Masih ingat benar tentang cerita dari teman saya. Ceritanya begini: Teman saya memiliki teman di tempat kerja sebuah lembaga pendidikan. Katakanlah temannya teman saya itu namanya Bu KLMN, pada saat pertama kali masuk kerja menjadi pengajar di lembaga pendidikan tersebut menerapkan RME (Realistic Mathematics Education) dalam pembelajaran. Namanya orang idealis yang baru fresh graduate, baru lulus sarjana, tentunya selalu ingin melaksanakan sesuatu yang excelent, good, dan pokoknya harus total dalam melaksanakan kerja, terutama beliau juga seorang pengajar (guru). Setelah menerapkan RME beberapa bulan dalam pembelajaran, apa yang terjadi? Pihak atasan pengajar (wakasek lah) tersebut, mengkritik begini: Apa itu RME, tak baik, metode yang jelek! Tak usah diterapkan lagi di sekolah ini. RME tak baik dan tak cocok dengan sekolah ini. Keputusan sudah bulat titik. RME tak boleh diterapkan!!!
Kalau menurut saya ini bukan mengkritik, tapi menghina orang dalam melaksanakan perubahan, tanpa memahami terlebih dahulu esensi metode pengajar tadi. Kita harus paham dulu sebelum memutuskan!
Cerita berlanjut: Akhirnya pengajar tersebut setelah dihina, berhenti tak menerapkan RME dalam pembelajaran. Yo, tentunya pengajar tersebut sakit hati, mutung jare orang Kediri! Semenjak peristiwa tersebut pengajar tadi dalam pembelajaran manut dengan budaya lembaga pendidikan tersebut. Pembelajaran Matematika, cuma menjelaskan rumus, mengerjakan soal, diterangkan, selesai!
Pengajar tersebut akhirnya pasif, tak mau melakukan perubahan, karena ujung-ujungnya nanti dibasmi! Sehingga hal-hal baru, pemikiran baru, kreativitas pengajar terhambat.
Selang beberapa tahun apa yang terjadi? Pimpinan sekolah (wakasek tadi) diikutkan oleh lembaga dalam kegiatan pelatihan, yang dalam pelatihan pembelajaran tadi mengulas dan melatih penerapan metode RME dalam pembelajaran. Setelah mengikuti pelatihan tersebut (katakanlah beberapa hari githu) kembali ke sekolah, apa yang terjadi? Pimpinan sekolah tersebut langsung mengembar-gemborkan RME di sekolah agar diterapkan oleh para guru! (Welah telat Pak, dulu ada pengajar yang menerapkan RME sebelum njenengan ikut pelatihan, baru tahu yo!) Tanpa merasa bersalah yang sebelumnya telah mengkritik pengajarnya yang menerapkan RME. Pimpinan sekolah ini bangga menjelaskan RME bahwa RME itu sip, apik, dan bagus pokoke! (Inilah kebiasaan negeri ini, ORANG PELUPA, dulu pernah menghina). Akhire pengajar yang dikritik tadi tentunya yo, lebih sakit hati, dengan pimpinan sekolah tersebut.
Apa yang dapat saya pelajari dari peristiwa tersebut? Sesuai dengan judul tulisan (Orang Berilmu dengan Orang Berkuasa, Menang Mana?), (1) sebelum kita pro atau kontra terhadap sesuatu hal, baik orang, pendapat, pemikiran, atau sebuah mazhab, kita harus memahami semuanya terlebih dahulu. Baru kita bersikap. Misalnya: ada Sosialis ada Kapitalis, jangan menghina kapitalis, jangan mengunggulkan sosialis, sebelum kita paham kedua pemikiran tersebut. Setelah paham sosialis dan kapitalis, baru kita bersikap dan memilih! (2) Ini yang lebih penting, ORANG BERILMU pasti menang daripada ORANG BERKUASA. Berdasarkan cerita: antara pengajar yang pertama kali menerapkan RME pertama kali di sekolah tersebut dengan pimpinan sekolah (wakasek) yang dulunya mengkritik RME, akhirnya menerapkan RME juga setelah ikut pelatihan, yo walaupun telat poll, tanpa kulonuwun dengan pengajar yang dulu pernah dihina, orang berilmu (wakasek yang belajar RME yang sebelumnya membasmi RME) tetap menang! Tapi pertanyaannya, orang berilmu yang bagaimana? Orang berilmu: orang yang selalu terbuka pemikiran, terbuka terhadap hal-hal baru, berpikir dengan penalarannya, dan selalu bereksperimen, untuk mendapatkan ilmu baru, terus membuka cakrawala keilmuan.
Sungguh penting memadukan ILMU dan KEKUASAAN, agar suatu organisasi terus maju, dengan meng-upgrade wawasan, pemikiran, dan berkaitan dengan empirik-teoritis keilmuan. Agar organisasi selalu melakukan perbaikan berkesinambungan, menghadapi tantangan jaman, lingkungan yang terus berubah. Agar dalam orang-orang dalam organisasi selalu bekerja dengan riang gembira, mengekspresikan kreativitasnya untuk kemajuan organisasi. Kekuasaan harus dikendalikan dengan ilmu, agar orang yang berkuasa dapat menjadi orang arif, orang bijaksana, orang yang cinta akan perubahan dan pembaharuan menuju lebih baik!