14 Januari 2010
DOLAN NENG AMUNTAI TABALONG KALSEL
MODEL PENGEMBANGAN KURIKULUM DAN STRATEGI PEMBELAJARAN BERBASIS SOSIOLOGI KRITIS, KREATIVITAS, DAN MENTALITAS
Pendahuluan
Pengembangan kurikulum adalah istilah yang komprehensif, di dalamnya mencakup perencanaan, penerapan, dan evaluasi (Sudrajat, 2009). Perencanaan kurikulum adalah langkah awal membangun kurikulum ketika pekerja kurikulum membuat keputusan dan mengambil tindakan untuk menghasilkan perencanaan yang akan digunakan oleh guru dan peserta didik. Penerapan Kurikulum atau biasa disebut juga implementasi kurikulum berusaha mentransfer perencanaan kurikulum ke dalam tindakan operasional. Evaluasi kurikulum merupakan tahap akhir dari pengembangan kurikulum untuk menentukan seberapa besar hasil-hasil pembelajaran, tingkat ketercapaian program-program yang telah direncanakan, dan hasil-hasil kurikulum itu sendiri.
Pengembangan kurikulum tidak hanya melibatkan orang yang terkait langsung dengan dunia pendidikan saja, namun di dalamnya melibatkan banyak orang, seperti politikus, pengusaha, orangtua peserta didik, serta unsur-unsur masyarakat lainnya yang merasa berkepentingan dengan pendidikan. Prinsip-prinsip yang akan digunakan dalam kegiatan pengembangan kurikulum pada dasarnya merupakan kaidah-kaidah atau hukum yang akan menjiwai suatu kurikulum.
Kurikulum yang ada pada pendidikan sekolah menurut Hamzah (2008) mengalami stagnasi, statis, dan berorientasi pada materialitas. Stagnasi terlihat dari adopsi dan replikasi kurikulum pendidikan sekolah. Nuansa hegemoni pada dunia pendidikan sekolah terasa mengental, bahkan menuju ke arah status quo kurikulum sekolah. Kurikulum sekolah telah mengalami perubahan, pengurangan, dan penambahan muatan materi, akan tetapi sekolah tidak melakukan perubahan kurikulum atau mengalami stagnasi kurikulum yang berkelanjutan.
Lebih lanjut Hamzah (2008) berpendapat kenyamanan karena adanya hegemoni tersebut membuat pola pikir dan arah nalar para pendidik dan peserta didik terpasung dalam pendidikan yang menjerumuskan bukannya pendidikan yang membebaskan. Untuk itu, internalisasi sikap, perilaku, dan tindakan kritis pada kurikulum pendidikan sekolah perlu dilakukan. Hal ini ditunjukkan dengan melakukan kajian kritis pada setiap adopsi dan replikasi kurikulum yang digunakan oleh sekolah.
Kestatisan pada kurikulum pendidikan sekolah terlihat dari tidak adanya kreativitas dalam kurikulum tersebut. Kalau terdapat kreativitas, itu pun mengarah pada materialitas yang selama ini sudah didoktrinkan oleh beberapa pendidik kepada peserta didik. Ketiadaan kreativitas ini terbelenggu dengan adanya pembatasan kurikulum yang semata-mata mengacu pada hal-hal yang bernuansa ekonomi dan hitungan saja. Pengembangan intuisi, imajinasi, dan inspirasi yang mengarah pada inovasi tidak atau kurang diinternalisasi pada kurikulum. Begitu pula keterkaitan pendidikan sekolah dengan ilmu-ilmu sosial lainnya kurang begitu diperhatikan.
Adanya pemasungan kreativitas pada kurikulum tersebut mengakibatkan terhambatnya daya inovasi, inspirasi, dan imajinasi sekaligus menumpulkan intuisi dalam pengembangan pendidikan sekolah. Keterjebakan kurikulum pendidikan sekolah pada stagnasi dan statis menurut Hamzah (2008) menjadi dilematis dengan mengarahkannya kepada materialitas. Nilai mentalitas, seperti kejujuran, keadilan, kasih, dan sayang masih belum nampak di dalam kurikulum pendidikan sekolah.
Hal ini dipertegas oleh Topatimasang dan Fakih (2007) yang menyatakan kurikulum pendidikan sekolah cenderung menafikan nilai mentalitas, tetapi mengutamakan nilai materialitas. Keseimbangan muatan kurikulum pada nilai materialitas dan mentalitas berjalan berat sebelah. Strategi balanced scorecard yang diajarkan pada intinya dimuarakan pada kepentingan materialitas bukan pada keseimbangan antara materialitas dan mentalitas. Hal ini dapat mengakibatkan keluaran dari pendidikan sekolah adalah insan-insan yang materilitas dan distigma.
Oleh karena itu strategi pembelajaran pada pendidikan sekolah harus diberi fondasi terlebih dahulu dengan internalisasi sosiologi kritis, inovasi, kreativitas, dan mentalitas (Agger, 2006). Hal ini tidak berhenti pada fondasi saja, tetapi juga diupayakan merasuki kurikulum yang ada pendidikan sekolah. Selain itu, juga mengubah strategi pembelajaran yang selama ini berdasarkan pada konsep reproductive view of learning menjadi constructive view of learning. Konsep ini pada dasarnya membangun tanpa merusak fondasi yang sudah baik pada proses belajar mengajar selama ini.
Konsep reproductive view of learning yang selama ini dihasilkan hanya menghasilkan keluaran yang bersifat mengikut saja tanpa mampu bersikap kritis, kreatif, dan mempunyai nilai-nilai mental. Ini berbeda dengan konsep constructive view of learning yang berpegang pada nilai-nilai kritis, kreatif, dan nuansa mentalitas. Dalam konsep ini agar dihasilkan mutu pendidikan tinggi akuntansi yang berkualitas, maka anak didik diinternalisasi dengan sikap kritis. Salah satu diantaranya adalah dengan paradigma dekonstruksi, keluar dari kotak awal pengetahuan yang membelenggu, serta dijiwai nilai-nilai mentalitas berupa kejujuran, keadilan, kasih, dan sayang.
Landasan Pengembangan Kurikulum
Pengembangan kurikulum adalah suatu proses yang menentukan bagaimana kurikulum akan dapat dilaksanakan. Bondi dan Wiles (1989:87) berpendapat pengembangan kurikulum yang terbaik adalah proses yang meliputi banyak hal, yakni 1) kemudahan suatu analisis tujuan, 2) rancangan suatu program, 3) penerapan serangkaian pengalaman yang berhubungan, dan 4) peralatan dalam evaluasi proses.
Pengembangan kurikulum agar dapat berhasil sesuai dengan yang diinginkan, maka dalam pengembangan kurikulum diperlukan landasan-landasan pengembangan kurikulum. Pengembangan kurikulum menurut Dimyati dan Mudjiono (2006:268) mengacu pada tiga unsur, yaitu 1) nilai dasar yang merupakan falsafah dalam pendidikan manusia seutuhnya, 2) fakta empirik yang tercermin dari pelaksanaan kurikulum, baik berdasarkan penilaian kurikulum, studi, maupun survei lainnya, dan 3) landasan teori yang menjadi arahan pengembangan dan kerangka penyorotnya.
Lebih lanjut Dimyati dan Mudjiono (2006:269-272) mengemukakan landasan pengembangan kurikulum mencakup:
Landasan Filosofis
Pendidikan ada dan berada dalam kehidupan masyarakat sehingga apa yang dikehendaki oleh masyarakat untuk dilestarikan diselenggarakan melalui pendidikan. Segala kehendak yang dimiliki oleh masyarakat merupakan sumber nilai yang memberikan arah pada pendidikan. Dengan demikian pandangan dan wawasan yang ada dalam masyarakat merupakan pandangan dan wawasan dalam pendidikan atau dapat dikatakan bahwa filsafat yang hidup dalam masyarakat merupakan landasan filosofis penyelenggaraan pendidikan.
Filsafat menurut Winecoff (1988:13) sebagai suatu studi tentang hakikat realitas, hakikat ilmu pengetahuan, hakikat sistem nilai, hakikat nilai kebaikan, hakikat keindahan, dan hakikat pikiran. Oleh karena itu landasan filosofis pengembangan kurikulum adalah hakikat realitas, ilmu pengetahuan, sistem nilai, nilai kebaikan, keindahan, dan hakikat pikiran yang ada dalam masyarakat.
Landasan Sosial, Budaya, dan Agama
Realitas sosial, budaya, dan agama yang ada dalam masyarakat merupakan bahan kajian pengembangan kurikulum untuk digunakan sebagai landasan pengembangan kurikulum. Kebersamaan individu dalam masyarakat diikat dan terikat oleh nilai yang menjadi pegangan hidup dalam interaksi di antara mereka. Nilai-nilai yang perlu dipertahankan dan dihormati dalam masyarakat mencakup nilai keagamaan dan sosial budaya. Nilai keagamaan berhubungan dengan kepercayaan masyarakat terhadap ajaran agama, oleh karena itu umumnya bersifat langgeng (Joni, 1983:5).
Nilai sosial dan budaya masyarakat bersumber pada hasil karya akal budi manusia, sehingga dalam menerima, menyebarluaskan, melestarikan, dan melepaskannya manusia menggunakan akalnya. Dengan demikian apabila terdapat nilai sosial budaya yang tidak diterima/tidak sesuai dengan akalnya akan dilepas. Oleh karena itu nilai sosial dan budaya lebih bersifat sementara jika dibandingkan dengan agama. Untuk melaksanakan penerimaan, penyebarluasan, pelestarian, atau penolakan dan pelepasan nilai sosial-budaya-agama, maka masyarakat menggunakan pendidikan yang dirancang melalui kurikulum.
Landasan Ilmu Pengetahuan, Teknologi, dan Seni
Pendidikan merupakan upaya penyiapan peserta didik menghadapi perubahan yang semaki pesat, termasuk di dalamnya perubahan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni (ipteks). Sukmadinata (1997) mengemukakan pengembangan ipteks secara langsung akan menjadi isi/materi pendidikan, sedangkan secara tidak langsung memberikan tugas kepada pendidikan untuk membekali masyarakat dengan kemampuan penyelesaian masalah yang dihadapi sebagai pengaruh perkembangan ipteks. Selain itu perkembangan ipteks juga dimanfaatkan untuk menyelesaikan masalah pendidikan.
Landasan Kebutuhan Masyarakat
Adanya falsafah hidup, perubahan sosial-budaya-agama, dan perubahan ipteks dalam suatu masyarakat akan merubah pula kebutuhan masyarakat. Kebutuhan masyarakat dipengaruhi oleh kondisi dari masyarakat itu sendiri. Adanya perbedaan antara masyarakat satu dengan yang lainnya sebagian besar disebabkan oleh kualitas dan kuantitas individu yang menjadi anggota masyarakat. Pengembangan kurikulum menurut Sumantri (1988:77) juga harus ditekankan pada pengembangan individual yang mencakup keterkaitannya dengan lingkungan sosial setempat. Sehingga disimpulkan landasan pengembangan kurikulum adalah kebutuhan masyarakat yang dilayani melalui kurikulum yang dikembangkan.
Landasan Perkembangan Masyarakat
Perkembangan masyarakat dipengaruhi oleh falsafah hidup, nilai, ipteks, dan kebutuhan yang ada dalam masyarakat. Falsafah hidup akan mengarahkan perkembangan masyarakat, nilai-nilai sosial-budaya-agama akan merupakan penyaringan nilai-nilai lain yang menghambat perkembangan masyarakat. Ipteks mendukung perkembangan masyarakat dan kebutuhan masyarakat akan membantu menetapkan perkembangan yang akan dilaksanakan. Perkembangan masyarakat akan menuntut tersedianya proses pendidikan yang sesuai. Untuk menciptakan proses pendidikan yang sesuai dengan perkembangan masyarakat maka diperlukan rancangannya berupa kurikulum yang landasan pengembangannya berupa perkembangan masyarakat itu sendiri.
Prinsip Pengembangan Kurikulum
Pengembangan kurikulum menggunakan prinsip yang telah berkembang dalam kehidupan sehari-hari atau justru menciptakan sendiri prinsip baru. Oleh karena itu, dalam implementasi kurikulum di suatu lembaga pendidikan sangat mungkin terjadi penggunaan prinsip-prinsip yang berbeda dengan kurikulum yang digunakan di lembaga pendidikan lainnya, sehingga akan ditemukan banyak sekali prinsip-prinsip yang digunakan dalam suatu pengembangan kurikulum.
Sukmadinata (1997) mengemukakan prinsip-prinsip pengembangan kurikulum yang dibagi ke dalam dua macam yaitu prinsip umum dan prinsip khusus. Prinsip umum pengembangan kurikulum adalah relevansi, fleksibilitas, kontinuitas, praktis, dan efektivitas. Prinsip khusus pengembangan kurikulum adalah berkenaan dengan tujuan pendidikan, prinsip berkenaan dengan pemilihan isi pendidikan, prinsip berkenaan dengan pemilihan proses belajar mengajar, prinsip berkenaan dengan pemilihan media dan alat pelajaran, dan prinsip berkenaan dengan pemilihan kegiatan penilaian.
Hal senada dikemukakan oleh Hernawan dalam Sudrajat (2009) mengemukakan lima prinsip dalam pengembangan kurikulum, yaitu:
Prinsip relevansi, secara internal bahwa kurikulum memiliki relevansi di antara komponen kurikulum (tujuan, bahan, strategi, organisasi, dan evaluasi). Sedangkan secara eksternal bahwa komponen tersebut memiliki relevansi dengan tuntutan ilmu pengetahuan dan teknologi (relevansi epistemologis), tuntutan dan potensi peserta didik (relevansi psikologis), serta tuntutan dan kebutuhan perkembangan masyarakat (relevansi sosiologis),
Prinsip fleksibilitas, pengembangan kurikulum mengusahakan agar yang dihasilkan memiliki sifat luwes, lentur, dan fleksibel dalam pelaksanaannya, memungkinkan terjadinya penyesuaian-penyesuaian berdasarkan situasi dan kondisi tempat dan waktu yang selalu berkembang, serta kemampuan dan latar belakang peserta didik,
Prinsip kontinuitas, yakni adanya kesinambungan dalam kurikulum, baik secara vertikal, maupun secara horizontal. Pengalaman belajar yang disediakan kurikulum harus memperhatikan kesinambungan, baik yang di dalam tingkat kelas, antarjenjang pendidikan, maupun antara jenjang pendidikan dan jenis pekerjaan,
Prinsip efisiensi, yakni mengusahakan agar dalam pengembangan kurikulum dapat mendayagunakan sumber daya pendidikan yang ada secara optimal, cermat, dan tepat sehingga hasilnya memadai,
Prinsip efektivitas, yakni mengusahakan agar kegiatan pengembangan kurikulum mencapai tujuan tanpa kegiatan yang mubazir, baik secara kualitas maupun kuantitas.
Terkait dengan pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) menurut Sudrajat (2009) terdapat sejumlah prinsip-prinsip yang harus dipenuhi, yaitu:
Berpusat pada potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan peserta didik dan lingkungannya. Kurikulum dikembangkan berdasarkan prinsip bahwa peserta didik memiliki posisi sentral untuk mengembangkan kompetensinya agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Untuk mendukung pencapaian tujuan tersebut pengembangan kompetensi peserta didik disesuaikan dengan potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan peserta didik serta tuntutan lingkungan,
Kurikulum dikembangkan dengan memperhatikan keragaman karakteristik peserta didik, kondisi daerah, dan jenjang serta jenis pendidikan, tanpa membedakan agama, suku, budaya dan adat istiadat, serta status sosial ekonomi dan gender. Kurikulum meliputi substansi komponen muatan wajib kurikulum, muatan lokal, dan pengembangan diri secara terpadu, serta disusun dalam keterkaitan dan kesinambungan yang bermakna dan tepat antarsubstansi,
Tanggap terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni. Kurikulum dikembangkan atas dasar kesadaran bahwa ilmu pengetahuan, teknologi dan seni berkembang secara dinamis, dan oleh karena itu semangat dan isi kurikulum mendorong peserta didik untuk mengikuti dan memanfaatkan secara tepat perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni,
Relevan dengan kebutuhan kehidupan. Pengembangan kurikulum dilakukan dengan melibatkan pemangku kepentingan (stakeholders) untuk menjamin relevansi pendidikan dengan kebutuhan kehidupan, termasuk di dalamnya kehidupan kemasyarakatan, dunia usaha dan dunia kerja. Oleh karena itu, pengembangan keterampilan pribadi, keterampilan berpikir, keterampilan sosial, keterampilan akademik, dan keterampilan vokasional merupakan keniscayaan,
Menyeluruh dan berkesinambungan. Substansi kurikulum mencakup keseluruhan dimensi kompetensi, bidang kajian keilmuan dan mata pelajaran yang direncanakan dan disajikan secara berkesinambungan antarsemua jenjang pendidikan,
Belajar sepanjang hayat. Kurikulum diarahkan kepada proses pengembangan, pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat. Kurikulum mencerminkan keterkaitan antara unsur-unsur pendidikan formal, nonformal dan informal, dengan memperhatikan kondisi dan tuntutan lingkungan yang selalu berkembang serta arah pengembangan manusia seutuhnya,
Seimbang antara kepentingan nasional dan kepentingan daerah. Kurikulum dikembangkan dengan memperhatikan kepentingan nasional dan kepentingan daerah untuk membangun kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Kepentingan nasional dan kepentingan daerah harus saling mengisi dan memberdayakan sejalan dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pemenuhan prinsip-prinsip di atas itulah yang membedakan antara penerapan satu Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan dengan kurikulum sebelumnya, yang justru tampaknya sering kali terabaikan. Karena prinsip-prinsip itu dapat dikatakan sebagai ruh atau jiwanya kurikulum. Dalam menyikapi suatu perubahan kurikulum, banyak lebih terfokus hanya pada pemenuhan struktur kurikulum sebagai jasad dari kurikulum. Padahal jauh lebih penting adalah perubahan kultural (perilaku) guna memenuhi prinsip-prinsip khusus yang terkandung dalam pengembangan kurikulum.
Inovasi dan Pengembangan Kurikulum
Inovasi dan pengembangan kurikulum dilakukan karena melaksanakan pengembangan kurikulum bersifat dinamis, selalu berubah, menyesuaikan diri dengan kebutuhan mereka yang belajar (peserta didik). Hal ini dipertegas oleh Audrey dan Nicholls (1982: 21-30) mengemukakan bahwa karena masyarakat dan mereka yang belajar mengalami perubahan maka langkah awal dalam perumusan kurikulum ialah penyelidikan mengenai situasi (situation analysis) yang dihadapi masyarakat, termasuk situasi lingkungan belajar dalam arti menyeluruh, situasi peserta didik, dan para calon pengajar yang diharapkan melaksanakan kegiatan.
Istilah inovasi mengandung arti tindakan menciptakan sesuatu yang baru yang membawa perubahan dengan menghasilkan gagasan dan pendekatan atau metode baru (Sidjabat, 2009). Untuk menghasilkan sesuatu yang baru, yang diharapkan lebih berdaya guna, harus bertolak dari apa yang ada. Sulit sekali memulai dan meningkatkan sesuatu dari sesuatu yang belum ada (ex nihilo). Inilah juga yang dimaksud dengan pengembangan. Oleh karena itu inovasi dan pengembangan selalu terkait erat.
Dinamika globalisasi mengharuskan pendidikan untuk senantiasa memikirkan pembaruan dalam banyak aspek termasuk kurikulum. Ferris (1990:34-35) mengemukakan aspek yang dibutuhkan dalam upaya pembaruan dan mengembangkan kualitas pendidikan. Aspek mendasar yang harus dijadikan pedoman, yakni: 1) kepekaan terhadap nilai budaya lokal (cultural appropirateness), 2) kepedulian terhadap pergumulan dan kebutuhan siswa, (attentiveness to the church), 3) merumuskan strategi yang fleksibel, peka terhadap kebutuhan setempat (flexible strategizing), 4) menilai keberhasilan dari hasil belajar peserta didik (outcomes assessment), 5) menekankan pembentukan dan pertumbuhan iman (spiritual formation), 6) mengembangkan kurikulum yang holistik mencakup sisi akademis, praktis, dan pelatihan spiritualitas (holistic curricularizing), 7) melengkapi peserta didik untuk melayani (service orientation), 8) mengembangkan kreativitas guru dalam mengajar, memilih metode yang tepat (creativity in teaching), 9) membentuk wawasan berpikir atas kehidupan (worldview), 10) mempertimbangkan dimensi perkembangan peserta didik (developmental focus), dan 11) memfasilitasi terbentuknya kerja sama (a cooperative spirit).
Inovasi dan pengembangan kurikulum dalam pendidikan merupakan kebutuhan yang terus harus diperhatikan. Diperlukan riset lapangan dan refleksi pengalaman untuk mengembangkannya. Strategi yang lebih baik lagi dalam pengembangan ini ialah kebersamaan para guru dan siswa untuk mengevaluasi kurikulum dan pembelajaran yang sudah ditempuh, kemudian bersama-sama berunding mengusulkan pendapat bagaimana melakukan pembaruan. Hal ini dipertegas oleh Kohl (2002:29-41) berdasarkan hasil risetnya dengan mengusulkan tema-tema perubahan yang perlu dipikirkan oleh pendidikan di masa depan mencakup: 1) isi yang diajarkan (kurikulum), tekanan misinya pada bidang layanan para lulusan, 2) struktur organisasi yang mendukung pembelajaran, dan 3) sumber finansial demi kemandirian lembaga pendidikan sekolah itu sendiri.
Sistem inovasi pada dasarnya merupakan suatu kesatuan dari sehimpunan aktor, kelembagaan, jaringan, hubungan, interaksi dan proses produktif yang mempengaruhi arah perkembangan dan kecepatan inovasi dan difusinya (termasuk teknologi dan praktik baik/terbaik), serta proses pembelajaran. Sistem inovasi sangat penting karena bukan semata menyangkut kemajuan ipteks (termasuk misalnya melalui pendidikan, penelitian, pengembangan dan kerekayasaan) tetapi juga bagaimana iptek dapat didayagunakan secara maksimal bagi kepentingan nasional dalam pembangunan pendidikan, ekonomi, sosial, dan budaya. Demikian sebaliknya, perkembangan pendidikan, ekonomi, sosial, dan budaya menjadi bagian yang tidak dapat diabaikan dan merupakan faktor yang sangat mempengaruhi arah dan kecepatan pemajuan ipteks.
Arnold dan Kuhlmann dalam Sukmayadi (2004) yang menggambarkan skema tentang sistem inovasi seperti pada Gambar 1.
Gambar 1 Elemen Sistem InovasiSistem inovasi memiliki peran dan hubungan timbal balik sangat penting dengan pendidikan. Beberapa aktivitas penting dalam sistem inovasi pendidikan menurut Liu dan White dalam Sukmayadi (2004) adalah:
Riset (dasar, pengembangan, dan rekayasa),
Implementasi, misalnya manufaktur),
Penggunaan akhir (end-use), pelanggan dari produk atau output proses,
Keterkaitan (linkage), menyatukan pengetahuan yang saling komplementatif,
Pendidikan.
Disimpulkan bahwa sistem merupakan elemen/pilar sangat penting bagi berkembangnya sistem inovasi pendidikan, khususnya pengembangan kurikulum. Sistem inovasi yang kuat akan mendukung perkembangan pendidikan yang semakin baik pula.
Model Pengembangan Kurikulum dan Strategi Pembelajaran Berbasis Sosiologi Kritis, Kreativitas, dan Mentalitas
Ilmu pengetahuan diawali dengan sarat nilai dan sarat tujuan yang mulia. Ilmu pengetahuan adalah perjuangan terhadap kebohongan, pembebasan dari belenggu kebodohan dan ketidaktahuan, keangkuhan dan keacuhan yang semuanya merupakan kejahatan terhadap hati nurani manusia sendiri. Begitu pula, pengembangan kurikulum menurut Hamzah (2007:4) juga penuh dengan daya kritis, muatan kreatif, dan nuansa mentalitas. Banyaknya ketidakjujuran dalam melakukan pengembangan, keterpasungan dalam melakukan pekerjaan sesuai dengan pesanan, sengaja membiarkan kesalahan pada suatu sistem, serta pola manajemen yang bertentangan dengan hati nurani bukan salah pada ilmu pendidikan. Kesalahan awal terletak pada kurikulum dan strategi pembelajaran yang selama digunakan dalam penyelenggaraan pendidikan pada pendidikan.
Kurikulum pendidikan sekolah merupakan pertautan pengetahuan dan kepentingan berbagai pihak terkait dengan proses pembelajaran. Adanya kepentingan menunjukkan adanya politik, dalam hal ini politik adalah sistem irasional dengan variabel-variabel yang kompleks dan sulit dimengerti oleh siswa terkadang oleh para guru sehingga sangat sulit ditebak akan ke mana arah pendidikan sekolah yang ada saat ini. Untuk itu menurut Sindhunata (2004) diperlukan kritik menuju pembebasan para guru dan siswa dari irasionalitas menjadi rasional serta dari ketidaksadaran menjadi kesadaran.
Hal ini dikarenakan institusi pendidikan beserta para civitas akademik terjebak dan terbuai pada rasionalitas serta ketidaksadaran yang berkelanjutan. Hal ini terlihat dari pengetahuan yang didapat oleh siswa lebih banyak dari proses pembelajaran yang lebih banyak satu arah bukan partisipasi yang bersifat dialektis yang diutamakan. Para guru masih menganggap dirinya adalah dewa yang mengetahui segala persoalan dan permasalahan dalam proses pembelajaran. Hal ini yang memadamkan dan menumpulkan daya kritis siswa sehingga proses penalaran dan pengasahan dalam perenungan menjadi terabaikan. Padahal pengetahuan yang diperoleh tidak semata-mata dari proses pembelajaran saja, tetapi juga dari perenungan ide-ide, pengalaman, dan pengamatan indra.
Bagi para guru yang kurang atau tidak melakukan perenungan ide-ide, pengalaman, dan pengamatan indra, maka strategi pembelajarannya hanya bersifat satu arah dan pasif. Proses penajaman dari materi yang ada tidak tergali secara optimal. Materi yang diajarkan dianggap sebagai sesuatu yang given (pemberian), untuk itu tidak perlu sikap kritis terhadap materi tersebut. Akibatnya, kurikulum yang dibuat dan dijadikan kontrak belajar antara para guru dan siswa juga dianggap sebagai sesuatu yang given (pemberian). Tumpulnya perenungan ide-ide akan mematikan daya imajinasi, inspirasi, dan inovasi terhadap sesuatu untuk menciptakan sesuatu yang baru. Apalagi proses pembelajaran selama ini juga lebih banyak menggunakan rasio sebagai alat analisis.
Proses tersebut akan memunculkan replikator-replikator baru bukan kreator-kreator yang handal dan mumpuni. Hal ini dikarenakan rasio yang digunakan dalam berpikir dan menganalisis sebetulnya tidak netral dan historis atau tidak terkait dengan masa lalu. Untuk membebaskan diri dari akal rasional dengan mengikatkan diri pada hati nurani. Hal ini dikarenakan suara hati nurani adalah suara kejujuran yang paling terdalam. Apa yang tidak sesuai dengan hati nurani akan mengalami gejolak atau penolakan di diri. Dengan adanya hal itu, maka dalam pembuatan kurikulum serta pelaksanaan dalam proses belajar mengajar tidak semata-mata bertumpu pada rasionalitas semata, tetapi juga pada perenungan ide-ide dengan imajinasi dan inspirasi untuk menciptakan sesuatu yang inovasi dengan berpegang pada kata hati nurani.
Kritis berkaitan dengan memiliki ketajaman dalam menganalisis suatu hal atau persoalan dan pengambilan keputusan. Semakin tajam seseorang menganalisis suatu permasalahan maka akan semakin tajam pula keputusan yang dibuat oleh orang tersebut. Ennis dalam Hassoubah (2007:87) menjelaskan bahwa berpikir kritis adalah berpikir secara beralasan dan reflektif dengan menekankan pada pembuatan keputusan tentang apa yang harus dipercayai atau dilakukan.
Hal senada dikemukakan oleh Johnson dan Lamb (2000) yang menyatakan bahwa critical thinking involves logical thinking and reasoning including skills such as comparison, classification, sequencing, cause/effect, patterning, webbing, analogies, deductive, and inductive reasoning, forecasting, planning, hypothesizing, and critiquing. Berpikir kritis meliputi berpikir logis dan beralasan berkaitan dengan keterampilan seperti membandingkan, menggolongkan, mengurutkan, sebab akibat, menyusun, mengaitkan, analogi, proses berpikir deduktif, dan penyebab induktif, ramalan, rencana, membuat hipotesis, dan tinjauan kritis.
Resnick dan Gokhale dalam Sudaryanto (2007) menyarankan bahwa pembelajaran yang dilakukan dengan model diskusi kelompok kecil juga dapat dilakukan untuk mengembangkan kemampuan berpikir kritis. Siswa yang tergabung dalam kelompok kecil akan mendapat kesempatan mengklarifikasi pemahamannya dan mengevaluasi pemahaman siswa lain, mengobservasi strategi berpikir dari orang lain untuk dijadikan panutan, membantu siswa lain yang kurang untuk membangun pemahaman, meningkatkan motivasi, serta membentuk sikap yang diperlukan seperti menerima kritik dan menyampaikan kritik dengan cara yang santun.
Kurikulum pendidikan sekolah terjebak pada kestatisan yang berkelanjutan. Kestatisan tersebut tidak dilandasi dengan pikiran, sikap, dan tindakan yang positif. Untuk keluar dari pikiran, sikap, dan tindakan yang negatif menuju positif seakan-akan terasa sulit. Hal ini dikarenakan ketidakpercayaan terhadap orang dan sistem yang ada. Hal ini juga dikarenakan risiko yang ada terkait dengan perubahan pikiran, sikap, dan tindakan yang dialami para guru dan keluaran dari institusi sekolah. Kreativitas menurut Buzan dan Buzan (2003) adalah proses perubahan yang lebih baik dengan memberi nilai tambah pada sesuatu dengan kemungkinan adanya risiko. Tanpa adanya nilai tambah tersebut sesuatu akan berjalan statis.
Salim dan Salim (2002:776) menyatakan bahwa kemampuan berpikir kreatif adalah kemampuan mencipta, sedangkan kreativitas menurut Campbell dalam ADVY (2007) adalah suatu ide atau pemikiran manusia yang bersifat inovatif, berdaya guna (useful), dan dapat dimengerti (understandable). Aplikasi dari konsep tersebut adalah seorang siswa harus banyak bertanya, banyak belajar, dan berdedikasi tinggi untuk memperoleh kemampuan berpikir kreatif yang tinggi.
Melakukan kreativitas dalam pendidikan sekolah terkadang berbenturan dengan pelanggaran aturan yang ada. Aturan yang selama ini dibuat dan disimpan dalam kotak tidak boleh dilanggar atau dilakukan perubahan. Untuk itu, perlu mendesakralisasi aturan tersebut dengan melakukan perubahan. Lebih lanjut Buzan dan Buzan (2003) mengemukakan untuk merubah aturan tersebut menjadi lebih baik, maka harus berpegang pada filosofi aturan tersebut serta berpikir di luar kotak (out of the box).
Proses berpikir di luar kotak yang belum banyak diasah oleh para guru dan siswa. Bahkan tidak hanya berpikir di luar kotak, tetapi juga merangsang untuk menciptakan kotak baru dengan berpijak pada proses berpikir di luar kotak. Jika hanya berpikir di luar kotak yang selalu digunakan dan dihandalkan, maka akan terjadi proses konstruksi yang destruksi. Proses kreativitas dalam pendidikan sekolah juga dapat dibuat dengan berpijak pada asumsi yang ada maupun yang diciptakan. Pendidikan bersandar pada asumsi yang ada, dengan menghilangkan, mengurangi, atau menambah asumsi-asumsi yang ada akan tumbuh kreativitas yang berkelanjutan.
Kebuntuan kreativitas terkadang terjebak pada penggunaan logika, karena logika berpola secara sistematis, teratur, dan mekanis. Padahal kreativitas identik dengan pola pemikiran yang lateral, acak, dan dinamis. Hambatan penumbuhan kreativitas pada pendidikan tinggi akuntansi dikarenakan dominannya penggunaan logika dibandingkan dengan intuisi dan imajinasi. Tanpa adanya pelatihan dan penumbuhan intuisi dan imajinasi dalam pendidikan tinggi akuntansi, maka kreativitas akan berjalan di tempat. Kreativitas juga dapat ditumbuhkan dengan melakukan kaitan sesuatu dengan sesuatu hal yang lain yang mampu membuat nilai tambah dan berdaya guna.
Munandar (2002) mengemukakan untuk melakukan kaitan dalam proses kreativitas dapat dilakukan dengan kaitan yang tak berkaitan. Dengan kata lain, melampaui dari sesuatu yang dijadikan pijakan untuk mengaitkan dengan sesuatu yang lain. Dalam proses mengaitkan tersebut, kreativitas akan semakin tumbuh dengan kemampuan untuk memilah dan memilih bagian dari sesuatu yang berdaya guna dan bernilai tambah. Pada pendidikan sekolah proses untuk menjadi kreativitas kurang diperkenalkan/diajarkan, akibatnya keluaran dari institusi pendidikan sekolah adalah insan-insan yang statis tanpa mampu melakukan perubahan yang berarti dengan memberi nilai tambah, daya guna, dan daya hasil bagi masyarakat.
Kemampuan berpikir kreatif dapat memudahkan siswa dalam memperdalam ilmu pengetahuan yang dimiliki dan mempertajam kemampuan siswa untuk menganalisis permasalahan yang timbul dalam usahanya mempelajari materi tertentu, sehingga siswa dapat mempelajari materi yang disajikan di sekolah dengan baik, dan mampu menerapkan ilmu pengetahuan yang telah didapatkannya. Kemampuan berpikir kreatif dapat diketahui oleh orang lain di sekitar. Guru hendaknya mengetahui kemampuan berpikir kreatif dari siswanya sehingga dapat mengenali karakteristik siswanya dan pada akhirnya dapat menerapkan metode pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik siswa.
Setiap sistem terkandung nilai-nilai tersendiri. Pendidikan sekolah merupakan sistem maupun subsistem pendidikan tergantung dari sudut pandang mana melihatnya. Dalam hal ini, pendidikan sekolah sebagai suatu sistem, semua upaya boleh dilakukan agar sistem dapat berjalan seoptimal mungkin, yang ditekankan adalah bahwa ada tujuan utama proses pembelajaran yang paling mulia dengan nilai yang luhur pula yang merupakan nilai universal yaitu nilai kemanusiaan. Nilai yang menjadikan para pendidik dan anak didik mempunyai ketangguhan pribadi, ketangguhan sosial, dan ketangguhan antar manusia dengan dijiwai oleh nilai-nilai kejujuran, keadilan, kasih, dan sayang.
Nilai yang menyeimbangkan antara kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional, dan kecerdasan spiritual dalam diri para pendidik dan anak didik. Nilai tersebut dikerahkan sebagai keseluruhan usaha dalam sistem pendidikan sekolah. Masalahnya dengan pendidikan tinggi akuntansi yang dituangkan dalam kurikulum selama ini merupakan sistem yang memiliki tata nilai sendiri yang telah berulang-ulang kali terjadi dalam sejarah, yaitu nilai-nilai sempit sistem yang menggantikan nilai luhur pendidikan tinggi akuntansi sehingga tujuannya menjadi tujuan egois sistem itu sendiri yang mengarah pada materialitas.
Nilai sempit ini terlihat dari ketangguhan pribadi yang mengungguli ketangguhan sosial dan ketangguhan antar manusia serta kecerdasan intelektual yang mendominasi kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual. Sistem tersebut akhirnya hidup dan sadar bahwa ia mempunyai keinginan sendiri sehingga mengeksploitasi para guru dan siswa yang merupakan pembuatnya untuk mencapai tujuan-tujuan egoisnya sendiri, yaitu materialitas (Hamzah, 2007:8). Ketika para guru dan siswa mulai sadar akan hal ini dan mencoba menggantikan sistem tersebut oleh sistem yang baru yang menawarkan pada pendidikan yang membebaskan, maka banyak mengalami permasalahan, baik dari sistem yang sudah ada maupun para pemakai dan pembuat sistem tersebut.
Permasalahan terbesar khususnya dari pemakai dan pembuat sistem tersebut, yaitu ketakutan akan berkurangnya atau hilangnya nilai-nilai yang bersifat materialitas. Bahaya terbesar suatu sistem adalah dogmatisasi nilai-nilai sempit keyakinan yang seharusnya bersifat sementara dan elastis bahkan plastis terhadap perkembangan jaman. Plato dalam Hamzah (2007:8) dengan teorinya falsification menyatakan bahwa suatu teori atau nilai-nilai pada pengetahuan yang dianut saat ini bukan suatu kebenaran yang hakiki.
Kurikulum pendidikan sekolah yang merupakan turunan dari teori serta nilai-nilai dari suatu ilmu pengetahuan. Dalam perjalanannya, pendidikan yang dituangkan dalam kurikulum telah tumbuh begitu kuatnya sehingga hegemoni telah mencakup segala sisi dari para guru, siswa, dan sekolah sebagai institusi pendidikan. Bahayanya terletak dari dogmatisasi nilai-nilai pendidikan yang diajarkan pada sekolah. Kurikulum pendidikan sekolah telah terstruktur sedemikian rupa sehingga telah mempunyai arogansi dan egoistis untuk menyatakan dirinya sebagai satu-satunya yang berhak dalam menyatakan kebenaran. Hal ini menurut Hamzah (2007:9) menurun dalam penyelenggaraan pendidikan sekolah yang didominasi perspektif positivistik.
Perspektif ini merupakan proses fabrikasi dan mekanisasi pendidikan untuk menghasilkan keluaran pendidikan yang harus sesuai dengan pasar kerja. Para guru dan siswa tidak sadar dibuat seolah-olah sebagai robot yang menjalankan sistem penyelenggaraan pendidikan. Dengan kata lain, para guru dan siswa seakan-akan tidak mempunyai hati, nurani, dan jiwa didiri. Proses pendidikan diarahkan pada pendidikan yang menjerumuskan bukan pendidikan yang membebaskan, seakan-akan pasar kerja mempunyai kekuatan dan kekuasaan yang mendominasi para guru dan siswa. Untuk itu, perspektif ini harus diubah dengan meletakkan manusia yang mengontrol dan mengendalikan pasar kerja.
Pendidikan yang membebaskan merupakan upaya untuk menempatkan para pendidik dan anak didik membuat pasar kerja yang penuh dengan nilai-nilai kemanusiaan. Nilai-nilai ini tercermin dari kejujuran, keadilan, kasih, dan sayang, baik antara para guru dan siswa, antara institusi sekolah dan para civitas akademik, serta antara manusia satu dan manusia satunya. Hal ini dipertegas oleh Agger (2006) bahwa untuk mengembangkan kurikulum yang berbasis pada sosiologi kritis, kreativitas, dan mentalitas harus didukung dengan strategi pembelajaran yang inovatif atau berbeda dengan strategi-strategi yang selama ini dilakukan dalam proses pembelajaran.
Strategi pembelajaran yang bertumpu pada teori harus diimbangi dengan praktik yang ada. Banyak guru pada pendidikan sekolah hanya berpijak pada teori semata, sehingga setelah selesai teori tersebut diajarkan, maka perlahan-lahan pudar materi yang selama ini tertanam di benak siswa. Strategi pembelajaran yang inovatif adalah menciptakan aktivitas agar anak didik dapat terlibat langsung dalam proses pendidikan sekaligus terlibat dalam keseluruhan proses.
Strategi pembelajaran tersebut tidak hanya bersifat ceramah semata saja, tetapi juga dengan adanya simulasi, studi kasus, tanya jawab, curah pendapat, diskusi kelompok, penugasan, demonstrasi, peragaan, dan studi lapangan. Penggunaan media belajar yang bervariasi dan menggunakan hasil teknologi dapat meningkatkan siswa untuk ingin lebih mengetahui. Siswa yang memiliki rasa ingin lebih tahu mempunyai kecenderungan untuk bertanya tentang suatu materi pelajaran yang dipelajarinya.
Penutup
Pengembangan kurikulum adalah istilah yang komprehensif, di dalamnya mencakup perencanaan, penerapan, dan evaluasi. Perencanaan kurikulum adalah langkah awal membangun kurikulum ketika pekerja kurikulum membuat keputusan dan mengambil tindakan untuk menghasilkan perencanaan yang akan digunakan oleh guru dan peserta didik. Penerapan Kurikulum atau biasa disebut juga implementasi kurikulum berusaha mentransfer perencanaan kurikulum ke dalam tindakan operasional.
Oleh karena itu strategi pembelajaran pada pendidikan sekolah harus diberi fondasi terlebih dahulu dengan internalisasi sosiologi kritis, inovasi, kreativitas, dan mentalitas. Hal ini tidak berhenti pada fondasi saja, tetapi juga diupayakan merasuki kurikulum yang ada pendidikan sekolah. Selain itu, juga mengubah strategi pembelajaran yang selama ini berdasarkan pada konsep reproductive view of learning menjadi constructive view of learning. Konsep ini pada dasarnya membangun tanpa merusak fondasi yang sudah baik pada proses belajar mengajar selama ini.
Pengembangan kurikulum agar dapat berhasil sesuai dengan yang diinginkan, maka dalam pengembangan kurikulum diperlukan landasan-landasan pengembangan kurikulum. landasan pengembangan kurikulum mencakup: 1) landasan filosofis, 2) landasan sosial, budaya, dan agama, 3) landasan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni, 4) landasan kebutuhan masyarakat, dan 5) landasan perkembangan masyarakat
Prinsip umum pengembangan kurikulum adalah relevansi, fleksibilitas, kontinuitas, praktis, dan efektivitas. Prinsip khusus pengembangan kurikulum adalah berkenaan dengan tujuan pendidikan, prinsip berkenaan dengan pemilihan isi pendidikan, prinsip berkenaan dengan pemilihan proses belajar mengajar, prinsip berkenaan dengan pemilihan media dan alat pelajaran, dan prinsip berkenaan dengan pemilihan kegiatan penilaian.
Inovasi dan pengembangan kurikulum dilakukan karena melaksanakan pengembangan kurikulum bersifat dinamis, selalu berubah, menyesuaikan diri dengan kebutuhan mereka yang belajar (peserta didik). Masyarakat dan mereka yang belajar mengalami perubahan maka langkah awal dalam perumusan kurikulum ialah penyelidikan mengenai situasi (situation analysis) yang dihadapi masyarakat, termasuk situasi lingkungan belajar dalam arti menyeluruh, situasi peserta didik, dan para calon pengajar yang diharapkan melaksanakan kegiatan.
Inovasi dan pengembangan kurikulum dalam pendidikan merupakan kebutuhan yang terus harus diperhatikan. Diperlukan riset lapangan dan refleksi pengalaman untuk mengembangkannya. Strategi yang lebih baik lagi dalam pengembangan ini ialah kebersamaan para guru dan siswa untuk mengevaluasi kurikulum dan pembelajaran yang sudah ditempuh, kemudian bersama-sama berunding mengusulkan pendapat bagaimana melakukan pembaruan.
Mengembangkan kurikulum yang berbasis pada sosiologi kritis, kreativitas, dan mentalitas harus didukung dengan strategi pembelajaran yang inovatif atau berbeda dengan strategi-strategi yang selama ini dilakukan dalam proses pembelajaran. Pendidikan yang membebaskan merupakan upaya untuk menempatkan para pendidik dan anak didik membuat pasar kerja yang penuh dengan nilai-nilai kemanusiaan. Nilai-nilai ini tercermin dari kejujuran, keadilan, kasih, dan sayang, baik antara para guru dan siswa, antara institusi sekolah dan para civitas akademik, serta antara manusia satu dan manusia satunya.
DAFTAR RUJUKAN
ADVY. 2007. Kreativitas (online). (http://www.advy.ac.id, diakses 4 April 2007).
Agger, B. 2006. Teori Sosial Kritis: Kritik, Penerapan, dan Implikasinya. Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Audrey, dan Nicholls, S. H. 1982. Developing a Curriculum: A Practical Guide. London: George Allen & Unwin.
Bondi, J., dan Wiles, J. 1989. Curriculum Development: A Guide to Practice. Columbus: Merril Publishing Company, A Bell & Howel Information Company.
Buzan, T., dan Buzan, B. 2003. The Mind Map Book. London: BBC Worldwide Limited.
Dimyati, dan Mudjiono. 2006. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta.
Ferris, R. W. 1990. Renewal in Theological Education: Stragies for Change. New York: Billy Graham Center.
Hamzah, A. 2007. Model Pengembangan Kurikulum dan Strategi Pembelajaran Berbasis Mentalitas. Bangkalan: Universitas Trunojoyo.
Hassoubah, Z. I. 2007. Mengasah Pikiran Kreatif dan Kritis: Disertai Ilustrasi dan Latihan. Bandung: Nuansa.
Johnson, L. dan Lamb, A. 2000. Critical and Creative Thinking-Bloom’s Taxonomy (online). (http://eduscape.com, diakses 5 Agustus 2007).
Joni, T. R. Wawasan Kependidikan Guru. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Kohl, M. W. 2002. Theological Education: What Needs to Be Changed. Dalam Kohl, M. W. (Eds.), Educating for Tomorrow: Theological Leadership for the Asian Context. Bangalore: Saiacs Press.
Munandar, S. C. U. 2002. Kreativitas dan Keberbakatan Strategi Mewujudkan Potensi Kreatif dan Bakat. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Salim, P, dan Salim, Y. 2002. Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer. Jakarta: Modern English Press.
Sidjabat, B. S. 2009. Pentingnya Inovasi dan Pengembangan Kurikulum dalam Pendidikan (online). (http://www.tiranus.net, diakses 26 Desember 2009).
Sindhunata. 2004. Dilema Usaha Manusia Rasional. Jakarta: Rajawali Press.
Sudaryanto. 2007. Pembelajaran Kemampuan Berpikir Kritis (online). (http://www.fk.undip.ac.id, diakses 9 Juli 2008).
Sudrajat, A. 2009. Prinsip Pengembangan Kurikulum (online). (http://akhmadsudrajat.wordpress.com, diakses 26 Desember 2009).
Sukmadinata, N. S. 1997. Pengembangan Kurikulum: Teori dan Praktek. Bandung: Remaja Rosda Karya.
Sukmayadi, D. 2004. Cakrawala Inovasi Pendidikan: Upaya Mencari Model Inovasi. Bandung: Program Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia.
Sumantri, M. 1988. Kurikulum dan Pengajaran. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Topatimasang, R., dan Fakih, M. 2007. Pendidikan Popular: Membangun Kesadaran Kritis. Yogyakarta: Insist Press.
Winecoff, H. L. 1989. Curriculum Development and Instructional Planning. Sydney: Prentice Hall of Australia Limited.