03 Februari 2011

ORGANIZATION CITIZENSHIP BEHAVIOR

  1. Pengertian Organization Citizeship Behavior

Organizational citizenship behavior (OCB) merupakan perilaku individu yang ekstra, yang tidak secara langsung atau eksplisit dapat dikenali dalam suatu sistem kerja yang formal, dan yang secara agregat mampu meningkatkan efektivitas fungsi organisasi (Organ, 1988). Organisasi pada umumnya percaya bahwa untuk mencapai keunggulan harus mengusahakan kinerja individual yang setinggi-tingginya, karena pada dasarnya kinerja individual mempengaruhi kinerja tim atau kelompok kerja dan pada akhirnya mempengaruhi kinerja organisasi secara keseluruhan.

Kinerja yang baik menuntut perilaku sesuai guru yang diharapkan oleh organisasi. Perilaku yang menjadi tuntutan organisasi saat ini adalah tidak hanya perilaku in-role, tetapi juga perilaku extra-role. Perilaku extra-role ini disebut juga dengan Organizational Citizenship Behavior (OCB). OCB merupakan istilah yang digunakan untuk mengidentifikasikan perilaku guru sehingga dia dapat disebut sebagai anggota yang baik (Sloat,1999). Perilaku ini cenderung melihat seseorang (guru) sebagai makhluk sosial (menjadi anggota organisasi), dibandingkan sebagai makhluk individual yang mementingkan diri sendiri.

Sebagai makhluk sosial, manusia mempunyai kemampuan untuk memiliki empati kepada orang lain dan lingkungannya dan menyelaraskan nilai-nilai yang dianutnya. Dengan nilai-nilai yang dimiliki lingkungannya untuk menjaga dan meningkatkan interaksi sosial yang lebih baik. Terlebih lagi, untuk melakukan segala sesuatu yang baik manusia tidak selalu digerakkan oleh hal-hal yang menguntungkan dirinya, misalnya seseorang mau membantu orang lain jika ada imbalan tertentu.

Jika guru dalam organisasi memiliki OCB, maka usaha untuk mengendalikan guru menurun, karena guru dapat mengendalikan perilakunya sendiri atau mampu memilih perilaku terbaik untuk kepentingan organisasinya. Borman dan Motowidlo (1993) menyatakan bahwa OCB dapat meningkatkan kinerja organisasi (organizational performance) karena perilaku ini merupakan “pelumas” dari mesin sosial dalam organisasi, dengan kata lain dengan adanya perilaku ini maka interaksi sosial pada anggota-anggota organisasi menjadi lancar, mengurangi terjadinya perselisihan, dan meningkatkan efisiensi.

Perilaku ini muncul karena perasaan sebagai anggota organisasi dan merasa puas apabila dapat melakukan suatu yang lebih kepada organisasi. Perasaan sebagai anggota dan puas bila melakukan suatu yang lebih hanya terjadi jika guru memiliki persepsi yang positif terhadap organisasinya. OCB merupakan tindakan seseorang di luar kewajibannya, tidak memperhatikan kepentingan diri sendiri (Sloat, 1999), tidak membutuhkan deskripsi pekerjaan (job description) dan sistem imbalan formal, bersifat sukarela dalam bekerjasama dengan teman sekerja dan menerima perintah secara khusus tanpa keluhan (Organ dan Konovski, 1989).

OCB memberikan kontribusi terhadap kesejahteraan komunitasnya, transformasi sumber daya, keinovasian dan keadaptasian (Organ, 1988) serta kinerja organisasi secara keseluruhan (Netemeyer, dkk., 1997) termasuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi pengerahan sumber daya langka, waktu dan pemecahan masalah di antara unit-unit kerja dengan cara kolektif dan interdependensi.

Kemudian juga akan mempengaruhi keputusan kompensasi, promosi dan pelatihan serta memiliki efek yang penting terhadap kinerja keuangan (MacKenzie, dkk., 1998; Motowidlo dan Van Scotter, 1994). Selain itu OCB akan menerangkan proporsi halo effect dalam penilaian kinerja (Organ, 1988) dan merupakan determinan bagi program manajemen sumber daya manusia dalam mengawasi, memelihara, dan meningkatkan sikap kerja (Organ dan Ryan, 1995) yang akumulasinya akan berpengaruh pada kesehatan psikologi, produktivitas dan daya pikir pekerja (Vandenberg dan Lance, 1992).

Perilaku tersebut tidak akan mendapat imbalan langsung atau sanksi baik dilakukan atau tidak, namun sikap konstruktif yang ditunjukkan karyawan melalui OCB akan memberikan penilaian positif atasan seperti penugasan dan promosi (Bateman dan Organ, 1983). Eisenberger (1990) mengungkapkan bahwa perilaku ini berkembang sejalan dengan seberapa besar perhatian organisasi pada tingkat kesejahteraan guru dan penghargaan organisasi terhadap kontribusi mereka.

Persepsi guru yang baik terhadap dukungan organisasional (Perceived Organizational Support/POS) kepada kualitas kehidupan kerja mereka akan menimbulkan rasa “hutang budi” dalam diri mereka pada organisasi sehingga mereka akan merasa memiliki kewajiban untuk membayarnya. Kualitas interaksi atasan-bawahan juga diyakini sebagai prediktor organizational citizenship behavior (OCB). Miner (1988) mengemukakan bahwa interaksi atasan-bawahan yang berkualitas tinggi akan memberikan dampak seperti meningkatnya kepuasan kerja, produktifitas, dan kinerja guru. Riggio (1990) menyatakan bahwa apabila interaksi atasan-bawahan berkualitas tinggi maka seorang atasan akan berpandangan positif terhadap bawahannya sehingga bawahannya akan merasakan bahwa atasannya banyak memberikan dukungan dan motivasi.

Hal ini meningkatkan rasa percaya dan hormat bawahan pada atasannya sehingga mereka termotivasi untuk melakukan lebih dari yang diharapkan oleh atasan mereka. Sebelum Organ mengintroduksi Konsep OCB menciptakan gelombang perubahan besar dalam bidang perilaku organisasi Garg dan Rastogi,(2006). Konsep ini mengarahkan organisasi menjadi lebih inovatif, fleksibel, produktif, dan responsive (Garg dan Rastogi, 2006; Koberg dan Boss, 2005).

  1. Dimensi-Dimensi Organization Citizenship Behavior

Beberapa penelitian menemukan bukti bahwa OCB berhubungan dengan perilaku etikal, dan juga menyangkut esensi dari performa kerja individual. Dua dimensi OCB yang penting menurut Williams dan Anderson (1991) dikenal sebagai OCB-Individual (OCBI, altruism, mendahulukan kepentingan orang lain) yang segera memberikan manfaat khusus individual dan secara tidak langsung melalui kontribusi terhadap organisasi (misalnya membantu rekan yang tidak masuk bekerja, memberikan perhatian secara pribadi kepada pekerja lain) dan OCB-Organizational (OCBO, compliance, kerelaan) yang memberikan manfaat terhadap organisasi secara umum (misalnya memberikan nasihat kepada karyawan yang mangkir bekerja).

Dimensi yang paling sering digunakan untuk mengonseptualisasi OCB adalah dimensi-dimensi yang dikembangkan oleh Organ (1988). Menurut Podsakoff studi dari Katz pada tahun 1964 tentang perilaku inovatif dan spontanitas mempengaruhi penelitian-penelitian OCB saat ini sehingga dimensi-dimensi dari OCB terkait dengan dimensi dari studi yang dilakukan oleh Katz (Hannah, 2006). Katz menyebutkan ada lima dimensi, yaitu:

          1. Cooperating with others,

          2. Protecting the organization,

          3. Volunteering constructive ideas,

          4. Self-training, dan

          5. Maintaining a favorable attitude toward the company.

Podsakoff ada tujuh jenis atau dimensi OCB yang pernah digunakan oleh para peneliti (Hannah, 2006). Ketujuh dimensi tersebut meliputi:

      1. Perilaku menolong (helping behavior), merupakan bentuk perilaku sukarela individu untuk menolong individu lain atau mencegah terjadinya permasalahan yang terkait dengan pekerjaan (workrelated problem). Organ (1983) membagi dimensi ini dalam dua kategori yaitu altruism dan courtesy,

      2. Sportsmanship, didefinisikan kemauan atau keinginan untuk menerima (toleransi) terhadap ketidaknyamanan yang muncul dan imposition of work without complaining,

      3. Organizational loyalty, merupakan bentuk perilaku loyalitas individu terhadap organisasi seperti menampilkan image positif tentang organisasi, membela organisasi dari ancaman eksternal, mendukung dan membela tujuan organisasi,

      4. Organizational compliance, merupakan bentuk perilaku individu yang mematuhi segala peraturan, prosedur, dan regulasi organisasi meskipun tidak ada pihak yang mengawasi,

      5. Individual initiative, merupakan bentuk self-motivation individu dalam melaksanakan tugas secara lebih baik atau melampaui standar/level yang ditetapkan. Organ (1983) menamakan dimensi ini sebagai conscientiousness dan mengatakan bahwa dimensi ini sulit dibedakan dengan kinerja in-role,

      6. Civic virtue, merupakan bentuk komitmen kepada organisasi secara makro atau keseluruhan seperti menghadiri pertemuan, menyampaikan pendapat atau berpartisipasi aktif dalam kegiatan organisasi,

      7. Self-development. George dan Brief mendefinisikan dimensi ini sebagai bentuk perilaku individu yang sukarela meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan kemampuan sendiri seperti mengikuti kursus, pelatihan, seminar atau mengikuti perkembangan terbaru dari bidang yang ia kuasai (Podsakoff, 2000).

Sementara ada empat faktor yang mendorong munculnya OCB dalam diri karyawan. Keempat faktor tersebut adalah karakteristik individual, karakteristik tugas/pekerjaan, karakteristik organisasional dan perilaku pemimpin (Podsakoff, 2000). Karakteristik individu ini meliputi persepsi keadilan, kepuasan kerja, komitmen organisasional dan persepsi dukungan pimpinan, karakteristik tugas meliputi kejelasan atau ambiguitas peran, sementara karakteristik organisasional meliputi struktur organisasi, dan model kepemimpinan.

Menurut Organ (1988), OCB dibangun dari lima dimensi yang masing-masingnya bersifat unik, yaitu:

  1. Altruism, kesediaan untuk menolong rekan kerja dalam menyelesaikan pekerjaannya dalam situasi yang tidak biasa,

  2. Civic virtue, menyangkut dukungan pekerja atas fungsi-fungsi administratif dalam organisasi,

  3. Conscientiousness, menggambarkan pekerja yang melaksanakan tugas dan tanggung jawab lebih dari apa yang diharapkan,

  4. Courtesy, perilaku meringankan problem-problem yang berkaitan dengan pekerjaan yang dihadapi orang lain,

  5. Sportsmanship, menggambarkan pekerja yang lebih menekankan untuk memandang aspek-aspek positif dibanding aspek-aspek negative dari organisasi, sportsmanship menggambarkan sportivitas seorang pekerja terhadap organisasi.

Dalam pengukuran ini menggunakan skala Morison dalam Dwi (2007) yang dapat dijadikan sebagai kisi-kisi instrumen yang dijelaskan sebagai berikut:

Kategori 1 Altruism meliputi:

  1. Perilaku membantu orang tertentu,

  2. Menggantikan rekan kerja yang tidak masuk atau istirahat,

  3. Membantu orang lain yang pekerjaannya overload,

  4. Membantu proses orientasi karyawan baru meskipun tidak diminta,

  5. Membantu mengerjakan tugas orang lain pada saat mereka tidak masuk

  6. Meluangkan waktu untuk membantu orang lain berkaitan dengan permasalahan-permasalahan pekerjaan,

  7. Menjadi volunteer untuk mengerjakan sesuatu tanpa diminta,

  8. Membantu orang lain di luar departemen ketika mereka memiliki permasalahan,

  9. Membantu pelanggan dan para tamu jika mereka memiliki permasalahan,

Kategori 2 Consceintiousness meliputi:

  1. Kehadiran, kepatuhan terhadap aturan dan sebagainya,

  2. Tiba lebih awal sehingga siap bekerja pada saat jadwal kerja dimulai,

  3. Tepat waktu setiap hari tidak peduli pada musim ataupun lalu lintas dan sebagainya,

  4. Berbicara seperlunya dalam percakapan ditelepon,

  5. Tidak menghabiskan waktu untuk pembicaraan di luar pekerjaan,

  6. Datang segera jika dibutuhkan,

  7. Tidak mengambil kelebihan waktu meskipun memiliki ekstra 6 hari,

Kategori 3 Civic Virtue meliputi:

  1. Kemauan untuk bertoleransi tapa mengeluh,

  2. Menahan diri dari aktivitas-aktivitas mengeluh dan mengumpat,

  3. Tidak menemukan kesalahan dalam organisasi,

  4. Tidak mengeluh tentang segala sesuatu,

  5. Tidak membesar-besarkan permasalahan di luar proporsinya.

Kategori 4 Cortesy meliputi:

  1. Keterlibatan dalam fungsi –fungsi yang membantu organisasi,

  2. Memberikan perhatian terhadap fungsi-fungsi yang membantu image organisasi,

  3. Memberikan perhatian terhadap pertemuan yang dianggap penting,

  4. Membantu mengatur kebersamaan secara departemental,

Kategori 5 Sportmanship meliputi:

  1. Menyimpan informasi tentang kejadian atau perubahan dalam organisasi,

  2. Mengikuti perubahan dan perkembangan dalam organisasi,

  3. Membaca dan mengikuti pengumuman organisasi,

  4. Membuat pertimbangan dalam menilai apa yang terbaik untuk organisasi.

  1. Manfaat Organization Citizenship Behavior

  1. OCB meningkatkan produktivitas rekan kerja

  1. Karyawan yang menolong rekan kerja lain akan mempercepat penyelesaian tugas rekan kerjanya, dan pada gilirannya meningkatkan produktivitas rekan tersebut,

  2. Seiring dengan berjalannya waktu, perilaku membantu yang ditunjukkan karyawan akan membantu menyebarkan best practice ke seluruh unit kerja atau kelompok.

  1. OCB meningkatkan produktivitas manajer

  1. Karyawan yang menampilkan perilaku civic virtue akan membantu manajer mendapatkan saran dan atau umpan balik yang berharga dari karyawan tersebut, untuk meningkatkan efektivitas unit kerja,

  2. Karyawan yang sopan, yang menghindari terjadinya konflik dengan rekan kerja, akan menolong manajer terhindar dari krisis manajemen.

  1. OCB menghemat sumber daya yang dimiliki manajemen dan organisasi secara keseluruhan

    1. Jika karyawan saling tolong menolong dalam menyelesaikan masalah dalam suatu pekerjaan sehingga tidak perlu melibatkan manajer, konsekuensinya manajer dapat memakai waktunya untuk melakukan tugas lain, seperti membuat perencanaan,

    2. Karyawan yang menampilkan concentioussness yang tinggi hanya membutuhkan pengawasan minimal dari manajer sehingga manajer dapat mendelegasikan tanggung jawab yang lebih besar kepada mereka, ini berarti lebih banyak waktu yang diperoleh manajer untuk melakukan tugas yang lebih penting,

    3. Karyawan lama yang membantu karyawan baru dalam pelatihan dan melakukan orientasi kerja akan membantu organisasi mengurangi biaya untuk keperluan tersebut,

    4. Karyawan yang menampilkan perilaku sportmanship akan sangat menolong manajer tidak menghabiskan waktu terlalu banyak untuk berurusan dengan keluhan-keluhan kecil karyawan.

  1. OCB membantu menghemat energi sumber daya yang langka untuk memelihara fungsi kelompok

    1. Keuntungan dari perilaku menolong adalah meningkatkan semangat, moril (morale), dan kerekatan (cohesiveness) kelompok, sehingga anggota kelompok (atau manajer) tidak perlu menghabiskan energi dan waktu untuk pemeliharaan fungsi kelompok

    2. Karyawan yang menampilkan perilaku courtesy terhadap rekan kerja akan mengurangi konflik dalam kelompok, sehingga waktu yang dihabiskan untuk menyelesaikan konflik manajemen berkurang

  1. OEB dapat menjadi sarana efektif untuk mengoordinasi kegiatan-kegiatan kelompok kerja

    1. Menampilkan perilaku eivie virtue (seperti menghadiri dan berpartisipasi aktif dalam pertemuan di unit kerjanya) akan membantu koordinasi diantara anggota kelompok, yang akhirnya secara potensial meningkatkan efektivitas dan efisiensi kelompok,

    2. Menampilkan perilaku eourtesy (misalnya saling memberi informasi tentang pekerjaan dengan anggota dari tim lain) akan menghindari munculnya masalah yang membutuhkan waktu dan tenaga untuk diselesaikan.

  1. OEB meningkatkan kemampuan organisasi untuk menarik dan mempertahankan karyawan terbaik

    1. Perilaku menolong dapat meningkatkan moril dan kerekatan serta perasaan saling memiliki diantara anggota kelompok, sehingga akan meningkatkan kinerja organisasi dan membantu organisasi menarik dan mempertahankan karyawan yang baik,

    2. Memberi eontoh pada karyawan lain dengan menampilkan perilaku sportmanship (misalnya tidak mengeluh karena permasalahan-permasalahan keeil) akan menumbuhkan loyalitas dan komitmen pada organisasi.

  1. OEB meningkatkan stabilitas kinerja organisasi

    1. Membantu tugas karyawan yang tidak hadir di tempat kerja atau yang mempunyai beban kerja berat akan meningkatkan stabilitas (dengan eara mengurangi variabilitas) dari kinerja unit kerja,

    2. Karyawan yang eonseientiuous eenderung mempertahankan tingkat kinerja yang tinggi seeara konsisten, sehingga mengurangi variabilitas pada kinerja unit kerja.

  1. OEB meningkatkan kemampuan organisasi untuk beradaptasi dengan perubahan lingkungan

    1. Karyawan yang mempunyai hubungan dekat dengan pasar dengan sukarela memberi informasi tentang perubahan yang terjadi di lingkungan dan memberi saran tentang bagaimana merespons perubahan tersebut, sehingga organisasi dapat beradaptasi dengan eepat,

    2. Karyawan yang seeara aktif hadir dan berpartisipasi pada pertemuan-pertemuan di organisasi akan membantu menyebarkan informasi yang penting dan harus diketahui oleh organisasi,

    3. Karyawan yang menampilkan perilaku eonseientiousness (misalnya kesediaan untuk memikul tanggung jawab baru dan mempelajari keahlian baru) akan meningkatkan kemampuan organisasi beradaptasi dengan perubahan yang terjadi di lingkungannya.

KEPUASAN KERJA

-->
      1. Pengertian Kepuasan Kerja
Newstrom mengemukakan bahwa job satisfaction is the favorableness or unfavorableness with employes view their work. Kepuasan kerja berarti perasaan mendukung atau tidak mendukung yang dialami (pegawai) dalam bekerja. Wexley dan Yukl mengartikan kepuasan kerja sebagai the way an employee feels about his or her job. Artinya bahwa kepuasan kerja adalah cara pegawai merasakan dirinya atau pekerjaannya. dapat disimpulkan bahwa kepuasan kerja adalah perasaan yang menyokong atau tidak menyokong dalam diri pegawai yang berhubungan dengan pekerjaan maupun kondisi dirinya.
Perasaan yang berhubungan dengan pekerjaan melibatkan aspek-aspek seperti upaya, kesempatan pengembangan karir, hubungan dengan pegawai lain, penempatan kerja, dan struktur organisasi. Sementara itu, perasaan yang berhubungan dengan dirinya antara lain berupa umur, kondisi kesehatan, kemampuan dan pendidikan. Handoko menyatakan keadaan emosional yang menyenangkan dengan mana para karyawan memandang pekerjaan mereka. Kepuasan kerja mencerminkan perasaan seseorang terhadap pekerjaannya. Ini dampak dalam sikap positif karyawan terhadap pekerjaan dan segala sesuatu yang dihadapi di lingkungan kerjanya.
Robins menyatakan kepuasan itu terjadi apabila kebutuhan-kebutuhan individu sudah terpenuhi dan terkait dengan derajat kesukaan dan ketidaksukaan dikaitkan dengan Pegawai; merupakan sikap umum yang dimiliki oleh Pegawai yang erat kaitannya dengan imbalan-imbalan yang mereka yakini akan mereka terima setelah melakukan sebuah pengorbanan. Apabila dilihat dari pendapat Robins tersebut terkandung dua dimensi, pertama, kepuasan yang dirasakan individu yang titik beratnya individu anggota masyarakat, dimensi lain adalah kepuasan yang merupakan sikap umum yang dimiliki oleh pegawai makan nasi goreng
Kepuasan kerja (job satisfaction) menunjukkan sikap umum seorang individu terhadap pekerjaannya. Seorang dengan sikap kepuasan tinggi menunjukkan sikap yang positif terhadap kerja, seseorang yang tidak puas terhadap pekerjaannya menunjukkan sikap yang negatif terhadap pekerjaan tersebut (Robins, 2003:68). Kepuasan kerja yang tinggi menandakan bahwa sebuah organisasi sekolah telah dikelola dengan baik dengan manajemen yang efektif. Menurut Riggio dalam Hadjam dan Nasiruddin (2003) kepuasan kerja banyak didefinisikan sebagai perasaan dan perilaku individu berkenaan dengan pekerjaannnya. Semua aspek dari pekerjaan yang baik maupun buruk, positif maupun negative akan berperan menciptkan perasaan kepuasan ini.
Davis dan Newstroom (2002) menyatakan bahwa kepuasan kerja adalah seperangkat perasaan pegawai tentang menyenangkan atau tidaknya pekerjaan mereka. Hasibuan (2001) mendefinisikan kepuasan kerja adalah sikap emosional yang menyenangkan dan mencintai pekerjaannya. Sikap ini dicerminkan oleh moral kerja, kedisiplinan, dan prestasi kerja. Ada perbedaan yang penting antara perasaan ini dengan unsur lainnya dari sikap pegawai. Kepuasan kerja adalah perasaan senang atau tidak senang yang relatif yang berbeda dari pemikiran obyektif dan keinginan perilaku.
Kepuasan kerja (Job Satisfaction) adalah suatu keadaan emosional guru dimana terjadi atau tidak terjadi titik temu antara batas jasa guru dengan tingkat nilai balas jasa baik finansial maupun nonfinansial. Kepuasan kerja adalah tingkat di mana seseorang merasa positif atau negatif tentang berbagai segi dari pekerjaan, tempat kerja, dan hubungan dengan teman kerja (Donely, 1985). Enam jenis sasaran yang harus dicapai sebelum kepuasan kerja dapat diperoleh adalah :
  1. Uang,
  2. Wibawa,
  3. Kedudukan,
  4. Keamanan,
  5. Pengakuan,
  6. Rasa memiliki,
  7. Kreativitas (Frase, 1993).
Tiffin (1974) mengatakan bahwa kepuasan kerja berhubungan erat dengan sikap guru terhadap pekerjaannya sendiri, karena makin tinggi tingkat kepuasan kerja seseorang akan tercermin dari sikap kerja ke arah yang positif. Hal ini tidak berarti apa yang dilakukan oleh guru yang ada pada saat ini arahnya negatif. Sebaliknya ketidak puasan kerja akan menimbulkan sikap kerja yang negatif. Bahwa positif dan negatifnya sikap kerja seseorang mengikuti tingkat kepuasan kerja yang dirasakan.
Untuk mengukur kepuasan kerja seseorang biasanya dilihat dari besaran gaji atau upah yang diberikan, tetapi ini sebenarnya bukan satu-satunya faktor ada faktor lain seperti suasana kerja, hubungan atasan dan guru ataupun rekan sekerja, pengembangan karier, pekerjaan yang sesuai dengan minat dan kemampuannya, fasilitas yang ada dan diberikan. Muhammad (1996) menyebutkan ada dua hal yang mungkin menyebabkan orang tidak puas dengan pekerjaannya. Hal pertama, apabila orang tersebut tidak mendapatkan informasi yang dibutuhkan untuk melakukan pekerjaannya. Yang kedua, apabila hubungan sesama teman sekerja kurang baik.
Atau dengan kata lain ketidakpuasan kerja ini berhubungan dengan dengan masalah komunikasi. Sedang Hasibuan menyebutkan bahwa kepuasan kerja guru dipengaruhi faktor-faktor: (1) balas jasa yang adil dan layak; (2) penempatan yang tepat sesuai dengan keahlian; (3) berat-ringannya pekerjaan; (4) suasana dan lingkungan pekerjaan; (5) peralatan yang menunjang pelaksanaan pekerjaan; (6) sikap pimpinan dalam kepemimpinannya; dan (7) sifat pekerjaan monoton atau tidak.
Selanjutnya Hasibuan menjelaskan bahwa tolok ukur tingkat kepuasan yang mutlak tidak ada karena setiap individu guru berbeda standar kepuasannya. Indikator kepuasan kerja hanya diukur dengan kedisiplinan, moral kerja, dan turnover besar maka secara relatif kepuasan kerja guru baik. Sebaliknya jika kedisiplinan. Moral kerja, dan turnover kecil maka kepuasan kerja guru di sekolah bertambah. Kepuasan kerja adalah bagian dari kepuasan hidup. Sifat lingkungan seseorang di luar pekerjaan mempengaruhi perasaan di dalam pekerjaan. Demikian juga halnya karena pekerjaan merupakan bagian penting kehidupan, kepuasan kerja mempengaruhi kepuasan hidup seseorang.
Jadi dapat disimpulkan bahwa kepuasan kerja merupakan kunci pendorong moral, kedisiplinan dan prestasi kerja guru dalam mendukung terwujudnya tujuan pendidikan. Dengan demikian dapatlah ditarik kesimpulan bahwa kepuasan kerja guru adalah perasaan guru tentang menyenangkan atau tidak mengenai pekerjaan berdasarkan atas harapan guru dengan imbalan yang diberikan oleh sekolah/organisasi.
      1. Teori-Teori Kepuasan Kerja
Wexley (1996) telah mengategorikan teori-teori kepuasan kerja kepada tiga kumpulan utama, yaitu: teori ketidaksesuaian (discrepancy), teori keadilan (equity theory), dan teori dua faktor.
        1. Teori Ketidaksesuaian
Menurut Locke kepuasan atau ketidak puasan dengan aspek pekerjaan tergantung pada selisih (discrepancy) antara apa yang dianggap telah didapatkan dengan apa yang diinginkan. Jumlah yang diinginkan dari karakteristik pekerjaan idefinisikan sebagai jumlah minimum yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan anda. Seseorang akan terpuaskan jika tidak ada selisih antara kondisi-kondisi yang diinginkan dengan kondisi aktual. Semakin besar kekurangan dan semakin banyak hal-hal penting yang diinginkan, semakin besar ketidak puasannya, Jika lebih banyak jumlah faktor pekerjaan yang diterima secara minimal dan kelebihannya menguntungkan (misalnya: upah ekstra, jam kerja yang lebih lama) orang yang bersangkutan akan sama puasnya bila terdapat selisih dari jumlah yang diinginkan.
Proter mendefiniskan kepuasan sebagai selisih dari banyaknya sesuatu yang “seharusnya ada” dengan banyaknya “apa yang ada”. Konsepsi ini pada dasarnya sama dengan model Locke, tetapi “apa yang seharusnya ada” menurut Locke berarti penekanan yang lebih banyak pada pertimbangan-pertimbangan yang adil dan kekurangan atas kebutuhan-kebutuhan karena determinan dari banyaknya faktor pekerjaan yang lebih disukai. Studi Wanous dan Laler menemukan bahwa para pekerja memberikan tanggapan yang berbeda-beda menurut bagaimana kekurangan/selisih itu didefinisikan.
Keduanya menyimpulkan bahwa orang memiliki lebih dari satu jenis perasaan terhadap pekerjaannya, dan tidak ada “cara yang terbaik” yang tersedia untuk mengukur kepuasan kerja. Kesimpulannya teori ketidaksesuaian menekankan selisih antara kondisi yang diinginkan dengan kondisi aktual (kenyataan), jika ada selisih jauh antara keinginan dan kekurangan yang ingin dipenuhi dengan kenyataan maka orang menjadi tidak puas. Tetapi jika kondisi yang diinginkan dan kekurangan yang ingin dipenuhi ternyata sesuai dengan kenyataan yang didapat maka ia akan puas.
        1. Teori Keadilan (Equity Theory)
Teori keadilan memerinci kondisi-kondisi yang mendasari seorang bekerja akan menganggap fair dan masuk akal insentif dan keuntungan dalam pekerjaannya. Teori ini telah dikembangkan oleh Adam dan teori ini merupakan variasi dari teori proses perbandingan sosial. Komponen utama dari teori ini adalah “input”, ‘hasil”, ‘orang bandingan” dan ‘keadilan dan ketidak adilan’.
Input adalah sesuatu yang bernilai bagi seseorang yang dianggap mendukung pekerjaannya, seperti: pendidikan, pengalaman, kecakapan, banyaknya usaha yang dicurahkan, jumlah jam kerja, dan peralatan atau perlengkapan pribadi yang dipergunakan untuk pekerjaannya. Hasil adalah sesuatu yang dianggap bernilai oleh seorang pekerja yang diperoleh dari pekerjaannya, seperti: upah/gaji, keuntungan sampingan, simbol status, penghargaan, serta kesempatan untuk berhasil atau ekspresi diri.
Menurut teori ini, seorang menilai fair hasilnya dengan membandingkan hasilnya rasio inputnya dengan hasil dengan rasio input seseorang/sejumlah orang bandingan. Orang bandingan mungkin saja dari orang-orang dalam organisasi maupun organisasi lain dan bahkan dengan dirinya sendiri dengan pekerjaan-pekerjaan pendahulunya. Teori ini tidak memerinci bagaimana seorang memilih orang bandingan atau berapa banyak orang bandingan yang akan digunakan. Jika rasio hasil input seorang pekerja adalah sama atau sebanding dengan rasio orang bandingannya, maka suatu keadaan adil dianggap ada oleh para pekerja.
Jika para pekerja menganggap perbandingan tersebut tidak adil, maka keadaan ketidakadilan dianggap adil. Ketidakadilan merupakan sumber ketidakpuasan kerja dan ketidakadilan menyertai keadaan tidak berimbang yang menjadi motif tindakan bagi seseorang untuk menegakkan keadilan. Tabel berikut ini merinci kondisi-kondisi dimana ketidakadilan karena kompensasi lebih, dan ketidakadilan karena kompensasi kurang, menganggap bahwa input total dan hasil total dikotomi pada skala nilai sebagai ‘tinggi” atau ‘rendah”.
Tingkat ketidakadilan akan ditentukan atas dasar besarnya perbedaan antar rasio hasil input seseorang pekerja dengan rasio hasil dengan input orang bandingan, dianggap semakin besar ketidakadilan. Teori keadilan memiliki implikasi terhadap pelaksanaan kerja para pekerja disamping terhadap kepuasan kerja. Teori ini meramalkan bahwa seorang pekerja akan mengubah input usahanya bila tindakan ini lebih layak daripada reaksi lainnya terhadap ketidakadilan.
Seorang pekerja yang mendapat kompensasi kurang dan dibayar penggajian berdasarkan jam kerja akan mengakibatkan keadilan dengan menurunkan input usahanya, dengan demikian mengurangi kualitas atau kuantitas dari pelaksanaan kerjanya, jika seorang pekerja mendapatkan kompensasi kurang dari porsi substansinya gaji atau upahnya terkait pada kualitas pelaksanaan kerja (misalnya upah perpotong) ia akan meningkatkan pendapatan insentifnya tanpa meningkatkan usahanya. Jika pengendalian kualitas tidak ketat, pekerja biasanya dapat meningkatkan kuantitas outputnya tanpa usaha ekstra dengan mengurangi kualitasnya.
Kesimpulannya teori keadilan ini memandang kepuasan adalah seseorang
terhadap keadilan atau kewajaran imbalan yang diterima. Keadilan diartikan sebagai rasio antara input (misalnya, pendidikan guru, pengalaman mengajar, jumlah jam mengajar, banyaknya usaha yang dicurahkan pada sekolah) dengan output (misalnya upah/gaji, penghargaan, promosi/kenaikan pangkat) dibandingkan dengan guru lain di sekolah yang sama atau di sekolah lain pada input dan output yang sama.
        1. Teori Dua Faktor
Teori ini diperkenalkan oleh Herzberg (1959) berdasarkan atas penelitian yang dilakukan terhadap 250 responden pada sembilan buah perusahaan di Pittsburg. Dalam penelitian tersebut Herzberg ingin menguji hubungan kepuasan dengan produktivitas. Menurut Herzberg dalam Sedarmayanti (2001) mengembangkan teori hierarki kebutuhan Maslow menjadi teori dua faltor tentang motivasi. Dua faktor itu dinamakan faktor pemuas (motivation factor) yang disebut dengan satisfier atau intrinsic motivation dan faktor pemelihara (maintenance factor) yang disebut dengan disatisfier atau extrinsic motivation.
Faktor pemuas yang disebut juga motivator yang merupakan fakor pendorong seseorang untuk berprestasi yang bersumber dari dalam diri seseorang tersebut (kondisi intrinsik) antara lain: (1) prestasi yang diraih (achievement); (2) Pengakuan orang lain (recognition); (3) tanggungjawab (responsibility); (4) Peluang untuk maju (advancement); (5) kepuasan kerja itu sendiri (the work it self); dan (6) kemungkinan pengembangan karir (the possibility of growth).
Sedangkan faktor pemelihara (maintenance factor) disebut juga hygiene factor merupakan faktor yang berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan untuk memelihara keberadaan guru sebagai manusia, pemeliharaan ketenteraman dan kesehatan. Faktor ini juga disebut dissatisfier (sumber ketidakpuasan) yang merupakan tempat pemenuhan kebutuhan tingkat rendah yang dikualifikasikan ke dalam faktor ekstrinsik, meliputi: (1) kompensasi; (2) keamanan dan keselamatan kerja; (3) kondisi kerja; (4) status; (5) prosedur perusahaan; dan (6) mutu dari supevisi teknis dari hubungan interpersonal di antara teman, sejawat, dengan atasan, dan dengan guru.
Kesimpulannya dalam teori dua faktor bahwa terdapat faktor pendorong yang berkaitan dengan perasaan positif terhadap pekerjaan sehingga membawa kepuasan kerja, dan yang kedua faktor yang dapat mengakibatkan ketidakpuasan
kerja. Kepuasan kerja adalah motivator primer yang berkaitan dengan pekerjaan itu sendiri, sebaliknya ketidakpuasan pada dasarnya berkaitan dengan memuaskan
anggota organisasi dan menjaga mereka tetap dalam organisasi dan itu berkaitan dengan lingkungan.
Guru yang merasa puas dengan pekerjaaanya akan memiliki sikap yang positif dengan pekerjaan sehingga akan memacu untuk melakukan pekerjaan dengan sebaik-baiknya, sebaliknya adanya kemangkiran, hasil kerja yang buruk, mengajar kurang bergairah, pencurian, prestasi yang rendah, perpindahan/pergantian guru merupakan akibat dari ketidakpuasan guru atas perlakuan organisasi terhadap dirinya.
Guru akan merasa puas bekerja jika memiliki persepsi selisih antara kondisi yang diinginkan dan kekurangan dapat dipenuhi sesuai kondisi aktual (kenyataan), guru akan puas jika imbalan yang diterima seimbang dengan tenaga dan ongkos individu yang telah dikeluarkan, dan guru akan puas jika terdapat faktor yang pencetus kepuasan kerja (satisfier) lebih dominan daripada faktor pencetus ketidakpuasan kerja (disatisfier).
      1. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kepuasan Kerja
Davis dan Newstroom (2002) merinci faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja seseorang, yaitu:
  1. Usia. Ketika para guru makin bertambah lanjut usianya. Mereka cenderung sedikit lebih puas dengan pekerjaannya. Guru yang lebih muda cenderung kurang puas karena berpengharapan tinggi, kurang penyesuaian dan berbagai sebab lain,
  2. Tingkat pekerjaan. Orang-orang dengan pekerjaan pada tingkat lebih tinggi cenderung merasa lebih puas dengan pekerjaan mereka.. Mereka biasanya memperoleh gaji dan kondisi kerja lebih baik, dan pekerjaan yang dilakukan memberi peluang untuk merasa lebih puas,
  3. Ukuran organisasi. Pada saat organisasi semakin besar, ada beberapa bukti yang menunjukkan bahwa kepuasan kerja cenderung agak menurun apabila tidak diambil tindakan perbaikan untuk mengimbangi kecenderungan itu.
Menurut Roy dan Raja dalam Pareek (1984:132) faktor yang mendorong kepuasan kerja dan kekecawaan kerja meliputi:
  1. Promosi merupakan perangsang yang paling penting dan juga merupakan penyebab kekecewaan yang paling penting di antara para penyelia dan para manajer,
  2. Pengakuan merupakan faktor pekerjaan yang paling penting dalam kaitan dengan kepuasan dan kekecewaan kerja,
  3. Diantara faktor-faktor yang membantu terjadinya kekecewaan, yang paling sering disebut-sebut adalah tidak adanya kebijakan organisasi dan admistrasi yang memadai, tidak adanya penyelia yang simpatik dan cakap secara teknis, sifat tidak ramah dan sombong dan tidak adanya peluang untuk tumbuh,
  4. Faktor-faktor kerja yang menyebabkan kepuasan dan kekecewaan di antara para manajer dan para penyelia berlainan dengan faktor-faktor di antara para pekerja biasa. Misalnya gaji dan keamanan kerja menonjol sebagai dua faktor yang penting bagi kepuasan kerja di antara pekerja, sedangkan para manajer hal ini hampir selalu tergeser ke urutan paling bawah dalam hirarki kepentingan. Tingkat jabatan rupanya mempengaruhi persepsi tentang kebutuhan,
  5. Tidak terdapat fakta-fakta yang jelas yang membedakan manajer dan penyelia berkenaan dengan sumber kepuasan dan sumber kekecewaan. Tetapi mereka berbeda dalam persepsi atas kebutuhan. Para penyelia lini pertama menghargai penghasilan, promosi, keamanan kerja, dan keadaan kerja. Para manajer menengah paling menghargai kemajuan, jenis pekerjaan dan penghasilan. Sebaliknya, para manajer paling atas menghargai rasa mempunyai kecakapan yang berguna, pengakuan atas pekerjaan baik yang telah dilakukannya dan wewenang untuk mengambil putusan. Hal ini menunjukkan pergeseran dari faktor hubungan kerja ke faktor isi kerja atau dari kebutuhan tingkat rendah ke tingkat tinggi,
  6. Para manajer dalam industri swasta dan industri pemerintah ternyata tidak berbeda dalam tingkat kepuasan pekerjaan. Mereka juga secara serupa dipengaruhi oleh motivator. Motivator dan higine berbeda caranya dalam menambah kepuasan dan ketidakpuasan jika bagi para manajer sektor pemerintah motivator lebih menambah kepuasan, bagi para eksekutif dari sektor swasta motivator lebih menimbulkan rasa kurang puas,
  7. Tidak ada bukti yang menunjukkan pengaruh kepuasan kerja terhadap variabel hasil seperti prestasi keterlibatan kerja,
  8. Baik variabel perorangan (misalnya pendidikan, tingkat penghasilan) maupun variabel organisasi (misalnya jenis pekerjaan lini staf, struktur organisasi yang tinggi/datar) kelihatan tidak banyak mempengaruhi motivasi, yakni pentingnya kebutuhan, pemenuhan kebutuhan, harapan, kekurangan (dan pilihan tentang hal yang membuat puas dan yang membuat tidak puas).
Menurut Eburt faktor-faktor yang ikut menentukan kepuasan kerja sebagai berikut:
  1. Faktor hubungan antara karyawan:
            1. Hubungan langsung antara manajer dengan karyawan,
            2. Faktor psikis dan kondisi kerja,
            3. Sugesti teman sekerja,
            4. Emosi dan situasi kerja.
  1. Faktor individual:
            1. Sikap,
            2. Umur,
            3. Jenis Kelamin.
  1. Faktor-faktor luar:
            1. Keadaan keluarga,
            2. Rekreasi,
            3. Pendidikan.
George dan Jones memberikan perbandingan antara kedua nilai kerja sebagai berikut dalam uraian di bawah ini:
Nilai kerja intrinsik Nilai kerja ekstrinsik - Kerja yang menarik - Gaji tinggi
- Kerja yang menantang - Keamanan kerja
- Belajar sesuatu yang baru - Keuntungan kerja
- Membuat kontribusi penting - Status komunitas lebih luas
- Berpotensi tinggi - Kontak sosial
- Tanggung jawab dan otonomi - Waktu dengan keluarga
- Menjadi kreatif - Waktu untuk hobi
Jika mengacu pada George dan Jones (2002) kepuasan kerja merupakan kumpulan feelings dan beliefes yang dimiliki orang tentang pekerjaannya. Sementara itu Ghiselli dan Borown dalam As’ad (2000) merinci faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan, yaitu:
  1. Kedudukan (posisi). Seseorang yang bekerja pada pekerjaan yang lebih tinggi akan merasa lebih puas dibandingkan dengan mereka yang bekerja pada pekerjaan yang lebih rendah,
  2. Pangkat (golongan). Pekerjaan yang mendasarkan pada perbedaan pangkat atau golongan, sehingga pekerjaan tersebut memberikan kedudukan tertentu pada orang yang melakukannya. Jika ada kenaikan upah maka sedikit atau banyaknya upah yang dianggap sebagai kenaikan pangkat dan kebanggaan terhadap kedudukan yang baru akan berubah perilaku dan perasaan,
  3. Umur. Umur memiliki hubungan dengan kepuasan kerja guru. Umur diantara 25 tahun sampai 34 tahun dan umur 45 sampai 45 tahun adalah merupakan umur-umur yang bisa menimbulkan perasaan puas terhadap pekerjaan,
  4. Jaminan finansial dan jaminan sosial. Masalah finansial dan jaminan sosial kebanyakan berpengaruh terhadap kepuasan kerja. Seorang guru yang mendapatkan gaji atau mendapatkan tunjangan tinggi maka akan memperoleh kepuasan,
  5. Mutu pengawasan. Kepuasan guru ditentukan oleh perhatian dan hubungan yang baik dari pimpinan kepada guru, sehingga guru akan merasa bahwa dirinya merupakan bagian yang penting dari organisasi kerja.
Indikator kepuasan atau ketidakpuasan kerja pegawai dapat diperlihatkan oleh beberapa aspek diantaranya:
  1. Jumlah kehadiran pegawai atau jumlah kemangkiran,
  2. Perasaan senang atau tidak senang dalam melaksanakan pekerjaan,
  3. Perasaan adil atau tidak adil dalam menerima imbalan,
  4. Suka atau tidak suka dengan jabatan yang dipegangnya.
  5. Sikap menolak pekerjaan atau menerima dengan penuh tanggung jawab.
Fungsi kepuasan kerja
Menurut Strauss dan Sayles (1980: 5-6) kepuasan kerja penting untuk aktualisasi diri. Guru yang tidak memperoleh kepuasan kerja tidak akan pernah untuk mencapai kematangan psikologis dan akan menjadi frustrasi yang menyebabkan guru akan senang melamun, mempunyai semangat kerja rendah, cepat lelah atau bosan, emosi tidak stabil, sering absen dan mengakibatkan turunnya kinerja guru dan sebaliknya. Oleh karena itu kepuasan kerja mempunyai arti yang penting, baik bagi guru maupun sekolah terutama karena menciptakan keadaan positif dalam lingkungan kerja (Handoko, 1987: 145-146).
Pengukuran kepuasan kerja
Pengukuran kepuasan kerja sangat bervariasi. informasi yang didapat dari kepuasan kerja ini bisa melalui tanya jawab secara perorangan, dengan angket ataupun dengan pertemuan suatu kelompok kerja. Kalau menggunakan tanya jawab sebagai alatnya, maka guru diminta untuk merumuskan tentang perasaannya terhadap aspek-aspek pekerjaan. Cara lain adalah dengan mengamati sikap dan tingkah laku orang tersebut (As’ad,1987:111). Di dalam pengukuran kepuasan kerja, metode yang digunakan adalah dengan membuat kuesioner yang berhubungan dengan masalah kepuasan kerja yang meliputi faktor finansial, faktor fisik, faktor sosial dan faktor psikologi, yang kemudian disebar pada responden untuk dijawab atau diisi sesuai keadaan yang sebenarnya.
Kepuasan kerja merupakan sikap positif yang menyangkut penyesuaian guru terhadap faktor-faktor yang, mempengaruhinya. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi kerja, meliputi:
  1. Faktor kepuasan finansial, yaitu terpenuhinya keinginan guru terhadap kebutuhan finansial yang diterimanya untuk memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari sehingga kepuasan kerja bagi guru dapat terpenuhi. Hal ini meliputi; sistem dan besarnya gaji, jaminan sosial, macam-macam tunjangan, fasilitas yang diberikan serta promosi (As’ad, 1987:118),
  2. Faktor kepuasan fisik, yaitu faktor yang berhubungan dengan kondisi fisik lingkungan kerja dan kondisi fisik guru. Hal ini meliputi; jenis pekerjaan, pengaturan waktu kerja dan istirahat, perlengkapan kerja, keadaan ruangan/suhu, penerangan, pertukaran udara, kondisi kesehatan guru dan umur (As’ad, 1987:117),
  3. Faktor kepuasan sosial, yaitu faktor yang berhubungan dengan interaksi sosial baik antara sesama guru, dengan atasannya maupun guru yang berbeda jenis pekerjaannya. Hal ini meliputi rekan kerja yang kompak, pimpinan yang adil dan bijaksana, serta pengarahan dan perintah yang wajar (Husnan, 1986:194),
  4. Faktor Kepuasan Psikologi, yaitu faktor yang berhubungan dengan kejiwaan guru. Hal ini meliputi; minat, ketenteraman dalam bekerja, sikap terhadap kerja, bakat dan keterampilan (As’ad,1987:117).
Dari definisi faktor-faktor di atas maka dapat diambil kesimpulan bahwa faktor-faktor tersebut mempengaruhi kepuasan kerja yang memiliki peran yang penting bagi sekolah dalam memilih dan menempatkan guru dalam pekerjaannya dan sebagai partner usahanya agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan atau sepantasnya dilakukan.
      1. Korelasi Kepuasan Kerja
Hubungan antara kepuasan kerja dengan variabel lain dapat bersifat positif atau negatif. Kekuatan hubungan mempunyai rentang dari lemah sampai kuat. Hubungan yang kuat menunjukkan bahwa atasan dapat mempengaruhi dengan signifikan variabel lainnya dengan meningkatkan kepuasan kerja (Kinicki, 2001:226).
Beberapa korelasi kepuasan kerja sebagai berikut:
    1. Motivasi
Antara motivasi dan kepuasan kerja terdapat hubungan yang positif dan signifikan. Karena kepuasan dengan pengawasan/supervisi juga mempunyai korelasi signifikan dengan motivasi, atasan/manajer disarankan mempertimbangkan bagaimana perilaku mereka mempengaruhi kepuasan pekerja sehingga mereka secara potensial dapat meningkatkan motivasi pekerja melalui berbagai usaha untuk meningkatkan kepuasan kerja.
    1. Pelibatan kerja
Hal ini menunjukkan kenyataan dimana individu secara pribadi dilibatkan dengan peran kerjanya. Karena pelibatan kerja mempunyai hubungan dengan kepuasan kerja, dan peran atasan/manajer perlu didorong memperkuat lingkungan kerja yang memuaskan untuk meningkatkan keterlibatan kerja pekerja.
    1. Organizational citizenship behavior
Merupakan perilaku pekerja di luar dari apa yang menjadi tugasnya.
    1. Organizational commitment
Mencerminkan tingkatan dimana individu mengidentifikasi dengan organisasi dan mempunyai komitmen terhadap tujuannya. Antara komitmen organisasi dengan kepuasan terdapat hubungan yang signifikan dan kuat, karena meningkatnya kepuasan kerja akan menimbulkan tingkat komitmen yang lebih tinggi. Selanjutnya komitmen yang lebih tinggi dapat meningkatkan produktivitas kerja.
    1. Ketidakhadiran (absenteisme)
Antara ketidakhadiran dan kepuasan terdapat korelasi negatif yang kuat. Dengan kata lain apabila kepuasan meningkat, ketidakhadiran akan turun.
6) Perputaran (Turnover)
Hubungan antara perputaran dengan kepuasan adalah negatif. Dimana perputaran dapat mengganggu kontinuitas organisasi dan mahal sehingga diharapkan atasan/manajer dapat meningkatkan kepuasan kerja dengan mengurangi perputaran.
    1. Perasaan stres
Antara perasaan stres dengan kepuasan kerja menunjukkan hubungan negatif dimana dengan meningkatnya kepuasan kerja akan mengurangi dampak negatif stres.
    1. Prestasi kerja/kinerja
Terdapat hubungan positif rendah antara kepuasan dan prestasi kerja. Sementara itu menurut Gibson (2000:110) menggambarkan hubungan timbal balik antara kepuasan dan kinerja. Di satu sisi dikatakan kepuasan kerja menyebabkan peningkatan kinerja sehingga pekerja yang puas akan lebih produktif. Di sisi lain terjadi kepuasan kerja disebabkan oleh adanya kinerja atau prestasi kerja sehingga pekerja yang lebih produktif akan mendapatkan kepuasan.
      1. Mengukur Kepuasan Kerja
Pengukuran kepuasan kerja ternyata sangat bervariasi, baik dari segi analisa statistik maupun dari segi pengumpulan datanya. Informasi yang didapat dari kepuasan kerja ini biasanya melalui tanya jawab secara perorangan, dengan angket maupun dengan pertemuan kelompok kerja (Riggio:2005). Dalam semua kasus, kepuasan kerja diukur dengan kuesioner laporan diri yang diisi oleh karyawan. Pengukuran kepuasan kerja dapat dilakukan melalui beberapa pendekatan, yaitu kepuasan kerja dilihat sebagai konsep global, kepuasan kerja dilihat sebagai konsep permukaan, dan sebagai fungsi kebutuhan yang terpenuhkan.
    1. Pengukuran kepuasan kerja dilihat sebagai konsep global
Konsep ini merupakan konsep satu dimensi, semacam ringkasan psikologi dari semua aspek pekerjaan yang disukai atau tidak disukai dari suatu jabatan. Pengukuran ini dilakukan dengan menggunakan kuesioner satu pertanyaan (soal). Cara ini memiliki sejumlah kelebihan, diantaranya adalah tidak ada biaya pengembangan dan dapat dimengerti oleh mereka yang ditanyai. Selain itu cara ini cepat, mudah diadministrasikan dan diberi nilai. Kuesioner satu pertanyaan menyediakan ruang yang cukup banyak bagi penafsiran pribadi dari pertanyaan yang diajukan. Responden akan menjawab berdasarkan gaji, sifat pekerjaan, iklim sosial organisasi, dan sebagainya.
    1. Pengukuran kepuasan kerja dilihat sebagai konsep permukaan
Konsep ini menggunakan konsep facet (permukaan) atau komponen, yang menganggap bahwa kepuasan karyawan dengan berbagai aspek situasi kerja yang berbeda dapat bervariasi secara bebas dan harus diukur secara terpisah. Diantara konsep facet yang dapat diperiksa adalah beban kerja, keamanan kerja, kompetensi, kondisi kerja, status dan prestise kerja. Kecocokan rekan kerja, kebijaksanaan penilaian perusahaan, praktek manajemen, hubungan atasan-bawahan, otonomi dan tanggung jawab jabatan, kesempatan untuk menggunakan pengetahuan dan keterampilan, serta kesempatan untuk pertumbuhan dan pengembangan.
    1. Pengukuran kepuasan kerja dilihat sebagai kebutuhan yang terpenuhkan
Yaitu suatu pendekatan terhadap pengukuran kepuasan kerja yang tidak menggunakan asumsi bahwa semua orang memiliki perasaan yang sama mengenai aspek tertentu dari situasi kerja, pendekatan ini dikembangkan oleh Porter. Kuesioner Porter didasarkan pada pendekatan teori kebutuhan akan kepuasan kerja. Kuesioner ini terdiri dari 15 pertanyaan yang berkaitan dengan kebutuhan akan rasa aman, penghargaan, otonomi, sosial, dan aktualisasi diri.
Berdasarkan kebutuhan dan persepsi orang itu sendiri mengenai jabatannya, tiap responden menjawab tiga pertanyaan mengenai masing-masing pertanyaan: (1) berapa yang ada sekarang? (2) berapa seharusnya? (3) bagaimana pentingnya hal ini bagi saya? Berdasarkan tanggapan terhadap pertanyaan mengenai pemenuhan kebutuhan kerja tersebut, kepuasan kerja diukur dengan perbedaan antara “berapa yang ada sekarang?” dan “berapa yang seharusnya?”, semakin kecil perbedaan, maka semakin besar kepuasannya.
Nilai yang terpisah dihitung untuk masing-masing dari lima kategori kebutuhan. Pertanyaan “bagaimana pentingnya hal ini bagi saya?” memberikan kepada penyelia ukuran kekuatan relatif dari masing-masing kebutuhan bagi tiap responden. Pendapat lain, Greenberg dan Baron menunjukkan tiga cara untuk melakukan pengukuran kepuasan kerja yaitu :
  1. Rating Scale dan Kuesioner
Dengan metode ini orang menjawab pertanyaan dari kuesioner yang menggunakan rating scales sehingga mereka melaporkan reaksi mereka pada pekerjaan mereka.
  1. Critical incidents
Individu menjelaskan kejadian yang menghubungkan pekerjaan mereka yang dirasaka terutama memuaskan atau tidak memuaskan. Jawaban mereka dipelajari untuk mengungkap tema yang mendasari. Sebagai contoh misalnya apabila banyak pekerja yang menyebutkan situasi pekerjaan dimana mereka mendapatkan perlakuan kurang baik oleh supervisor atau sebaliknya.
  1. Interviews
Dengan melakukan wawancara tatap muka dengan pekerja dapat diketahui sikap mereka secara langsung dan dapat mengembangkan lebih dalam dengan menggunakan kuesioner yang terstruktur.
Menurut Robbins pengukuran kepuasan kerja sebagai berikut:
  1. Single global rating, yaitu tidak lain dengan minta individu merespons atas satu pertanyaan seperti: dengan mempertimbangkan semua hal, seberapa puas anda dengan pekerjaan anda? Responden menjawab antara highly statisfied dan high dissatisfied,
  2. Summation score lebih canggih. Mengidentifikasi elemen kunci dalam pekerjaan dan menanyakan perasaan pekerja tentang masing-masing elemen. Faktor spesifik yang diperhitungkan adalah : sifat pekerjaan, supervisi, upah, sekarang, kesempatan promosi dan hubungan dengan coworker. Faktor ini di peringkat pada skala yang distandarkan dan ditambahkan untuk menciptakan job stratisfiction score (JDI) secara menyeluruh.
      1. Pengaruh Kepuasan Kerja
    1. Terhadap Produktivitas
Orang berpendapat produktivitas dapat dinaikkan dengan meningkatkan kepuasan kerja. Kepuasan kerja mungkin merupakan akibat dari produktivitas atau sebaliknya. Produktivitas yang tinggi menyebabkan peningkatan dari kepuasan kerja hanya jika tenaga kerja mempersepsikan bahwa apa yang telah dicapai perusahaan sesuai dengan apa yang mereka terima (upah) yaitu adil dan wajar serta diasosiasikan dengan performa kerja yang unggul. Dengan kata lain bahwa performansi kerja menunjukkan tingkat kepuasan kerja seorang pekerja, karena perusahaan dapat mengetahui aspek-aspek pekerjaan dari tingkat keberhasilan yang diharapkan.
    1. Ketidakhadiran (absenteisme)
Menurut Porter dan Steers ketidakhadiran sifatnya lebih spontan dan kurang mencerminkan ketidakpuasan kerja. Tidak adanya hubungan antara kepuasan kerja dengan ketidakhadiran. Karena ada dua faktor dalam perilaku hadir yaitu motivasi untuk hadir dan kemampuan untuk hadir. Sementara itu menurut Wibowo (2007:312) antara kepuasan dan ketidakhadiran/kemangkiran menunjukkan korelasi negatif. Sebagai contoh perusahaan memberikan cuti sakit atau cuti kerja dengan bebas tanpa sanksi atau denda termasuk kepada pekerja yang sangat puas.
    1. Keluarnya pekerja (turnover)
Sedangkan berhenti atau keluar dari pekerjaan mempunyai akibat ekonomis yang besar, maka besar kemungkinannya berhubungan dengan ketidakpuasan kerja. Menurut Robbins (1998), ketidakpuasan kerja pada pekerja dapat diungkapkan dalam berbagai cara misalnya selain dengan meninggalkan pekerjaan, mengeluh, membangkang, mencuri barang milik organisasi, menghindari sebagian tanggung jawab pekerjaan mereka dan lainnya.
      1. Cara Tenaga Kerja Mengungkapkan Ketidakpuasan
Ada empat cara tenaga kerja mengungkapkan ketidakpuasan Robbins (2003):
  1. Keluar (exit) yaitu meninggalkan pekerjaan termasuk mencari pekerjaan lain,
  2. Menyuarakan (voice) yaitu memberikan saran perbaikan dan mendiskusikan masalah dengan atasan untuk memperbaiki kondisi,
  3. Mengabaikan (neglect) yaitu sikap dengan membiarkan keadaan menjadi lebih buruk seperti sering absen atau semakin sering membuat kesalahan,
  4. Kesetiaan (loyality) yaitu menunggu secara pasif samapi kondisi menjadi lebih baik termasuk membela perusahaan terhadap kritik dari luar.
      1. Dimensi Kepuasan Kerja
Kepuasan merupakan suatu sikap yang dimiliki oleh para individu sehubungan dengan jabatan atau pekerjaan mereka. Ia timbul dari persepsi mereka tentang jabatan atau pekerjaan mereka. Kepuasan jabatan timbul karena aneka macam aspek dari jabatan atau pekerjaan seperti misalnya : imbalan berupa uang, peluang untuk promosi, supervisor, para rekan sekerja. Kepuasan pekerjaan juga berasal dari faktor-faktor yang berhubungan dengan lingkungan pekerjaan.
Gaya supervisor, kebijakan-kebijakan, dan prosedur-prosedur, afiliasi kelompok kerja, kondisi-kondisi kerja, dan imbalan-imbalan lain di luar gaji. Ada lima dimensi yaitu:
  1. Gaji atau upah yang diterima adalah jumlah gaji atau upah yang diterima dan kelayakan imbalan tersebut,
  2. Pekerjaan adalah tingkat hingga di mana tugas-tugas pekerjaan dianggap menarik dan memberikan peluang untuk belajar dan menerima tanggung jawab,
  3. Peluang-peluang promosi adalah tersedianya peluang-peluang untuk mencapai kemajuan dalam jabatan,
  4. Supervisor adalah kemampuan sang supervisor untuk menunjukkan perhatian terhadap karyawan,
  5. Para rekan sekerja adalah tingkat hingga di mana para rekan sekerja bersikap bersahabat, kompeten, dan saling bantu membantu.
Dimana kelima macam dimensi kepuasan jabatan telah diukur dalam studi tertentu dimana menggunakan apa yang dinamakan Indeks Deskiptif Jabatan (Job Descriptive Index). Yang diberi hak cipta kepada Bowling Green State University di Amerika Serikat (dalam Winardi, 2009:217). Dimana dimensi masing-masing dapat digambarkan sebagai berikut:
  1. Pekerjaan:
  1. Rutin,
  2. Kreatif,
  3. Menjemukan.
  1. Supervisi
  1. Meminta pandangan saya,
  2. Memuji karya baik,
  3. Tidak cukup melaksanakan supervisi,
  4. Memberitahukan keadaan saya.
  1. Orang-orang
  1. Merangsang,
  2. Ambisius,
  3. Terlampau banyak berbicara,
  4. Sulit dihadapi.
  1. Gaji atau upah
  1. Penghasilan cukup untuk pengeluaran-pengeluaran normal,
  2. Terlampau rendah,
  3. Kurang dibandingkan dengan apa yang seharusnya saya terima,
  4. Pembayaran sangat tinggi.
  1. Promosi-promosi
  1. Peluang baik untuk maju,
  2. Promosi berdasarkan kemampuan,
  3. Pekerjaan tanpa harapan maju,
  4. Kebijaksanaan promosi tidak fair.
Penelitian oleh Stanton, pengukuran kepuasan kerja menggunakan Job Descriptive Index. Dengan sampel 636 di universitas dan 1.534 di nasional.
  1. Pekerjaan
  1. Memberikan rasa keberhasilan,
  2. Membosankan,
  3. Memuaskan,
  4. Tidak menarik,
  5. Menantang.
  1. Gaji
  1. Adil,
  2. Rendah,
  3. Pendapatan yang memadai untuk biaya promosi,
  4. Dibayar dengan baik,
  5. Aman.
  1. Promosi
  1. Kesempatan untuk promosi,
  2. Pekerjaan buntu,
  3. Promosi pada kemampuan,
  4. Kesempatan baik untuk promosi,
  5. Kebijakan promosi tidak adil.
  1. Supervise
  1. Memuji kerja yang baik,
  2. Menjengkelkan,
  3. Bijaksana,
  4. Buruk,
  5. Up to Date.
  1. Rekan sekerja
  1. Bermanfaat,
  2. Membosankan,
  3. Cerdas,
  4. Malas,
  5. Bertanggung jawab.
      1. Meningkatkan Kepuasan Kerja
Greenberg dan Baron (2003:159) memberikan saran untuk mencegah ketidakpuasan dan meningkatkan kepuasan dengan cara:
    1. Membuat pekerjaan yang menyenangkan
Karena pekerjaan yang mereka senang kerjakan daripada yang membosankan akan membuat orang menjadi lebih puas.
    1. Orang dibayar dengan jujur
Orang yang percaya bahwa sistem pengupahan/penggajian tidak jujur cendrung tidak puas dengan pekerjaannya.
    1. Mempertemukan orang dengan pekerjaan yang cocok dengan minatnya.
Semakin banyak orang menemukan bahwa mereka dapat memenuhi kepentingannya di tempat kerja, semakin puas mereka dengan pekerjaannya.
    1. Menghindari kebosanan dan pekerjaan beruang-ulang
Kebanyakan orang cenderung mendapatkan sedikit kepuasan dalam melakukan pekerjaan yang sangat membosankan dan berulang. Karena orang jauh lebih puas dengan pekerjaan yang meyakinkan mereka memperoleh sukses dengan secara bebas melakukan kontrol atas cara mereka melakukan sesuatu.
Sedangkan menurut Riggio, peningkatan kerja dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut:
    1. Melakukan perubahan struktur kerja
Misalnya dengan melakukan perputaran pekerjaan (job rotation), yaitu sebuah sistem perubahan pekerjaan dari salah satu tipe tugas ke tugas yang lainnya (yang disesuaikan dengan job description). Cara kedua yang harus dilakukan adalah dengan pemekaran (job enlargement), atau perluasan satu pekerjaan sebagai tambahan dan bermacam-macam tugas pekerjaan. Praktek untuk para pekerja yang menerima tugas-tugas tambahan dan bervariasi dalam usaha untuk membuat mereka merasakan bahwa mereka adalah lebih dari sekedar anggota dari organisasi.
    1. Melakukan perubahan struktur pembayaran
Perubahan sistem pembayaran ini dilakukan dengan berdasarkan pada keahliannya (skill-based pay), yaitu pembayaran dimana para pekerja digaji berdasarkan pengetahuan dan keterampilannya daripada posisinya di perusahaan. Pembayaran kedua dilakukan berdasarkan jasanya (merit pay), sistem pembayaran dimana pekerja digaji berdasarkan performance-nya, pencapaian finansial pekerja berdasarkan pada hasil yang dicapai oleh individu itu sendiri. Dan pembayaran yang ketiga adalah Gainsharing atau pembayaran berdasarkan pada keberhasilan kelompok (keuntungan dibagi kepada seluruh anggota kelompok).
    1. Pemberian jadwal kerja yang fleksibel
Dengan memberikan kontrol pada para pekerja mengenai pekerjaan sehari-hari mereka, yang sangat penting untuk mereka yang bekerja di daerah padat, dimana pekerja tidak bisa bekerja tepat waktu atau untuk mereka yang mempunyai tanggung jawab pada anak-anak. Compressed work week (pekerjaan mingguan yang dipadatkan), dimana jumlah pekerjaan per harinya dikurangi sedang jumlah jam pekerjaan per hari ditingkatkan. Cara yang kedua adalah dengan sistem penjadwalan dimana seorang pekerja menjalankan sejumlah jam khusus per minggu (Flextime), tetapi tetap mempunyai fleksibilitas kapan mulai dan mengakhiri pekerjaannya.
    1. Mengadakan program yang mendukung
Perusahaan mengadakan program-program yang dirasakan dapat meningkatkan kepuasan kerja para karyawan, seperti; health center, profit sharing, employee sponsored child care, dan lain-lain.
      1. Kepuasan Kerja Guru
Ada dua pendekatan pokok dalam mengukur kepuasan kerja yaitu pendekatan global dan pendekatan segi. Pendekatan segi banyak digunakan untuk meninjau masalah kepuasan kerja (Smith dalam Hadjam dan Nasiruddin, 2003). Disebutkan bahwa kepuasan kerja disusun oleh aspek-aspek kepuasan terhadap pekerjaan itu sendiri, seperti gaji/imbalan yang diterima, kesempatan untuk promosi dan pengembangan karir, kualitas supervisor dan hubungan dengan rekan kerja.
Aspek-aspek lain yang terdapat dalam kepuasan kerja :
  1. Kerja yang secara mental menantang, kebanyakan karyawan menyukai pekerjaan-pekerjaan yang memberi mereka kesempatan untuk menggunakan keterampilan dan kemampuan mereka dan menawarkan tugas, kebebasan dan umpan balik mengenai betapa baik mereka mengerjakan. Karakteristik ini membuat kerja secara mental menantang. Pekerjaan yang terlalu kurang menantang menciptakan kebosanan, tetapi terlalu banyak menantang menciptakan frustrasi dan perasaan gagal. Pada kondisi tantangan yang sedang, kebanyakan karyawan akan mengalami kesenangan dan kepuasan,
  2. Ganjaran yang pantas, para karyawan menginginkan sistem upah dan kebijakan promosi yang mereka persepsikan sebagai adil,dan segaris dengan pengharapan mereka. Pemberian upah yang baik didasarkan pada tuntutan pekerjaan, tingkat keterampilan individu, dan standar pengupahan komunitas, kemungkinan besar akan dihasilkan kepuasan. tidak semua orang mengejar uang. Banyak orang bersedia menerima baik uang yang lebih kecil untuk bekerja dalam lokasi yang lebih diinginkan atau dalam pekerjaan yang kurang menuntut atau mempunyai keleluasaan yang lebih besar dalam kerja yang mereka lakukan dan jam-jam kerja. Tetapi kunci yang menakutkan upah dengan kepuasan bukanlah jumlah mutlak yang dibayarkan; yang lebih penting adalah persepsi keadilan. Serupa pula karyawan berusaha mendapatkan kebijakan dan praktik promosi yang lebih banyak, dan status sosial yang ditingkatkan. Oleh karena itu individu yang mempersepsikan bahwa keputusan promosi dibuat dalam cara yang adil (fair and just) kemungkinan besar akan mengalami kepuasan dari pekerjaan mereka,
  3. Kondisi kerja yang mendukung, karyawan peduli akan lingkungan kerja baik untuk kenyamanan pribadi maupun untuk memudahkan mengerjakan tugas. Studi-studi memperagakan bahwa karyawan lebih menyukai keadaan sekitar fisik yang tidak berbahaya atau merepotkan. Temperatur (suhu), cahaya, kebisingan, dan faktor lingkungan lain seharusnya tidak ekstrem (terlalu banyak atau sedikit),
  4. Rekan kerja yang mendukung, orang-orang mendapatkan lebih daripada sekedar uang atau prestasi yang berwujud dari dalam kerja. Bagi kebanyakan karyawan, kerja juga mengisi kebutuhan akan sosial. Oleh karena itu bila mempunyai rekan sekerja yang ramah dan menyenangkan dapat menciptakan kepuasan kerja yang meningkat. Tetapi Perilaku atasan juga merupakan determinan utama dari kepuasan,
  5. Kesesuaian kepribadian dengan pekerjaan, pada hakikatnya orang yang tipe kepribadiannya kongruen (sama dan sebangun) dengan pekerjaan yang mereka pilih seharusnya mendapatkan bahwa mereka mempunyai bakat dan kemampuan yang tepat untuk memenuhi tuntutan dari pekerjaan mereka. Dengan demikian akan lebih besar kemungkinan untuk berhasil pada pekerjaan tersebut, dan karena sukses ini, mempunyai kebolehjadian yang lebih besar untuk mencapai kepuasan yang tinggi dari dalam kerja mereka,
Hal ini sejalan dengan Gibson (2000) yang mengemukakan lima hal yang terutama mempunyai karakteristik penting berkaitan dengan pengukuran kepuasan
kerja yaitu: (1) pembayaran: suatu jumlah yang diterima dan keadaan yang dirasakan dari pembayaran; (2) pekerjaan: sampai sejauh mana tugas kerja dianggap menarik dan memberikan kesempatan untuk belajar dan untuk menerima tanggung jawab; (3) kesempatan promosi: adanya kesempatan untuk maju; (4) penyelia: kemampuan penyelia untuk memperlihatkan ketertarikan dan perhatian kepada pekerja.; (5) rekan sekerja: sampai sejauh mana rekan sekerja bersahabat, kompeten dan mendukung. Dimensi tersebut juga telah dikembangkan oleh para peneliti dari Cornel University dalam Job Descriptive Index untuk menilai kepuasan kerja seseorang dengan dimensi kerja berikut: pekerjaan, upah, promosi, rekan sekerja dan pengawasan (Kreitner, 2003).
Kepuasan kerja guru ditunjukkan oleh sikapnya dalam bekerja/mengajar. Jika guru puas akan keadaan yang mempengaruhi dia maka dia akan bekerja dengan baik/mengajar dengan baik. Tetapi jika guru kurang puas maka dia akan mengajar sesuai kehendaknya. Misalnya seorang kepala sekolah mungkin menyimpulkan bahwa “Pak Daliansyah tampaknya sangat senang dengan promosinya sebagai wakil kepala sekolah yang sekarang”. Pak Daliansyah kelihatan puas dengan keadaan yang mempengaruhi dia maka dia mengajar dengan baik dan bersemangat.
Konsep kepuasan kerja guru dalam hubungannya dalam penelitian ini adalah pendekatan segi banyak digunakan untuk meninjau masalah kepuasan kerja (Smith dalam Hadjam dan Nasiruddin, 2003). Jadi kepuasan kerja adalah sikap dan perasaan puas atau tidak puas seorang guru terhadap pekerjaan yang merupakan hasil penilaian yang bersifat subyektif terhadap aspek-aspek pekerjaan itu sendiri, gaji yang diterima, kesempatan untuk promosi dan pengembangan karir, kualitas kepala sekolah sebagai supervisor, dan hubungan dengan rekan sekerja.

DAFTAR PUSTAKA

Abu, D., I. 1999. School Based Management. Paris: Unesco.

Alma, B. 2003. Pemasaran Stratejik Jasa Pendidikan. Bandung: Alfabeta.

Anoraga, P. 1992. Psikologi Kerja. Jakarta: Rineka Cipta.

Atmodiwirio. S. 2000. Manajemen Pendidikan Indonesia. Jakarta:Ardadizya Jaya.

Bafadal, I. 2006. Manajemen Peningkatan Mutu Sekolah Dasar dari Sentralisasi menuju Desentralisasi. Jakarta: PT. Bumi Aksara.

Bafadal, I. 2008. Peningkatan Profesionalisme Guru Sekolah Dasar (Kerangka MBS). Jakarta: PT. Bumi Aksara.

Bass, B. M . 1985. Leadership and Performance Beyond Expectation. New York: Free Press.

Bass, B. M., dan Avolio, B. J. 1993. Improving Organizational Effectiveness through Transformational Leadership. London: Sage.

Bass, B. M., dan Riggio, R. E. 2005. Transformational Leadership. London: Routledge.

Brennan, M. A., dan Pracht, D. 2009. Understanding Organizational Leadership. Florida. University of Florida. (http://edis.ifas.ufl.edu, diakses 2 Mei 2010).

Burns, J. M. 1978. Leadership. New York: Harper dan Row.

Cadwel . B. 2005. School –Based Manajement. Belgium: Unesco.

Covey, S., R. 1991. Prinsip-Centered Leadership. New York: Simon and Schuster.

Gardner, J., W. 1990. Leadership. New York: The Free Press.

Grifin, A. M., dan Rafferty, A., E. 2004. Dimensions of Tranformational Leadership: Conceptual and Emprical Extensions. Australia: Queensland University Of Technology. (www.sciencedirect.com diakses 2 Mei 2010).

Gunawan, H., A. 1996. Admistrasi Sekolah. Jakarta: PT. Rineka Cipta.

Hamzah, B. U. 2008. Profesi Pendidikan. Jakarta: PT. Bumi Aksara.

Hall, J., Johnson, S., Wysocki, A., dan Kepner, K. 2008. Tranformational Leadership: The Transformation of Managers and Associates. Florida. University of Florida. (http://edis.ifas.ufl.edu diakses 2 Mei 2010).

Hersey, P., Blanchard, K., H., dan Johnson, D., E 2001. Manajemen Perilaku Organisasi. Upper Saddle River, New Jersey: Prentice Hall.

Herujito, M., Y. 2001. Dasar-dasar Manajemen. Jakarta: PT. Grasindo.

Hunsicker, F., R. 1996. Organisasi Teori bagi Pemimpin, dalam Konsep Kepemimpinan untuk Angkatan Udara. Dalam Richard I. Lester dan Glenn Morton A. (Eds.), Maxwell: Air University.

Hickman, G. 1993. Toward transformistic organizations: A Conceptual Framework.

Imron, A. 2000. Manajemen Pendidikan. Malang: Universitas Negeri Malang.

Jalal, F. 2008. Persentasi Strategi Arah dan Pengembangan Sekolah Unggul. www.depdiknas.

Jefrey, M., S., Evan, F. S., William, K., B., Ananda, L. J., Thoresen, P., Shahnaz, A., Gwenith, G. F., dan Patricia C., S. 2001. Development of a Compact Measure Of Job Satisfaction: The Abridged Job Descriptive Index. Educational and Psychological Measurement, Vol. 61 No. 6 by Sage Publication.

Lussier, R., N., dan Achua, C. F. 2001. Kepemimpinan: Teori, Aplikasi, dan Pengembangan Keterampilan. Cincinnati OH: South-Western College Publishing.

Mulyasa, E. 2002. Manajemen Berbasis Sekolah. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Parek, U. 1984. Perilaku Organisasi. Jakarta: PT. Midas Surya Grafindo.

Pidarta, M. 2004. Manajemen Pendidikan Indonesia. Jakarta: PT. Rineka Cipta.

Rosyada, D. 2004. Paradigma Pendidikan Demokratis. Jakarta: Prenada Media.

Sangala, S. 2000. Admistrasi Pendidikan Kontemporer. Bandung: CV. Alfabeta.

Soetjipto dan Kosasi, R. 1994. Profesi Keguruan. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi.

Sudarman D., dan Suparno, 2009. Manajemen dan Kepemimpinan Transformational Kekepalasekolahan. Jakarta: PT. Rineka Cipta.

Sudjana. H. D. 2004. Manajemen Pendidikan untuk Pendidikan Nonformal”. Bandung: Fatah Production.

Suryobroto, B. 2005. Manajemen Pendidikan di Sekolah. Jakarta: PT. Rineka Cipta.

Sutisna, O. 2000. Admistrasi Pendidikan. Bandung: Angkasa.

Uzer, U., M. 2001. Menjadi Guru Profesional. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Winardi. 2009. Manajemen Prilaku Organisasi. Jakarta: Media Group.