Pendidikan dalam
penyelenggaraannya juga berlandaskan pada landasan sosial. Landasan sosial
pendidikan menekankan pada pendidikan dalam prosesnya memperhatikan kondisi dan
proses sosial yang terjadi di suatu masyarakat ataupun sebuah bangsa. Kondisi
sosial suatu masyarakat akan mempengaruhi penyelenggaraan bidang pendidikan,
seperti proses pembelajaran, pengembangan kurikulum, dan pola kerjasama sekolah
dengan masyarakat. Landasan sosial pendidikan mencakup kekuatan sosial
masyarakat yang selalu berkembang dan berubah sesuai dengan perkembangan jaman.
Kekuatan tersebut dapat berupa kekuatan nyata dan potensial yang berpengaruh
dalam perkembangan pendidikan dan sosial budaya seiring dengan dinamika
masyarakat.
Dasar sosial pendidikan
mengkaji kondisi sosial dan pendidikan berdasarkan prinsip pemecahan masalah
secara ilmiah dan berdasarkan nilai demokrasi. Kajian sosial pendidikan
mengkombinasikan konsep, instrumen, dan metode dari ilmu sosial dan filsafat
untuk membentuk kajian terpadu tentang asal usul, tujuan, dan fungsi lembaga
pendidikan dalam suatu masyarakat. Manan (1989:5) mengemukakan sebuah program
pendidikan mencerminkan kehidupan dan kondisi suatu masyarakat dan tidak dapat
dipisahkan dari aspek sosial budaya, sejarah, dan filosofi yang semuanya
memberi arah dalam bidang pendidikan. Kajian mengenai dasar sosial dan budaya
dari pendidikan bertujuan untuk membekali guru dengan pengetahuan yang mendalam
tentang masyarakat dan kebudayaan di mana mereka hidup dan untuk membantu calon
guru untuk mengetahui bahwa pengertian mengenai masyarakat dan kebudayaan
sangat penting artinya guna memahami tentang masalah pendidikan.
Kajian sosial budaya
menghubungkan pengetahuan tentang masyarakat dan kebudayaan dengan pendidikan
sebagai institusi untuk memelihara kesinambungan dan pengembangan masyarakat
dan kebudayaan. Sekolah harus memahami isu dan masalah sosial budaya dalam
masyarakat terutama yang berkaitan dengan perubahan sosial budaya yakni
modernisasi. Pemahaman tentang sosial budaya dan proses perubahan sosial budaya
diharapkan sekolah dapat mempertahankan dan meningkatkan fungsinya sebagai agent of change dan membentuk generasi
yang berkualitas. Suatu masyarakat dibentuk oleh orang-orang, cara-cara mereka
bertingkah laku merupakan kebudayaan mereka.
Karena konsep masyarakat dan
kebudayaan tersebut bersifat interdependen, maka dalam konsep sosial budaya
digunakan dalam mengkaji kedudukan pendidikan dalam masyarakat. Hubungan antara
pendidikan dan kehidupan sosial budaya suatu masyarakat dan isu-isu yang muncul
dalam perkembangan pendidikan dan pembangunan suatu masyarakat. Kajian konsep
sosial budaya akan terfokus pada pembahasan: (1) karakteristik sosial budaya;
(2) transmisi sosial budaya; dan (3) hubungan sosial budaya dengan pendidikan.
Berikut ini akan diuraikan ketiga hal tersebut.
1.
Karakteristik Sosial Budaya Pendidikan
Potensi yang dimiliki manusia
yaitu otak mampu menghasilkan kebudayaan, hasil dari potensi yang tercermin
dari berbagai hasil manusia merupakan sumber pembentukan kebudayaan. Kebudayaan
merupakan pengalaman universal manusia, manifestasi lokal dan regionalnya
bersifat unik. Sosial budaya bersifat dinamis tetapi juga bersifat dinamis,
dengan adanya perubahan terus menerus dan tetap. Koentjaraningrat (1974)
mengemukakan bahwa kebudayaan memiliki unsur-unsur yang universal yaitu bahasa,
sistem teknologi, sistem ekonomi, organisasi sosial, sistem pengetahuan, sistem
religi, dan sistem kesenian. Bentuk manifestasi dari unsur-unsur sosial budaya
berbagai masyarakat bersifat unik.
Semua masyarakat memiliki
unsur budaya bahasa tetapi tidak ada dua bahasa yang identik sama.
Masing-masing kebudayaan memiliki kekerabatan dan persamaan tetapi tidak
identik. Keragaman atau keunikan dari unsur-unsur sosial budaya terbentuk
karena adanya keragaman lingkungan dan sejarah perkembangan suatu masyarakat.
Kebudayaan bersifat stabil dan dinamis. Unsur-unsur sosial budaya biasanya
bertahan dan stabil untuk suatu periode waktu tertentu, tetapi kontak budaya
dan perubahan lingkungan mempengaruhi terjadinya perubahan budaya (enkulturasi
dan akulturasi). Pendidikan memegang peranan penting dalam perubahan sosial
budaya manusia. Sosial budaya membentuk karakter suatu masyarakat.
Berdasarkan kajian tentang
sosial budaya, Murdock (2015) mengidentifikasi karakteristik
kebudayaan yang bersifat universal, yaitu: (1) kebudayaan dipelajari dan bukan
bersifat insting, karena itu kebudayaan tidak dapat diselidiki asal usulnya
dari gen atau kromosom; (2) kebudayaan ditanamkan, generasi baru tidak memiliki
pilhan tentang kurikulum kebudayaan, hanya manusia yang dapat menyampaikan
warisan sosialnya dan generasi berikutnya dapat menyerap dan mengembangkan; (3)
kebudayaan bersifat sosial dan dimiliki bersama oleh manusia dalam berbagai
masyarakat yang terorganisasi; (4) kebudayaan bersifat gagasan,
kebiasaan-kebiasaan kelompok dikonsepsikan atau diungkapkan sebagai norma-norma
ideal atau pola perilaku; (5) kebudayaan sampai pada satu tingkat memuaskan
individu dan kebutuhan kelompok sosial secara budaya dapat didefinisikan; dan
(6) kebudayaan bersifat integratif, selalu ada tekanan ke arah konsistensi
dalam setiap kebudayaan, jika tidak maka konflik akan cepat menghancurkannya.
Kebudayaan yang terintegrasi dengan baik memiliki kepaduan sosial (social cohesion) di antara institusi dan
kelompok sosial yang mendukung kebudayaan tersebut.
Konsep budaya multikultural
merupakan suatu ideologi yang mengkaji perbedaan budaya, mengakui, dan
mendorong pluralisme budaya sebagai suatu corak kehidupan masyarakat (Zubaedi,
2005:61). Multikultural akan menjadi pemersatu yang mengakomodasi perbedaan
dalam masyarakat yang heterogen. Antar individu hidup berdampingan dalam
kesetaran derajat politik, hukum, ekonomi, sosial, dan budaya. Prinsip
multikultural dapat dijadikan sebagai strategi dan pendekatan dalam
pengembangan kurikulum karena disesuaikan dengan kondisi budaya daerah.
Relevansi antara kurikulum dan sosial budaya dijadikan pedoman dalam penyusun
kurikulum sehingga pelaksanaannya diharapkan dapat mengembangkan potensi
peserta didik dan potensi daerah.
Kebudayan bersifat stabil
tetapi dapat berubah, perubahan diukur dari elemen yang relatif stabil dan
stabilitas diukur dari elemen budaya yang berubah dengan cepat. Beberapa
kebudayaan bersifat fleksibel dari yang lain, menyesuaikan diri terhadap
perubahan yang cepat tanpa mengalami disintegrasi. Beberapa aspek kebudayaan
relatif lebih reseptif terhadap perubahan dibandingkan dengan aspek yang lain.
Teknologi berubah dengan cepat dibandingkan dengan nilai-nilai, namun demikian
tidak ada nilai dan ideologi yang secara keseluruhan tetap bersifat statis.
2.
Transmisi Sosial Budaya Pendidikan
Kajian sosial budaya
pendidikan dari masa ke masa mengalami perubahan secara terminologis
(peristilahan). Istilah tersebut mencakup enkulturasi (pembudayaan),
sosialisasi (pemasyarakatan), pendidikan, dan sekolahan. Istilah tersebut
sangat penting dikaji dalam pendidikan karena berguna untuk menjelaskan gejala
yang terjadi dalam bidang pendidikan. Herskovits (1964) mengemukakan bahwa
enkulturasi dan sosialisasi memiliku hakikat yang sama, aspek-aspek dari
pengalaman belajar yang memberi ciri khusus atau yang membedakan manusia dari
makhluk lain, dan dengan menggunakan pengalaman kehidupan maka manusia
memperoleh kompetensi dalam kebudayaannya.
Enkulturasi merupakan proses
pembiasaan secara sadar atau tidak sadar yang dilakukan dalam batas yang
dijinkan secara norma oleh suatu kebudayaan. Proses enkulturasi bersifat
kompleks dan berlangsung seumur hidup dan tiap tahap kehidupan memiliki
perbedaan dalam hal objek budaya yang dialami. Fungsi enkulturasi adalah
mempengaruhi perubahan respons individu terhadap perilaku budaya yang secara
sosial disetujui sehingga menghasilkan tingkah laku kehidupan yang berbudaya.
Tiap individu memiliki serangkaian mekanisme perilaku yang diwarisi dan dapat
berubah karena pengaruh budaya masyarakat. Perilaku individu dipengaruhi oleh
sosial budaya masyarakatnya.
Kesamaan konsep enkulturasi
dengan konsep sosial tercermin pada sosialisasi menunjukkan proses
pengintegrasian individu ke dalam sebuah kelompok sosial sedangkan enkulturasi
adalah proses yang menyebabkan individu memperoleh kompetensi dalam kebudayaan
kelompok. Enkulturasi dan sosialisasi mengandung unsur nilai, pola bertingkah
laku, dan keterampilan, pengetahuan, dan sikap yang diperlukan oleh individu
untuk dapat berfungsi sebagai anggota suatu masyarakat yang mendukung
kebudayaan. Hansen (1979:28-29) mengemukakan education is part from enkulturasi that is intentional effort and has
systematic to submit know-how and erudition, habit thinks, and comport that
demanded must has by students. Pendidikan merupakan bagian dari enkulturasi
yaitu usaha yang disengaja dan bersifat sistematis untuk menyampaikan keterampilan
dan pengetahuan, kebiasaan berpikir, dan bertingkah laku yang dituntut harus
dimiliki oleh para peserta didik.
Pendidikan mengandung unsur
pembelajaran dan kebudayaan diwariskan, dipelajari, dan dikembangkan dengan
belajar. Lembaga pendidikan merupakan institusi yang secara sengaja dan
sistematis melaksanakan kegiatan belajar dengan berusaha mewariskan dan
mengembangan individu sebagai peserta didik dengan tujuan memiliki pengetahuan,
bermoral, dan berketerampilan. Berbagai saluran pendidikan digunakan dalam
proses transmisi budaya mulai dari keluarga, sekolah, teman sepermainan, media
massa, dan lingkungan secara efektif dan efisien untuk menyampaikan,
melestarikan, dan mengembangkan kebudayaan.
3.
Hubungan Sosial Budaya dengan Pendidikan
Undang-undang Nomor 20 Tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab I pasal 1 ayat 2 menyatakan bahwa
pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada
nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia, dan tanggap terhadap tuntutan
zaman. Sehingga di dalam penentuan tujuan dan proses pelaksanaannya, pendidikan
di Indonesia harus selalu berakar pada budaya atau karakter nasional dan disisi
lain pendidikan juga harus mampu memenuhi tuntutan jaman, apalagi di era
globalisasi yang menuntut high skilled
labor (tenaga berketerampilan tinggi) yang bisa diterima oleh pasar global.
Oleh karena itu, orientasi pendidikan harus selalu merujuk pada dua hal penting
yaitu melestarikan karakter nasional dan menciptakan lulusan yang dapat
bersaing secara kompetitif di pasar global atau mencetak manusia yang bertindak
lokal dan berpikir global.
Peran sekolah adalah sebagai
pewaris, pemelihara, dan pembaharu kebudayaan. Kartono (1977) menyatakan bahwa
sekolah hendaknya dapat dijadikan sebagai: (1) sentrum budaya untuk mengoperkan
nilai dan benda budaya sendiri agar budaya nasional tidak hilang ditelan masa;
(2) arena untuk mengumpulkan ilmu pengetahuan modern, teknik dan pengalaman;
dan (3) bengkel latihan untuk mempraktikkan hak asasi manusia selaku warga
negara yang bebas ditengah iklim demokrasi. Sekolah memiliki tugas mewariskan,
memelihara, dan mengembangkan budaya yang tercermin dalam kurikulum. Archie (2008) berpendapat:
Teachers
working with students need increased awareness that different cultures
interpret important concepts differently. The teacher trained on concepts of
cultural centers is more prepared to stimulate learning among her students; she
is aware of another reality and armed with a tool to employ a more
multicultural approach to learning. The multicultural movement affirms a need
for more culturally consistent models of education.
Guru bekerja sama dengan
peserta didik meningkat kesadaran dengan menterjemahkan konsep budaya dengan
cara berbeda. Guru mengarahkan ke konsep pusat kebudayaan dengan mempersiapkan
dan motivasi belajar diantara peserta didik untuk sadar akan kenyataan dan
berbekal belajar sebagai alat mendekati dunia kerja. Pergerakan multikultural
meyakinkan bidang pendidikan sebagai suatu kebutuhan dengan model budaya yang
konsisten. Mangunwijaya menyatakan bahwa proses pendidikan memiliki dua aspek
yang saling mengisi, yaitu sebagai proses hominisasi dan proses humanisasi
(Tilaar, 2004).
Pendidikan harus memiliki paradigma
baru yang dapat menyajikan model dan strategi pembelajaran sehingga diharapkan
dapat menyeimbangkan proses hominisasi dan humanisasi. Proses hominisasi
melihat manusia sebagai makhluk hidup dalam konteks lingkungan ekologinya yang
memerlukan terasahnya kemampuan intelektual untuk menghadapi tantangan
globalisasi. Proses humanisasi menekankan manusia sebagai mahluk sosial yang
mempunyai otonomi moral dan sensitivitas (kedaulatan budaya). Terkait dengan
hubungan sosial budaya dengan pendidikan, ada dua konsep yang dipahami, yakni
proses hominisasi dan proses humanisasi. Berikut ini akan diuraikan kedua
konsep tersebut.
a.
Hominisasi
Pendidikan sebagai proses
hominisasi melihat manusia sebagai mahluk hidup di dalam dunia dan ekologinya.
Proses hominisasi tersebut manusia memerlukan kebutuhan biologis seperti makan,
beranak pinak, memerlukan pemukiman, dan pekerjaan untuk menopang kehidupan.
Proses hominisasi memenuhi kebutuhan manusia sebagai mahluk biologis.
Pendidikan harus mampu menghasilkan output kompetitif yang mampu bersaing untuk
mendapatkan pekerjaan dalam menopang kehidupannya yang lebih baik secara
ekonomis dan sosial. Pendidikan harus memiliki orientasi intelektual yang
dibutuhkan manusia untuk bersaing secara kompetitif sehingga mereka dapat diterima
pasar, terlebih dalam era global yang lebih berasaskan knowledge based economy.
b.
Humanisasi
Pendidikan melihat manusia
sebagai mahluk yang bermoral (human being).
Mahluk yang bermoral berarti bahwa manusia bukan hanya sekedar hidup tetapi
hidup untuk mewujudkan eksistensi, yaitu bahwa manusia hidup bersama-sama
dengan sesama manusia sebagai ciptaan Yang Maha Kuasa. Proses humanisasi
tingkah laku manusia diarahkan kepada nilai-nilai kehidupan yang vertikal di
dalam kenyataan hidup bersama dengan manusia lain. Nilai-nilai luhur tersebut,
apakah diwahyukan ataupun yang dipelihara di dalam kehidupan bersama manusia
karena disepakati, dapat mengikat kehidupan bersama nenuju suatu cita-cita
bersama, yaitu kehidupan yang lebih baik, lebih tenteram, dan berkeadilan.
Hal-hal tersebut dijalin dan terjalin di dalam nilai-nilai kebudayaan suatu
masyarakat atau suatu kelompok hidup bersama manusia. Proses humanisasi
mencapai puncaknya pada seseorang yang berpendidikan dan berbudaya (educated and civilized human being).
DAFTAR RUJUKAN
Ahmad, K. I. 2 Juni 2006.
Pendidikan Anak. Banjarmasin Post,
hlm. 6.
Ahmadi, A. 2014. Sosiologi Pendidikan. Jakarta: Rineka
Cipta.
Archie, M. 2008. Theories of Cultural Centeredness: Multiculturalism and Realities,
(Online), (http://www.carleton.ca), diakses 10 Oktober 2008.
Bellantine, J. H. 2015. The Sociology of Education. New Jersey:
Printice Hall, Inc.
Berger, P. L. 2015. Risalah tentang Sosiologi Pengetahuan. Terjemahan
oleh Hartono. Jakarta: Penerbit Pustaka LP3ES Indonesia.
Brown, F. J. 2010. Educational Sociology. Tokyo: Modern
Asia Education, Charles E. Tutle Company.
Danim, S. 2003. Agenda Pembaharuan Sistem Pendididikan.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Dewey, J. 2001. Democracy and Education. Pennsylvania:
Pennsylvania State University.
Ellwood, C. A. 2014. Sociology: Principles and Problems. New York: American Book Company.
Hansen, J. F. 1979. Socio Cultural Perspektive on Learning.
Englewood Cliffs: Prentice Hall.
Herskovits, M. J. 1964. Cultural Dynamics. New York: Alped A
Kopf.
Horton, P. B., dan Hunt,
C. L. 1999. Sosiologi. Jakarta: PT
Erlangga.
Johnson, H. M. 1967. Sociology: A Systematic Introduction. Bombay: Allied Publishers Private
Limited.
Kamus Bahasa Indonesia. 2008. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional.
Karsidi, R. 2015. Sosiologi Pendidikan. Surakarta: UNS
Press.
Kartono, K. 1977. Tinjauan Holistik Mengenai Tujuan Pendidikan
Nasional. Jakarta: Pradnya Paramita.
Koentjaraningrat. 1974. Kebudayaan Mentalitet dan Pembangunan.
Jakarta: Gramedia.
Koentjaraningrat. 1990. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta:
Rineka Cipta.
Langeveld, M. J. 1961. Menuju ke Pemikiran Filsafat. Jakarta:
PT Pembangunan.
Manan, I. 1989. Dasar-dasar Sosial Budaya Pendidikan.
Jakarta: Dirjen Dikti Depdikbud.
Murdock, G. P. 2015. How
Culture Changes. New York: Mc Graw Hill.
Oliva, P. F. 2009. Developing the Curriculum. Boston:
Pearson Education, Inc.
Payne, E. G. 2013. Principles of Educational Sociology. New
York: New York University Book Store.
Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Peraturan
Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, (Online), (http://www.kemdikbud), diakses 2 Desember 2015.
Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional
Pendidikan, (Online),
(http://www.kemdikbud),
diakses 20 April 2006.
Peraturan Pemerintah Nomor 32 tahun 2013 tentang Perubahan Atas Peraturan
Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, (Online), (http://www.kemdikbud), diakses 23 Oktober 2014.
Pidarta, M. 2009. Landasan Kependidikan: Stimulus Ilmu Pendidikan Bercorak Indonesia.
Jakarta: PT Rineka Cipta.
Ramey, D. M. 2015. The
Social Structure of Criminalized and Medicalized School Discipline. Sociology of Education, 88(3): 181-201.
Reiss, A. J. Jr. 2016. Personal and Social Controls and Delinquency.
Beverly Hills, CA and London: Sage Publications.
Reuter, E. B. 2011. Handbook of Sociology. New York: The
Dryden Press.
Sanderson, S. K. 2014. Sosiologi Makro: Sebuah Pendekatan terhadap Realitas Sosial. Terjemahan oleh Farid
Wajidi. Jakarta: Rajawali Pers.
Sanjaya, S., dan
Sudarwati, L. 2015. Modal Sosial Sistem Bagi Hasil dalam Beternak Sapi pada
Masyarakat Desa Purwosari Atas Kecamatan Dolok Batu Nanggar Kabupaten
Simalungun: Studi Kasus Sistem Gaduh Sapi pada Masyarakat Desa Purwosari Atas
Kecamatan Dolok Batu Nanggar Kabupaten Simalungun. Perspektif Sosiologi, 3(1): 1-32.
Soebahar, A. H. 2002. Pendidikan Islam. Jakarta: Kalam Mulia.
Sorokin, P. A. 1989. Contemporary Sociological Theories. New
York: Harper and Row Publisher.
Soemardjan, S., dan
Soemardi, S. 1974. Setangkai Bunga
Sosiologi. Jakarta: Yayasan Badan Penerbitan Fakultas Ekonomi Universitas
Indonesia.
Sukardi, J. S., dan Rohman,
A. 2009. Sosiologi. Jakarta: Pusat
Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional.
Suyatno. 2010. Peran Pendidikan sebagai Modal Utama
Membangun Karakter Bangsa. Makalah disajikan dalam Sarasehan Nasional
Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa, Kopertis Wilayah III DKI
Jakarta, Jakarta, 12 Januari.
Taneko, S. B. 2015. Struktur dan Proses Sosial: Suatu Pengantar Sosiologi Pembangunan.
Jakarta: Rajawali Pers.
Tilaar, A. R. 2004. Paradigma Baru Pendidikan Nasional.
Jakarta: Rineka Cipta.
Tirtarahardja, U., dan
Sulo, S. 2005. Pengantar Pendidikan.
Jakarta: Rineka Cipta.
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. 2004. Bandung: Citra Umbara.
Veeger, J. K. 2013. Pengantar Sosiologi: Buku Panduan Mahasiswa. Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama.
Zubaedi. 2005. Pendidikan Berbasis Sekolah: Upaya Menawarkan Solusi terhadap Berbagai
Problem Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Tidak ada komentar:
Komentar baru tidak diizinkan.