Istilah persaingan muncul seiring dengan dipopulerkannya
konsep globalisasi oleh Naisbitt pada tahun 1980an, tak pelak mengakibatkan
pendidikan pun tereduksi menjadi alat globalisasi. Akibatnya terjadi pergeseran
tujuan pendidikan dari tataran filosofis menjadikan manusia sebagai insan yang
merdeka, menjadi tataran empiris yang menjadikan manusia sebagai alat produksi
dengan pendidikan diselenggarakan untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja.
Filosofi materialis menjadi lebih dominan dengan melihat manusia pada satu
dimensi yakni pendidikan sebagai penyiapan tenaga kerja. Pendidikan tidak lagi
memandang manusia sebagai makhluk dimensional. Jika yang terjadi demikian, maka
apakah mungkin bisa pendidikan yang memerdekakan dapat tercapai ketika
pendidikan itu sendiri belum merdeka? Bukankah Bapak Pendidikan Ki Hajar
Dewantara telah mengamanatkan bahwa pendidikan itu memerdekakan?
Merajut Kembali Pendidikan
Tak dapat dipungkiri kata pendidikan di kalangan
masyarakat umum pun terjadi penyempitan makna, yakni pendidikan yang bertujuan
memanusiakan manusia, menjadi pendidikan sebagai investasi untuk meningkatkan
taraf hidup yang diukur dari unsur pendapatan ekonomi semata. Hal inilah yang
menjadi penyebab pendidikan diselenggarakan sebatas agar peserta didik memiliki
kompetensi untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja. Akibatnya pada diri peserta
didik tertanam sikap berkompetisi dengan orang lain. Nilai-nilai relasi
antarpersonal yang memiliki kesadaran bahwa setiap individu saling memerlukan
satu sama lain sehingga akan ada kooperasi di antara mereka menjadi pudar.
Berbagai peristiwa yang terjadi akhir-akhir ini, seperti
meninggalnya seorang guru di tangan peserta didiknya sendiri, seorang peserta
didik yang berani menantang berkelahi gurunya sendiri, ataupun kasus sebaliknya
seorang guru yang melakukan pelecehan seksual kepada peserta didiknya sendiri,
merupakan pertanda bahwa pendidikan kehilangan ruhnya. Pendidikan menjadi jauh
terhadap nilai-nilai kemanusiaan yang universal. Menjadi hal penting untuk
merajut kembali pendidikan dengan berlandaskan pada upaya humanisasi.
Pendidikan sebagai ilmu normatif, sehingga fungsi sekolah adalah menumbuhkan
etika dan moral subjek peserta didik ke tingkat yang lebih baik dengan cara
atau proses yang baik pula serta dalam konteks positif.
Membangun Moral Pendidikan
Pendidikan melihat manusia sebagai mahluk yang bermoral.
Manusia bukan hanya sekedar hidup tetapi hidup untuk mewujudkan eksistensi.
Manusia hidup bersama-sama dengan sesama manusia sebagai ciptaan Tuhan. Proses
humanisasi diarahkan pada nilai-nilai kehidupan yang vertikal di dalam
kenyataan hidup bersama dengan manusia lain secara horizontal. Pendidikan
mengarahkan guru dan peserta didik menuju aktivis yang fundamental sebagai
manusia menggunakan hati nurani serta berpikir kritis, kreatif, dan integratif
demi membangun masyarakat yang menjunjung tinggi moralitas bangsa.
Harapan besar pendidikan selain mengembangkan moral
manusia yang baik, juga seiring dengan ketajaman pikiran manusi itu sendiri,
sehingga menjadi manusia yang bijak. Membangun moral pendidikan merupakan upaya
integral agar mampu mengembangkan manusia-manusia yang sadar akan peran, tugas,
dan tanggung jawabnya terhadap kehidupan masyarakat. Menumbuhkan moralitas
diawali dengan penyadaran bahwa manusia sebenarnya merupakan makhluk yang
bermoral dengan tugas menjaga harmoni kehidupan alam. Sehingga manusia akan
baik terhadap sesama dan baik terhadap alam.
Kemerdekaan Berpikir
Memerdekakan pendidikan berarti memerdekanan cara
berpikir, berperilaku, dan bertindak setiap manusia sebagai insan. Membudayakan
kemerdekaan berpikir di tengah-tengah gempuran informasi yang cepat dan
kebiasaan masyarakat yang serba instan merupakan tantangan sendiri. Berpikir
menempati tingkat yang krusial dalam penyelenggaraan pendidikan. Manusia
dikatakan hidup manakala ia masih berpikir. Berpikir tentang hakikatnya sebagai
manusia, berpikir permasalahan masyarakat, dan berpikir untuk menemukan ilmu
pengetahuan dari hasil kontemplasinya. Perlu penyadaran dan pembudayaan kepada
pendidik dan peserta didik untuk selalu berpikir kreatif, kritis, dan jitu.
Berperilaku merupakan cerminan apa yang dipikirkan oleh
setiap manusia. Kebebasan berperilaku dengan dibarengi proses berpikir akan
menjadikan manusia sebagai makhluk yang beradab. Perilaku yang baik akan
selaras dengan hati yang baik, rasa yang baik, dan sikap yang baik. Nilai-nilai
universal kemanusiaan menjadi pedoman dalam berperilaku. Jujur, percaya diri,
atau belajar dengan sunggug-sungguh sebagai bagian dari moral individu, juga
harus dibarengi dengan moral kinerja, seperti ulet dalam bekerja, bekerja
keras, dan bekerja cerdas.
Itulah
yang dimaksud dengan bertindak. Kemampuan psikomotorik yang berbasis pada
potensi jasmani manusia dikembangkan untuk meningkatkan taraf hidup manusia.
Manusia yang mampu berpikir, berperilaku, dan bertindak yang baik akan mampu
menciptakan manusia andal, manusia yang tangguh, dan manusia yang andal, serta
mampu bekerja sama dengan manusia lain untuk melangsungkan kehidupan.
Memerdekakan dimulai dari hal tersebut.