Leithwood (1999) berpendapat transformational leadership is seen to be sensitive to organization building developing shared vision, distributing leadership and building school culture necessary to current restructuring efforts in school. Sedangkan Burns (1978) mengemukakan kepemimpinan transformasional ialah a process in which leaders and followers raise to higher levels of morality and motivation. Gaya kepemimpinan semacam ini akan mampu membawa kesadaran para pengikut (followers) dengan memunculkan ide-ide produktif, hubungan yang bersinergi, kebertanggungjawaban, kepedulian edukasi, dan cita-cita bersama.
Pemimpin dengan kepemimpinan transformasional adalah kepemimpinan yang memiliki visi ke depan dan mampu mengidentifikasi perubahan lingkungan serta mampu mentransformasi perubahan tersebut ke dalam organisasi, memelopori perubahan dan memberikan motivasi dan inspirasi kepada individu-individu karyawan untuk kreatif dan inovatif, serta membangun team work yang solid, membawa pembaharuan dalam etos kerja kinerja manajemen, berani dan bertanggung jawab memimpin dan mengendalikan organisasi.
Hal ini dipertegas oleh Yulk (1994) yang menyatakan bahwa esensi kepemimpinan transformasional adalah memberdayakan para pengikutnya untuk berkinerja secara efektif dengan membangun komitmen mereka terhadap nilai-nilai baru, mengembangkan keterampilan dan kepercayaan mereka, dan menciptakan iklim yang kondusif bagi berkembangnya inovasi dan kreativitas. Menurut House pemimpin yang transformasional memotivasi bawahan mereka untuk kinerja di atas dan melebihi panggilan tugasnya (Suyanto, 2003). Esensinya kepemimpinan transformasional adalah sharing of power dengan melibatkan bawahan secara bersama-sama untuk melakukan perubahan.
Dalam merumuskan perubahan biasanya digunakan pendekatan transformasional yang manusiawi, dimana lingkungan kerja yang partisipatif dengan model manajemen yang kolegial yang penuh keterbukaan dan keputusan diambil bersama. Dengan demikian kepemimpinan transformasional adalah kepemimpinan yang mampu menciptakan perubahan yang mendasar dan dilandasi oleh nilai-nilai agama sistem dan budaya untuk menciptakan inovasi dan kreativitas pengikutnya dalam rangka mencapai visi yang telah ditetapkan.
Pemimpin transformasional sesungguhnya merupakan agen perubahan, karena memang erat kaitannya dengan transformasi yang terjadi dalam suatu organisasi. Fungsi utamanya adalah berperan sebagai katalis perubahan, bukannya sebagai pengontrol perubahan. Seorang pemimpin transformasional memiliki visi yang jelas, memiliki gambaran holistis tentang bagaimana organisasi di masa depan ketika semua tujuan atau sasaran telah tercapai (Peter, 1992).
Sergiovanni (1990:21) berpendapat makna simbolis dari tindakan seorang pemimpin transformasional adalah lebih penting dari tindakan aktual. Nilai-nilai yang dijunjung oleh pemimpin yang terpenting adalah segalanya. Artinya ia menjadi model dari nilai-nilai tersebut. Mentransformasikan nilai organisasi jika perlu untuk membantu mewujudkan visi organisasi. Elemen yang paling utama dari karakteristik seorang pemimpin transformasional adalah dia harus memiliki hasrat yang kuat untuk mencapai tujuan organisasi. Seorang pemimpin transformasional adalah seorang pemimpin yang mempunyai keahlian diagnosis, dan selalu meluangkan waktu dan mencurahkan perhatian dalam upaya untuk memecahkan masalah dari berbagai aspek. Bass (1994) memberikan model transformasional seperti ditunjukkan pada Gambar 1.
Gambar 1 Model Transformasional
Rees (2001) menyatakan paradigma baru kepemimpinan transformasional mengangkat tujuh prinsip menciptakan kepemimpinan yang sinergis, yakni:
1. Simplifikasi, yakni keberhasilan dari kepemimpinan diawali dengan sebuah visi yang akan menjadi cermin dan tujuan bersama. Kemampuan serta keterampilan dalam mengungkapkan visi secara jelas, praktis dan tentu saja transformasional yang dapat menjawab “Ke mana kita akan melangkah?” menjadi hal pertama yang penting untuk kita implementasikan,
2. Motivasi, yakni kemampuan untuk mendapatkan komitmen dari setiap orang yang terlibat terhadap visi sudah dijelaskan adalah hal kedua yang perlu dilakukan. Pada saat pemimpin transformasional dapat menciptakan suatu sinergis di dalam organisasi, berarti seharusnya dia dapat mengoptimalkan, memotivasi dan memberi energi kepada setiap pengikutnya. Praktisnya dapat saja berupa tugas atau pekerjaan yang betul-betul menantang serta memberikan peluang bagi mereka pula untuk terlibat suatu proses kreatif, memberikan usulan mengambil keputusan dalam pemecahan masalah, hal ini akan memberikan nilai tambah bagi mereka sendiri,
3. Fasilitasi, yakni dalam pengertian kemampuan untuk secara efektif memfasilitasi “pembelajaran” yang terjadi di dalam organisasi secara kelembagaan, kelompok, ataupun individual. Hal ini akan berdampak pada semakin bertambahnya modal intelektual dari setiap orang yang terlibat di dalamnya,
4. Inovasi, yaitu kemampuan untuk secara berani dan bertanggung jawab melakukan suatu perubahan bilamana diperlukan dan menjadi suatu tuntutan dengan perubahan yang terjadi. Dalam suatu organisasi yang efektif dan efisien, setiap orang yang terlibat perlu mengantisipasi perubahan dan seharusnya pula mereka tidak takut akan perubahan tersebut. Dalam kasus tertentu, pemimpin transformasional harus sigap merespons perubahan tanpa mengorbankan rasa percaya dan tim kerja yang sudah dibangun,
5. Mobilitas, yaitu pengerahan semua sumber daya yang ada untuk melengkapi dan memperkuat setiap orang yang terlibat di dalamnya dalam mencapai visi dan tujuan. Pemimpin transformasional akan selalu mengupayakan pengikut yang penuh dengan tanggung jawab,
6. Siap Siaga, yaitu kemampuan untuk selalu siap belajar tentang diri mereka sendiri dan menyambut perubahan dengan paradigma baru yang positif,
7. Tekad, yaitu tekad bulat untuk selalu sampai pada akhir, tekad bulat untuk menyelesaikan sesuatu dengan baik dan tuntas. Untuk ini tentu perlu pula didukung oleh pengembangan disiplin spiritualitas, emosi, dan fisik serta komitmen.
Prinsip kepemimpinan transformasional yang sinergis seperti Gambar 2.
Gambar 2 Kepemimpinan Transformasional yang Sinergis
Menurut Bass dan Avolio (1994) terdapat 4 dimensi dalam kadar kepemimpinan seseorang dengan konsep 4 I, yakni:
1. “I” pertama adalah Idealized Influence, yang dijelaskan sebagai perilaku yang menghasilkan rasa hormat (respect) dan rasa percaya diri yang menghasilkan rasa hormat (respect) dan rasa percaya diri (trust) dari orang-orang yang dipimpinnya. Idealized influence mengandung makna saling berbagi risiko, melalui pertimbangan atas kebutuhan yang dipimpin di atas kebutuhan pribadi, dan perilaku moral serta etis,
2. “I” kedua adalah Inspirational Motivation, yang tercermin dalam perilaku yang senantiasa menyediakan tantangan dan makna atas pekerjaan orang-orang yang dipimpin, termasuk di dalamnya adalah perilaku yang mampu mendemonstrasikan komitmen terhadap sasaran organisasi. Semangat ini dibangkitkan melalui antusiasme dan optimisme,
3. “I” ketiga adalah Intellectual Simulation. Pemimpin yang mendemonstrasikan tipe kepemimpinan senantiasa mengali ide-ide baru dan solusi yang kreatif dari orang-orang yang dipimpinnya. Ia juga selalu mendorong pendekatan baru dalam melakukan pekerjaan,
4. “I” keempat adalah Indivualized Consideration, yang direfleksikan oleh pemimpin yang selalu mendengarkan dengan penuh perhatian, dan memberikan perhatian khusus kepada kebutuhan prestasi dan kebutuhan dari orang-orang yang dipimpinnya.
Berdasarkan perspektif manajemen kepemimpinan didasarkan pada filosofi bahwa perbaikan metode dan proses kerja secara berkesinambungan akan dapat memperbaiki kualitas, biaya, produktivitas, dan ROI (return of invesment) yang pada gilirannya juga meningkatkan daya saing. Kepemimpinan pada akhirnya bertujuan membentuk budaya mutu organisasi. Disimpulkan bahwa menurut pandangan manajemen pemimpin yang efektif adalah pemimpin yang dapat memindahkan (transformasi) nilai, idealisme, perilaku, mental, dan sikap mutu kepada karyawan.
Kepemimpinan transformasional adalah kepemimpinan yang mempunyai dimensi, kharismatik, stimulus intelektual, konsiderasi individual, sumber inspirasi serta idealisme. Konsep dan praktik kepemimpinan transformasional dikembangkan sebagai jawaban atas keterbatasan konsep kepemimpinan yang telah ada dalam mengelola SDM dan organisasi dalam lingkungan yang mengalami perubahan. Kepemimpinan transformasional menekankan terbentuknya rasa memiliki bagi setiap individu sebagai bagian dari kelompok. Oleh karena itu kepemimpinan transformasional diproposisikan berpengaruh positif terhadap komitmen bawahan pada organisasi.
Dimensi kepemimpinan transformasional di atas akan berdampak positif terhadap komitmen karyawan terutama komitmen afektif, dan ini tentunya akan berpengaruh pula terhadap motivasi kerja dari karyawan. Perilaku kepemimpinan yang memiliki visi dan misi yang jelas dan menarik, menunjukkan kepercayaan diri yang kuat, mampu mengomunikasikan ide-ide yang cerdas dan dapat dipercaya karyawan. Secara logis kaitan ini menunjukkan bahwa praktik kepemimpinan transformasional dapat menumbuhkan identifikasi karyawan terhadap organisasi yang antara lain tercermin dalam perasaan memiliki, bangga sebagai bagian dari organisasi. Terbentuknya identifikasi tersebut berdampak positif terhadap internalisasi tujuan (goals internalization) yaitu tujuan yang ditetapkan perusahaan secara konkret termanivestasi dalam bentuk motivasi karyawan dalam menjalankan tugasnya.
Dampak kepemimpinan transformasional terhadap komitmen normatif. Komitmen normatif adalah komitmen individu pada organisasi karena adanya dorongan keyakinan seseorang untuk bertanggung jawab secara moral bahwa selayaknya harus loyal dan setia pada organisasi dalam meningkatkan kualitas. Kepemimpinan yang memiliki visi yang jelas dan menarik serta menunjukkan kepercayaan diri yang kuat dan dapat dipercaya karyawan, mampu memperkuat kaitan normatif karyawan dengan organisasi yaitu tumbuhnya perasaan loyal dan upaya meningkatkan kualitas secara kontinu. Disimpulkan bahwa kepemimpinan transformasional yang visioner dapat memperkuat kepercayaan antara karyawan dan manajer. Indikator kepercayaan inilah merupakan pemicu dari sikap loyal karyawan kepada organisasi untuk meningkatkan kualitasnya.