Ketika kita belajar tentang ilmu pengetahuan, maka kita dapat dikategorikan ke dalam tiga tingkatan pencari ilmu, mulai dari paling rendah sampai dengan paling tinggi, yakni: taklik, iktiba', dan ijtihad. Taklik merupakan orang yang ikut-ikut, melu-melu, tetapi tidak mengerti apa yang diikuti, tidak mengerti apa yang di-eloni. Orang yang diikuti berbicara A, dia juga berbicara A, tetapi dia tidak tahu A itu apa. Iktiba' merupakan orang yang ikut-ikut, melu-melu, tetapi mengerti apa yang diikuti, mengerti apa yang di-eloni. Orang yang diikuti berbicara A, dia juga berbicara A, tetapi dia tahu A itu apa. Mudah-mudahan kita iktiba' kepada Kanjeng Nabi. Itjihad merupakan berpikir sendiri secara mendalam (deep thingking), berpikir sendiri, hasil pemikiran orisinalitas sendiri. Jika mengetahui orang lain berpendapat A, dia memikirkan secara mendalam tentang A dan pemikirannya sendiri. Walaupun berpikir sendiri, tetapi tetap memerhatikan pemikiran orang lain.
Ketiga tingkatan tersebut berproses dan "bergantian" periode waktunya. Untuk menuju tingkatan ijtihad tentunya harus mahir dalam berpikir. Ini yang menjadi pertanyaan dan renungan saya selama ini: Unsur Akademik.
Kalau kita berpendapat, terutama teman-teman kita yang kuliah, pasti ditanya: Itu teorinya siapa? Apa dasar teorinya? Kamu tidak bisa berpendapat tanpa dasar teori yang kuat! Kapasitas kamu belum cukup! Kamu harus pakai teori! Ini teorinya profesor siapa?
Hal itu karena si Z belum bergelar sarjana! Jadi tidak boleh berpendapat! Kalau berpendapat harus pakai dasar teori yang sudah sarjana!
Lagi-lagi sarjana jadi alasan. Yang jadi pertanyaan saya: Siapa ya sarjana pertama di dunia ini? Siapa yang "melantik" sarjana pertama di dunia ini?
Saya jadi ingat tulisan Cak Nun, beliau menulis buku Markesot Bertutur, salah satu uraian beliau membahas sekilas tentang itu.
Mudah-mudahan bermanfaat.