Era desentralisasi pendidikan dalam konteks school based management atau manajemen berbasis sekolah (MBS) dewasa ini menuntut sekolah untuk meningkatkan keikutsertaan masyarakat dalam pengelolaannya guna meningkatkan kualitas dan efisiensi. Karenanya, otonomi pendidikan dalam konteks MBS tersebut harus dilakukan dengan selalu mengacu pada akuntabilitas terhadap masyarakat, orangtua, siswa, maupun pemerintah pusat dan daerah.
Agar desentralisasi atau otonomi pendidikan berhasil dengan baik, maka kepemimpinan kepala sekolah perlu diberdayakan. Pemberdayaan kepala sekolah mengandung arti peningkatan kemampuan secara fungsional, dimana kepala sekolah mampu berperan sesuai dengan tugas, fungsi, wewenang, dan tanggung jawabnya.
Kepala sekolah merupakan pemimpin dalam suatu institusi pendidikan, baik itu sebagai pemimpin bagi para guru, maupun sebagai manajer atau pemimpin dalam manajemen sekolah. Karenanya, tugas dan fungsi kepala sekolah merupakan sosok sentral dalam peningkatan mutu kualitas pendidikan di sekolah.
Kepala sekolah harus mampu bertindak sebagai manajer dan pemimpin yang efektif. Sebagai manajer ia harus mampu mengatur agar semua potensi sekolah dapat berfungsi dan berjalan secara optimal. Hal ini dapat dilakukan jika kepala sekolah mampu melaksanakan fungsi-fungsi manajerial dengan baik yang melingkupi (1) Perencanaan (Planning); (2) Pengorganisasian (Organizing); (3) Pengarahan (Actuating); dan (4) Pengawasan (Controling).
Pola kepemimpinan kepala sekolah yang top down atau instruksional yang selama ini diterapkan selama era sentralistik, kini sudah tidak relevan lagi dipraktekkan dalam konteks MBS atau desentralisasi pendidikan/sekolah. Kepala sekolah saatnya mampu mengambil inisiatif dalam memimpin atau mengelola sekolahnya.
Terkait dengan cara kepemimpinan kepala sekolah, para ahli pendidikan sepakat, salah satu gaya atau metode kepemimpinan yang relevan diterapkan dalam konteks MBS atau desentralisasi pendidikan adalah gaya kepemimpinan Transformasional. Yakni, suatu cara yang memungkinkan semua semua potensi yang ada di sekolah dapat berfungsi secara optimal.
Kepemimpinan transformasional menurut para ahli didefinisikan sebagai gaya kepemimpinan yang mengutamakan pemberian kesempatan yang mendorong semua unsur atau elemen sekolah (guru, siswa, pegawai/staf, orangtua siswa, masyarakat sekitar dan lainnya) untuk bekerja atas dasar sistem nilai (values system) yang luhur, sehingga semua unsur yang ada di sekolah tersebut bersedia untuk berpartisipatif secara optimal dalam mencapai visi sekolah.
Seorang kepala sekolah yang memiliki kepemimpinan transformasional memiliki sikap menghargai ide-ide baru, cara dan metode baru, serta praktik-praktik baru yang dilakukan para guru dalam proses kegiatan belajar mengajar (KBM) di sekolahnya.
Kepala sekolah yang transformer sangat senang jika guru melaksanakan penelitian tindakan kelas atau classroom action research. Sebab, dengan penelitian kelas, seorang guru akan mampu menutup gap antara wacana konseptual dengan realitas empirik. Dengan demikian, guru akan dapat menemukan solusi atas persoalan keseharian yang dihadapinya selama proses KBM berlangsung di kelas. Jika hal ini terjadi, maka ia akan mampu memecahkan sendiri persoalan yang muncul dari praktik profesionalnya.
Menurut Luthans, 1995: 358, terdapat tujuh sikap dari seorang kepala sekolah yang telah berhasil menerapkan gaya kepemimpinan transformasionalnya, yakni, 1) mengidentifikasi dirinya sebagai agen perubahan (pembaruan); 2) memiliki sifat pemberani; 3) mempercayai orang lain; 4) bertindak atas dasar sistem nilai (bukan atas dasar kepentingan individu, atau atas dasar kepentingan dan desakan kroninya); 5) meningkatkan kemampuannya secara terus-menerus; 6) memiliki kemampuan untuk menghadapi situasi yang rumit, tidak jelas, dan tidak menentu; serta 7) memiliki visi ke depan atau visioner.
Sumber: http://secangkirkopipagi.wordpress.com diakses 3 Februari 2009
Tidak ada komentar:
Komentar baru tidak diizinkan.