Dewasa ini topik pendidikan karakter sering diperbincangkan oleh para
pegiat pendidikan, mulai dari ruang kuliah sampai seminar ilmiah. Pendidikan
karakter yang dibahas umumnya mengarah kepada tuntutan karakter yang harus
dimiliki oleh peserta didik. Bagaimana dengan karakter guru? Nyaris kajian
tentang karakter guru tidak tersentuh, jika membahas tentang pendidikan
karakter.
Urgensi Karakter Guru
Jika gurunya baik, pasti peserta didiknya baik. Namun jika gurunya tidak
baik, maka peserta didiknya “tidak mau” baik. Hal ini bukan berarti peserta
didiknya tidak baik, tetapi “tidak mau” bersikap baik, karena melihat gurunya
tidak baik juga. Guru adalah “artis” bagi peserta didiknya. Jika ingin peserta
didik berkarakter, gurunya dahulu yang harus berkarakter. Di sinilah urgensi
karakter guru, untuk dapat memengaruhi, menggerakkan, dan mengajak peserta
didik agar terus menjadi pribadi yang baik dan selalu berusaha untuk terus
menjadi lebih baik, dalam aspek apa pun.
Karakter merupakan ketertentuan sesuatu, who are you? Walaupun hujan, panas, atau dingin, dia tetap “dia”! Bertahan
menjadi sesuatu yang berkarakter itu sulit. Guru, “bertahan” menjadi guru itu
sulit, guru merupakan profesi yang paling berat di dunia! Kalau sudah jadi
guru, berarti “tujuan utama” bukan uang, melainkan ialah mendidik, pendidikan, dan
berbagi “ilmu pengetahuan”. Sehingga sebelum menjadi guru, seseorang harus
menata hati untuk itu.
Bagaimana menjadi Guru yang Berkarakter?
Kalau sudah yakin menjadi guru, mau mendidik, berbagi ilmu pengetahuan,
maka guru harus ikhlas membimbing peserta didiknya. Sebuah pedoman dalam
merekonstruksi karakter guru, yang merujuk pada Al Quran, merupakan sebuah
upaya yang nyata. Al Quran surat Al Baqarah ayat 31 merupakan prototipe
karakter guru. Al Baqarah ayat 31 artinya: Dan Dia mengajarkan kepada Adam
nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para
Malaikat lalu berfirman: Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu
memang benar orang-orang yang benar!
Tuhan yang mengajari Adam dan keturunannya, dengan demikian manusia tidak
berkedudukan “mengajari” manusia lain. Guru hanya “memberitahu”, “menerangkan”,
“menjelaskan”, “memberi cakrawala” kepada peserta didiknya, sehingga dapat
membedakan: salah ya salah, benar ya benar. Guru berfungsi sebagai “malaikat”. Malaikat
tidak mencari uang, namun uang yang mencari “malaikat”. Konsep tersebut
merupakan upaya penyadaran, bahwa sebenarnya, manusia tidak dapat “mengajar”
kepada manusia lain. Tuhan-lah yang mengajari manusia, yang membentuk manusia.
Guru hanya sebagai “perantara”, pewaris ilmu dan diwariskan lagi kepada manusia
lainnya. Ilmu itu ada dimana-mana dan milik siapa saja. Asal manusia mau
berpikir dan mau berkontemplasi, ia akan mendapatkan ilmu, untuk mencapai
cahaya. Ilmu adalah cahaya. Guru adalah cahaya kehidupan.
Guru jangan mengkapitalisasi sebisa-bisanya dalam pembelajaran agar
mendapatkan uang banyak. Tetapi diperjuangkan (oleh guru, persatuan guru, perguruan
tinggi, dan aktivis) secara nasional bahwa gaji guru harus diutamakan oleh APBN
(negara). Guru merupakan profesi yang mulia, mulia dunia dan akhirat. Guru harus
“berani miskin”. Mulai sekarang seseorang jika ingin menjadi guru, harus
menghitung, menata niat, dan menata hati, tujuan jadi guru apa? Guru dituntut
dapat memainkan “peran” yang tepat dalam masyarakat, sebagai layaknya guru (hal
ideal, das sollen). Dengan demikian
menjadi guru tidak hanya bergelar sarjana saja, melainkan guru yang dapat
digugu petuahnya, ditiru perbuatannya. Sehingga “semua orang bisa menjadi
guru”. Guru juga merupakan “artis” bagi masyarakat.
Guru harus membuka cakrawala kepada siswanya, sehingga tidak mudah
memvonis sesuatu. Guru harus memahami terlebih dahulu dan kaya wawasan. Guru
harus menjadi teladan, kaya cakrawala, dan kaya bahasa, agar peserta didik
dapat berinteraksi dengan manusia lain secara santun. Guru akan tetap menjadi guru
yang disegani, dirindu, bermartabat, jika guru tidak “menjelekkan”, “menghina”
orang lain tanpa patrap (harus
memerhatikan aturan akademik). Guru menciptakan “guru baru” yang lebih baik
dari dirinya sendiri. Kebahagiaan guru adalah jika siswanya jauh lebih pandai,
lebih pintar, lebih kritis, lebih sukses, lebih dalam hal positif, dari diri
guru itu sendiri.
Guru tidak boleh “meragukan” kemampuan peserta didiknya, karena jika guru
meragukan kemampuan peserta didiknya, guru tersebut sebenarnya secara batiniah
“meragukan kemampuannya sendiri” dalam mendidik. Ke mana saja guru saat
mendidik, sehingga peserta didik dikatakan “tidak mampu? Gurunya sendiri saja
meragukan kemampuan peserta didiknya, apalagi orang lain? Guru harus bertanya
kepada dalam hatinya: apa yang salah dalam diri saya, sehingga peserta didik
saya kurang mampu? Jangan sampai karena alasan kontrol mutu, peserta didik yang
dikatakan “tidak mampu”, lalu diseleksi keluar dan “dibuang” dari kelas! Guru
yang hebat adalah menguatkan hati. Jika ingin melihat guru, lihatlah peserta
didiknya!
Doa untuk Guru
Terima kasih Bapak dan Ibu guru kami. Karena engkaulah, kami dapat membaca,
tahu luasnya dunia! Ya Tuhan, beliau berlomba untuk-Mu. Ya Tuhan, beliau
berlomba untuk menjadi pewaris kekasih-Mu Muhammad SAW. Maka Engkau akan
memudahkan hidup guru kami, Engkau akan memberi solusi kepada masalah guru
kami, Engkau akan membikin hati guru kami tenteram, rumah tangga guru kami
teduh setiap hari, dan kalau ada apa-apa Engkau melindunginya. Amin.