik pimpinan maupun anggota organisasi yang bersangkutan.

a) Misi dan Tujuan Organisasi

Setiap organisasi mempunyai misi dan tujuan yang ingin dicapainya. Untuk mencapai tujuan ini diperlukan perencanaan yang baik dan implementasinya secara tepat. Untuk itu diperlukan kemampuan tenaga sumber daya manusia melalui pengembangan sumber daya manusia.

  1. Strategi Pencapaian Tujuan

Misi dan tujuan organisasi mungkin sama dengan organisasi lain, tetapi strategi untuk mencapai misi dan tujuan tersebut dapat berbeda. Oleh karenanya, kemampuan karyawan diperlukan dalam memperkirakan dan mengantisipasi keadaan di luar, sehingga strategi yang disusun sudah memperhitungkan dampak yang akan terjadi di dalam organisasinya. Secara tidak langsung hal ini dapat mempengaruhi pengembangan sumber daya menusia dalam organisasi.

  1. Sifat dan Jenis Tujuan

Sifat dan jenis kegiatan organisasi sangat penting terhadap pengembangan sumber daya manusia. Misalnya, suatu organisasi yang sebagian besar melaksanakan kegiatan teknis, akan berbeda dengan pola pengembangan sumber daya manusia pada organisasi yang bersifat ilmiah. Demikian juga, akan berbeda pula strategi dan program pengembangan sumber daya manusia antara organisasi yang kegiatan rutin dan organisasi yang kegiatannya memerlukan inovasi dan kreativitas.

  1. Jenis Teknologi yang digunakan

Pengembangan organisasi diperlukan untuk mempersiapkan tenaga dalam mengoperasikan teknologi atau mungkin terjadinya otomatisasi kegiatan-kegiatan yang semula dilakukan oleh manusia.

  1. Faktor Eksternal

Organisasi itu berada di dalam lingkungan dan tidak lepas dari pengaruh lingkungan di mana organisai itu berada, agar organisasi itu dapat melaksanakan misi dan tujuannya maka harus memperhitungkan faktor-faktor lingkungan atau faktor-faktor eksternal organisasi.

a) Kebijakan Pemerintah

Kebijakan-kebijakan pemerintah baik yang dikeluarkan melalui perundang-undangan, peraturan-peraturan pemerintah, surat keputusan menteri maupun pejabat pemerintah merupakan arahan yang harus diperhitungkan oleh organisasi. Kebijakan-kebijakan tersebut akan mempengaruhi program-program pengembangan sumber daya manusia dalam organisasi yang bersangkutan.

  1. Sosio Budaya Masyarakat

Faktor sosio budaya masyarakat tidak dapat diabaikan oleh suatu organisasi. Hal ini dapat dipahami karena suatu organisasi apapun didirikan untuk kepentingan masyarakat yang mempunyai latar belakang sosio budaya yang berbeda-beda. Oleh sebab itu dalam mengembangkan sumber daya manusia dalam suatu organisasi faktor eksternal perlu dikembangkan.

  1. Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di luar organisasi dewasa ini telah sedemikian pesatnya. Organisasi yang baik harus mengikuti arus tersebut dan harus mampu memilih teknologi yang tepat. Untuk itu kemampuan karyawan organisasi harus diadaptasikan dengan kondisi tersebut.

B. Manajemen Pengembangan Profesionalisme Guru

1. Pengertian Guru

Definisi yang dikenal sehari-hari bahwa guru merupakan orang yang memiliki kharisma atau wibawa sehingga perlu untuk dicontoh dan diteladani. Guru adalah orang yang pekerjaannya (mata pencahariannya, profesinya) mengajar. Dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, guru dipandang hanya menjadi bagian yang kecil dari istilah ”pendidik”, dinyatakan dalam pasal 39 (2) pengertian tentang pendidik sebagai berikut:

Pendidik merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran,menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, terutama bagi pendidik pada perguruan tinggi.

Dalam hal ini, ketentuan umum pasal 1 butir 5 menyatakan pengertian pendidik sebagai berikut:

Pendidik adalah tenaga kependidikan yang berkualifikasi sebagai guru, dosen, konselor, pamong belajar, widyaiswara, tutor, instruktur, fasilitator, dan sebutan lain yang sesuai dengan kekhususannya, serta berpartisipasi dalam penyelenggaraan pendidikan.

Berdasarkan ketentuan umum tersebut, pengertian guru ternyata telah menjadi sempit karena hanya menjadi bagian dari pendidik. Dalam pandangan yang berbeda, guru seharusnya memiliki peran tidak saja hanya sebagai pendidik, tetapi juga sebagai pengajar, dan sekaligus sebagai pelatih. Dalam pandangan yang berbeda itu, maka dosen, widyaiswara, pamong belajar, dan lain-lainnya sesungguhnya juga dapat disebut sebagai guru.

Sebagai orang yang bertugas mengajar dan mendidik, guru akan melaksanakan berbagai macam kegiatan demi tercapainya tujuan pendidikan. Untuk mencapai tujuan tersebut menurut Ali Imron (1995: 4) guru harus memainkan fungsi sebagai pembimbing, pembaharu model, penyelidik, konselor, pencipta, yang mengetahui sesuatu, pembangkit pandangan, pembawa cerita, dan seorang aktor. Oleh karena itu strategisnya peranan guru ini dalam usaha meningkatkan mutu pendidikan menuntut adanya peran guru sebagai berikut: (a) agen pembaharuan, (b) berperan sebagai fasilator yang memungkinkan terciptanya kondisi yang baik bagi subyek didik untuk belajar, (c) bertanggungjawab atas terciptanya hasil belajar subyek didik, (d) dituntut menjadi contoh subyek didik, (e) bertanggungjawab secara profesional untuk meningkatkan kemampuannya, (f) menjunjung tinggi kode etik profesionalnya

Menurut Moh. Uzer Usman (2002: 5) menyatakan bahwa guru merupakan jabatan atau profesi yang memerlukan keahlian khusus sebagai guru. Pekerjaan ini tidak dapat dilakukan oleh orang yang tidak memiliki keahlian untuk melakukan kegiatan atau pekerjaan sebagai guru. Orang yang pandai berbicara dalam bidang-bidang tertentu belum dapat disebut sebagai guru. Untuk menjadi guru diperlukan syarat-syarat khusus, apabila sebagai guru yang profesional yang harus menguasai betul seluk beluk pendidikan dan pengajaran dengan berbagai ilmu pengetahuan lainnya yang perlu dibina dan dikembangkan melalui masa pendidikan tertentu atau pendidikan prajabatan.

2. Kompetensi Guru

Kompetensi berarti kewenangan (kekuasaan) untuk menentukan atau memutuskan sesuatu. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005, pasal 28 ayat 3 dicantumkan bahwa kompetensi sebagai agen pembelajaran pada jenjang pendidikan dasar dan menengah serta pendidikan anak usia dini meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi profesional dan kompetensi sosial.

Direktorat Jenderal Profesi Pendidik PMPTK (2007: 5-9) menjelaskan bahwa kompetensi yang harus dikuasai oleh guru meliputi kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial, dan profesional.

  1. Kompetensi Pedagogik

Kompetensi pedagogik meliputi pemahaman guru terhadap peserta didik, perancangan dan pelaksanaan pembelajaran, evaluasi hasil belajar, dan pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya. Secara rinci setiap bagian kompetensi dijabarkan menjadi indikator esensial sebagai berikut.

  1. Memahami peserta didik secara mendalam memiliki indikator esensial: memahami peserta didik dengan memanfaatkan prinsip-prinsip perkembangan kognitif; memahami peserta didik dengan memanfaatkan prinsip-prinsip kepribadian; dan mengidentifikasi bekal-ajar awal peserta didik.

  2. Merancang pembelajaran, termasuk memahami landasan pendidikan untuk kepentingan pembelajaran memiliki indikator esensial: memahami landasan kependidikan; menerapkan teori belajar dan pembelajaran; menentukan strategi pembelajaran berdasarkan karakteristik peserta didik, kompetensi yang ingin dicapai, dan materi ajar; serta menyusun rancangan pembelajaran berdasarkan strategi yang dipilih.

  3. Melaksanakan pembelajaran memiliki indikator esensial: menata latar (setting) pembelajaran; dan melaksanakan pembelajaran yang kondusif.

  4. Merancang dan melaksanakan evaluasi pembelajaran memiliki indikator esensial: merancang dan melaksanakan evaluasi (assessment) proses dan hasil belajar secara berkesinambungan dengan berbagai metode; menganalisis hasil evaluasi proses dan hasil belajar untuk menentukan tingkat ketuntasan belajar (mastery learning); dan memanfaatkan hasil penilaian pembelajaran untuk perbaikan kualitas program pembelajaran secara umum.

  5. Mengembangkan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensinya, memiliki indikator esensial: memfasilitasi peserta didik untuk pengembangan berbagai potensi akademik; dan memfasilitasi peserta didik untuk mengembangkan berbagai potensi non-akademik.

  1. Kompetensi Kepribadian

Kompetensi kepribadian merupakan kemampuan personal yang mencerminkan kepribadian yang mantap, stabil, dewasa, arif, dan berwibawa, menjadi teladan bagi peserta didik, dan berakhlak mulia. Secara rinci bagian kompetensi tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut.

  1. Kepribadian yang mantap dan stabil memiliki indikator esensial: bertindak sesuai dengan norma hukum; bertindak sesuai dengan norma sosial; bangga sebagai guru; dan memiliki konsistensi bertindak sesuai dengan norma.

  2. Kepribadian yang dewasa memiliki indikator esensial: menampilkan kemandirian dalam bertindak sebagai pendidik dan memiliki etos kerja sebagai guru.

  3. Kepribadian yang arif memiliki indikator esensial: menampilkan tindakan yang didasarkan pada kemanfaatan peserta didik, sekolah, dan masyarakat serta menunjukkan keterbukaan dalam berpikir dan bertindak.

  4. Kepribadian yang berwibawa memiliki indikator esensial: memiliki perilaku yang berpengaruh positif terhadap siswa dan perilaku yang disegani.

  5. Akhlak mulia dan dapat menjadi teladan memiliki indikator esensial: bertindak sesuai dengan norma religius (iman dan taqwa, jujur, ikhlas, suka menolong), dan memiliki perilaku yang diteladani peserta didik.

  1. Kompetensi Profesional

Kompetensi profesional merupakan penguasaan materi pembelajaran secara luas dan mendalam, yang mencakup penguasaan materi kurikulum mata pelajaran di sekolah dan substansi keilmuan yang menaungi materinya, serta penguasaan terhadap stuktur dan metodologi keilmuannya. Setiap bagian kompetensi tersebut memiliki indikator esensial sebagai berikut.

  1. Menguasai substansi keilmuan yang terkait dengan bidang studi memiliki indikator esensial: memahami materi ajar yang ada dalam kurikulum sekolah; memahami struktur, konsep dan metode keilmuan yang menaungi atau koheren dengan materi ajar; memahami hubungan konsep antarmata pelajaran terkait; dan menerapkan konsep-konsep keilmuan dalam kehidupan sehari-hari.

  2. Menguasai struktur dan metode keilmuan memiliki indikator esensial menguasai langkah-langkah penelitian dan kajian kritis untuk memperdalam pengetahuan/materi bidang studi.

  1. Kompetensi Sosial

Kompetensi sosial merupakan kemampuan guru untuk berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, orangtua/wali peserta didik, dan masyarakat sekitar. Kompetensi ini memiliki bagian kompetensi dengan indikator esensial sebagai berikut.

  1. Mampu berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan peserta didik memiliki indikator esensial: berkomunikasi secara efektif dengan siswa didik.

  2. Mampu berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan sesama pendidik dan tenaga kependidikan.

3) Mampu berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan orang tua/wali peserta didik dan masyarakat sekitar.

Keempat kompetensi tersebut dalam praktiknya merupakan satu kesatuan yang utuh. Pemilahan menjadi empat ini, semata-mata untuk kemudahan memahaminya. Beberapa ahli menyatakan istilah kompetensi profesional sebenarnya merupakan “payung”, karena telah mencakup semua kompetensi lainnya. Sedangkan penguasaan materi ajar secara luas dan mendalam lebih tepat disebut dengan penguasaan sumber bahan ajar (disciplinary content) atau sering disebut bidang studi keahlian. Hal ini mengacu pandangan yang menyebutkan bahwa sebagai guru yang berkompeten memiliki (1) pemahaman terhadap karakteristik peserta didik, (2) penguasaan bidang studi, baik dari sisi keilmuan maupun kependidikan, (3) kemampuan penyelenggaraan pembelajaran yang mendidik, dan (4) kemauan dan kemampuan mengembangkan profesionalitas dan kepribadian secara berkelanjutan.

Spencer and spencer (Hamzah B Uno, 2007: 63) membagi lima karakteristik kompetensi, yaitu: (a) Motif yaitu sesuatu yang dipikirkan dan diinginkan oleh seseorang yang dapat menyebabkan sesuatu. (b) Sifat yaitu karakteristik fisik tanggapan konsisten terhadap situasi atau informasi. (c) Konsep diri yaitu sikap, nilai, dan image diri seseorang. (d) Pengatahuan yaitu informasi yang dimiliki seseorang dalam bidang tertentu. (e) Keterampilan yaitu kemampuan untuk melakukan tugas-tugas yang berkaitan dengan fisik dan mental.

Semua hal yang disebutkan di atas merupakan hal yang dapat menunjang terbentuknya kompetensi profesional guru. Dengan kompetensi profesional tersebut dapat berpengaruh terhadap proses pengelolaan pendidikan sehingga dapat melahirkan keluaran pendidikan yang bermutu. Keluaran yang bermutu dapat dilihat pada hasil langsung pendidikan yang berupa nilai yang dicapai siswa dan dapat juga dilihat melalui dampak pengiring, yakni di masyarakat, sebab di antara yang berpengaruh pada pendidikan adalah komponen input, proses, dan keluaran pendidikan serta berbagai sistem lain yang berkembang di masyarakat.

3. Makna Profesi

Menurut Sudarwan Danim (2002: 21) menyatakan bahwa secara terminologi, profesi dapat diartikan sebagai suatu pekerjaan yang mempersyaratkan pendidikan tinggi bagi pelakunya yang ditekankan pada pekerjaan mental bukan pekerjaan manual. Kemampuan mental yang dimaksudkan disini adalah adanya persyaratan pengetahuan teoritis sebagai instrumen untuk melakukan perbuatan praktis.

Profesional menunjukkan pada dua hal. Pertama adalah penampilan seseorang yang sesuai dengan tuntutan yang seharusnya. Kedua menunjukkan pada orangnya. Profesionalisasi menunjukkan pada derajat penampilan seseorang sebagai profesional atau penampilan suatu pekerjaan sebagai suatu profesi. Ada yang profesionalismenya tinggi, sedang dan rendah. Profesionalisme juga mengacu kepada sikap dan komitmen anggota profesi untuk bekerja berdasarkan standar yang tinggi dan kode etik profesinya.

Ada tiga pilar pokok yang ditunjukkan untuk suatu profesi, yaitu pengetahuan, keahlian, dan persiapan akademik. Pengetahuan adalah segala fenomena yang diketahui yang disistematisasikan sehingga memiliki daya prediksi, daya kontrol, dan daya aplikasi tertentu. Pada tingkat yang lebih tinggi, pengetahuan bermakna kapasitas kognitif yang dimiliki oleh seseorang melalui proses belajar. Keahlian bermakna penguasaan substansi keilmuwan yang dapat dijadikan acuan dalam bertindak. Keahlian juga bermakna kepakaran dalam cabang ilmu tertentu untuk dibedakan dengan kepakaran lainnya. Persiapan akademik mengandung makna bahwa untuk mencapai derajat profesional atau memasuki jenis profesi tertentu diperlukan persyaratan pendidikan khusus, berupa pendidikan prajabatan yang dilaksanakan pada lembaga pendidikan formal, khususnya jenjang perguruan tinggi (Sudarwan Danim, 2002: 22).

Menurut Suparlan (2005: 20) menyatakan bahwa guru merupakan tenaga profesi dalam bidang pendidikan dan pengajaran. Ada beberapa persyaratan suatu pekerjaan disebut sebagai profesi. Pertama, adanya pengakuan dari masyarakat dan pemerintah mengenai bidang layanan tertentu yang hanya dapat dilakukan karena keahlian tertentu dengan kualifikasi tertentu yang berbeda dengan profesi lain. Kedua, bidang ilmu yang menjadi landasan teknik dan prosedur kerja yang unik. Ketiga, memerlukan persiapan yang sengaja dan sistematis sebelum orang mengerjakan pekerjaan profesional tersebut. Keempat, memiliki mekanisme yang diperlukan untuk melakukan seleksi secara efektif sehingga hanya yang dianggap kompetitiflah yang diperbolehkan melaksanakan bidang pekerjaan tersebut. Kelima, memiliki organisasi profesi, disamping untuk melindungi kepentingan anggotanya, juga berfungsi untuk meyakinkan agar para anggotanya menyelenggarakan layanan keahlian terbaik yang dapat diberikan.

Pengertian di atas menunjukkan bahwa suatu pekerjaan yang bersifat profesional memerlukan beberapa bidang ilmu yang secara sengaja harus dipelajari dan kemudian diaplikasikan bagi kepentingan umum. Atas dasar pengertian ini, ternyata pekerjaan profesional berbeda dengan pekerjaan lainnya, karena suatu profesi memerlukan kemampuan dan keahlian khusus dalam melaksanakan profesinya.

4. Profesionalisme Guru

Profesionalisme guru adalah kemampuan guru untuk melakukan tugas pokoknya sebagai pendidik dan pengajar meliputi kemampuan merencanakan, melakukan, dan melaksanakan evaluasi pembelajaran (Jamaah Yakub, 2008: 47). Profesionalisme guru menurut para ahli dapat didefinisikan bermacam-macam. Salah satu pendapat dikemukakan oleh Fullan, M (1997: 142) sebagai berikut:

The professionalization reforms at the national and state levels center on teachers’ demonstrated knowledge base (as reflected in standards for teacher education program accreditation and candidate assessment), on conditions surrounding teacher certification and licensure, and on the structure of career opportunities in teaching. At the local level, professionalization tends to take the form of extended assistance to new teachers, and experiments in side-based decision making.

Profesionalisasi merubah dasar pengetahuan guru pada tingkat nasional dan pusat sebagai cerminan/refleksi dalam standar akreditasi program pendidikan dan penilaian calon guru, sertifikasi guru dan lisensi kesempatan karir dalam mengajar. Pada tingkat daerah, profesionalisasi cenderung untuk meningkatkan bantuan pada guru baru, memberikan kesempatan berkarir bagi guru yang berpengalaman dan mengadakan percobaan bagi pembuat kebijakan (pemerintah).

Menurut Sudarwan Danim (2002: 23) menyatakan bahwa profesionalisme berasal dari kata Bahasa Inggris Professionalism yang secara leksikal berarti sifat profesional. Orang yang profesional memiliki sikap-sikap yang berbeda dengan orang yang tidak profesional meskipun dalam pekerjaan yang sama atau katakanlah berada pada satu ruang kerja. Profesionalisme dapat diartikan sebagai komitmen para anggota suatu profesi untuk meningkatkan kemampuan profesionalnya dan terus-menerus mengembangkan strategi-strategi yang digunakannya dalam melakukan pekerjaan sesuai dengan profesinya.

Profesionalisasi merupakan proses peningkatan kualifikasi atau kemampuan para anggota penyandang suatu profesi untuk mencapai kriteria standar ideal dari penampilan atau perbuatan yang diinginkan oleh profesinya itu. Profesionalisasi mengandung makna dua dimensi utama, yaitu peningkatan status dan peningkatan kemampuan praktis. Implementasinya dapat dilakukan melalui penelitian, diskusi antar rekan seprofesi, penelitian dan pengembangan, membaca karya akademik kekinian, dan sebagainya. Kegiatan belajar mandiri, mengikuti pelatihan, studi banding, observasi praktikal, dan lain-lain menjadi bagian integral upaya profesionalisasi itu.

Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005, pasal 28 ayat 1, 2, dan 4 menjelaskan bahwa, pendidik yang mempunyai keahlian harus dibuktikan dengan memiliki kualifikasi akademik dan kompetensi sebagai agen pembelajaran, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Kualifikasi akademik merupakan tingkat pendidikan minimal yang harus dipenuhi oleh seorang pendidik yang dibuktikan dengan ijasah atau sertifikat keahlian yang relevan sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Jika tidak, tetapi memiliki keahlian khusus yang diakui dan diperlukan dapat diangkat menjadi pendidik setelah melewati uji kelayakan dan kesetaraan. Kemudian dalam pasal 29 ayat 3 menjelaskan bahwa Pendidik SMP/MTs atau bentuk lain yang sederajat memiliki kualifikasi akademik pendidikan minimum diploma empat (D-IV) atau sarjana, latar belakang pendidikan tinggi dengan program pendidikan yang sesuai dengan mata pelajaran yang diajarkan, dan sertifikat profesi guru untuk SMP/MTs.

Jabatan guru merupakan jabatan profesional dan sebagai jabatan profesional, pemegangnya harus memenuhi kualifikasi tertentu. Oleh karenanya menurut Soetjipto dan Raflis Kosasi (1994: 37) menyatakan bahwa:

Jabatan guru tersebut harus memenuhi kriteria jabatan profesional, antara lain bahwa jabatan itu melibatkan kegiatan intelektual, mempunyai batang tubuh ilmu yang khusus, memerlukan latihan dalam jabatan yang berkesinambungan, merupakan karier hidup dan keanggotaan yang permanen, mementingkan layanan, mempunyai organisasi profesional, dan mempunyai kode etik yang ditaati oleh anggotanya.

Menurut Isjoni (2006: 21) menjelaskan bahwa dalam rangka untuk melaksanakan tugas-tugasnya, guru profesional haruslah memiliki berbagai kompetensi. Kompetensi-kompetensi guru profesional antara lain meliputi kemampuan untuk mengembangkan prestasi peserta didik, khususnya kemampuan intelektual. Dalam rangka melaksanakan tugas tersebut, seorang guru profesional tentunya harus menguasai falsafah pendidikan nasional, menguasai pengetahuan yang luas khususnya bahan pelajaran yang akan disampaikan kepada peserta didik, serta memiliki kemampuan teknis dalam penyusunan program pengajaran dan melaksanakannya. Sebagai seorang pendidik, seorang guru profesional adalah seorang komunikator yang dapat berkomunikasi dengan peserta didiknya dalam upaya untuk mengembangkan kepribadian peserta didiknya. Selanjutnya, sebagai suatu profesi yang terus berkembang, seorang guru profesional hendaknya mampu mengadakan penelitian-penelitian yang berkaitan dengan peningkatan profesional seorang pendidik.

Pengertian di atas menunjukkan bahwa guru profesional adalah orang yang memiliki kemampuan dan keahlian khusus dalam bidang keguruan sehingga mampu melakukan tugas dan fungsinya sebagai guru dengan kemampuan maksimal. Dengan kata lain, guru profesional adalah orang yang yang terdidik dan terlatih dengan baik, serta memiliki pengalaman yang kaya di bidangnya. Terdidik dan terlatih bukan hanya memperoleh pendidikan formal, tetapi juga harus menguasai berbagai strategi atau teknik di dalam kegiatan belajar mengajar, serta menguasai landasan-landasan kependidikan.

  1. Kriteria Guru Profesional

Guru sebagai pendidik profesional mempunyai citra yang baik di masyarakat apabila dapat menunjukkan kepada masyarakat bahwa seorang guru layak menjadi panutan atau teladan masyarakat sekelilingnya. Masyarakat terutama akan melihat bagaimana sikap dan perbuatan guru itu sehari-hari. Walaupun segala perilaku guru diperhatikan masyarakat, tetapi yang akan dibicarakan dalam bagian ini khusus perilaku guru yang berhubungan dengan profesinya. Hal itu berhubungan dengan bagaimana pola tingkah laku guru dalam memahami, menghayati, serta mengamalkan sikap kemampuan dan sikap profesionalismenya.

Citra guru yang ideal adalah citra guru profesional. Oleh karenanya, guru profesional menurut Dedi Supriyadi (1999: 179-180) mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:

Pertama mempunyai komitmen pada proses belajar siswa, kedua menguasai secara mendalam materi pelajaran dan cara mengajarkannya, ketiga mampu berpikir sistematis tentang apa yang dilakukannya dan belajar dari pengalamannya, keempat merupakan bagian dari masyarakat belajar dalam lingkungan profesinya yang memungkinkan setiap guru untuk selalu meningkatkan profesionalismenya.

Guru merupakan faktor yang penting yang mempengaruhi keberhasilan pendidikan. Ini dapat dilihat dari gairah dan semangat mengajarnya, serta adanya rasa percaya diri. Keberhasilan ini dapat ditinjau dari dua segi. Segi proses, guru dikatakan berhasil jika mampu melibatkan sebagian besar peserta didik secara aktif, baik fisik, mental, maupun sosial dalam proses pembelajaran. Dari segi hasil, guru dikatakan berhasil jika pembelajaran mampu mengubah perilaku sabagian besar siswa.

Menurut Tri Muwarningsih (2007: 35) menyatakan bahwa guru profesional pada masa sekarang dituntut oleh masyarakat harus mempunyai sifat-sifat antara lain:

    1. Memiliki rasa percaya diri yang tinggi dan memiliki kebanggaan terhadap profesi guru, (2) mempunyai komitmen dan tanggung jawab yang tinggi terhadap peningkatan kualitas pendidikan, (3) mampu membuat murid belajar dan sadar akan tugasnya sebagai siswa yang mempunyai kewajiban untuk terus menerus belajar, (4) memberikan inspirasi dan motivasi kepada siswa, sehingga dapat dijadikan panutan dalam segala hal seperti tingkah laku, cara bicara, dan cara berpikir, (5) bisa mengembangkan potensi yang ada pada anak didik, bukan membentuk seperti yang kita kehendaki, dan tidak berusaha memaksakan kehendak, (6) mampu melakukan pembaharuan-pembaharuan pembelajaran sesuai dengan tuntutan zaman, dan selalu berpikir ke masa depan tanpa melupakan yang telah lewat dan saat sekarang, (7) aktif mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk kepentingan pembelajaran para siswa, (8) antisipasif dan inisiatif, (9) selalu mencari terobosan baru, (10) mendengar dan memperhatikan siswa yang dilayani, dan (11) terbuka untuk masukan saran dan kritik.

Guru yang baik dalam kaitannya dengan pendidikan dan pengajaran harus menjalankan sesuai fungsinya. Fungsi guru dalam suatu sistem pengajaran ialah sebagai perancang dan sebagai guru yang mengajar (unsur suatu sistem). Pelaksanaan fungsi pertama, guru bertugas menyusun suatu sistem pengajaran, sedangkan pelaksanaan fungsi kedua, guru berfungsi mendesain sistem pengajaran (Oemar Hamalik, 2005: 12).

Uraian di atas menjelaskan bahwa jabatan guru adalah suatu jabatan profesi. Guru dalam tulisan ini adalah guru yang melakukan fungsinya di sekolah. Dengan pengertian tersebut, telah terkandung suatu konsep bahwa guru profesional yang bekerja melaksanakan fungsi dan tujuan sekolah harus memiliki kompetensi-kompetensi yang dituntut agar guru mampu melaksanakan tugasnya dengan sebaik-baiknya. Oleh karenanya, Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen, pasal 20 menyatakan bahwa kriteria guru dalam melaksanakan tugas secara profesional sebagai berikut: (1) merencanakan pembelajaran melaksanakan proses pembelajaran yang bermutu, serta menilai dan mengevaluasi hasil pembelajaran, (2) meningkatkan dan mengembangkan kualifikasi akademik dan kompetensi secara berkelanjutan sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni, (3) bertindak objektif dan tidak diskriminatif atas dasar pertimbangan jenis kelamin, agama, suku, ras, dan kondisi fisik tertentu, atau latar belakang keluarga, dan status sosial ekonomi peserta didik dalam pembelajaran, (4) menjunjung tinggi peraturan perundang-undangan, hukum, dan kode etik guru, serta nilai-nilai agama dan etika, (5) memelihara dan memupuk persatuan dan kesatuan bangsa.

Untuk menilai kinerja profesionalisme guru di SMP Muhammadiyah Ngemplak, indikator yang digunakan sebagai definisi operasional dalam metode penelitian adalah kriteria guru profesional dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005, yaitu (1) Kompetensi Pedagogik, yaitu kemampuan dalam mengelola pembelajaran peserta didik. (2) Kompetensi Kepribadian, yaitu kemampuan kepribadian yang mantap, berakhak mulia, arif, dan berwibawa serta menjadi teladan peserta didik. (3) Kompetensi Profesional, yaitu kemampuan penguasaan materi secara luas dan mendalam. (4) Kompetensi Sosial, yaitu kemampuan guru untuk berkomunikasi dan berinteraksi secara efektif dan efisien dengan peserta didik, sesama guru, orang tua/wali peserta didik, dan masyarakat sekitar.

  1. Pengembangan Profesionalisme Guru

a. Konsep Pengembangan Profesionalisme Guru

Konsep pengembangan profesionalisme menurut para ahli dapat didefinisikan bermacam-macam. Salah satu pendapat dikemukakan oleh Alba, G.D & Sandberg (2006: 384) sebagai berikut.

The concept of professional development is not clearly delimited. A profession traditionally is defined as being based on systematic, scientific knowledge. Preliminary development of professional skill has occurred largely through designated higher education programs, with subsequent development taking various forms.

Konsep pengembangan profesional tidaklah dengan jelas dibatasi. Suatu profesi digambarkan sebagai dasar pengetahuan sistematis dan pengetahuan ilmiah. Pengembangan ketrampilan profesional telah dirancang luas melalui program-program pendidikan lebih tinggi dengan berbagai bentuk pengembangan.

Guru adalah tenaga profesional yang melaksanakan proses pembelajaran. Jika guru dapat menciptakan dan memelihara hubungan antara sesama, baik kepala sekolah, guru, siswa, dan staf, berdasarkan lingkungan kerja maupun di dalam hubungan keseluruhan maka akan tercipta lingkungan kerja yang nyaman. Sebagai jabatan profesional, guru harus meningkatkan pengetahuan, sikap, dan ketrampilan secara terus-menerus. Di samping guru harus menjawab tantangan perkembangan masyarakat, jabatan guru harus selalu dikembangkan.

Usaha meningkatkan kualitas guru ditingkat yang paling nyata berada di sekolah. Setiap sekolah seharusnya mengadakan in service training. In service training tidak hanya pada wilayah prinsip-prinsip pendidikan (pengajaran), melainkan juga pada wilayah teknis pragmatis dan aktivitas pengajaran sehari-hari. Itu artinya, dalam hal ini adalah guru dituntut untuk selalu membaca, dan belajar, serta memburu ilmu-ilmu pendidikan yang setiap saat berkembang untuk kemudian diterapkan dalam pelaksanaan pengajaran sehari-hari.

Pengembangan profesionalisme guru menurut The State of Queensland (Department of Education, Training and the Arts) (2006) adalah:

The Professional Development and Leadership Institute has been established in recognition that professional development is fundamental to the professional practice of teachers, to ensure that students benefit from dynamic and futures-oriented professional development experiences. Support for ongoing teacher professional development is central to quality schooling and promoting professionalism and a sense of scholarship within the teaching community. Both forms of professional development play important and independent roles in improving school organisational capacity and in enhancing teacher capital. Taken together, study findings on professional development and individual teacher capital suggest that a systemic focus on increasing individual teacher capital through professional development will improve schools' organisational capacity to deliver improved student outcomes.

Pengembangan profesional adalah dasar dari praktek profesional guru untuk memastikan bahwa para siswa bermanfaat secara dinamis dan berorientasi pada pengalaman profesionalisasi masa depan. Dukungan pengembangan profesional guru yang berkelanjutan adalah terpusat pada kualitas sekolah dan mempromosikan profesionalisme serta pemberian penghargaan dalam lingkungan mengajar. Kedua bentuk pengembangan profesional berperan penting dalam meningkatkan kapasitas organisasi sekolah dalam meningkatkan kualitas guru. Studi penemuan pada pengembangan profesional dan peningkatan guru secara individu menyatakan bahwa sebuah sistem memusat dalam meningkatkan kualitas guru secara individu melalui pengembangan profesional akan meningkatkan mutu organisasi sekolah untuk meningkatkan kualitas lulusan siswa.

Pengembangan profesionalisme adalah usaha profesionalisasi yaitu setiap kegiatan yang dimaksudkan untuk meningkatkan profesi mengajar dan mendidik. Usaha mengembangkan profesi ini bisa timbul dari dua segi, yaitu dari segi eksternal, yaitu pimpinan yang mendorong guru untuk mengikuti penataran atau kegiatan akademik yang memberikan kesempatan guru untuk belajar lagi, sedangkan dari segi internal, guru dapat berusaha belajar sendiri untuk dapat berkembang dalam jabatannya. Dalam kaitan dengan usaha profesionalisasi jabatan guru ini perlu dikembangkan usaha pemeliharaan dan perawatan profesi guru. Dengan demikian guru akan lebih efektif dan efisien dalam melakukan tugas profesi.

Pengembangan profesi adalah kegiatan guru dalam rangka pengamalan ilmu dan pengetahuan, teknologi dan ketrampilan untuk meningkatkan mutu, baik bagi proses belajar mengajar dan profesionalisme tenaga kependidikan lainnya. Macam kegiatan guru yang termasuk kegiatan pengembangan profesi adalah: (1) mengadakan penelitian dibidang pendidikan, (2) Menemukan teknologi tepat guna dibidang pendidikan, (3) membuat alat pelajaran/peraga atau bimbingan, (4) menciptakan karya tulis, (5) mengikuti pengembangan kurikulum (Zainal A & Elham R, 2007: 155).

Pembinaan guru jika dipandang dari MSDM, secara terminologis sering diartikan sebagai serangkaian usaha bantuan kepada guru, terutama bantuan yang berwujud layanan profesional yang dilakukan oleh kepala sekolah, penilik sekolah, dan pengawas, serta pembina lainnya untuk meningkatkan proses dan hasil belajar. Jika yang dimaksudkan pembinaan guru sesungguhnya adalah supervisi, para pakar yang memberikan pengertian berbeda dengan inti yang sama. Batasan pembinaan guru merupakan perencanaan program perbaikan pengajaran (Ali Imron, 1995: 9).

Supervisi menurut Piet A. Sahertian (2000: 19) adalah usaha memberi layanan kepada guru-guru, baik secara individual maupun secara kelompok dalam usaha memperbaiki pengajaran. Kata kunci dari pemberi supervisi pada akhirnya ialah memberikan layanan dan bantuan. Dengan demikian jelas bahwa tujuan supervisi adalah memberikan layanan dan bantuan untuk meningkatkan kualitas belajar siswa. Supervisi tujuannya tidak hanya untuk memperbaiki kemampuan mengajar tetapi juga untuk pengembangan potensi kualitas guru.

Supervisi ialah suatu aktivitas pembinaan yang direncanakan untuk membantu para guru dan pegawai sekolah lainnya dalam melakukan pekerjaan mereka secara efektif. Fungsi supervisi dalam pendidikan bukan hanya sekedar kontrol melihat apakah segala kegiatan telah dilaksanakan sesuai dengan rencana atau program yang telah ditetapkan, tetapi supervisi dalam pendidikan mengandung pengertian yang luas. Supervisi mencakup penentuan kondisi-kondisi personel maupun material yang diperlukan untuk terciptanya situasi belajar mengajar yang efektif dan usaha memenuhi syarat-syarat tersebut (M. Ngalim Purwanto, 2003: 76).

Pembinaan profesional melalui supervisi menurut Trimo (2008) (http://re-searchengines.com/trimo70708.html) kegiatan supervisi pengajaran merupakan kegiatan yang wajib dilaksanakan dalam penyelenggaraan pendidikan. Pelaksanaan kegiatan supervisi dilaksanakan oleh kepala sekolah dan pengawas sekolah dalam memberikan pembinaan kepada guru. Hal tersebut karena proses belajar-mengajar yang dilaksanakan guru merupakan inti dari proses pendidikan secara keseluruhan dengan guru sebagai pemegang peranan utama. Proses belajar mengajar merupakan suatu proses yang mengandung serangkaian perbuatan guru dan siswa atas dasar hubungan timbal balik yang berlangsung dalam situasi edukatif untuk mencapai tujuan tertentu. Oleh karena itu, kegiatan supervisi dipandang perlu untuk memperbaiki kinerja guru dalam proses pembelajaran.

Penjelasan di atas dapat diambil suatu pengertian bahwa pengembangan profesionalisme guru terdiri dari atas dua bentuk, yaitu pembinaan dan pengembangan. Pembinaan yang dimaksud adalah berbagai kegiatan yang tidak sebatas pelatihan, tetapi berbagai kegiatan sebagai upaya yang ditujukan untuk para guru dalam hubungannya dengan peningkatan kemampuan profesionalisme saat ini, segera dan berjangka pendek. Tujuan utama kegiatan adalah meningkatkan efektivitas dan efisiensi kerja setiap guru. Pengembangan adalah usaha yang terus-menerus dalam rangka menyesuaikan kemampuan guru terhadap pengembangan ilmu dan teknologi serta mengembangkan ilmu dan teknologi itu sendiri khususnya dalam kegiatan pendidikan.

Kajian ini tidak memandang secara kategorial pembagian program-program pengembangan sumber daya manusia dalam bentuk pembinaan dan pengembangan. Apakah termasuk pembinaan ataukah pengembangan? Berdasarkan survei di lapangan, satu program pengembangan sumber daya manusia yang ditujukan kepada guru dapat berupa bentuk pembinaan dan pengembangan. Untuk mengatasi hal tersebut maka segala kegiatan di sekolah yang dapat dimasukkan ke dalam pengembangan sumber daya manusia dalam rangka meningkatkan profesionalisme guru. Untuk itu, ketercapaian pengembangan profesionalisme guru membutuhkan upaya-upaya manajerial yang terencana secara baik. Artinya, dibutuhkan manajemen pengembangan sumber daya manusia dimulai dari perencanaan sampai kegiatan evaluasi pelaksanaan pengembangan profesionalisme guru tersebut dengan baik.

b. Tujuan Pengembangan Profesionalisme Guru

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi mengharuskan orang untuk belajar terus, terlebih seorang yang mempunyai tugas mendidik dan mengajar. Sedikit saja lengah dalam belajar maka akan tertinggal dengan perkembangan termasuk siswa yang diajar. Oleh karenanya, kemampuan mengajar guru harus selalu ditingkatkan melalui pengembangan guru. Tujuan pengembangan guru melalui pembinaan guru adalah untuk memperbaiki proses belajar mengajar yang di dalamnya melibatkan guru dan siswa, melalui serangkaian tindakan, bimbingan dan arahan. Perbaikan proses belajar mengajar yang pencapainnya melalui peningkatan profesional guru tersebut diharapkan memberikan kontribusi bagi peningkatan mutu pendidikan (Ali Imron, 1995: 23).

Menurut Sudarwan Danim (2002: 51) menjelaskan bahwa pengembangan profesionalisme guru dimaksudkan untuk memenuhi tiga kebutuhan. Pertama, kebutuhan sosial untuk meningkatkan kemampuan sistem pendidikan yang efisien dan manusiawi serta melakukan adaptasi untuk penyusunan kebutuhan-kebutuhan sosial. Kedua, kebutuhan untuk menemukan cara-cara untuk membantu staff pendidikan dalam rangka mengembangkan pribadinya secara luas. Ketiga, kebutuhan untuk mengembangkan dan mendorong kehidupan pribadinya, seperti halnya membantu siswanya dalam mengembangkan keinginan dan keyakinan untuk memenuhi tuntutan pribadi yang sesuai dengan potensi dasarnya.

Berdasarkan tujuan-tujuan tersebut dapat diidentifikasikan fungsi-fungsi pembinaan guru. Fungsi-fungsi tersebut meliputi memelihara program pengajaran sebaik-baiknya, menilai, dan memperbaiki faktor-faktor yang mempengaruhi hal belajar dan memperbaiki situasi belajar siswa. Oleh karenanya, fungsi pembinaan guru adalah menumbuhkan iklim bagi perbaikan proses dan hasil belajar melalui serangkaian upaya pembinaan terhadap guru dalam wujud layanan profesional.

  1. Tanggung Jawab Pengembangan Profesionalisme Guru

Titik berat pembangunan pendidikan dewasa ini ditekankan pada peningkatan mutu. Konsekuensinya, perlu ditingkatkan keseluruhan komponen sistem pendidikan, baik yang bersifat human resources maupun yang bersifat material resources. Peningkatan keseluruhan komponen sistem pendidikan yang bersifat human resources dan material resources tersebut dapat diartikan dari segi kuantitasnya maupun kualitasnya.

Peningkatan kualitas komponen-komponen sistem pendidikan yang terbukti lebih berpengaruh terhadap peningkatan mutu pendidikan adalah komponen yang bersifat human resources. Dengan demikian, komponen yang bersifat material resources tidak akan bermanfaat tanpa adanya komponen yang bersifat human resources.

Dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 Tanggung jawab upaya pengembangan profesionalisme guru ini merupakan kewajiban pemerintah dan pemerintah daerah. Artinya pemerintah dan pemerintah daerah wajib membina dan mengembangkan kualifikasi akademik dan kompetensi guru. Hanya saja, mengingat yang hampir setiap hari bertemu dengan guru di sekolah adalah kepala sekolah dan bukan pembina yang lain-lainnya sehingga kepala sekolah yang paling banyak bertanggungjawab dalam pembinaan dan pengembangan guru. Oleh karena itu, selain tugas kepala sekolah sebagai administrator di sekolah yang tidak boleh dilupakan karena sangat penting, haruslah diikutsertakan pada pembinaan guru di sekolah yang dipimpinnya.

Keberhasilan pendidikan sangat ditentukan oleh kepala sekolah dalam mengkoordinasikan, menggerakkan, menyelaraskan sumber daya pendidikan. Kepemimpinannya sebagai faktor pendukung untuk mewujudkan visi, misi, tujuan, termasuk sasaran. Oleh karena itu kepala sekolah harus mampu memobilisasi sumber daya sekolah, perencanaan, evaluasi program, kurikulum, pembelajaran, pengelolaan personalia, sarana dan sumber belajar, keuangan, pelayanan siswa, hubungan dengan masyarakat, dan penciptaan iklim kondusif.

Dari penjelasan di atas dapat diambil satu pengertian bahwa penanggung jawab pengembangan guru di sekolah adalah di tangan kepala sekolah, tetapi dalam pelaksanaannya kepala sekolah dapat mendayagunakan personalia yang lain, yang meliputi penilik sekolah, guru yang lebih senior, ketua yayasan dan pejabat struktural yang berada di atas kepala sekolah.

SAYANG-SAYANG

Sayang-sayang kita tidak tahu ke mana pergi

Tak sanggup kita dengarkan suara yang sejati

Langkah kita mengabdi pada nafsu sendiri

Yang bisa kita pandang hanya kepentingan sendiri

Sayang-sayang orang pintar tak mau ngaji

Kepala tengadah merasa benar sendiri

Semua dituding-tuding dan dicaci maki

Yang lainnya salah hanya ia yang suci

Sayang-sayang orang hebat tinggi hati

Ngomong demokrasi pidato berapi-api

Ternyata karena menginginkan kursi

Sementara rakyat kerepotan mencari nasi

Loyang disangka emas, emasnya dibuang-buang

Kita makin buta mana utara mana selatan

Yang kecil dibesar, yang besar diremehkan

Yang penting disepelekan, yang sepele diutamakan

Allah Allah Allah betapa busuk hidup kami

Dan masih terus akan lebih membusuk lagi

Betapa gelapnya hari di depan kami

Mohon ayomilah kami yang kecil ini

Emha Ainun Najib

08 Februari 2010

Peningkatan Aktualisasi & Mutu Proses Pembelajaran dgn Interactive Skill Station Berbasis TI

A. Pendahuluan

Sekolah dalam rangka meningkatkan daya saing memerlukan pembelajaran yang lebih efektif dan padu antara dimensi pengetahuan dan dimensi pengetahuan dengan dimensi proses kognitif pembelajarannya di dalam domain pilar pendidikan. Tujuan kompetensi akan dicapai melalui kurikulum. Kompetensi dinyatakan dalam bentuk penguasaan dimensi prosedural pengetahuan dan dimensi kognitif pada jenjang kreativitas, melalui berbagai cara/metode pembelajaran. Di dalam materi pembelajaran tersebut dimensi afektif dan psikomotorik pengetahuan telah disatukan dengan kognitif.

Oleh karena itu materi dan proses pembelajaran di sekolah tidak lagi berbentuk teacher-centered content-oriented (TCCO), tetapi diganti dengan menggunakan prinsip student-centered learning (SCL). Kemajuan teknologi informasi dan komunikasi menyediakan banyak cara mendapatkan informasi sumber belajar. Hal ini memberikan peluang untuk mengembangkan metode pembelajaran baru yang secara optimal memanfaatkan teknologi tersebut untuk mencapai kompetensi yang diharapkan.

Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan pasal 19 ayat 1 menyatakan proses pembelajaran pada satuan pendidikan diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas dan kemandirian sesuai dengan minat, bakat dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik. Berdasarkan hal tersebut disimpulkan terdapat tuntutan adanya pergeseran paradigma pengajaran ke paradigma pembelajaran.

Paradigma pengajaran yang lebih menitikberatkan peran pendidik dalam mentransformasikan pengetahuan kepada peserta didiknya bergeser pada paradigma pembelajaran yang memberikan peran lebih banyak kepada peserta didik untuk mengembangkan potensi dan kreativitas dirinya dalam rangka membentuk manusia yang memiliki kekuatan spiritual keagamaan, berakhlak mulia, berkepribadian, memiliki kecerdasan, memiliki estetika, sehat jasmani dan rohani, serta keterampilan yang dibutuhkan bagi dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.

Pola pembelajaran yang terpusat pada guru sudah tidak memadai untuk mencapai tujuan pendidikan. Permasalahan yang dihadapi karena disebabkan:

1. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) dan seni yang sangat pesat menghasilkan berbagai kemudahan bagi siswa untuk mengakses sumber-sumber belajar yang sulit dapat dipenuhi oleh seorang guru,

2. Perubahan kompetensi kekaryaan yang berlangsung sangat cepat memerlukan materi dan proses pembelajaran yang lebih fleksibel,

3. Kebutuhan untuk mengakomodasi demokratisasi partisipasif dalam proses pembelajaran di perguruan tinggi. Oleh karena itu pembelajaran sekolah ke depan di dorong menjadi berpusat pada siswa (SCL) dengan memfokuskan pada tercapainya kompetensi yang diharapkan. Hal ini berarti siswa harus didorong untuk memiliki motivasi dalam diri mereka sendiri, kemudian berupaya keras mencapai kompetensi yang diinginkan.

Kurikulum merupakan seperangkat usaha sekolah untuk mempengaruhi siswa belajar, mencakup pengalaman, lingkungan belajar, kemampuan, dan minat siswa. Oliva (1992:4) mengemukakan that in every school in which teachers are instructing student a curriculum exists. Setiap sekolah di mana guru mengajar siswa itu mencerminkan terdapat kurikulum. Disimpulkan dalam mengelola kurikulum di sekolah, salah satu aktivitas terpenting adalah mengelola kegiatan pembelajaran sebagai aplikasi kurikulum di sekolah. Penguasaan materi oleh guru dalam pelaksanaan kegiatan pembelajaran merupakan hal penting, media dan metode menyesuaikan dengan materi pelajaran.

Penggunaan media dan metode pembelajaran diharapkan dapat meningkatkan daya serap siswa terhadap materi pelajaran. Kegiatan pembelajaran yang dilaksanakan diupayakan aktif, kreatif, dan menyenangkan, agar siswa termotivasi dalam belajar. Mutu kegiatan pembelajaran menjadi faktor yang berpengaruh terhadap mutu pendidikan. Efektivitas kegiatan pembelajaran dipengaruhi oleh 1) lama waktu belajar, 2) materi, metode, dan media pembelajaran, 3) penilaian, umpan balik, dan bentuk penghargaan bagi siswa, dan (4) jumlah siswa dalam satu kelas.

B. Konsep Interactive Skill Station

Pengembangan metode pembelajaran Interactive Skill Station (ISS) yang merupakan pendekatan dalam upaya peningkatan optimalisasi kegiatan pembelajaran, dilaksanakan secara sinergis dan aplikatif. Secara garis besar penerapan kegiatan pembelajaran dengan ISS menurut Sakti, dkk. (2008) ialah dengan membagi peserta di dalam kelas menjadi sejumlah kelompok kecil dengan tugas masing-masing untuk mempersiapkan materi ajar, mempelajari topik bahasan sesuai dengan penugasan yang diberikan. Setiap topik bahasan didiskusikan, dan menjadi tugas setiap anggota kelompok untuk menjelaskan kembali apa yang telah dipelajari kepada peserta belajar di luar kelompoknya.

Peran guru di dalam metode ISS ialah sebagai fasilitator dan nara sumber di dalam setiap kelompok diskusi, dan di dalam diskusi pleno yang dilakukan sesudah diskusi kelompok berlangsung. Metode ISS menurut Sakti, dkk. (2008) memberikan beberapa manfaat, yaitu 1) melatih rasa percaya diri siswa untuk menyatakan pendapat dan berbicara di depan umum, 2) melatih kreativitas siswa, dan 3) ada penilaian obyektif antarsiswa.

Pemanfaatan teknologi informasi mampu meningkatkan banyak aspek dari pendidikan, yang meliputi pembelajaran siswa, pengembangan profesional guru, dan manajemen kelas. Dengan teknologi informasi materi ajar lebih lengkap, disajikan lebih menarik, dan dengan mudah serta cepat dapat didistribusikan melalui media on-line maupun off-line. Komunikasi sumber belajar dengan siswa lebih mudah dan akses materi ajar dapat dilayani tanpa batasan waktu dan tempat.

Oleh karena itu metode ini kemudian oleh SMAN 3 Malang diterapkan dengan nama metode ISS-IT yang mempunyai makna Interactive Skill Station-Information Technology Based, artinya suatu pembelajaran dengan pendekatan keterampilan konseling interaktif antarsiswa dengan mempergunakan teknologi informasi. Bagi siswa kegiatan pembelajaran menggunakan metode ISS-IT membuat suasana belajar tidak membosankan, karena pembelajaran atau tatap muka dapat dilakukan tidak hanya di ruang kelas, tetapi dapat dilakukan di gazebo, teras kelas, dan jika perlu dapat dilakukan di luar kelas, tidak perlu lagi rebutan kelas.

Kegiatan pembelajaran menggunakan metode ISS-IT memberikan porsi pada siswa lebih besar dibanding metode yang selama ini berlangsung. Metode lama siswa datang-duduk-ngantuk, sudah bukan jamannya lagi. Metode ISS-IT membuat siswa berperan secara aktif dalam proses belajar mengajar, misalnya dengan aktif mencari sendiri sumber belajar (learning resources), bekerja sama dalam kelompok dan dapat mengembangkan kreativitas.

Sistem penilaian dalam metode pembelajaran ISS-IT ini dinilai yang paling menguntungkan, yang diharapkan apabila siswa akan mendapatkan nilai maksimal (melampau standar). Sementara itu Sakti, dkk. (2008) berpendapat kegiatan pembelajaran menggunakan metode ISS-IT membuat siswa lebih kreatif dalam presentasi, seperti membuat PowerPoint dan program SwishMax dengan beberapa aplikasinya, yang sebelumnya tidak pernah menggunakan menjadi terbiasa, sedang yang tidak tahu menjadi terpacu untuk belajar membuat suatu presentasi menjadi lebih menarik.

Siswa tidak kekurangan bahan karena dapat keterampilan baru cara mengakses data dari internet, siswa dapat memadukan bahan ajar dengan mata pelajaran yang lain. Metode ISS-IT memacu siswa untuk berani mengeluarkan pendapat, karena semakin aktif nilainya akan semakin baik. Siswa yang tidak terbiasa beradu argumentasi akan kelihatan tidak aktif.

C. Inovasi Interactive Skill Station-Information Technology Based sebagai Pengubah Perilaku Belajar

Tujuan dari kegiatan penerapan Interactive Skill Station-Information Technology (ISS-IT) adalah untuk meningkatkan education atmosphere melalui peningkatan kualitas pembelajaran dengan optimalisasi kerja SDM dalam hal ini guru dengan hasil akhir yang diharapkan yaitu meningkatnya pemahaman siswa terhadap materi yang diajarkan terhadap teman-temannya. Peningkatan kemampuan dan pengetahuan siswa secara langsung akan meningkatkan derajat pengetahuan dan pada akhirnya meningkatnya nilai, reputasi akademik, dan praktik (soft skill).. Harapan lebih lanjut adalah adanya program pembelajaran berkelanjutan di universitas melalui pelatihan terstruktur.

Menurut Bowe (1997) tanpa memahami prinsip belajar, sulit bagi seorang guru untuk menyusun strategi pembelajaran, metode mengajar, dan teknik evaluasi yang sesuai dengan karakteristik siswa dan materi yang disajikan. Sementara itu Dervilie (2003) mengemukakan prinsip belajar yaitu:

1. Mengajar adalah memotivasi dan memberikan fasilitas kepada responden atau pasien agar dapat belajar sendiri,

2. Learning by doing, dengan perpaduan pepatah “jika saya dengar saya akan lupa, jika saya lihat saya akan ingat, dan jika saya lakukan saya akan paham”,

3. Semakin banyak alat kerja yang diaktifkan (multisensors) dalam kegiatan belajar, maka akan semakin banyak informasi yang terserap,

4. Belajar pada banyak hal adalah suatu pengalaman. Oleh sebab itu keterlibatan siswa dan guru merupakan salah satu faktor penting dalam proses pembelajaran,

5. Materi akan lebih mudah dikuasai apabila siswa terlibat secara emosional dalam kegiatan pembelajaran. Siswa akan terlibat secara emosional apabila pelajaran itu bermakna bagi siswa,

6. Belajar dipengaruhi oleh motivasi intrinsik dan ekstrinsik dari siswa,

7. Makna pelajaran bagi pasien merupakan motivasi intrinsik yang kuat sedangkan faktor kejutan (faktor “Aha”) merupakan motivasi luar,

8. Setiap otak adalah unik, karena itu setiap siswa memiliki persamaan dan perbedaan cara terbaik dalam memahami materi pengajaran,

9. Otak akan lebih mudah merekam input jika dalam keadaan santai daripada keadaan kelas yang tegang dan dalam posisi yang tidak nyaman,

10. Semua manusia, termasuk siswa dan guru ingin dihargai dan dipuji,

11. Dalam mengajar orang dewasa, jangan perlakukan mereka seperti anak-anak, karena mereka berbeda dengan anak dalam: bersikap dan belajar.

Salah satu definisi modern tentang belajar menurut Lackey, dkk. (2004) ialah bahwa belajar merupakan pengalaman terencana yang membawa perubahan tingkah laku menjadi lebih baik. Senada dengan ini maka mengajar, berarti juga memotivasi dan menyediakan fasilitas agar terjadi proses belajar pada diri si pelajar atau dalam hal ini siswa. Berdasarkan pengertian disimpulkan pengajar/fasilitator/guru bertanggung jawab dalam:

1. Mengidentifikasi perubahan perilaku yang diharapkan,

2. Menyusun sumber-sumber belajar termasuk isi dan media instruksi untuk menyediakan suatu pengalaman agar siswa memperoleh kesempatan mengubah tingkah lakunya,

3. Menyelenggarakan kegiatan mengajar,

4. Mengevaluasi apakah perubahan tingkah laku telah tercapai.

Bloom dalam Johnson dan Lamb (2000) berpendapat bahwa tingkah laku dapat dibedakan atas tiga ranah yakni pengetahuan, keterampilan, dan sikap. Tiga ranah tingkah laku tersebut diilustrasikan seperti pada Gambar 2.1.

Gambar 2.1 Ranah Pengetahuan, Keterampilan, dan Sikap

Jika pendapat Bloom tersebut diterapkan dalam menetapkan tujuan proses pembelajaran, maka tiga domain tingkah laku tersebut harus diidentifikasi, dicapai dan dievaluasi dalam kegiatan belajar mengajar. Lebih lanjut Bloom dalam Johnson dan Lamb (2000) mengilustrasikan tingkah laku pembelajaran yang diubah seperti pada Gambar 2.2.

Gambar 2.2 Tingkah Laku Pembelajaran yang Diubah

Hal senada dikemukakan oleh Prochaska dan D’Clemente dalam Sakti (2008) bahwa dalam perubahan perilaku terdapat lima tahap hingga perilaku baru benar-benar terjadi. Pentahapan tersebut yakni 1) precontemplation, pada dasarnya manusia tidak ingin mengubah perilaku, 2) contemplation, mempertimbangkan untuk berubah, 3) preparation, membuat sedikit perubahan, 4) action, terikat pada perilaku baru, dan 5) maintenance, mempertahankan perilaku baru.

Walaupun masih ada beberapa kendala penerimaan (resistensi) beberapa pihak baik dari sarana maupun dari personalnya, namun secara teoritis ISS-IT telah mampu mengubah persepsi dan sikap guru dan siswa serta mempunyai penilaian tersendiri akan manfaat adanya perubahan metode pembelajaran ini. Kekurangan ini telah dapat diatasi dengan tersedianya Buku Panduan ISS-IT yang dalam kelanjutannya akan dikembangkan sebagai Buku Ajar Metode ISS-IT serta e-Learning.

D. Paradigma Pembelajaran Berbasis Information Technology

Seiring dengan perkembangan jaman, proses pembelajaran tidak lagi terpusat pada suatu pusat pendidikan seperti kampus, sekolah, kursus, ataupun pusat pelatihan (Suryaningtyas, 2008). Perubahan tersebut telah mengarahkan proses pembelajaran untuk mendapatkan pengetahuan ke arah tersebar. Paradigma pergeseran dalam proses pembelajaran ini telah dikenal sejak dekade awal tahun 1990-an, dan kini keadaan tersebut telah dikenal luas oleh masyarakat dunia pada umumnya.

Kegiatan proses pembelajaran terus diarahkan ke arah yang lebih fleksibel dalam kaitannya dengan ruang dan waktu. Karena memang sudah semestinya, dalam mendapatkan suatu pengetahuan, ruang dan waktu seharusnya bukanlah suatu batasan yang menyulitkan bahkan tidak memungkinkan seseorang untuk mendapatkan suatu pengetahuan yang ingin diketahuinya.

Belajar merupakan rangkaian proses pengembangan individu yang dilakukan seumur hidup. Belajar tidak harus di lingkungan formal seperti sekolah, kampus, tempat kursus ataupun pusat pelatihan dan pengembangan individu. Dengan berpegang pada pernyataan demikian, dapat ditelusuri bahwa belajar harus menumbuhkan suatu sikap kemampuan belajar secara mandiri, tanpa peduli ada tidaknya faktor luar yang mempengaruhi proses belajar tersebut seperti staf pengajar dan atau ruang kelas. Belajar yang dikatakan sebagai rangkaian proses pengembangan individu selama seumur hidup, sudah tentu memerlukan adanya pengembangan sikap memotivasi kemampuan belajar secara mandiri.

Lingkup pendidikan formal yang lebih sempit seperti institusi pendidikan, biasanya menerapkan suatu sistem penyeleksian calon siswa baru dan pada umumnya sekolah yang bereputasi baik, seleksi ketat merupakan suatu keharusan dan juga sebagai tolak ukur tingkat kualitas pendidikan yang akan diberikan di sekolah tersebut. Dengan adanya hal tersebut, terkesan proses penerimaan siswa baru merupakan suatu proses yang mempersulit.

Akan tetapi dengan sistem pembelajaran berbasis teknologi informasi, hal tersebut bukanlah merupakan hal yang utama lagi, karena kegiatan pembelajaran tidak diseragamkan dengan sekelompok siswa dengan tingkat kemampuan penyerapan materi mata pelajaran tertentu. Akan tetapi, kesuksesan kegiatan pembelajaran tergantung pada motivasi, kecerdasan, dan usaha dari siswa. Sehingga diskriminasi dalam proses kegiatan pembelajaran dapat diminimalisasi atau bahkan ditiadakan.

Paradigma lainnya adalah perubahan dalam konteks pusat pembelajaran. Apabila dahulu, pendidik (guru) merupakan pusat pembelajaran kini bergeser menjadi murid (siswa) sebagai pusat pembelajaran. Kemajuan teknologi informasi dan komunikasi menyediakan banyak cara mendapatkan informasi sumber belajar. Hal ini memberikan peluang untuk mengembangkan metode pembelajaran baru yang secara optimal memanfaatkan teknologi tersebut untuk mencapai kompetensi yang diharapkan.

E. Teknologi Informasi dalam Pembelajaran

Seiring berkembangnya teknologi informasi, seorang guru dituntut mengikuti kemajuan teknologi informasi dan kemudian memanfaatkannya dalam pembelajaran, agar kualitas pendidikan menjadi semakin baik. Menurut Priyanto (2009) sekarang ini siswa seharusnya sudah dibiasakan menggunakan model komputerisasi dalam belajar, tidak hanya di kelas, namun juga komunikasi di luar kelas. Lebih lanjut Priyanto (2009) menyatakan dengan kemajuan teknologi guru tidak lagi mendikte siswa dengan soal-soal atau menulis mata pelajaran di papan tulis, namun menggunakan perangkat multimedia atau aplikasi program, seperti presentasi dengan Liquit Cristal Display (LCD) proyektor.

Guru mengajar dengan memanfaatkan teknologi menjadi hal yang penting untuk era sekarang ini. Selain perangkat multimedia yang digunakan di dalam kelas untuk mengajar, di luar kelas pun guru bisa menggunakan media internet, seperti website, blog, electronic-mail (email), dan membaca di situs ensiklopedia. Siswa tidak lagi mendapatkan tugas tertulis dari guru, tetapi mereka dapat mengakses tugas ataupun pekerjaan rumah melalui website atau blog dan mengirim tugas atau pekerjaan rumah ke email guru yang bersangkutan.

Pemilihan metode ISS-IT mendukung siswa meningkatkan pengetahuan dan keterampilannya. Outcome yang diharapkan adalah peningkatan pengetahuan dan keterampilan komunikasi yang berkualitas dan saling introspeksi akan kelebihan dan kekurangan masing-masing dalam upaya melakukan proses pembelajaran. Melatih siswa untuk kreatif, proaktif dan mampu bekerja sama dengan baik sehingga dapat mengatur ketaatan pembelajaran dan komitmen belajar yang baik.

Proses pembelajaran peningkatan citra diri dari dan untuk siswa diharapkan dapat tercipta suasana yang kondusif, minimal mengurangi kejenuhan siswa akan suasana pengajaran yang monoton. Metode ISS-IT dapat meningkatkan motivasi belajar dan rasa percaya diri. Siswa tidak dianggap sebagai individu yang kurang pandai. Berdasarkan segi internal management and organization, metode ISS-IT dengan melibatkan para guru, staf administrasi, kepala sekolah, dan siswa sendiri, akan terjadi suatu kegiatan saling memonitor dan tercipta evaluasi internal yang konstruktif dan kondusif.

Berdasarkan kajian di atas disimpulkan kedudukan teknologi informasi dalam pembelajaran sangat penting yaitu sebagai media pembelajaran juga sumber informasi dan penyedia bahan ajar bagi proses pembelajaran. Jika jaman dahulu bahkan sekarang ini kebanyakan institusi pendidikan masih menggunakan cara lama dalam proses pembelajaran maka diasumsikan siswa akan mengalami kebosanan dalam hal belajar, selain memang kebosanan itu juga bisa diakibatkan faktor lain.

Akan tetapi jika seorang guru dapat menyajikan pembelajaran yang menyenangkan maka siswa pun akan merasa bergairah dalam mengikuti pelajaran. Hal ini dipertegas oleh Suryaningtyas (2008) yang berpendapat memang pembelajaran yang menyenangkan itu juga bisa dilakukan tanpa teknologi informasi, misalnya belajar di alam bebas, menggunakan media lingkungan sekitar, tetapi tuntutan di era globalisasi adalah bisa menjadi manusia yang selain pandai, cerdas, bertakwa tetapi juga modern dan berpikir global dan juga tidak gagap teknologi (gaptek), oleh karena itu pemanfaatan teknologi dalam pembelajaran tidak ada salahnya dilakukan dalam proses pembelajaran.

Kedudukan teknologi informasi dalam pembelajaran adalah sebagai sumber informasi dan sarana mencari media yang akan di gunakan dalam pembelajaran, sehingga memudahkan guru dan siswa dalam proses pembelajaran. Fasilitas yang ada dalam internet sebagai salah satu teknologi informasi dapat dimanfaatkan untuk mencari bahan dan media pembelajaran, bahkan bila pembelajaran betul-betul memanfaatkan teknologi informasi, maka pembelajaran bisa dilakukan di luar kelas.

Penggunaan teknologi informasi pada proses pembelajaran yang biasa ditemui dalam sebuah ruang kelas, dilakukan secara live namun virtual, artinya dalam saat yang sama, seorang guru mengajar di depan sebuah komputer yang ada di suatu tempat, sedangkan para siswa mengikuti pelajaran tersebut dari komputer lain di tempat yang berbeda. Dalam hal ini menurut Suryaningtyas (2008) secara langsung guru dan siswa tidak saling berkomunikasi, namun secara tidak langsung mereka saling berinteraksi pada waktu yang sama.

Proses pembelajaran dilakukan di depan sebuah komputer yang terhubung ke jaringan internet dan semua fasilitas yang biasa tersedia di sebuah sekolah dapat tergantikan fungsinya hanya oleh menu yang terpampang pada layar monitor komputer. Materi pelajaran pun dapat diperoleh secara langsung dalam bentuk file-file yang dapat diunduh (download), sedangkan interaksi antara guru dan siswa dalam bentuk pemberian tugas dapat dilakukan secara lebih intensif dalam bentuk forum diskusi dan email. Berdasarkan kajian di atas diilustrasikan komponen metode ISS-IT seperti pada Gambar 2.3.

Gambar 2.3 Komponen Metode ISS-IT (Suryaningtyas, 2008)

Konten dan bahan ajar yang ada pada e-Learning system adalah Learning Management System. Konten dan bahan ajar ini bisa dalam bentuk Multimedia-based Content (konten berbentuk multimedia interaktif) atau Text-based Content (konten berbentuk teks seperti pada buku pelajaran biasa). Sistem perangkat lunak yang memvirtualisasi proses belajar mengajar konvensional. Pelaksanaan manajemen kelas, pembuatan materi atau konten, forum diskusi, sistem penilaian (rapor), sistem ujian online, dan segala fitur yang berhubungan dengan manajemen proses belajar mengajar.

Infrastruktur e-Learning dapat berupa personal computer (PC), jaringan komputer, internet, dan perlengkapan multimedia. Termasuk di dalamnya peralatan teleconference apabila sekolah memberikan layanan synchronous learning melalui teleconference. Sedangkan aktor yang ada dalam pelaksanakan e-Learning boleh dikatakan sama dengan proses pembelajaran konvensional, yaitu perlu adanya pengajar (guru) yang membimbing siswa yang menerima bahan ajar dan administrator yang mengelola administrasi dan proses belajar mengajar.

Menurut Duplin dan Cross (2003) terdapat tiga fungsi pembelajaran elektronik terhadap kegiatan pembelajaran, yaitu:

1. Suplemen (tambahan)

Dikategorikan sebagai suplemen (tambahan) yang sifatnya pilihan atau opsional, apabila siswa mempunyai kebebasan memilih, apakah akan memanfaatkan materi pembelajaran elektronik atau tidak. Dalam hal ini, tidak ada kewajiban/keharusan bagi siswa untuk mengakses materi pembelajaran elektronik. Sekalipun sifatnya opsional, siswa yang memanfaatkannya tentu akan memiliki tambahan pengetahuan atau wawasan.

2. Komplemen (pelengkap)

Dikategorikan sebagai komplemen (pelengkap), apabila materi pembelajaran elektronik diprogramkan untuk melengkapi materi pembelajaran yang diterima siswa (Hartley, 2001). Sebagai komplemen, materi pembelajaran elektronik diprogramkan untuk menjadi materi pengayaan atau remedial bagi siswa di dalam mengikuti kegiatan pembelajaran konvensional. Materi pembelajaran elektronik dikatakan sebagai enrichment (memperkaya), apabila siswa yang dapat dengan cepat memahami materi pelajaran yang disampaikan instruktur secara tatap muka diberikan kesempatan mengakses materi pembelajaran elektronik yang secara khusus dikembangkan untuk mereka.

Tujuannya agar semakin memantapkan tingkat penguasaan peserta didik terhadap materi pelajaran yang disajikan oleh instruktur. Dikatakan sebagai program remedial, apabila kepada siswa yang mengalami kesulitan memahami materi pelajaran yang disajikan instruktur secara tatap muka di kelas (slow learners) diberikan kesempatan untuk memanfaatkan materi pembelajaran elektronik yang memang secara khusus dirancang untuk mereka. Tujuannya agar peserta didik semakin lebih mudah memahami materi pelajaran yang disajikan instruktur.

3. Substitusi (pengganti)

Beberapa institusi di negara-negara maju memberikan beberapa alternatif model kegiatan pembelajaran kepada para peserta didiknya. Tujuannya agar para peserta didik dapat secara fleksibel mengelola kegiatan pengajarannya sesuai dengan waktu dan aktivitas lain sehari-hari peserta didik. Terdapat tiga alternatif model kegiatan pembelajaran yang dapat dipilih peserta didik, yakni:

a) Sepenuhnya secara tatap muka (konvensional),

b) Sebagian secara tatap muka dan sebagian lagi melalui internet, atau bahkan

c) Sepenuhnya melalui internet.

Alternatif model pembelajaran mana pun yang akan dipilih siswa tidak menjadi masalah dalam penilaian. Karena ketiga model penyajian materi pembelajaran mendapatkan pengakuan atau penilaian yang sama. Keadaan yang sangat fleksibel ini dinilai sangat membantu siswa untuk mempercepat penyelesaian pembelajarannya.

F. Manfaat Metode ISS-IT

Keuntungan menggunakan Metode ISS-IT adalah:

1. Fleksibel dan menghemat waktu proses pembelajaran

Metode ISS-IT memberikan fleksibilitas dalam memilih waktu dan tempat untuk mengakses pelajaran. Siswa tidak perlu mengadakan perjalanan menuju tempat pelajaran disampaikan, ISS-IT bisa dilakukan dari mana saja baik yang memiliki akses internet ataupun tidak. Bagi yang tidak memiliki akses internet, ISS-IT didistribusikan melalui movable media compact disc (CD). Siswa saat ini dapat memanfaatkan mobile technology seperti notebook dan telepon seluler untuk mengakses ISS-IT. Hal ini juga di dukung adanya berbagai tempat yang menyediakan akses internet (hot spot) gratis menggunakan wi-fi atau wimax.

2. Melatih guru dan siswa lebih mandiri dalam mendapatkan ilmu pengetahuan

ISS-IT memberikan kesempatan bagi guru dan siswa secara mandiri memegang kendali atas keberhasilan belajar. Pembelajar bebas menentukan kapan akan mulai, kapan akan menyelesaikan, dan bagian mana dalam satu modul yang ingin dipelajarinya terlebih dulu. Seandainya, setelah diulang masih ada hal yang belum ia pahami, siswa bisa menghubungi guru melalui email, chat, atau ikut dialog interaktif pada waktu-waktu tertentu. Sesuai dengan kebutuhan, guru dapat pula memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengakses bahan belajar tertentu maupun soal-soal ujian yang hanya dapat diakses oleh siswa sekali saja dan dalam rentangan waktu tertentu pula.

3. Meningkatkan kadar interaksi pembelajaran antara siswa dan guru (enhance interactivity)

Apabila dirancang secara cermat, metode ISS-iT dapat meningkatkan kadar interaksi pembelajaran, baik antara peserta didik dan guru, antara sesama siswa, maupun antara siswa dan bahan belajar (enhance interactivity). Berbeda halnya dengan pembelajaran yang bersifat konvensional, tidak semua siswa dalam kegiatan pembelajaran konvensional dapat, berani, atau mempunyai kesempatan untuk mengajukan pertanyaan atau pun menyampaikan pendapatnya di dalam diskusi.

Loftus dalam Hartley (2001) berpendapat pembelajaran yang bersifat konvensional, kesempatan yang ada atau yang disediakan guru untuk berdiskusi atau bertanya jawab sangat terbatas. Wahono (2007) berpendapat bahwa kesempatan yang terbatas ini juga cenderung didominasi oleh beberapa siswa yang cepat tanggap dan berani. Keadaan yang demikian ini tidak akan terjadi pada pembelajaran elektronik. Siswa yang malu maupun yang ragu-ragu atau kurang berani mempunyai peluang yang luas untuk mengajukan pertanyaan maupun menyampaikan pernyataan/pendapat tanpa merasa diawasi atau mendapat tekanan dari teman sekelas.

4. Memungkinkan terjadinya interaksi pembelajaran dari mana dan kapan saja (time and place flexibility)

Dowling dalam Hartley (2001) menyatakan mengingat sumber belajar yang sudah dikemas secara elektronik dan tersedia untuk diakses oleh peserta didik melalui internet, maka siswa dapat melakukan interaksi dengan sumber belajar ini kapan saja dan dari mana saja. Demikian juga dengan tugas-tugas kegiatan pembelajaran, dapat diserahkan kepada guru begitu selesai dikerjakan. Tidak perlu menunggu sampai ada janji untuk bertemu dengan guru. Siswa tidak terikat ketat dengan waktu dan tempat penyelenggaraan kegiatan pembelajaran sebagaimana halnya pada pendidikan konvensional.

5. Menjangkau siswa dalam cakupan yang luas (potential to reach a global audience)

Adanya fleksibilitas waktu dan tempat, jumlah siswa yang dapat dijangkau melalui kegiatan pembelajaran elektronik semakin lebih banyak atau meluas. Ruang dan tempat serta waktu tidak lagi menjadi hambatan. Siapa saja, di mana saja, dan kapan saja, seseorang dapat belajar. Interaksi dengan sumber belajar dilakukan melalui internet. Kesempatan belajar benar-benar terbuka lebar bagi siapa saja yang membutuhkan.

6. Mempermudah penyempurnaan dan penyimpanan materi pembelajaran (easy updating of content as well as archivable capabilities)

Fasilitas yang tersedia dalam ISS-It berupa teknologi internet dan berbagai perangkat lunak yang terus berkembang turut membantu mempermudah pengembangan bahan belajar elektronik. Demikian juga dengan penyempurnaan atau pemutakhiran bahan belajar sesuai dengan tuntutan perkembangan materi keilmuannya dapat dilakukan secara periodik dan mudah. Di samping itu, penyempurnaan metode penyajian materi pembelajaran dapat pula dilakukan, baik yang didasarkan atas umpan balik dari peserta didik maupun atas hasil penilaian instruktur selaku penanggung jawab atau pembina materi pembelajaran itu sendiri.

Pengetahuan dan keterampilan untuk pengembangan bahan belajar elektronik ini perlu dikuasai terlebih dahulu oleh instruktur yang akan mengembangkan bahan belajar elektronik. Demikian juga dengan pengelolaan kegiatan pembelajarannya sendiri. Harus ada komitmen dari instruktur yang akan memantau perkembangan kegiatan belajar peserta didiknya dan sekaligus secara teratur memotivasi peserta didiknya.

G. Tinjauan Teoritis Program Intensifikasi dan Perubahan Perilaku Proses Pembelajaran

Evaluasi kemajuan dan perubahan perilaku guru peserta ISS-IT. Pada akhir tahap dilakukan evaluasi untuk melihat hasil proses pembelajaran dengan metode ISS-IT dibandingkan dengan metode sebelumnya, yaitu proses pembelajaran yang berpusat pada guru. Evaluasi ini dikategorikan berdasarkan beberapa faktor yang mempengaruhi sikap dan perubahan perilaku antara lain : keyakinan dan nilai diri, kebutuhan diri, kebiasaan, norma sosial, dan konsekuensi dari apa yang diharapkannya.

Perubahan perilaku tersebut diilustrasikan seperti pada Gambar 5.1.

Gambar 5.1 Perubahan Perilaku (Sakti, dkk., 2008)

Sikap merupakan perasaan, keyakinan, dan kecenderungan untuk bertindak terhadap orang lain, kelompok, gagasan, dan obyek-obyek lain. Perilaku merupakan setiap tanggapan atau reaksi dari seseorang yang tidak hanya mencakup reaksi dan gerakan fisik saja, tetapi juga pernyataan verbal dan pengalaman subyektif. Kebiasaan merupakan setiap tindakan yang diulang secara teratur oleh seseorang yang telah dipelajari dan yang nampak bagi orang lain.

Norma sosial merupakan sebuah standar yang harus dipatuhi oleh anggota kelompok sosial dengan sangsi positif atau negatif. Konsekuensi yang diharapkan merupakan evaluasi yang dibuat seseorang mengenai apa yang mungkin akan terjadi akibat suatu perilaku tertentu. Perubahan perilaku guru dan siswa diharapkan ke arah yang lebih baik, sehingga kualitas kegiatan pembelajaran di sekolah dapat meningkat.

H. Penjabaran Hasil Evaluasi dari Guru

Keyakinan diri dan penilaian positif guru terhadap siswa, guru dapat mengetahui potensi, bakat, dan kreativitas siswa, karena jika dengan metode konvensional siswa kurang aktif atau pasif tidak menunjukkan jati dirinya. Sikap (penilaian) positif guru terhadap siswa (sebagai kebutuhan pribadi), guru mendapat banyak makalah dan jurnal terkini dari siswa bahkan telah tersusun rapi dan telah dibahas dalam diskusi antarkelompok. Metode sangat menyenangkan, karena siswa menjadi lebih kreatif dan termotivasi untuk belajar.

Komunikasi untuk mengubah kebiasaan, selaku fasilitator, melihat bahwa perlu sekali dilakukan diskusi dengan siswa yang bertugas sebagai ambassador untuk memastikan materi yang nanti disampaikan apakah menyimpang atau tidak. Sakti, dkk. (2008) berpendapat meski guru sudah memberikan batasan masalah, siswa masih sering keluar dari topik yang harusnya dibahas.

Konsekuensi yang diharap berkaitan dengan 1) waktu, pengajaran yang 90 menit (2 jam pelajaran) menjadi sangat tidak mencukupi untuk pembelajaran model ISS-IT, solusinya tidak semua pokok bahasan diterapkan dengan metode ini dan harus disesuaikan dengan jumlah kelompok, 2) tempat, ruangan yang dibutuhkan harus luas agar tidak saling mengganggu antara kelompok satu dengan yang lain, kalaupun dilaksanakan di luar ruang (misalnya halaman kampus) kurang memadai karena belum adanya setting ground, 3) kesiapan guru, guru harus siap dengan materi atau jurnal yang berkaitan dengan materi atau case study yang akan diselenggarakan.

Norma sosial dan introspeksi diri, cara berkomunikasi siswa dengan guru menjadi lebih baik, sopan dan berbobot, begitu pula antar sesama siswa, metode ini seharusnya akan lebih baik bila dilakukan dalam team teaching. Introspeksi diri dan peran FEE terhadap e-Learning, guru harus menyiapkan beberapa rekomendasi alamat rujukan di internet untuk memberi kemudahan siswa mengakses dokumen dari beberapa situs (sekaligus mengingatkan peran guru sebagai FEE). Introspeksi diri dan motivasi sebagai efikasi diri, tugas guru tidak begitu melelahkan namun justru harus terus meng-update pengetahuannya serta rajin belajar dalam memperkaya pengetahuannya agar dapat menjadi fasilitator yang baik bagi siswanya.

Guru merasa terpacu untuk mengungguli pengetahuan siswanya. Perilaku baru dan tujuan perubahan paradigma pendidikan, siswa dan guru dapat saling bertukar informasi, paradigma pembelajaran tampak sudah terlihat perubahannya dan tercapainya tujuan akselerasi pembelajaran. Sekolah mensosialisasikan lebih luas, karena dari evaluasi akhir pada ujian akhir semester, pokok bahasan yang diberikan dengan metode ISS-IT hasilnya memuaskan dan siswa mengatakan selalu teringat bahan pelajaran yang pernah mereka dapatkan dari rekannya ataupun siswa itu sendiri ketika menjadi ambassador. Hal ini menunjukkan adanya discovery learning.

Disimpulkan dari uraian evaluasi guru adalah tercapainya tujuan perubahan paradigma pendidikan, yaitu perubahan perilaku guru dalam mengajar yang didasari pada kebutuhan akan kreativitas dan keunggulan diri guru dibanding siswa. Ketika keyakinan itu muncul dari diri mereka sendiri tanpa paksaan, berarti ada suatu efikasi diri yang sangat kuat. Uraian tersebut dapat diilustrasikan seperti pada Gambar 5.2.

Gambar 5.2 Self Efficacy dan Commitment pada Perubahan Perilaku (Schwarzer dan Fuchs, 1995)

Bandura yang dikenal sebagai pelopor teori pembelajaran sosial atau teori sosial-kognitif, mengemukakan relevansi efikasi diri pada Social Cognitive Theory (SCT). Menurut Bandura dalam Wrightsman dan Deaux (1981:28) teradat tiga elemen yang saling terkait menurut teori ini, yaitu faktor manusia, lingkungan dan perilaku. Dalam bahasan perilaku di sini mencakup masalah harapan dan insentif. Keyakinan seseorang bahwa dia bisa menampilkan suatu perilaku tertentu, merupakan perwujudan dari rasa mampunya (mastery) dan keberhasilannya, sehingga perilaku tersebut selalu akan terpakai.

Model dari keyakinan atas kemampuan diri (mastery) ini mencakup empat hal, yaitu 1) outcome expectancy, harapan pada hasil, di mana dalam pelaksanaannya perilaku tertentu akan terlibat manakala diyakini akan membawa hasil yang diharapkan, 2) self efficacy expectancy, suatu keyakinan seseorang bahwa dia akan berhasil, 3) expectancy about environmental cues, suatu keyakinan akan bagaimana suatu hal berhubungan dengan kejadian di sekitarnya, dan 4) incentive (or reinforcement), Nilai dari hasil akhir yang diharapkan (status kesehatan, prestasi belajar, penampilan, pernyataan orang lain, pertumbuhan ekonomi).

Sedangkan dimensi dari efikasi diri (self efficacy) adalah 1) magnitude, kuatnya kemampuan individu untuk melakukan hal yang sederhana ke yang kompleks, 2) generality, harapan akan kemampuannya untuk menyamakan suatu hal pada situasi lain, dan 3) strength, kuatnya harapan seseorang untuk mempunyai rasa mampu mengatasi masalah (mastery). Berkaitan dengan efikasi diri dan komitmen, Bandura dalam Wrightsman dan Deaux (1981:28) menyatakan bahwa self efficacy merupakan bagian dari mastery. Pada perkembangannya, ketika teori social cognitive ini dikembangkan untuk strategi intervensi oleh Maddi dalam Sakti, dkk. (2008) disimpulkan bahwa ada tiga keyakinan yang membantu orang menjadi lebih baik yaitu komitmen, kontrol diri, dan kesempatan untuk mengubah perilaku.

Oleh karena itu dapat diasumsikan bahwa self efficacy dan commitment merupakan bagian yang penting dalam upaya mengubah perilaku dalam hal ini pada pengubahan paradigma pembelajaran. Dalam uraian evaluasi SMAN 3 Malang (2008) menyatakan adanya keinginan guru untuk menyiapkan diri, belajar ilmu yang terkini serta berusaha mengungguli pengetahuan siswanya agar menjadi fasilitator yang baik.

I. Penjabaran Hasil Evaluasi dari Siswa

Keyakinan dan nilai diri kelompok siswa yang didatangi ambassador harus juga belajar topik yang akan dibawakan oleh ambasador lebih dahulu, sehingga akan lebih banyak diskusi. ISS IT membangun rasa percaya diri dan menumbuhkan kreativitas siswa. Sikap siswa setuju dan senang dengan metode pembelajaran ISS-IT ini. Materi yang disajikan dengan metode ISS-IT lebih mudah diserap dan dimengerti daripada metode pembelajaran konvensional. Walaupun dilakukan siang hari setelah pukul 13.00 siswa tetap tidak mengantuk.

Siswa senang diberi kesempatan dan tanggung jawab untuk bicara di depan umum dengan materi yang mereka cari sendiri dan mereka pertahankan sesuai bukti ilmiah yang ada dan siswa belajar berbicara diplomatis dan ilmiah. Berdasarkan aspek kebiasaan, kondisi masih belum santai, sehingga materi belum tersampaikan secara maksimal. Masih ada beberapa siswa yang menjelaskan dengan cara membaca tanpa tatapan mata kepada audience. Hal ini bisa menjadi introspeksi bagi siswa lain.

Berdasarkan aspek norma sosial, siswa dapat mengenal watak teman-temannya, dapat meningkatkan rasa solidaritas dan memiliki rasa kekompakan. Bahasa tubuh teman ketika menjelaskan dapat menjadi acuan bila baik, dan tidak dicontoh bila kurang memuaskan teman-temannya. Masih ada yang menyangsikan kemampuan akademik temannya sehingga cenderung tidak setuju dengan metode ini (dua orang). Hal ini wajar sebagai suatu kondisi prekontemplasi pada perubahan perilaku.

Konsekuensi yang diharap menurut Sakti, dkk. (2008) adalah guru harus berdiskusi dan menguji ambassador sebelum presentasi dilaksanakan. Hal ini dilakukan agar materi yang nanti disampaikan akan lebih baik, tidak asal-asalan. Jika ambassador tidak menguasai materi, maka kelompok yang didatangi akan efektif. Materi kurang tersampaikan dengan baik dan diskusi tidak menarik. Guru membahas secara keseluruhan materi secara garis besarnya. Suasana ISS IT dibuat lebih menyenangkan dan santai. Dilaksanakan di outdoor agar lebih santai dan fasilitas harus memadai.

Berdasarkan perubahan perilaku siswa, metode ini lebih baik, karena penjelasan kepada beberapa orang saja sehingga lebih interaktif. siswa yang sebelumnya pasif karena kurang percaya diri, akhirnya dapat melatih berbicara di depan teman-temannya. Metode ini sudah cukup baik karena siswa jadi lebih aktif dan belajar berdiskusi serta menyampaikan pendapat dan bertanya secara resmi dalam suatu forum kelas.

Siswa menjadi mengetahui perkembangan terakhir metode maupun materi yang diberikan dari hasil browsing internet dan dapat memantau nilai yang secara transparan didapatkan dari teman-teman pada hari itu. Kendalanya adalah sulit dalam persiapan dan biaya. Hal ini sebagai suatu proses prekontemplasi menuju suatu perubahan, sehingga mendorong pihak sekolah untuk memberikan kemudahan akses internet di kelas (bagi kelas yang belum memaksimalkan jaringan akses internet).

Disimpulkan dari evaluasi siswa adalah tercapainya perubahan atmosphere academic yang dirasa positif untuk meningkatkan soft skill berbicara di depan umum, meningkatkan kemampuan berpendapat, meningkatkan rasa percaya diri dan rasa toleransi dengan kelompok. Siswa dapat pula saling belajar untuk mengerti pribadi teman, tanpa mengurangi esensi dari kualitas yang diajarkan kepada temannya, metode ISS-IT ini dapat pula sebagai ajang menilai kreativitas dan menemukan bakat siswa. Adanya suatu rasa dihargai dan dibutuhkan kelompok inilah yang menimbulkan rasa percaya diri mereka.

Keinginan siswa dan pendekatan proses belajar dalam kelas besar, pada awalnya ISS-IT ini diciptakan untuk mengatasi kondisi kelas besar, dengan mengingat berbagai variasi dari aspek guru, maupun siswa. Kejenuhan akan kondisi cara mengajar yang monoton (konvensional atau one way communication) membuat siswa mengantuk dan ada kesempatan untuk tidak memperhatikan guru saat mengajar. Aspek penting dalam mengelola kelas besar adalah dengan mengetahui keinginan dan kebutuhan siswa. Sebuah pengajaran yang baik menurut pengamatan Holmquist dalam Sakti, dkk. (2008) adalah 1) pengajaran harus terstruktur, (2) guru mengerti topik yang akan diberikan, dan 3) pelajaran tidak terlalu mudah dan tidak terlalu sukar.

Bressler dan Bressler menunjukkan hasil penelitian yang serupa bahwa keinginan siswa terhadap metode atau alat yang digunakan gurun dalam mengajar di kelas mempunyai korelasi dengan hasil atau skor yang mereka raih (Dublin dan Cross, 2003). Jika siswa senang terhadap metode tertentu, maka dia akan mendapatkan hasil yang baik dari metode itu. Temuan pada metode ISS-IT ini serupa dengan penelitian yang pernah dilakukan oleh Hikmat dan Amsykuroh dalam Sakti, dkk. (2008) yang menyatakan bahwa dengan menerapkan pendekatan belajar secara bersama, siswa dilatih untuk berani berdiskusi tentang bahan ajar dengan temannya pada kelompok kecil daripada langsung dengan guru di depan kelas. Pendekatan ini juga meningkatkan usaha mandiri dan kemampuan dalam belajar, serta mampu berkompetisi.

Haddad dalam Sakti, dkk. (2008) menganjurkan agar tugas menjadi menyenangkan dan mempunyai arti bagi guru dan siswa, maka seharusnya 1) memilih tugas yang relevan dengan topik dan tujuan yang akan dicapai 2) mendesain tugas yang dapat menunjukkan hasil apakah siswa bisa menyingkap atau mengutarakan pendapat sehingga mereka dapat mengaplikasikan yang dipelajari, tidak hanya sekedar mengerti, 3) memberi pengarahan dengan jelas, dan 4) memberikan variasi tugas untuk melihat apa yang mereka telah dipelajari.

Semua siswa memiliki cara mengatasi masalah, namun guru selalu menginginkan siswa mengerti mengapa mereka mendapat hasil/jawaban tertentu, bukan hanya bagaimana mereka mendapatkan hasil. Mengelola kelas besar adalah suatu masalah manajemen dan organisasi, bukan sekedar masalah mengajar. Oleh karena itu metode mengajar dan mengorganisasikan bentuk kelas, mempunyai dampak besar terhadap kualitas pembelajaran. Metode pembelajaran ISS-IT yang berorientasi SCL tidak hanya untuk meningkatkan prestasi belajar, namun juga berfungsi sebagai penyeimbang kinerja otak kanan dan otak kiri, serta dapat memupuk kearifan siswa (sebagai salah satu tipe kepribadian kesarjanaan).

J. Penutup

Tujuan dari kegiatan inovasi model pembelajaran ISS-IT adalah untuk meningkatkan academic atmosphere melalui peningkatan kualitas proses pembelajaran dengan optimalisasi kerja SDM dalam hal ini guru, maka didapatkan hasil akhir yaitu adanya peningkatan pemahaman siswa terhadap pengajaran. Peningkatan kemampuan siswa ini berdampak pada nilai akhir ujian dan diharapkan secara langsung akan meningkatkan nilai Ujian Nasional (UN), reputasi akademik, dan praktik siswa. Perubahan perilaku guru dalam mengajar yang didasari pada kebutuhan akan kreativitas dan keunggulan diri guru dibanding siswa. Ketika keyakinan itu muncul dari diri mereka sendiri tanpa paksaan, berarti ada suatu efikasi diri yang sangat kuat. Adanya program ekstensifikasi yang inovatif dan terlaksana dengan baik, menunjukkan adanya komitmen terhadap proses pembelajaran berbasis SCL. Dampak positif dari penerapan metode ini adalah terjadinya peningkatan soft skill siswa seperti berani bicara di depan umum, percaya diri, dan dapat lebih menyerap serta mengingat materi pelajaran. Oleh karena itu pembelajaran dengan metode ISS-IT yang berpusat pada siswa (SCL) dapat lebih memfokuskan pada tercapainya kompetensi kekaryaan yang diharapkan.