MBS merupakan salah satu gagasan yang diterapkan untuk meningkatkan pendidikan umum. Tujuan akhirnya adalah meningkatkan lingkungan yang kondusif bagi pembelajaran siswa. Dengan demikian, ia bukan sekadar cara demokratis melibatkan lebih banyak pihak dalam pengambilan keputusan. Keterlibatan itu tidak berarti banyak jika keputusan yang diambil tidak membuahkan hasil lebih baik.
Kita belum memiliki pengalaman untuk mengaitkan penerapan MBS dengan prestasi belajar siswa. Di Amerika Serikat upaya mengaitkan MBS dengan prestasi belajar siswa masih problematis (Peterson, 2002). Belum banyak penelitian kuantitatif yang telah dilakukan dalam topik ini. Selain itu, masih diragukan apakah benar penerapan MBS berkaitan dengan prestasi siswa. Boleh jadi masih banyak faktor lain yang mungkin mempengaruhi prestasi itu setelah diterapkannya MBS. Masalah penelitian ini makin diperparah dengan tiadanya definisi standar mengenai MBS. Studi yang dilakukan tidak selamanya mengindikasikan sejauh mana sekolah telah mendistribusikan kembali wewenangnya.
Salah satu studi yang dilakukan yang menelaah ratusan dokumen justru menunjukkan bahwa dalam banyak contoh, MBS tidak mencapai tujuan yang ditetapkan. Studi itu menunjukkan bahwa peningkatan prestasi siswa tampaknya hanya terjadi di sejumlah sekolah yang dijadikan pilot studi dan dalam jangka waktu tidak lama pula.Hasil MBS di daerah perkotaan masih belum jelas benar. Di sekolah di daerah pinggiran kota Maryland menunjukkan adanya peningkatan prestasi siswa dalam skor tes terutama di kalangan orang Amerika keturunan Afrika, setelah menerapkan lima langkah rencana reformasi, termasuk MBS. Namun, di tempat lain, seperti Dade County, Florida, setelah menerapkan MBS selama tiga tahun, prestasi siswa di sekolah-sekolah dalam kota justru menurun.
Meskipun peningkatan skor tes mungkin dapat dipakai sebagai indikasi langsung kemampuan MBS meningkatkan prestasi belajar siswa, cukup banyak pula bukti tidak langsung. Misalnya, sudi kasus yang dilakukan terhadap dua distrik sekolah di Kanada menunjukkan bahwa pengambilan keputusan yang didesentralisasikan menciptakan lingkungan pendidikan yang lebih efektif. Salah seorang guru memutuskan untuk mengurangi penggunaan mesin fotokopi agar dapat mempekerjakan staf tambahan. Tinjauan tahunan sekolah menunjukkan bahwa kepuasan siswa sekolah menengah pertama dan lanjutan meningkat terhadap banyak hal setelah diadakannya pembaruan.
Para siswa menunjukkan adanya peningkatan dalam bidang-bidang penting seperti kegunaan dan efektivitas mata pelajaran dan penekanan sekolah atas sejumlah kecakapan dasar. Pengambilan keputusan bersama telah meningkatkan kejelasan guru tentang tujuan pengajaran serta metode yang pada gilirannya meningkatkan efektivitas pengajaran. MBS dipandang meningkatkan kepuasan kerja guru, khususnya ketika para guru memainkan peranan yang lebih menentukan ketimbang sekadar memberikan saran.
Di Dade County, Florida, studi yang dilakukan menunjukkan bahwa tiga tahun penerapan MBS memberi kontribusi pada terciptanya lingkungan yang lebih kolegial dan lebih sedikit siswa yang bermasalah.Namun, survei yang dilakukan di Chicago menunjukkan bahwa MBS tidak selamanya popular di kalangan guru. Tiga perempat dari seratus orang guru yang disurvei menyatakan bahwa reformasi desentralisasi sekolah di Chicago telah gagal meningkatkan prestasi belajar siswa, dan bahkan lebih banyak lagi responden yang menyangkal bahwa perubahan itu telah meningkatkan motivasi guru.
Kenapa MBS Tidak Berpengaruh Terhadap Prestasi Belajar?
Dalam praktik penerapannya di Amerika Serikat ada indikasi bahwa banyak kelemahan MBS dikarenakan penerapannya yang tidak komprehensif; artinya MBS diterapkan sepotong-sepotong. Para anggota dewan sekolah biasanya dikendalikan oleh kepala sekolah, sedangkan pihak-pihak lain tidak banyak berperan. Pola lama di mana administrator pendidikan menetapkan kebijakan, guru mengajar, dan orang tua mendukung tampaknya masih dipertahankan. Pola yang tertanam kuat ini sukar ditanggulangi. Apabila para anggota dewan tidak disiapkan dengan baik, mereka sering kali sangat bingung dan cemas untuk mengemban tanggung jawabnya yang baru.
Acapkali, Tim MBS hanya berkonsentrasi pada hal-hal di luar kegiatan pembelajaran. Pengamatan penerapan MBS menunjukkan bahwa dewan sekolah cenderung memusatkan perhatian pada kegiatan-kegiatan seperti penghargaan dan pendisiplinan siswa ketimbang pada pengajaran dan kurikulum. Selain itu, ada pula indikasi bahwa MBS membuat kepala sekolah menjadi lebih berminat dengan hal-hal teknis administratif dengan mengorbankan aspek pembelajaran. Dengan kata lain, peran kepemimpinan pendidikannya diabaikan.
Namun, kekurangpedulian terhadap proses pembelajaran di dalam kelas bukanlah penyakit bawaan MBS. Tim MBS tidak dapat dipersalahkan karena tidak berhasil mendongkrak skor tes siswa jika mereka tidak mendapat kewenangan untuk melakukan hal itu. Misalnya, pengamatan di Chicago menunjukkan bahwa wewenang pendidikan sebagian besar telah didelegasikan kepada orang tua dan anggota masyarakat lainnya. Selain itu, tidak fair untuk mengharapkan adanya dampak atas suatu reformasi pendidikan di daerah pinggiran kota besar yang telah porak-poranda oleh seringnya terjadi kasus-kasus kebrutalan, kejahatan, dan kemiskinan.
Bagaimana Agar MBS Meningkatkan Prestasi Belajar?
MBS tidak boleh dinyatakan gagal sebelum memperoleh kesempatan yang adil untuk diterapkan. Banyak program yang tidak berkonsentrasi pada prestasi pendidikan, dan banyak pula yang merupakan variasi dari model hierarkis tradisional ketimbang penataan ulang wewenang pengambilan keputusan secara aktual. Pengalaman penerapan di negara lain menunjukkan bahwa daerah yang benar-benar mendelegasikan wewenang secara substansial kepada sekolah cenderung memiliki pimpinan yang mendukung eksperimentasi dan yang memberdayakan pihak lain. Ada indikasi bahwa pembaruan yang berhasil juga mengharuskan adanya jaringan komunikasi, komitmen finansial terhadap pertumbuhan profesional, dukungan dari semua komponen komunitas sekolah. Selain itu, pihak yang terlibat harus benar-benar mau dan siap memikul peran dan tanggung jawab baru. Para guru harus disiapkan memikul tanggung jawab dan menerima kewenangan untuk berinisiatif meningkatkan pembelajaran dan bertanggung gugat atas kinerja mereka.
Penerapan MBS yang efektif seyogianya dapat mendorong kinerja kepala sekolah dan guru yang pada gilirannya akan meningkatkan prestasi siswa. Oleh sebab itu, harus ada keyakinan bahwa MBS memang benar-benar akan berkontribusi bagi peningkatan prestasi siswa. Ukuran prestasi harus ditetapkan multidimensional, jadi bukan hanya pada dimensi prestasi akademik. Dengan taruhan seperti itu, daerah-daerah yang hanya menerapkan MBS sebagai mode akan memiliki peluang yang kecil untuk berhasil.
Pertanyaannya, sudahkah daerah siap melaksanakan MBS? Penulis khawatir tidak banyak daerah di Indonesia yang benar-benar siap menerapkan MBS. Masih terlalu banyak hambatan yang harus ditanggulangi sebelum benar-benar menetapkan MBS sebagai model untuk melakukan perubahan. Hal ini dapat dikaji dari realita sekarang yang menunjukkan MBS telah tenggelam di sekolah. MBS sekarang sudah tidak tenar lagi seperti tahun-tahun awal proyek pembinaan MBS. Ataukah hanya karena dana proyek MBS sudah tidak ada sehingga sekolah merasa enggan untuk mengembangkan MBS?
Dunia pendidikan Indonesia saat ini setidaknya menghadapi empat tantangan besar yang kompleks. Pertama, tantangan untuk meningkatkan nilai tambah (addedvalue), yaitu bagaimana meningkatkan nilai tambah dalam rangka meningkatkan produktivitas, pertumbuhan dan pemerataan ekonomi, sebagai upaya untuk memelihara dan meningkatkan pembangunan yang berkelanjutan. Kedua, tantangan untuk melakukan pengkajian secara komprehensif dan mendalam terhadap terjadinya transformasi (perubahan) struktur masyarakat, dari masyarakat yang agraris ke masyarakat industri yang menguasai teknologi dan informasi, yang implikasinya pada tuntutan dan pengembangan sumber daya manusia (SDM).
Ketiga, tantangan dalam persaingan global yang semakin ketat,yaitu bagaimana meningkatkan daya saing bangsa dalam meningkatkan karya-karya yang bermutu dan mampu bersaing sebagai hasil penguasaan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni (ipteks). Keempat, munculnya kolonialisme baru di bidang iptek dan ekonomi menggantikan kolonialisme politik. Dengan demikian kolonialisme kini tidak lagi berbentuk fisik, melainkan dalam bentuk informasi. Berkembangnya teknologi informasi dalam bentuk komputer dan internet, sehingga bangsa Indonesia sangat bergantung kepada bangsa-bangsa yang telah lebih dulu menguasai teknologi informasi. Inilah bentuk kolonialisme baru yang menjadi semacam virtualenemy yang telah masuk ke seluruh pelosok dunia ini.
Kemajuan ini harus dapat diwujudkan dengan proses pembelajaran yang bermutu dan menghasilkan lulusan yang berwawasan luas, profesional, unggul, berpandangan jauh ke depan (Visioner), memiliki percaya dan harga diri yang tinggi. Untuk mewujudkan hasil di atas diperlukan strategi yang tepat, diantaranya adalah bagaimana strategi mengembangkan kompetensi siswa berdasarkan kemampuan, sikap, sifat serta tingkah laku siswa sehingga membuat siswa menyenangi proses pembelajaran. Peningkatan kompetensi siswa tidak bisa dipandang secara pragmatis, terpisah dari bagian bagiannya yang utuh. Peningkatan kompetensi siswa harus dilihat secara pendekatan sistem, menyeluruh, utuh dan tidak terpisah-pisah dari bagian-bagiannya sehingga dapat dilihat progressreports terhadap laju perkembangan kompetensi siswa seperti yang diharapkan.Selain dari pada itu, pengembangan kompetensi siswa dengan konsep pendekatan sistem terutama sistem manajemen berbasis sekolah akan sangat mudah dan efektif untuk mengevaluasi sistem apa yang perlu ditinjau, dimodifikasi ataupun diubah menurut kebutuhan.
Manajemen berbasis sekolah merupakan sebuah sistem yang memberikan hak atau otoritas khusus kepada pihak sekolah untuk mengelola sekolah sesuai dengan kondisi, lingkungan dan tuntutan ataupun kebutuhan masyarakat di mana sekolah tersebut berada. Berdasarkan analisa di atas, bagaimanakah wujud masyarakat Indonesia baru yang seharusnya ?. Jawabannya adalah masyarakat yang berpendidikan (EducatedSociaty). Oleh karena itu setiap lembaga pendidikan, khususnya dalam menghadapi masa depan harus ditujukan pada reformasi kelembagaan secara total, agar pendidikan nasional memiliki kemampuan untuk melaksanakan peran, fungsi dan misinya secara optimal.
KAJIAN PUSTAKA
Kompetensi
Kompetensi meliputi pengetahuan, pemahaman, keterampilan, nilai, sikap dan minat. Dalam konsep pelatihan yang berbasis kompetensi dijelaskan bahwa kompetensi merupakan gabungan antara keterampilan, pengetahuan dan sikap. Kompetensi digunakan untuk melakukan penilaian terhadap standar, memberikan indikasi yang jelas tentang keberhasilan dalam kegiatan pengembangan, membentuk sistem pengembangan dan dapat digunakan untuk menyusun uraian tugas seseorang.
Standar kompetensi disusun sedemikian rupa mengacu kepada kesepakatan internasional tanpa harus mengabaikan berbagai aspek dan budaya yang bersifat lokal atau nasional. Standar kompetensi yang telah ada hendaknya dapat dimanfaatkan oleh berbagai pihak terutama dunia pendidikan dalam hal peningkatan kemampuan dasar siswa serta penyusunan kurikulum. Untuk merespons berbagai kondisi sebagaimana yang telah diuraikan pada pendahuluan di atas, maka salah satu kebutuhan yang sangat penting adalah tersedianya sistem pendidikan dan pelatihan yang mampu menghasilkan SDM yang berkualitas setara dengan standar internasional.
Untuk melaksanakan sistem pendidikan yang baik dibutuhkan suatu standar kompetensi yaitu kemampuan yang harus dimiliki oleh seseorang untuk melakukan pekerjaan sebagai patokan kinerja yang diharapkan. Salah satu bentuk sistem pendidikan yang mampu meningkatkan kompetensi siswa adalah sistem manajemen berbasis sekolah yang memberi hak sepenuhnya atau otonomi kepada sekolah untuk mengelola sekolah sesuai dengan kondisi, lingkungan dan kebutuhan tempat di mana sekolah berada.
Manajemen Berbasis Sekolah
Menurut Malen dalam Abu-Duhou (2002) manajemen berbasis sekolah secara konseptual dapat digambarkan sebagai suatu perubahan formal struktur penyelenggaraan, sebagai suatu bentuk desentralisasi yang mengidentifikasikan sekolah itu sendiri sebagai unit utama peningkatan serta bertumpu pada redistribusi kewenangan. Manajemen sekolah yang selama ini terstruktur dari pusat telah menghambat kran komunikasi atau setidaknya terjadinya distorsi informasi antara pusat dan daerah, sehingga menimbulkan mis-implementation pada tataran riil di sekolah. Hal inilah yang menjadi bahan dilahirkannya sebuah sistem manajemen yang mampu menanggulangi permasalahan tersebut, yaitu suatu manajemen yang diberi kewenangan penuh kepada sekolah untuk mengatur dirinya sendiri dalam batas-batas yang rasional.
Candoli dalam Abu (2002) menjelaskan bahwa manajemen berbasis sekolah merupakan suatu cara untuk memaksa sekolah mengambil tanggung jawab atas apa yang terjadi menurut justifikasi sekolah. Konsep ini menerangkan bahwa ketika sekolah diberi tanggung jawab penuh dalam mengembangkan program-program kependidikannya yang bertujuan melayani kebutuhan-kebutuhan para stakeholder maka pihak sekolah akan dipaksa untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut.
a.Otoritas Sekolah dalam Manajemen Berbasis Sekolah
Secara khusus hal-hal yang didesentralisasikan adalah yang secara langsung berhubungan dengan para peserta didik, seperti keputusan tentang program pendidikan, alokasi waktu, dan kurikulum. Tetapi menurut Caldel dan Spinks dalam Abu (2002) membagi beberapa hal yang menjadi otoritas sekolah dalam MBS, diantaranya yaitu:
1.Pengetahuan (Knowledge), otoritas keputusan berkaitan dengan kurikulum, tujuan dan sasaran pendidikan,
2.Teknologi (Technology), otoritas mengenai sarana dan prasaran pembelajaran,
3.Kekuasaan (Power), kewenangan dalam membuat keputusan,
4.Material (Material), kewenangan mengenai penggunaan fasilitas, pengadaan dan peralatan alat-alat sekolah,
5.Manusia (People), kewenangan atas keputusan mengenai sumber daya manusia, pengembangan profesionalisme dan dukungan terhadap proses pembelajaran,
6.Waktu (Time), kewenangan mengalokasikan waktu,
7.Keuangan (Financial), kewenangan dalam mengalokasikan dana pendidikan,
Sedangkan Thomas dalam Abu (2002) mengelompokkan kewenangan sekolah dalam manajemen berbasis sekolah dalam empat hal, yaitu:
1.Penerimaan (admission), kewenangan untuk menentukan siswa mana yang akan diterima di sekolah,
2.Penilaian (Assessment), kewenangan untuk menentukan berapa siswa yang akan dinilai,
3.Informasi (Information), kewenangan untuk menyeleksi data mengenai kinerja sekolah dan memublikasikannya,
4.Pendanaan (Funding), kewenangan untuk menentukan uang masuk bagi penerimaan siswa.
Strategi Pengembangan Kompetensi Siswa
Dunia pendidikan dewasa ini yang semakin banyak menghadapi tantangan, salah satunya ialah bahwa pendidikan itu berlangsung dalam latar lingkungan yang dibuat-buat, karena pendidikan itu harus membina tingkah laku yang berguna bagi individu di masa akan datang dan bukan waktu sekarang. Akibat dari latar lingkungan yang dibuat adalah terjadinya suasana pembelajaran yang tidak menyenangkan. Masalah lain yang dihadapi dunia pendidikan adalah sekolah masih menggunakan cara yang bersifat aversif, di mana para siswa menyelesaikan tugas-tugas sekolahnya terutama untuk menghindari stimulus-stimulus aversif seperti kecaman guru, ejekan di muka kelas, menghadap kepala sekolah jika tidak membuat tugas di rumah.
1.Untuk memecahkan masalah untuk perbaikan pendidikan itu pernah diusulkan beberapa pemecahan masalah yang diantaranya:
a.Mendapatkan guru yang berkualitas
b.Mencari terobosan baru untuk menandingi sekolah unggul
c.Menaikkan standar pembelajaran
d.Mereorganisasi kurikulum.
Akan tetapi pemecahan masalah yang pernah ditawarkan tersebut tidak menyentuh esensi permasalahan dunia pendidikan itu sendiri. Menurut Skinner satu hal yang perlu dilakukan untuk memecahkan kebuntuan tersebut adalah bagaimana guru bertanggung jawab mengembangkan pada siswa tingkah laku verbal (kompetensi) atau kemampuan siswa yang merupakan pernyataan keterampilan dan pengetahuan mata pelajaran. Konkritnya Skinner menjelaskan yang harus dilakukan dalam rangka meningkatkan kemampuan siswa atau kompetensi siswa adalah:
1.Membangun khazanah tingkah laku verbal dan non verbal yang menunjukkan hasil belajar.
2.Menghasilkan dengan kemungkinan yang besar, tingkah laku yang disebut minat, antusiasme dan motivasi untuk belajar.
Sehingga dengan tugas seperti ini pembelajaran itu berfungsi memperlancar pemerolehan pola-pola tingkah laku verbal dan nonverbal yang perlu dimiliki setiap siswa. Menurut Weiner, dengan teori atribusinya, satu sumbangan penting untuk pendidikan adalah berkenaan dengan analisa terjadinya interaksi di kelas. Hal yang penting diperhatikan dalam interaksi di kelas dalam konteks proses pembelajaran serta dalam rangka meningkatkan kemampuan atau kompetensi siswa ialah ciri siswa, ciri-ciri siswa yang perlu dipertimbangkan ialah perbedaan perseorangan, kesiapan untuk belajar dan motivasi:
1.Perbedaan Perseorangan
Dalam hal ini yang perlu diperhatikan ialah tingkat perkembangan siswa dan tingkat rasa harga diri siswa. Untuk mengimbangi adanya perbedaan perseorangan dalam proses pembelajaran diantaranya dapat dilakukan pengajaran dengan kelompok kecil (cooperativelearning), tutorial, dan belajar mandiri serta belajar individual.
2.Kesiapan untuk belajar
Kesiapan seorang siswa dalam kegiatan pembelajaran sangat mempengaruhi hasil pembelajaran yang bermanfaat baginya. Karena belajar sifatnya kumulatif, kesiapan untuk belajar baru mengacu pada kapabilitas, dimana kesiapan untuk belajar itu meliputi keterampilan-keterampilan yang rendah kedudukannya dalam tata hierarki keterampilan intelektual.
3.Motivasi
Ciri khas dari teori-teori belajar ialah memperlakukan motivasi sebagai suatu konsep yang dihubungkan dengan asas-asas untuk menimbulkan terjadinya belajar pada diri siswa. Konsep ini memusatkan perhatian pada dilakukannya manipulasi lingkungan yang bisa mendorong siswa seperti membangkitkan perhatian siswa, mempelajari peranan perangsang atau membuat agar bahan ajar menarik bagi siswa.
Ketiga hal di atas harus diperhatikan yang dibarengi dengan penciptaan suasana kelas yang menyenangkan sehingga tingkah laku, respons yang dikeluarkan oleh siswa menghasilkan suasana pembelajaran yang nyaman dan menyenangkan akibat dari stimulus lingkungan yang dimanipulasi tersebut. Di samping ketiga hal di atas yang perlu diperhatikan dalam konteks peningkatan kompetensi siswa, maka kurikulum juga merupakan hal yang tidak terpisahkan dengan kompetensi siswa dalam pembelajaran. Untuk mengimbangi peningkatan kemampuan siswa dalam konteks tingkah laku, maka kurikulum juga perlu menjadi perhatian sehingga siswa benar-benar memiliki kompetensi yang sangat memadai.
Kurikulum saat ini, terutama kurikulum pendidikan nasional akan dikembangkan apa yang dinamakan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) (Competency Based Curriculum). Dalam konsep ini, kurikulum harus dikuasai oleh siswa setelah ia menyelesaikan satu unit pelajaran, satu satuan waktu dan satu satuan pendidikan. Materi kurikulum harus ditekankan pada mata pelajaran yang sanggup menjawab tantangan global dan perkembangan iptek yang sangat cepat. Di samping itu kurikulum yang dikembangkan harus berlandaskan pendidikan etika dan moral yang dikembangkan dalam mata pelajaran agama dan mata pelajaran lain yang relevan.
Selain itu kurikulum harus bersifat luwes, sederhana dan bisa menampung berbagai kemungkinan perubahan di masa yang akan datang sebagai dampak dari perkembangan teknologi dan tuntutan masyarakat. Kurikulum hanya bersifat pedoman pokok dalam kegiatan pembelajaran siswa dan dapat dikembangkan dengan potensi siswa, keadaan sumber daya pendukung dan kondisi yang ada. Semua alternatif solusi diatas tidak ada artinya jika tidak dimanajemeni atau dikelola dengan profesional. Salah satunya adalah dengan menerapkan sistem manajemen berbasis sekolah, di mana pihak sekolah memiliki otoritas yang cukup untuk mengelola konsep-konsep yang akan diterapkan dalam rangka meningkatkan kompetensi siswa.
Masalah kurikulum, tujuan pendidikan, keputusan atau kebijakan sekolah, fasilitas yang akan digunakan, pengembangan SDM sekolah, pengaturan waktu dan biaya pendidikan, haruslah sepenuhnya dikelola oleh sekolah sehingga langkah-langkah teknis di atas dapat terwujud.
PENUTUP
Untuk meningkatkan kompetensi siswa ada beberapa hal yang harus diperhatikan, diantaranya, ciri-ciri siswa antara lain, perbedaan perseorangan, kesiapan belajar dan motivasi yang dibarengi oleh pemanipulasian suasana pembelajaran menjadi lebih disukai oleh siswa sehingga dengan mempertimbangkan kondisi ini apa yang diharapkan sesuai dengan tujuan. Akan tetapi jika spesifikasi pendidikan ke dalam tingkah laku sama dengan membatasi guru menjadi upaya untuk merubah tingkah laku siswa. Padahal, pendidikan tidak hanya sebatas tutorial yang akan mengakibatkan pendidikan kurang manusiawi dan terlalu mekanistik. Akan tetapi pendidikan lebih dari itu, di mana pendidikan memerlukan tingkat kecerdasan dan kebebasan berpikir yang tinggi, kompetensi dan moral atau tingkah laku yang kompleks untuk mengarunginya.
Secara kelembagaan dalam rangka meningkatkan kompetensi siswa perlu sebuah sistem yang mampu mengakomodir tujuan tersebut. Salah satu bentuk dari sistem tersebut adalah manajemen berbasis sekolah yaitu sebuah sistem manajemen yang memberi keluasan kepada pihak sekolah untuk mengelola sekolah masing-masing menurut kebutuhan, kondisi, dan tuntutan lingkungan di mana sekolah tersebut berada.
DAFTAR RUJUKAN
Abu, D. I. 2002. School Base Management. Terjemahan oleh Noryamin Aini, Suparto, dan Abas Al-Jauhari. Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu.
Dahar, R. W. 1989. Teori-teori Belajar. Jakarta: Depdikbud.
Gredler, E. B. M. 1991. Belajar dan Membelajarkan. Terjemahan oleh Munandir. Jakarta: CV. Rajawali.
Sudjana, N. 2001. Teknologi Pengajaran. Bandung: Sinar Baru Algesindo.
Sidi, I. D. 2001. Menuju Masyarakat Belajar (Menggagas Paradigma Baru Pendidikan). Jakarta: Paramadina.
Suryabrata, S. 1998. PsikologiPendidikan. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Snelbecker, G. E. 1974. Learning Theory, Intructional Theory, and Psycoeducational Design. New York: McGraw-Hill Book Company.
Dewasa ini pendidikan mengenal dan menggalakkan manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah (shcool based quality improvement). Hal yang perlu diperhatikan dalam rangka membahas konsep manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah (MPMBS) adalah MPMBS pada dasarnya merupakan suatu pendekatan manajemen pendidikan, yaitu peralihan dari pendekatan makro menuju mikro, atau peralihan dari pendekatan district otonomy (sentralistik) menuju school otonomy (desentralisasi sekolah). MPMBS pada hakikatnya sebuah pendekatan manajemen pendidikan. selanjutnya MPMBS diperkenalkan sebagai pendekatan pembinaan sekolah oleh Departemen Pendidikan Nasional.
Secara konseptual MPMBS dapat didefinisikan sebagai proses manajemen sekolah yang diarahkan pada peningkatan mutu pendidikan sekolah yang direncanakan, diorganisasikan, dilaksanakan, dan dievaluasi sendiri oleh sekolah sesuai dengan kebutuhan sekolah dengan melibatkan semua elemen terkait dengan sekolah. Secara kontekstual dengan hakiki tersebut, MPMBS pada dasarnya sebuah pemberian wewenang kepada sekolah untuk mengelola sekolahnya sendiri (otonomi sekolah). MPMBS pada hakikatnya merupakan pemberian otonomi kepada sekolah untuk secara aktif dan mandiri mengembangkan dan melaksanakan berbagai program peningkatan mutu pendidikan sesuai dengan kebutuhan sekolah sendiri.
Dalam rangka mempertahankan dan meningkatkan kualitas eksistensinya sekolah (kepala sekolah, guru, dan staf) berusaha meningkatkan kinerjanya secara mandiri, mencari cara-cara baru (kreativitas), dan berusaha melibatkan masyarakat layanannya. Pilar penerapan MPMBS adalah 1) peningkatan mutu, 2) kemandirian, 3) partisipasi, dan 4) transparansi.
Pilar Peningkatan Mutu
MPMBS merupakan suatu pendekatan manajemen yang menempatkan mutu pendidikan sebagai hal utama aktivitas substansi manajemen pendidikan (kurikulum, peserta didik, SDM, sarpras, keuangan, dan hubungan masyarakat). Tidak ada MPMBS tanpa rumusan visi, misi, tujuan kelembagaan sekolah yang merefleksikan konsep-konsep sekolah yang baik (the good school), sekolah yang efektif (the effective school), sekolah yang unggul (the excellent school), dan sekolah masa depan (the future school).
Sehingga diperlukan suatu konsep tentang sekolah bermutu. Terdapat dua model teoritik sebagai pendekatan dalam menetapkan sekolah yang baik yaitu model tujuan dan model sistem (Hoy dan Ferguson, 1985). Model tujuan atau disebut juga dengan pendekatan pencapaian tujuan, dikembangkan berdasarkan pada pandangan tradisional tentang keefektifan organisasi. Berdasarkan pandangan tradisional organisasi dikategorikan efektif apabila mencapai tujuan yang telah ditetapkan (Sergiovanni, 1987), sehingga pengukurannya dengan melihat tujuan-tujuan operasional yang telah dicapai organisasi (Daft dan Steers, 1986).
Sekolah sebagai sebuah organisasi dengan demikian dapat dikategorikan baik apabila mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Frymer, dkk. (1984) mengemukakan dasar pengukuran sekolah dengan tes prestasi berstandar. Dengan demikian jika digunakan model tujuan maka prestasi akademik siswa memiliki peranan penting dalam menetapkan baik-tidaknya sebuah sekolah. Penelitian tentang keefektifan sekolah dengan menggunakan model tujuan yang menyandarkan pada penetapannya semata-mata kepada prestasi siswa, sebagaimana diukur melalui tes terstandar sebagai kriteria keefektifannya.
Edmons (1979) memiliki asumsi bahwa sekolah memang memiliki banyak tujuan, namun betapapun banyaknya, sekolah tidak akan dikatakan baik oleh siswa, orangtua, dan masyarakat selama sekolah tersebut tidak sukses dalam mengajarkan keterampilan dasar. Sementara popularitas model tujuan ini adalah kemudahan bagi peneliti dalam mendefinisikan dan mengukur keefektifan sekolah sebagai sebuah institusi (Sergiovanni, 1987).
Namun penyandaran penetapan keefektifan sekolah pada prestasi siswa semata, sebagaimana diukur melalui tes prestasi akademik terstandar telah banyak mendapat kritikan. Kelemahannya adalah pertama terletak pada pendefinisian keefektifannya yang sangat sempit, dimana keefektifan sekolah diukur hanya dari satu dimensi, yaitu prestasi akademik siswa (nilai Ujian Nasional). Kedua walaupun metode tujuan didasarkan pada asumsi yang logis dan dapat dianggap penting, namun keberlangsungannya sengat terancam, karena dalam rangka menerapkannya sekolah harus dalam kondisi memiliki tujuan, dan tujuan tersebut harus diidentifikasi dan didefinisikan cukup tegas sehingga dimengerti dan disepakati oleh warga sekolah, dan mereka sendiri harus mampu mengukur perkembangan pencapaiannya. Padahal dalam kenyataannya kondisi tersebut sering sekali tidak ditemukan di sekolah.
Sedangkan model sistem, disebut juga dengan pendekatan proses atau pendekatan multidimensional, berkembang berdasarkan pada konsep sistem terbuka, digunakan khususnya oleh para analis yang berpandangan bahwa organisasi sebagai sebuah sistem terdiri yang terdiri dari komponen masukan, transformasi, dan keluaran (Hoy dan Miskel, 1982). Berdasarkan pandangan model sistem, keefektifan organisasi dilihat bukan dari tingkat pencapaian tujuannya, sebagaimana dalam pandangan model tujuan, melainkan konsistensi internal, efisiensi penggunaan sumber daya yang ada, dan kesuksesan dalam mekanisme kerjanya.
Terdapat asumsi yang mendasari model sistem. Pertama organisasi merupakan sebuah sistem terbuka yang harus mampu memanfaatkan dan merefleksikan lingkungan sekitarnya. Kedua organisasi merupakan sebuah sistem yang dinamis, dan begitu menjadi besar maka kebutuhannya semakin kompleks, sehingga tidak mungkin didefinisikan hanya melalui sejumlah kecil tujuan organisasi yang bermakna. Berorientasi pada model sistem maka baik-tidaknya sekolah dilihat bukan dari tingkat pencapaian tujuannya, melainkan proses dan kondisinya yang disebut dengan karakteristik sekolah.
Owens (1987) mengemukakan karakteristik sekolah mencakup karakteristik internal dan eksternal. Karakteristik internal sekolah meliputi gaya kepemimpinan, proses komunikasi, sistem pengajaran, kedisiplinan, dan proses pembuatan keputusan. Karakteristik eksternal sekolah merupakan karakteristik situasi di dalam mana sekolah sebagai sebuah organisasi berada dan terletak. Sudah barang tentu yang demikian mencakup karakteristik masyarakat, seperti kekayaan, tradisi sosiokultural, struktur kekuatan politik, dan demografi.
Model sistem sebagai suatu pandangan dalam menentukan baik-tidaknya sekolah telah banyak dikenal dan diterima oleh pakar manajemen pendidikan (Sergiovenni dan Starrat, 1983). Lebih lanjut Sergiovenni dan Starrat (1983) mengasumsikan bahwa ada hubungan antara karakteristik sekolah dan kualitas keluaran siswa. Beberapa hasil penelitian juga menunjukkan adanya hubungan demikian. Austin (1979) dalam penelitiannya menemukan bahwa sekolah-sekolah yang kepemimpinan sekolahnya terlibat dalam pemrograman cenderung memiliki siswa dengan berprestasi tinggi apabila dibandingkan sekolah-sekolah yang tidak atau kurang memiliki karakteristik tersebut. Sementara itu Rutter, dkk. (1987) pada penelitiannya menyimpulkan bahwa iklim dan kepemimpinan sekolah dadalah alat yang penting bagi peningkatan kualitas keluaran siswa.
Oleh karena itu, para ahli manajemen pendidikan menegaskan bahwa kepala sekolah memang bisa memengaruhi kualitas keluaran sekolah, tetapi harus melalui pemberian perhatian sebaik mungkin pada pembinaan proses dan kondisi yang mempertinggi kualitas keluaran siswa. Walaupun model sistem sebagai suatu pendekatan dalam menentukan baik-tidaknya sekolah telah diterima oleh banyak peneliti manajemen pendidikan, namun model sistem tersebut diduga memiliki kelemahan, terutama apabila diaplikasikan di dalam lembaga pendidikan (Hoy dan Miskel, 1982). Dengan terlalu menekankan pada masukan, alat, dan proses di dalam melihat baik-tidaknya sekolah sebagaimana model sistem, maka masalah keluarannya cenderung terabaikan.
Kedua model teoritik tersebut memang tampak berbeda. Model tujuan lebih menekankan pada keberhasilan pencapaian tujuan dalam menetapkan baik-tidaknya sekolah, sementara model sistem lebih menekankan karakteristik proses dan kondisi, seperti konsistensi internal, kesuksesan mekanisme kerja, dan efisiensi dalam mendayagunakan semua sumber yang tersedia dalam menetapkan baik-tidaknya sekolah. Walaupun begitu, keduanya tidak perlu dipertentangkan yang dapat menghasilkan suatu konsep tentang sekolah yang baik.
Hal ini dipertegas oleh Sergiovanni (1987) yang menganjurkan kepada para kepala sekolah, pakar, dan peneliti tidak memilih salah satu diantaranya, melainkan keduanya. Apabila model tujuan dikombinasikan dengan model sistem, maka siapa pun orangnya akan lebih komprehensif dalam memahami kesuksesan sekolah.
Pilar Kemandirian
MPMBS merupakan sebuah model pengelolaan sekolah yang sangat menuntut adanya kemandirian seluruh personel sekolah untuk maju dengan sendirinya. Oleh karena itu, konsep mengelola sendiri (selfmanaging), merencanakan sendiri (self planning), mengorganisasikan sendiri aktivitas sekolah (selforganizing), mengarahkan sendiri (selfdirection), dan mengontrol/mengevaluasi sendiri seluruh program sekolah yang telah direncanakan (self control) sangat melekat pada konsep MPMBS. Adanya penerapan MPMBS, sekolah tampak diberi otonomi untuk merencanakan sendiri, melaksanakan sendiri, dan mengevaluasi sendiri keseluruhan program kerjanya dengan melibatkan seluruh elemen terkait dengan peningkatan mutu pendidikan sekolah.
Seberapa jauh kewenangan sekolah untuk secara mandiri mengembangkan program-programnya? Berdasarkan perspektif filosofis dalam kerangka Indonesia sebagai negara kesatuan, kewenangan otonomi daerah dan sekolah tidak dapat diartikan kebebasan penuh dari suatu sekolah untuk menjalankan hak dan fungsi otonominya menurut sekehendaknya tanpa mempertimbangkan kepentingan nasional secara keseluruhan. Lebih-lebih pendidikan memiliki dua misi utama, yaitu: (1) mencerdaskan kehidupan bangsa, dan (2) sebagai alat pemersatu bangsa.
Secara teoretis, upaya mencerdaskan kehidupan bangsa ini tentu akan lebih mencapai sasaran apabila program pembinaan pendidikan yang ada disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing daerah dan sekolah. Artinya, pelibatan secara aktif, bahkan pemberian tanggung jawab secara penuh kepada daerah dan sekolah untuk merancang sendiri, melaksanakan sendiri, dan mengevaluasi sendiri merupakan hal yang secara teori dapat diandalkan. Namun, dalam kerangka sebagai alat pemersatu bangsa, keanekaragaman pembinaan pendidikan sebagai akibat perbedaan kepentingan masing-masing daerah dan sekolah, kalau tidak dilaksanakan secara hati-hati bisa mengancam persatuan dan kesatuan bangsa.
Pendidikan merupakan bidang pembangunan yang sangat strategis dalam penanaman nilai-nilai persatuan dan kesatuan. Oleh karena itu, yang seharusnya dirintis adalah pengelolaan pendidikan nasional yang berwawasan Bhineka Tunggal Ika.
Pilar Partisipasi
MPMBS merupakan satu model pengelolaan sekolah yang sangat menekankan pada partisipasi seluruh elemen terka dengan peningkatan mutu pendidikan di sekolah. Elemen yang dimaksud tidak hanya dalam bentuk partisipasi orangtua siswa, melainkan juga masyarakat umum, toko agama, tokoh masyarakat, tokoh adat, lembaga swadaya masyarakat, perusahaan, dan lembaga-lembaga sosial yang lain. Di sinilah letak pentingnya hubungan sekolah dengan masyarakat (strategic marketing for school).
Pilar Transparansi
MPMBS merupakan satu model pengelolaan sekolah yang menuntut adanya transparansi keuangan. Transparansi keuangan sangat diperlukan dalam rangka meningkatkan dukungan orangtua dan masyarakat dalam penyelenggaraan seluruh program pendidikan di sekolah. Di sinilah letak pentingnya penerapan manajemen keuangan yang profesional, termasuk di dalamnya adalah akuntansi keuangan sekolah.
MENERAPKAN MPMBS DI SEKOLAH
Bilamana merujuk kepada keempat pilar konsep dasar MPMBS dan sikap positif masyarakat terhadap kualitas, partisipasi, transparansi, dan informasi sebagaimana telah dikedepankan di atas, MPMBS merupakan satu pola manajemen pendidikan yang sepatutnya diterapkan di sekolah-sekolah. Di sisi lain, adanya perubahan dari pola lama menuju pola baru dalam pengelolaan pendidikan secara makro (dari subordinasi menuju otonomi, dari pengambilan keputusan terpusat menuju pengambilan keputusan partisipatif, dari pendekatan birokratik menuju pendekatan profesional, dari sentralistik menuju desentralistik, dari pengarahan menuju fasilitasi) merupakan satu peluang besar bagi kemudahan dalam mengimplementasi MPMBS di sekolah-sekolah.
Menurut Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah (2005) MPMBS bertujuan untuk memandirikan atau memberdayakan sekolah melalui pemberian wewenang, keluwesan, dan sumber daya untuk meningkatkan mutu sekolah. Dengan kemandiriannya, maka diharapkan: (1) sekolah sebagai lembaga pendidikan yang lebih mengetahui kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman bagi dirinya dapat mengoptimalkan sumber daya yang tersedia untuk memajukan sekolah, (2) sekolah dapat mengembangkan sendiri program-program sesuai dengan kebutuhannya, (3) sekolah dapat bertanggung jawab tentang mutu pendidikan masing-masing kepada orangtua, masyarakat, dan pemerintah, dan 4) sekolah dapat melakukan persaingan sehat dengan sekolah lain untuk meningkatkan mutu pendidikan.
Lebih lanjut menurut Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah (2005) penerapan MPMBS di sekolah itu melalui (1) penyusunan data dan profil sekolah yang komprehensif, akurat, valid, dan sistematis, (2) melakukan evaluasi diri (menganalisis kekuatan dan kelemahan seluruh komponen sekolah), (3) mengidentifikasi kebutuhan sekolah, merumuskan visi, misi, dan tujuan dalam rangka peningkatan kualitas pendidikan bagi siswa berdasarkan hasil evaluasi diri, (4) menyusun program kerja jangka panjang dan jangka pendek sesuai dengan visi, misi, dan tujuan yang telah dirumuskan, yang diprioritaskan pada peningkatan mutu pendidikan, (5) mengimplementasikan program kerja, (6) melakukan monitoring dan evaluasi atas program kerja yang diimplementasikan, dan 7) menyusun program lanjutan (untuk tahun berikutnya) atas dasar hasil monitoring dan evaluasi.
Berdasarkan konsep di atas, disimpulkan MPMBS merupakan proses yang bersiklus, terdiri tiga kegiatan pokok, yaitu: (1) analisis masalah dan perencanaan program kerja, (2) pelaksanaan program kerja, dan (3) monitoring dan evaluasi pelaksanaan program. Hasil monitoring dan evaluasi dijadikan landasan untuk penyusunan program berikutnya.
Pertama, analisis masalah dan perencanaan program. Pada tahap ini seluruh elemen sekolah (kepala sekolah, guru, staf, orangtua, komite sekolah, tokoh masyarakat, dan berbagai lembaga terkait dengan pendidikan) berpartisipasi aktif, mandiri, dan dinamis menyusun profil sekolah secara komprehensif, melakkan evaluasi diri (menganalisis kelemahan dan kekuatan) seluruh komponen sekola mengidentifikasi kebutuhan sekolah, merumuskan visi dan misi serta dan tujuan dalam rangka peningkatan kualitas pendidikan bagi siswa berdasarkan hasil evaluasi di menyusun program kerja. Kedua, pelaksanaan program kerja. Pada tahap sekolah berusa semaksimal mungkin melaksanakan semua program yang telah disusun, baik progra jangka pendek maupun jangka panjang. Keterlibatan seluruh elemen, terutama orangtua siswa dan masyarakat umum, harus ditumbuhkembangkan. Dalam rangka itu diperlukan adanya manajemen yang transparan. Ketiga, adalah monitoring dan evaluasi atas program kerja yang dilaksanakan. Monitoring dilakukan secara objektif, komprehensif, dan transparan dengan tetap melibatkan orangtua siswa dan masyarakat. Hasil monitori dan evaluasi tersebut diharapkan menjadi masukan untuk penyusunan program lanjut (untuk tahun berikutnya).
DAFTAR RUJUKAN
Daft, R. L., dan Steers, R. M. 1986. Organization: A Micro/Macro Approach. Glenview: Scott, Foresman, and Company.
Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah. 2005. Konsep Dasar Manajemen Berbasis Sekolah. Jakarta: Direktorat Pendidikan Lanjutan Pertama Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Departemen Pendidikan Nasional.
Edmons, R. 1979. Some Schools Work and More Can. Social Policy, 2(2): 28-32.
Frymer, J., Cornbleth, C., Donmoyer, R., Gansneder, B. M., Jeter, J. T., Klein, M. F., Schwab, M., dan Alexander, W. M. 1984. One Hundred Good Schools. Indiana: Phi Delta Kappa Publication.
Hoy, W. K., dan Ferguson, J. 1985. A Theoritical Framework and Explanation of Organizational Effectiveness of School. Administration Quarterly, 2(11): 117-132.
Hoy, W. K., dan Miskel, C. G. 1982. Educational Administration: Theory, Research, and Practice. New York: Random House, Inc.
Owens, R. G. 1987. Organizational Behavior in Education. New Jersey: Printice Hall Inc.
Rutter, M., Moughan, B., Mortimore, P., Ouston, J., dan Smith, A. 1979. Fifteen Thousand Hours: Secondary Schools and Their Effects on Children. Dalam Sergiovanni, T. J. 1987. The Principalship: A Relective Practice Perspective. Boston: Allyn and Bacon, Inc.
Sergiovanni, T. J. 1987. The Principalship: A Relective Practice Perspective. Boston: Allyn and Bacon, Inc.
Sergiovanni, T. J., dan Starrat, R. J. 1983. Supervision: Human Perspective. New York: McGraw Hill Company.