03 April 2011

Bunga Rampai Kepemimpinan dan Perilaku Organisasi_Part 1

1. Perkembangan manajemen sebagai ilmu mencakup era scientific management, human relation, behavioristic, dan human resources management. Aliran pemikiran (main stream) dari keempat era tersebut ialah:

a. Scientific Management

Perkembangan aliran scientific management diawali dengan terjadinya revolusi industri. Scientific management menekankan organisasi memiliki satu struktur hierarki dan bekerja di dalam dengan cara-cara yang logis, sistematis, dan rasional. Anggota organisasi dipersepsikan sebagai instrumen utama yang pasif, dapat mengerjakan pekerjaan, dan menerima pengarahan, tetapi tidak menciptakan pekerjaan atau menggunakan pengaruh secara memadai. Scientific management dimulai dengan gagasan Taylor yang menganalisis secara sistematis perilaku manusia dalam bekerja.

Taylor mengemukakan bahwa dalam suatu organisasi, perlu diadakan pembatasan secara tegas antara kegiatan pelaksanaan atau operasional dan tugas-tugas manajerial (Utomo, 2008:12-13). Dengan kata lain, para pekerja seperti tukang atau operator mesin, hanya bertugas sebagai pelaksana saja, sementara tugas untuk merencanakan metode kerja, pengorganisasian atau koordinasi dilakukan oleh pihak manajemen. Hal ini dimaksudkan agar kedua kelompok karyawan tadi akan menjadi lebih ahli dalam melaksanakan tugasnya. Disamping itu, keuntungan yang bisa diraih dengan sistem kerja ini adalah terbukanya kesempatan untuk menetapkan waktu baku bagi setiap pekerja untuk menyelesaikan tugas. Namun keberatannya, pekerja diperlakukan sebagai mesin, dalam arti bekerja secara mekanistis menurut suatu metode kerja tertentu, tanpa kebebasan untuk memilih cara kerja sendiri yang dianggap lebih sesuai dengan karakteristik yang dimilikinya.

Taylor merupakan pelopor gerakan manajemen ilmiah. Prinsip manajemen ilmiah menurut Taylor dalam Wisnu dan Nurhasanah (2005:101) yaitu 1) mengembangkan suatu ilmu bagi setiap elemen dari suatu pekerjaan, yang mengganti petunjuk praktisnya yang usang, 2) memilih secara ilmiah dan melatih, mendidik dan mengembangkan pekerja, mengingat pada waktu ia memilih pekerjaannya sendiri, dan melatihnya sendiri sebaik mungkin, 3) manajemen kerja sama yang sungguh-sungguh dengan orang-orang seperti itu misalnya jaminan bagi seluruh pelaksanaan kerja dalam hubungannya dengan prinsip ilmiah yang telah dikembangkan, dan 4) terdapat suatu bagian (divisi) pekerjaan yang hampir sama dan demikian pula tanggung jawab antara pengusaha dan para pekerja. Pimpinan akan mengambil alih semua tugas yang kemampuannya lebih baik daripada para pekerja, sedangkan pada masa lalu seluruh tugas dan sebagian tanggung jawab besar dibebankan kepada setiap pekerja.

Tokoh scientific management yang lain adalah Weber yang mencetuskan teori birokrasi. Unsur birokrasi merupakan bagian yang vital dari organisasi. Unsur-unsur ini membentuk birokrasi yang ideal. Unsur birokrasi menurut Weber dalam Wisnu dan Nurhasanah (2005:84-85) adalah hierarki (urutan kewenangan dalam organisasi), kualitas keahlian, aspek karier/profesionalisme, dan kewenangan yang legal. Birokrasi memeliki beberapa fungsi yang dapat menguntungkan organisasi yaitu spesialisasi, struktur, kemungkinan untuk meramalkan dan stabilisasi, rasionalisasi, dan menunjang demokrasi dengan penekannya pada kompetensi teknis sebagai basis utama untuk memperoleh dan mempertahankan suatu pekerjaan atau jabatan.

Organisasi mekanik (mechanism paradigm) merupakan paradigma era scientific management. Paradigma mekanik menganggap organisasi sebagai suatu mesin yang bekerja dengan suatu keteraturan dan keajegan tertentu yang menekankan adanya suatu tingkat produktivitas tertentu, yang ingin mencapai taraf efisiensi tertentu, dan yang dikendalikan oleh suatu legitimasi otoritas pimpinan (Thoha, 2003). Model organisasi mekanik memandang tujuan organisasi dapat dicapai secara efektif dan efisien melalui mekanisme pembagian kerja, spesialisasi, dan hubungan kerja yang hierarkis.

Paradigma mekanik berasumsi efisiensi dalam organisasi dapat ditingkatkan hanya apabila terdapat pengerangkaan (structuring) dan pengendalian (controlling) terhadap partisipasi anggota organisasi. Organisasi mekanik banyak diterapkan upaya pemotivasian pegawai melalui pemberian insentif, sementara disisi lain cara kerja pegawai didasarkan pada spesialisasi yang diawasi secara ketat. Hasilnya adalah suatu organisasi yang berstruktur piramida, menerapkan kesatuan komando, jenjang pengawasan yang berlapis, spesialisasi berdasarkan fungsi, serta penerapan pembagian kerja lini dan staf. Dikaitkan dengan sifat organisasi, maka pada paradigma mekanik, organisasi lebih menganut sistem tertutup, dimana organisasi dilihat sebagai suatu kesatuan yang merdeka serta tidak ada ikatan dengan variabel lainnya.

b. Human Relation

Era human relation menekankan pada faktor manusia dan hubungan antarpribadi dalam mengatur kegiatan organisasi. Konsep menurut human relation yang sesuai untuk digunakan oleh administrator dalam praktik adalah 1) semangat kerja, 2) dinamika kelompok, 3) supervisi, 4) hubungan pribadi, dan 5) konsep perilaku tentang motivasi. Human relation menekankan pada sosio psikologis sebagai faktor yang tidak dapat dijelaskan scientific management, pekerja lebih tertarik pada reward (hadiah) dan punishment (hukuman), dan lebih mematuhi pimpinan informal daripada formal. Teknik hadiah menurut Mustiningsih (2003:7-8) berusaha menjembatani kepentingan lembaga dan anggota organisasi, sedangkan teknik hukuman didasari asumsi bahwa seseorang akan bekerja dengan baik jika ada paksaan dari luar, misalnya atasan.

Asumsi yang dikembangkan era human relation adalah 1) organisasi adalah sistem sosial, tidak sekedar sistem ekonomi tetapi terdapat ikatan batin, 2) manusia dimotivasi oleh beberapa kebutuhan, 3) manusia saling bergantung, diluar perilaku dalam konteks sosial, 4) kelompok kerja informal lebih menjadi faktor utama dalam sikap dan performasi, 5) manajemen sebagai salah satu faktor dalam mempengaruhi perilaku, 6) peran kerja lebih kompleks dari deskripsi kerja, perilaku orang tidak ditampung dalam deskripsi kerja, lebih mementingkan peran, 7) terdapat korelasi tidak otomatis antara individu dan kebutuhan organisasi, 8) alat komunikasi mencakup aspek logika ekonomi dalam organisasi dan feeling (perasaan) orang, 9) kerja tim adalah esensi kerja sama dan menyuarakan keputusan teknis, 10) kepemimpinan dimodifikasi dalam konsep human relations, 11) kepuasan kerja mengarahkan produktivitas kerja, dan 12) manajer terampil dalam sosial secara efektif dan memperhatikan kemampuan teknis lebih sedikit.

Organisasi organik (organism paradigm) merupakan paradigma era human relation. Paradigma organik memandang organisasi sebagai suatu sistem yang menekankan pada unsur manusia sebagai pelaku utama (Thoha, 2003). Dalam model organisasi ini, efisiensi dan efektivitas bukan merupakan aspek utama dalam pencapaian tujuan organisasi, sebab produk (output) tidak dipandang sebagai hal yang utama. Aspek yang dianggap lebih penting dalam organisasi model organik ini adalah adanya keseimbangan antara faktor manusia dan faktor lingkungannya.

Organisasi organik menerapkan pendekatan sistem terbuka (open system) yang menitikberatkan faktor manusia dan cara manusia tersebut berperilaku dalam kegiatan-kegiatan organisasi senyatanya. Oleh karenanya, dalam pendekatan ini faktor lingkungan yang memiliki kemungkinan pengaruh terhadap organisasi, sangat diperhatikan.

Tokoh era human relation adalah Follett yang mengemukakan bahwa organisasi dapat dipandang dari perspektif perilaku individual dan kelompok. Follett dalam Robbins (2003:821-822) mengemukakan gagasan yang lebih berorientasi pada orang. Gagasannya mempunyai implikasi yang jelas untuk perilaku organisasi. Organisasi seharusnya didasarkan pada suatu etika kelompok bukan individualisme. Potensi individual hanya akan tetap potensial sampai dibebaskan melalui asosiasi kelompok. Tugas manajer adalah menyerasikan dan mengkoordinasikan upaya kelompok. Manajer mengandalkan pada keahlian dan pengetahuan mereka daripada otoritas formal dari jabatan mereka untuk memimpin bawahan.

Gagasan human relation Follett dalam Robbins (2003:822) telah mempengaruhi cara manajemen memandang motivasi, kepemimpinan, kekuasaan, dan otoritas sekarang ini. Follett dalam Wisnu dan Nurhasanah (2005:113) berupaya membuat keseimbangan antara perhatian individu dan organisasi. Organisasi mengerjakan sesuatu sebagai jalan keluar dalam suatu semangat kerja sama. Sehingga kesadaran akan cita-cita maka setiap anggota sebagai bagian dari organisasi mendorong dapat diterima dengan terbuka tanpa mengorbankan kepentingan organisasi. Human relation memandang karyawan sebagai makhluk sosial yang aktif dan langkah untuk menciptakan lingkungan kerja yang lebih manusiawi.

c. Behavioristic

Era behavioristic menekankan kajian perilaku manusia di dalam lingkungan formal organisasi. Menurut Subejo (2009) perilaku organisasi merupakan penelaahan perilaku, sikap, dan prestasi manusia/individu dalam kerangka organisasi. Era behavioristic berupaya mendeskripsikan, memahami, dan memprediksi perilaku manusia dalam lingkungan organisasi. Karakteristik perilaku organisasi sebagai disiplin ilmu adalah pengakuan bahwa organisasi menciptakan setting kontekstual internal atau lingkungan yang memiliki pengaruh besar terhadap perilaku orang-orang di dalamnya dan lingkungan organisasi dipengaruhi oleh lingkungan yang lebih luas dimana organisasi itu berada.

Tokoh era behavioristic adalah Barnard yang menjelaskan manajemen dan organisasi dalam pandangan modernisasi. Barnard dalam Wisnu dan Nurhasanah (2005:113) mengemukakan bahwa organisasi sebagai suatu sistem sosial yang dinamis antarkegiatan secara bersama-sama dengan tujuan agar dapat memuaskan kebutuhan individu. Pimpinan yang efektif harus mengikuti interaksi antara kebutuhan dan aspirasi pekerja, di satu sisi, dan kebutuhan dan tujuan organisasi di lain sisi. konsep behavioristic tentang organisasi mengakui adanya dinamika hubungan antara karakteristik struktural organisasi dan karakteristik pribadi individu. Perilaku orang bekerja terdapat hubungan dinamis antara struktur organisasi dan orang-orang yang ada di dalamnya.

Konsep organisasi sebagai suatu sistem dalam pandangan behavioristic seperti pada Gambar 1.

Gambar 1 Konsep Organisasi sebagai Suatu Sistem

Organisasi tersusun dari orang-orang yang mempunyai hubungan sosial interaktif. Tiap anggota organisasi memiliki dua dimensi yaitu nomothetic dan idiographic. Kedua dimensi tersebut memiliki indikator yang harus dipenuhi secara seimbang. Peran utama manajer adalah berkomunikasi dan mendorong karyawan untuk mencapai tingkat upaya yang tinggi. Bagian utama dari keberhasilan organisasi bergantung pada sistem kerja sama antarpersonelnya dan terpeliharanya hubungan baik dengan orang-orang dan lembaga-lembaga di luar organisasi dengan siapa organisasi itu secara teratur berinteraksi. Manajer mengenali ketergantungan organisasi terhadap unsur internal dan eksternal kemudian menyesuaikan organisasi untuk memelihara bentuk keseimbangan.

a. Human Resources Management

Era human resources management menekankan penggunaan concious thinking (kesadaran berpikir) dari individu tentang apa yang mereka kerjakan sebagai alat untuk melibatkan komitmen, kemampuan, dan energi mereka dalam mencapai tujuan organisasi. Mekanisme sentral organisasi dalam melaksanakan kontrol dan koordinasi adalah menyosialisasikan nilai dan tujuan organisasi kepada anggota. Hal ini adalah budaya organisasi. Organisasi tidak bercirikan oleh keteraturan, rasionalitas, dan sistem inheren (menurut scientific management) melainkan bersifat ambiguity (terdapat dua sisi/kemenduaan), lingkungan masa depan yang tidak menentu, dan tidak terhubungnya aktivitas penting dan unit organisasi. Inti kegiatan organisasi tidak berjalan dibawah pengawasan dari hierarki administratif, tetapi dikoordinasikan dan diawasi lebih banyak oleh budaya organisasi, yakni nilai, tradisi organisasi, dan norma perilaku, meskipun aktivitas organisasi seperti pengelolaan keuangan dan sarana prasarana umumnya dikelola menggunakan teknik dan perspektif birokratik. Sehingga organisasi dipandang sebagi dual sistem (ambiguity).

Budaya memperkuat desain strategi dan desain budaya yang diperlukan organisasi agar lebih efektif dalam lingkungannya. Nilai budaya, strategi dan struktur organisasi, dan lingkungan dapat memajukan organisasi. Dimensi budaya menurut Wisnu dan Nurhasanah (2005:250) mencakup dimensi 1) perluasan di mana lingkungan kompetitif menghendaki fleksibilitas dan stabilitas, dan 2) perluasan di mana fokus dan kekuatan strategi organisasi merupakan faktor internal dan eksternal. Empat kategori budaya yang berkaitan dengan beberapa perbedaan ini diilustrasikan seperti dalam Gambar 2.

Gambar 2 Kemampuan Adaptasi, Misi, Klan, dan Birokrasi

Empat kategori yakni kemampuan adaptasi, misi, klan, dan birokrasi berhubungan dengan kesesuaian antara nilai budaya, strategi, struktur, dan lingkungan. Masing-masing dapat berhasil, bergantung pada kebutuhan lingkungan eksternal dan fokus strategis organisasi. Kemampuan adaptasi budaya bercirikan oleh fokus strategis pada lingkungan eksternal melalui fleksibilitas dan perubahan dalam memenuhi kebutuhan pelanggan. Budaya misi dicirikan oleh penekanan pada visi yang jelas tentang tujuan organisasi dan pada pencapaian beberapa tujuan. Budaya klan mempunyai fokus utama pada keterlibatan dan partisipasi para anggota organisasi dan pada ekspektasi yang berubah cepat dalam lingkungan eksternal. Budaya birokratis mempunyai fokus internal dan konsistensi orientasi bagi lingkungan yang stabil.

2. Pergerakan teori manajemen bergerak dari kutub teori organisasi klasik sampai ke kutub teori organisasi modern. Kajian teori manajemen menurut Owen, McGregor, dan Likert seperti pada uraian berikut.

a. Teori Manajemen menurut Owen

Menurut Owen teori organisasi berorientasi bureaucratic sampai ke teori organisasi human resources management. Konsep utama yang mendasari birokrasi adalah pembakuan. Birokrasi menurut Robbins (2003:596) dicirikan oleh tugas operasi yang sangat rutin dan dicapai dengan melalui spesialisasi, aturan dan pengaturan yang sangat formal, tugas-tugas yang dikelompokkan ke dalam departemen-departemen fungsional, wewenang terpusat, rentang kendali yang sempit, dan pengambilan keputusan yang mengikuti rantai komando.

Pendekatan birokrasi cenderung menekankan lima mekanisme dalam mengawasi dan mengkoordinasi perilaku orang di dalam organisasi yaitu:

1) Mempertahankan pengawasan kewenangan secara hierarki dan supervisi yang ketat terhadap orang di tingkat yang lebih rendah. Peran administrator sebagai inspektur dan evaluator ditekankan dalam konsep birokratis,

2) Menciptakan dan memelihara komunikasi vertikal yang memadai. Hal ni membantu untuk menjamin bahwa informasi yang berguna akan tersampaikan ke pengambil keputusan dan perintah-perintah akan menjadi jelas dan cepat tersampaikan ke bawah untuk implementasi,

3) Mengembangkan aturan dan prosedur tertulis yang jelas untuk mengatur standar dan petunjuk kegiatan organisasi,

4) Menyusun rencana dan jadwal yang jelas untuk diikuti oleh para pekerja,

5) Menambahkan posisi administrasi dan supervisi ke dalam hierarki organisasi seperlunya untuk memecahkan masalah yang muncul dari perubahan kondisi yang dihadapi organisasi.

Teori human resources management menekankan penggunaan concious thinking (kesadaran berpikir) dari individu tentang apa yang mereka kerjakan sebagai alat untuk melibatkan komitmen, kemampuan, dan energi mereka dalam mencapai tujuan organisasi. Mekanisme sentral organisasi dalam melaksanakan kontrol dan koordinasi adalah menyosialisasikan nilai dan tujuan organisasi kepada anggota organisasi. Hal ini adalah budaya organisasi. Robbins (2003:721) mengemukakan budaya organisasi adalah sistem makna bersama yang dianut oleh anggota-anggota organisasi yang membedakan organisasi itu dari organisasi lainnya. Fungsi budaya organisasi adalah 1) budaya mempunyai peran menetapkan tapal batas, artinya budaya menciptakan pembedaan yang jelas antara organisasi satu dan yang lain, 2) budaya memberikan rasa identitas kepada anggota organisasi, 3) budaya mempermudah timbulnya komitmen pada sesuatu yang lebih luas daripada kepentingan diri sendiri seseorang, dan 4) budaya meningkatkan kemantapan sistem sosial.

Karakteristik budaya organisasi mencakup 1) inovasi dan pengambilan risiko, sejauh mana para karyawan didorong agar inovatif dan mengambil risiko, 2) perhatian terhadap detail, sejauh mana para karyawan diharapkan memperlihatkan presisi (kecermatan), analisis, dan perhatian terhadap organisasi secara detail, 3) orientasi hasil, sejauh mana manajemen memusatkan perhatian pada hasil bukannya pada teknik dan proses yang digunakan untuk mencapai hasil itu, 4) orientasi orang, sejauh mana keputusan manajemen memperhitungkan dampak hasil-hasil pada orang-orang di dalam organisasi, 5) orientasi tim, sejauh mana kegiatan kerja diorganisasikan berdasarkan tim, bukannya berdasarkan individu, 6) keagresifan, sejauh mana orang-orang agresif dan kompetitif, bukannya santai-santai, dan7) kemantapan, sejauh mana kegiatan organisasi menekankan dipertahankannya status quo bukannya pertumbuhan.

b. Teori Manajemen menurut McGregor

McGregor mengemukakan teori dua pandangan yang jelas berbeda mengenai manusia, pada dasarnya yang satu negatif, ditandai sebagai teori X, dan yang satu positif, ditandai dengan teori Y. Setelah mengkaji cara para manajer menangani karyawan, McGregor dalam Robbins (2003:216) menyimpulkan bahwa pandangan manajer mengenai kodrat manusia didasarkan pada kelompok asumsi tertentu dan menurut asumsi-asumsi ini, manajer cenderung menularkan cara berperilakunya kepada para bawahan.

Menurut Teori X, empat asumsi yang dipedomani para manajer adalah:

1) Karyawan secara inheren tidak menyukai kerja dan bila dimungkinkan akan mencoba menghindarinya,

2) Karena karyawan tidak menyukai kerja, mereka harus dipaksa, diawasi, atau diancam dengan hukuman untuk mencapai sasaran dan tujuan organisasi,

3) Karyawan akan menghindari tanggung jawab dan mencari pengarahan formal dari orang di atasnya bila mungkin,

4) Kebanyakan karyawan menempatkan keamanan di atas semua faktor lain yang terkait dengan kerja dan akan menunjukkan ambisi yang rendah.

Kontras dengan pandangan negatif mengenai kodrat manusia, empat asumsi positif Teori Y adalah:

1) Karyawan dapat memandang kerja sebagai kegiatan alami yang sama dengan istirahat atau bermain,

2) Karyawan akan melakukan pengarahan diri dan pengawasan diri jika mereka memiliki komitmen pada pencapaian sasaran dan tujuan organisasi,

3) Karyawan dapat belajar untuk menerima, bahkan mengusahakan tanggung jawab,

4) Kemampuan untuk mengambil keputusan inovatif menyebar luas ke semua orang dan tidak hanya milik mereka yang berada dalam posisi manajemen.

Asumsi Teori X dan Teori Y terjadi dalam situasi tertentu. Implikasi dari teori tersebut adalah Teori X mengasumsikan bahwa kebutuhan tingkat rendah mendominasi individu dan Teori Y mengasumsikan bahwa kebutuhan tingkat tinggi mendominasi individu. Oleh karena itu McGregor dalam Robbins (2003:216) mengemukakan ide pengambilan keputusan partisipatif, pekerjaan yang bertanggung jawab, dan hubungan kelompok yang baik sebagai pendekatan yang akan memaksimalkan kerja karyawan.

c. Teori Manajemen menurut Likert

Likert mengemukakan bentangan sistem manajemen yang terbagi ke dalam empat kategori yaitu exploitive authoritative (penguasa pemeras), benevolent authoritative (penguasa pemurah), consultative (penasihat), dan participative gruop (kelompok partisipatif). Keempat kategori tersebut diilustrasikan seperti Gambar 3.

Gambar 3 Bentangan Sistem Manajemen Likert

Konsep yang dikembangkan dalam manajemen sistem 1 exploitive authoritative adalah 1) pembuatan keputusan dilakukan di tingkat atas, 2) bawahan dimotivasi dengan ancaman, dan hukuman, 3) pengawasan terpusat pada manajemen puncak, 4) interaksi atasan-bawahan sedikit, dan 5) orang-orang secara informal dipertentangkan dengan tujuan oleh para manajemen. Konsep yang dikembangkan dalam manajemen sistem 2 benevolent authoritative adalah 1) bawahan jarang dilibatkan dalam pembuatan keputusan, 2) reward dan punishment digunakan dalam memberi motivasi, 3) interaksi atasan-bawahan dilakukan dengan suasana baik, 4) ketakutan dan kehati-hatian nampak pada bawahan, dan 5) pengawasan masih terpusat pada manajemen puncak dengan sedikit pendelegasian.

Konsep yang dikembangkan dalam manajemen sistem 3 consultative ialah 1) bawahan membuat keputusan tertentu pada tingkat yang lebih rendah, 2) komunikasi mengalir ke atas dan ke bawah secara hierarki, 3) reward dan punishment yang mendidik dan sedikit pelibatan digunakan untuk memotivasi, 4) interaksi yang moderat dan saling percaya terjadi, dan 5) pengawasan didelegasikan ke bawah. Konsep yang dikembangkan dalam manajemen sistem 4 participative gruop ialah 1) pembuatan keputusan didelegasikan secara luas, 2) komunikasi mengalir ke atas, ke bawah, dan lateral, 3) pemberian motivasi dengan keikutsertaan reward dan punishment , 4) interaksi atasan-bawahan yang ekstensif dan akrab terjadi, 5) saling percaya yang tinggi terjadi, dan 6) penyebaran secara luas tanggung jawab untuk mengawasi proses terjadi.

3. Organisasi merupakan sebuah sistem sosial dimana perilaku organisasi adalah hasil interaksi antara personality (individu secara pribadi) dan role (peran dalam organisasi). Sehingga akan membentuk suatu fungsi perilaku organisasi yaitu B = f(PXR). Perilaku individu menurut Mustiningsih (2005:22) dipengaruhi oleh kemampuan dan keahlian (mental dan fisik), latar belakang (keluarga, kelas sosial, dan pengalaman), dan demografi (umur, ras, dan jenis kelamin). Faktor-faktor kepribadian menurut Robbins (2003:131) adalah:

a. Ekstroversi, dimensi kepribadian yang menggambarkan seseorang yang supel, riang, dan percaya diri,

b. Kemampuan untuk bersepakat, dimensi kepribadian yang menggambarkan seseorang yang bersifat baik, kooperatif, dan mempercaya,

c. Kemampuan untuk mendengarkan suara hati, dimensi kepribadian yang menggambarkan seseorang yang bersifat bertanggung jawab, dapat diandalkan, stabil, dan tertata,

d. Stabilitas emosi, dimensi kepribadian yang mencirikan seseorang pada segi positif sebagai orang yang tenang, percaya diri, dan tenteram, dan pada segi negatif orang yang gugup, tertekan, dan tidak tenteram,

e. Keterbukaan terhadap pengalaman, dimensi kepribadian yang mencirikan seseorang berdasarkan imajinasi, sensitivitas, dan keingintahuan.

Peran (role) adalah seperangkat pola perilaku yang diharapkan dari seseorang yang menduduki posisi tertentu dalam unit sosial tertentu (Robbins, 2003:313). Individu memiliki lebih dari satu peran dalam masyarakat, misalnya dalam organisasi sekolah seseorang berperan sebagai kepala sekolah, di keluarga sebagai kepala rumah tangga, dan di lingkungan bertetangga sebagai ketua RT (Rukun Tetangga). Terdapat sikap dan perilaku aktual tertentu yang konsisten dengan peran dan menciptakan identitas peran. Orang mempunyai kemampuan untuk dengan cepat beralih peran bila mereka menyadari bahwa situasi dan tuntutannya jelas-jelas membutuhkan perubahan besar.

Pandangan seseorang mengenai bagaimana seseorang seharusnya bertindak dalam situasi tertentu disebut persepsi peran. Berdasarkan penafsiran keyakinan bagaimana seharusnya perilaku orang terlibat dalam tipe-tipe perilaku tertentu. Pengharapan perilaku merupakan cara orang meyakini apa seharusnya tindakan orang dalam situasi tertentu. Bagaimana orang berperilaku ditentukan oleh peran yang didefinisikan dalam konteks tindakan seseorang. Bila individu dihadapkan pada pengharapan peran yang berlainan akan berakibat pada konflik peran. Konflik ini muncul apabila individu menemukan bahwa patuh pada tuntutan satu peran menyebabkan dirinya kesulitan mematuhi tuntutan peran lain. Dalam keadaan ekstrem, itu akan mencakup situasi dimana dua atau lebih pengharapan peran saling berlawanan.

Interaksi antara personality dan role akan mempengaruhi cara orang berperilaku dalam organisasi. Tiap individu dituntut untuk dapat menjalankan berbagai peranannya dengan tidak mengabaikan kepentingannya sendiri. Sehingga akan terjadi keseimbangan pencapaian tujuan pribadi dan organisasi. Keseimbangan ini akan memacu etos kerja dan produktivitas kerja individu dalam organisasi. Perilaku yang dilaksanakan oleh individu dapat berbeda, hal ini berkaitan dengan prinsip-prinsip dasar perilaku organisasi yang menurut Nadler dkk (1979:28) adalah 1) manusia berbeda perilakunya karena kemampuannya berbeda, 2) manusia memiliki kebutuhan yang berbeda, 3) manusia berpikir tentang masa depan dan membuat pilihan tentang bagaimana bertindak, 4) manusia memahami lingkungannya berdasarkan pengalaman masa lalu dan kebutuhannya, 5) manusia mempunyai reaksi senang dan tidak senang, dan 6) sikap dan perilaku seseorang dipengaruhi oleh banyak faktor.

4. Esensi teori motivasi Maslow dan Herzberg dalam konteks perilaku individu di organisasi, adalah:

a. Teori Hierarki Kebutuhan Maslow

Maslow dalam Robbins (2003:214) mengemukakan bahwa di dalam diri semua manusia bersemayam lima jenjang kebutuhan yaitu psikologis, keamanan, sosial, penghargaan, dan aktualisasi diri. Jenjang kelima kebutuhan tersebut seperti pada Gambar 4.

Gambar 4 Hierarki Kebutuhan Maslow (Schermerhorn dkk, 2002:156)

Lima kebutuhan membentuk tingkatan-tingkatan, dari yang paling penting hingga yang tidak penting dan dari yang mudah hingga yang sulit untuk dicapai atau didapat. Motivasi manusia dipengaruhi oleh kebutuhan mendasar yang perlu dipenuhi. Kebutuhan harus dipenuhi yang paling penting dahulu kemudian meningkat ke yang tidak terlalu penting. Untuk dapat merasakan nikmat suatu tingkat kebutuhan perlu dipuaskan dahulu kebutuhan yang berada pada tingkat di bawahnya. Begitu masing-masing kebutuhan ini terpenuhi secara substansial, maka kebutuhan berikutnya akan menjadi dominan.

Berdasarkan pada Gambar 4, individu bergerak naik mengikuti hierarkis. Dari titik pandang motivasi, teori ini menyatakan bahwa meskipun tidak ada kebutuhan yang dapat dipenuhi sepenuhnya, namun kebutuhan tertentu yang telah terpuaskan secara substansial tidak lagi menjadi pendorong motivasi. Sehingga manajer perlu memahami sedang berada di tingkat manakah karyawan dan manajer harus terfokus pada pemenuhan kebutuhan di tingkat atasnya. Kelima kebutuhan tersebut diklasifikasikan Maslow dalam Schermerhorn dkk (2002:155) menjadi dua kategori yaitu 1) higher order needs (kebutuhan tingkat tinggi) mencakup penghargaan dan aktualisasi, dan 2) lower order needs (kebutuhan tingkat rendah) mencakup psikologis, keamanan, dan sosial. Pembedaan antara kedua tingkat ini didasarkan alasan bahwa kebutuhan tingkat tinggi dipenuhi secara internal (dalam diri orang itu), sedangkan kebutuhan tingkat rendah terutama dipenuhi secara eksternal (dengan gaji, kontrak serikat kerja, dan masa kerja).

a. Teori Dua Faktor Herzberg

Herzberg mengemukakan teori dua faktor yang meyakini bahwa hubungan individu dengan pekerjaannya merupakan hubungan dasar dan bahwa sikap seseorang terhadap kerja menentukan kesuksesan atau kegagalan individu (Robbins, 2003:218). Lebih lanjut Herzberg menelaah pertanyaan, apa yang diinginkan orang-orang dari pekerjaan mereka? Herzberg meminta orang-orang untuk menguraikan secara rinci, situasi-situasi di mana mereka luar biasa baik atau buruk menyangkut pekerjaan mereka. Dari respons yang telah dikategorikan Herzberg menyimpulkan bahwa jawaban yang diberikan orang-orang ketika mereka merasa senang mengenai pekerjaan mereka sangat berbeda dari jawaban yang diberikan ketika mereka merasa tidak senang.

Karakteristik tertentu cenderung secara konsisten terkait dengan kepuasan kerja dan yang lain terkait dengan ketidakpuasan kerja. Faktor intrinsik seperti prestasi, pengakuan, bekerja sendiri, tanggung jawab, kemajuan, dan pertumbuhan terkait dengan kepuasan kerja. Responden yang merasa senang dengan pekerjaan mereka cenderung mengaitkan faktor intrinsik ke diri mereka sendiri. Dipihak lain, bila mereka tidak puas, mereka cenderung mengaitkan dengan faktor ekstrinsik, seperti kebijakan organisasi, kualitas supervisi, kondisi kerja, gaji, hubungan teman sejawat/kolegial, hubungan dengan unit di bawahnya, status, dan keamanan. Uraian tersebut diilustrasikan seperti pada Gambar 5.

Gambar 5 Sumber Kepuasan dan Ketidakpuasan dalam Teori Dua Faktor Herzberg (Schermerhorn dkk, 2002:158)

Menurut Herzberg, bahwa lawan dari kepuasan bukanlah ketidakpuasan, seperti yang diyakini orang pada umumnya. Menyingkirkan karakteristik yang tidak memuaskan pada pekerjaan tertentu tidak serta merta menyebabkan pekerjaan itu menjadi memuaskan. Seperti pada Gambar 5, Herzberg dalam Robbins (2003:218) mengemukakan bahwa temuannya mengindikasikan adanya kontinum ganda yaitu lawan kepuasan adalah tidak ada kepuasan dan lawan ketidakpuasan adalah tidak ada ketidakpuasan. Faktor yang menyebabkan kepuasan kerja terpisah dan berbeda dari faktor yang menimbulkan ketidakpuasan kerja. Oleh karena itu manajer yang berusaha menghilangkan faktor yang menciptakan ketidakpuasan kerja dapat membawa ketenteraman, tetapi belum tentu motivasi. Mereka akan menenteramkan tenaga kerja, bukannya memotivasi tenaga kerja.

Akibatnya kondisi yang melingkupi pekerjaan seperti kebijakan organisasi, kualitas supervisi, kondisi kerja, gaji, hubungan teman sejawat/kolegial, hubungan dengan unit di bawahnya, status, dan keamanan telah dicirikan oleh Herzberg sebagai faktor higiene. Jika memadai, orang-orang tidak akan tak terpuaskan, tetapi mereka juga tidak akan puas. Jika manajer ingin memotivasi orang pada pekerjaannya, maka harus menekankan pada hal-hal yang berhubungan dengan kerja itu sendiri atau hasil langsung yang diakibatkannya, seperti peluang promosi, peluang pertumbuhan personal, pengakuan, tanggung jawab, dan prestasi. Inilah karakteristik yang dianggap sebagai hal menguntungkan secara intrinsik.

5. Teori kepemimpinan efektif dapat diklasifikasikan menjadi kelompok teori sifat kepemimpinan, teori perilaku kepemimpinan, dan teori kontingensi.

a. Teori Sifat Kepemimpinan

Teori sifat kepemimpinan menurut Mustiningsih (2005:36) menitikberatkan pada pengidentifikasian ciri-ciri pemimpin yang efektif berdasarkan pengamatan perilaku dan karakteristik fisik yang dapat dilihat, seperti kecerdasan dan kepribadian. Pendekatan teori sifat membedakan pemimpin efektif dengan pemimpin yang tidak efektif adalah sifat-sifat yang dimiliki seorang leader. Pendekatan teori sifat merupakan teori kepemimpinan yang paling tua yang mendasari teori-teori berikutnya. Pendekatan teori sifat berpendapat bahwa pemimpin itu dilahirkan bukan diciptakan (leader are born, not built), artinya seseorang telah membawa bakat kepemimpinan sejak dilahirkan bukan didik atau dilatih (Dharma dan Usman, 2008). Oleh sebab itu, menurut pendekatan ini, pelatihan kepemimpinan tidak akan efektif atau hanya sia-sia belaka jika dilatihkan kepada mereka yang tidak mempunyai bakat sebagai pemimpin.

Teori sifat kepemimpinan memandang bahwa pemimpin dilahirkan sudah memiliki sifat kepemimpinan. Stogdill dalam Mustiningsih (2005:36-37) mengemukakan sejumlah faktor pribadi yang harus dimiliki pemimpin, yakni 1) capacity, mencakup kemampuan intelegensi, kewaspadaan, kemampuan verbal, orisinalitas, dan kemampuan mengambil keputusan, 2) achievement, mencakup keahlian, pengetahuan, dan prestasi, 3) responsibility, mencakup dapat dipercaya, mengambil inisiatif, teguh pendirian, agresif, percaya diri, dan berkeinginan mengatasi masalah, 4) partisipation, mencakup kemampuan untuk aktif, ramah tamah, kerja sama, kemampuan menyesuaikan diri, dan memiliki rasa humor, dan 5) status, mencakup kedudukan, sosial ekonomi, dan popularitas.

Sementara itu Hughes dkk (2002) menyatakan bahwa kepribadian yang efektif ialah pemimpin yang memiliki sifat-sifat (traits) dan terdapat dalam lima faktor model kepribadian (Five Factor Model of Personality) seperti Tabel 1.

Tabel 1 Lima Faktor Model Kepribadian

Berdasarkan Tabel 1, faktor kepribadian diklasifikasikan menjadi lima faktor yaitu kekacauan (surgency), pengakuan (agreeableness), dapat dipercaya (dependability), penyesuaian (adjustment), dan intelektualitas (intelectance). Kelima klasifikasi tersebut dijabarkan ke dalam sifat (traits) dan indikator perilaku yang mewakili dari faktor kepribadian.

Berbagai pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa sejumlah sifat-sifat pemimpin banyak memiliki persamaan makna. Perbedaannya hanya terletak dalam istilah dan jumlahnya saja. Kelemahan pendekatan sifat ini adalah sampai sekarang belum satu pun penelitian yang menggunakan pendekatan ini berhasil secara memuaskan. Karena selalu saja terjadi sifat-sifat kepemimpinan yang ditemukan tumpang tindih bahkan kontradiktif.

a. Teori Perilaku Kepemimpinan

Pendekatan teori sifat tidak memuaskan sebagian orang sehingga direvisi oleh teori berikutnya yaitu teori perilaku (behavior). Teori perilaku menurut Dharma dan Usman (2008) menghasilkan gaya kepemimpinan berorientasi pada tugas dan berorientasi pada hubungan manusiawi. Kemudian berkembang menjadi gaya otoriter, demokratis, dan laize faire. Selanjutnya berkembang menjadi gaya direktif, suportif, partisipatif, dan orientasi pada pencapaian tujuan. Pendekatan perilaku memandang bahwa pemimpin dapat dilihat dari ciri-ciri perilaku, dimana perilaku pemimpin dapat dipelajari/dididik. Dalam hal ini pemimpin adalah hasil tempaan dari pengalaman dan pendidikan, bukan semata-mata dilahirkan.

Teori perilaku yang menyeluruh dan paling banyak digunakan ialah hasil penelitian Universitas Negeri Ohio dalam Robbins (2003:435-436) yang mengidentifikasi dimensi independen dari perilaku pemimpin. Hasil dari penelitian menyimpulkan terdapat dua dimensi perilaku pemimpin, yaitu struktur prakarsa dan pertimbangan. Struktur prakarsa merujuk sejauh mana pemimpin berkemungkinan menetapkan dan menyusun perannya dan peran bawahannya dalam mengupayakan pencapaian tujuan organisasi. Pertimbangan digambarkan sebagai sejauh mana seseorang berkemungkinan memiliki hubungan pekerjaan yang dicirikan dengan rasa saling percaya, menghargai gagasan bawahan, dan memperhatikan perasaan mereka.

Kajian teori perilaku kepemimpinan juga dihasilkan oleh Universitas Michigan dalam Robbins (2003:436-437) yang menghasilkan kesimpulan perilaku kepemimpinan disebut dengan berorientasi karyawan dan berorientasi produksi. Kepemimpinan berorientasi karyawan menekankan pada hubungan antarmanusia, memberikan perhatian pribadi terhadap kebutuhan karyawan dan menerima perbedaan individual diantara para anggota. Kepemimpinan berorientasi produksi bahwa pemimpin yang menekankan pada aspek-aspek teknis atau tugas atas pekerjaan tertentu.

b. Teori Kontingensi

Teori perilaku tersebut selanjutnya direvisi oleh teori kontingensi (situasional). Menurut teori kontingensi tidak ada satu pun gaya kepemimpinan yang tepat diterapkan dalam setiap situasi melainkan tergantung kematangan pengikut dan situasinya (Hughes dkk, 2002). Bagaimanapun hebatnya kualitas seorang pemimpin, jika tidak mendapat dukungan pengikut dan situasinya, maka kepemimpinannya akan jatuh. Sejarah menunjukkan bahwa banyak pemimpin yang kuat kemudian jatuh karena pengikutnya dan situasinya sudah tidak mendukung. Tiga hal yang paling erat hubungannya dengan follower (pengikut) ialah motivasi, kepuasan, dan kinerja.

Model kepemimpinan kontingensi yang populer adalah model kepemimpinan situasional Hersey dan Blanchard. Agar kepemimpinan efektif, Hersey dan Blanchard (1995) merekomendasikan pemimpin untuk menggunakan gaya kepemimpinan yang cocok dengan tingkat kematangan atau situasi bawahannya yang diilustrasikan seperti Gambar 6.

Gambar 6 Model Kepemimpinan Situasional (Hersey dan Blanchard, 1995)

Empat gaya kepemimpinan yang dihasilkan adalah telling (pembertahuan), seling (penawaran), participating (pelibatan bawahan), dan delegating (pendelegasian). Pendekatan ini merevisi pendekatan perilaku yang ternyata tidak mampu menjelaskan kepemimpinan yang ideal. Pendekatan ini menggambarkan bahwa gaya yang digunakan tergantung dari pemimpinnya sendiri, dukungan pengikutnya, dan situasi yang kondusif. Para ahli sepakat bahwa kepemimpinan yang efektif itu ditentukan oleh pemimpin, pengikut, dan situasi.

Ciri-ciri telling (pembertahuan) adalah tinggi tugas dan rendah hubungan, pemimpin memberikan instruksi atau keterangan bagaimana cara mengerjakan, kapan harus selesai, dimana pekerjaan dilaksanakan dan pengawasan, dan komunikasi biasanya satu arah. Telling disebut juga gaya (Style) 1 atau disingkat S1. Ciri-ciri selling (penawaran) adalah tinggi tugas dan tinggi hubungan, pemimpin menawarkan gagasannya dan bawahan diberi kesempatan berkomentar, pemimpin masih banyak melakukan pengarahan, dan komunikasi sudah dua arah. Selling disebut juga gaya (Style) 2 atau disingkat S2.

Ciri-ciri participating (pelibatan bawahan) adalah tinggi hubungan dan rendah tugas, pemimpin dan bawahan saling memberikan gagasan, dan pemimpin dan bawahan sama-sama membuat keputusan. Participating disebut juga gaya (Style) 3 atau disingkat S3. Ciri-ciri delegating (pendelegasian) adalah rendah hubungan dan rendah tugas, pemimpin melimpahkan wewenangnya kepada bawahan, dan bawahan mendapat wewenang membuat keputusan sendiri. Delegating juga gaya (Style) 4 atau disingkat disebut S4.

Tiga asas yang dikemukakan oleh Ki Hajar Dewantara, tokoh pendidikan dan pahlawan nasional Indonesia dapat dirumuskan, Ing Ngarsa Asung Tulada, artinya jika berada di muka ia memberikan teladan sepadan dengan telling. Ing Madya Mangun Karsa, artinya jika berada di tengah, ia mengembangkan tekad sepadan dengan selling dan participating. Tut Wuri Handayani, artinya jika di belakang ia menjadi pendorong sepadan dengan delegating.

DAFTAR RUJUKAN

Dharma, S., dan Usman, H. 2008. Kepemimpinan Kepala Sekolah/Madrasah yang Efektif. Jurnal Tenaga Kependidikan, 3(2). 1-21.

Fickry. 2009. Manajemen Konflik dalam Organisasi (online). (http://defickry.wordpress.com, diakses 18 Maret 2009).

Harris, J., dan Hartman, S. J. 2002. Organizational Behavior. New York: Best Business Books An Imprint of The Haworth Press, Inc.

Hersey, P., dan Blanchard, P. 1995. Management of Organizational Behavior Utilizing Human Resources. London: Prentice-Hall International Editions.

Hughes, R. L., Ginnett, R. C., dan Curphy, G. J. 2002. Leadership the Lessons of Experiences. New York: McGraw-Hill.

Imron, A. 2004. Manajemen Perubahan. Malang: Program SP4 Jurusan Administrasi Pendidikan Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Malang.

Juanita. 2009. Memanajemeni Konflik dalam suatu Organisasi (online). (http://www.usu.ac.id, diakses 18 Maret 2009).

Mustiningsih. 2003. Teknik-Teknik Manajemen Pendidikan. Malang: Jurusan Administrasi Pendidikan Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Malang.

Mustiningsih. 2005. Dinamika Kelompok dalam Kepemimpinan. Malang: Jurusan Administrasi Pendidikan Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Malang.

Nadler, D. A., Richard, H. J., dan Edward, E. 1979. Managing Organizational Behavior. Boston: Little Brown and Company.

Owens, R. G. 1987. Organizational Behavior in Education. New Jersey: Printice Hall, Inc.

Robbins, S. P. 2003. Perilaku Organisasi. Terjemahan oleh Benyamin Molan. 2006. Tanpa Kota: Indeks.

Schermerhorn, J. R., Hunt, J. G., dan Osborn, R. N. 2002. Organizational Behavior. Phoenix: University of Phoenix dan John Wiley & Sons, Inc.

Subejo. 2009. Organisasi Sosial. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada.

Tarmidi. 2006. Iklim Kelas dan Prestasi Belajar. Medan: Program Studi Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatra Utara.

Thoha, M. 2003. Perilaku Organisasi: Konsep Dasar dan Aplikasinya. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Utomo, T. W. W. 2008. Perilaku Organisasi. Bandung: Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi Lembaga Administrasi Negara Kampus Bandung.

Wahyudi. 2005. Manajemen Konflik dalam Meningkatkan Produktivitas Organisasi Studi Kasus pada Pusat Pengembangan Penataran Guru Teknologi/PPPGT di Malang Jawa Timur. Disertasi tidak diterbitkan. Bandung: Program Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia.

Wisnu, D., dan Nurhasanah, S. 2005. Teori Organisasi Struktur dan Desain. Malang: UMM Press.

Tidak ada komentar: