Masyarakat dengan berbagai
karakteristik tentu memiliki problema yang ada tentu harus diselesaikan dalam
rangka mewujudkan pembangunan sosial budaya yang mapan. Persoalan dan tatanan
sosial budaya dalam masayarakat memiliki kekhasan yang berbeda antara
masyarakat satu dengan yang lainnya, sehingga solusi yang diterapkan dalam
menyelesaikan masalah tersebut juga berbeda. Peran pendidikan dalam rangka
mengembangkan sosial budaya masyarakat memiliki tempat yang strategis. Sebab
dengan pendidikan, masyarakat dapat mempelajari, mengembangkan, dan mewariskan
tatanan sosial budaya dari generasi ke generasi. Pendidikan merupakan sarana
sekaligus juga wahana mengembangkan sosial budaya masyarakat menuju taraf yang
lebih baik.
Pembangunan bidang sosial
budaya dan kehidupan beragama merupakan rangkaian dari upaya kunci peningkatan
kualitas hidup manusia dan masyarakat Indonesia dalam rangka pencapaian sasaran
yaitu terwujudnya masyarakat Indonesia yang berakhlak mulia, bermoral,
beretika, berbudaya, dan beradab, serta bangsa yang berdaya saing untuk
mencapai masyarakat yang lebih makmur dan sejahtera yang antara lain,
ditunjukkan oleh meningkatnya kualitas SDM (Bappenas, 2012). Peraturan Presiden
Nomor 45 Tahun 2016 tentang Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2017 pada Bagian Prioritas
Pembangunan Nasional Subbagian Pembangunan Manusia dan Masyarakat menyatakan
penguatan daya rekat sosial dalam kemajemukan memiliki arah: (1) pengembangan
ruang publik yang ramah dan bebas dari penyebaran kebencian; (2) peningkatan
kerjasama dan kesetiakawanan sosial; dan (3) peningkatan lembaga agama,
keluarga, dan media publik yang mengajarkan perdamaian dan toleransi. Jika
mengacu pada Peraturan Presiden Nomor 45 Tahun 2016 tentang Rencana Kerja
Pemerintah Tahun 2017 tersebut, maka bidang pendidikan menjadi salah satu
tumpuan dalam menguatkan daya rekat sosial dalam kemajemukan. Berikut ini akan
diuraikan strategi bidang pendidikan dalam mewujudkan daya rekat sosial dalam
kemajemukan, yakni: (1) penumbuhan budi pekerti; (2) revitalisasi gotong royong
melalui bidang pendidikan; dan (3) revitalisasi pendidikan keluarga dan agama.
1.
Penumbuhan Budi Pekerti
Tatanan sosial yang tercipta
dalam kehidupan masyarakat dan bangsa dipengaruhi oleh karakter warga
masyarakat dan bangsa tersebut. Masyarakat yang berkarakter merupakan modal
pembangunan sosial masyarakat. Menjadi hal yang krusial penumbuhan budi pekerti
terus secara masif dan sistematis dilaksanakan. Pendidikan menjadi wahana yang
efektif untuk hal tersebut. Gunawan (2015:67) menyatakan pendidikan memegang
peranan penting dalam perubahan sosial budaya manusia. Sosial budaya membentuk
karakter suatu masyarakat. Sosial budaya membentuk tatanan nilai dan etika
kemasyarakatan. Sekolah sebagai lembaga pendidikan yang merupakan sistem sosial
dan pranata sosial, memiliki tanggung jawab dalam mentransformasi sosial budaya
bangsa kepada generasi sekarang, termasuk dalam hal ini adalah budi pekerti.
Membentuk akhlak peserta didik menjadi hal yang krusial dalam penyelenggaraan
pendidikan. Peran sekolah adalah sebagai pewaris, pemelihara, dan pembaharu
kebudayaan.
Hal ini dipertegas oleh
Kartono (1977) yang berpendapat bahwa sekolah dapat dijadikan sebagai: (1)
sentrum budaya untuk mengoperkan nilai dan benda budaya sendiri agar budaya
nasional tidak hilang ditelan masa; (2) arena untuk mengumpulkan ilmu
pengetahuan modern, teknik, dan pengalaman; dan (3) bengkel latihan untuk
mempraktikkan hak asasi manusia selaku warga negara yang bebas di tengah iklim
demokrasi. Sekolah memiliki tugas mewariskan, memelihara, dan mengembangkan
budaya yang tercermin dalam kurikulum. Sekolah sebagai lembaga pendidikan
berfungsi sentrum mempelajari, mengembangkan, dan mewariskan tatanan sosial
masyarakat. Peserta didik perlu dipersiapkan untuk menghadapi tatanan sosial
yang semakin mengglobal.
Oleh sebab itu, perlu adanya
upaya masif yang bersifat gerakan agar budaya asing yang masuk akan disaring
dengan sistem nilai dan etika bangsa Indonesia, sehingga akan terjadi
akulturasi budaya yang bersifat konstruktif (Gunawan, 2015:65). Apalagi dengan
adanya sikap masyarakat yang cenderung inferior kepada budaya asing. Pergeseran
nilai-nilai dan etika ini juga mempengaruhi budi pekerti seseorang dalam masyarakat.
Hal ini harus disikapi dengan bijak. Penumbuhan budi pekerti (PBP) merupakan
rangkaian usaha pertumbuhan dan perubahan yang berencana dan dilakukan secara
sadar oleh seluruh warga suatu bangsa, negara, dan pemerintah menuju modernitas
dalam rangka pembinaan bangsa (Gunawan, 2015:65). PBP adalah pembiasaan sikap
dan perilaku positif di sekolah, yang dimulai sejak masa orientasi peserta
didik baru sampai dengan kelulusan, dari jenjang Sekolah Dasar (SD), sampai
dengan Sekolah Menengah Atas (SMA) atau Sekolah Menegah Kejuruan (SMK), dan
sekolah pada jalur pendidikan khusus (Kemendikbud, 2015).
Implementasi gerakan
penumbuhan budi pekerti adalah upaya untuk menjadikan sekolah sebagai taman
untuk menumbuhkan karakter positif bagi para peserta didik (Kemendikbud, 2015).
PBP akan fokus dilakukan melalui kegiatan nonkurikuler pada seluruh jenjang
pendidikan yang disesuaikan dengan tahapan usia perkembangan peserta didik. PBP
pada pelaksanaannya akan bersifat kontekstual atau disesuaikan dengan muatan
lokal daerah. PBP ini akan dilaksanakan fokus melalui jalur nonkurikuler yang
biasanya kurang dapat perhatian, padahal memiliki efek besar dalam belajar
mengajar. Penumbuhan budi pekerti terdiri dari tiga kata, yakni penumbuhan,
budi, dan pekerti. Penumbuhan berasal dari kata tumbuh yang berarti timbul
(hidup) dan bertambah besar atau sempurna (Kamus Bahasa Indonesia, 2008:1558).
Budi artinya alat batin yang merupakan paduan akal dan perasaan untuk menimbang
baik dan buruk; tabiat; akhlak; watak; perbuatan baik; kebaikan (Kamus Bahasa
Indonesia, 2008:226). Sedangkan pekerti artinya perangai; tabiat; akhlak;
watak; perbuatan (Kamus Bahasa Indonesia, 2008:1140). PBP berarti segenap upaya
mengembangkan akhlak manusia agar berperilaku baik, berbuat baik dalam
kehidupan bermasyarakat. PBP juga dapat diartikan sebagai rangkaian usaha
pertumbuhan dan perubahan yang berencana dan dilakukan secara sadar oleh
seluruh warga suatu bangsa, negara, dan pemerintah menuju modernitas dalam
rangka pembinaan bangsa (nation building).
Budi pekerti menentukan
tingkah laku manusia, sehingga salah satu faktor penyebab yang lazim dijadikan
“kambing hitam” terjadinya tingkah laku warga negara yang tak terpuji ialah
pekerti masyarakat yang mulai bergeser, bahkan menurun kualitasnya. Kondisi
demikian menurut Gunawan (2012:67-68) dipengaruhi oleh tren dunia yakni
globalisasi, yang memungkinkan informasi dapat masuk dengan tidak terbatas (borderless information). Di dalam
situasi yang seperti ini terjadilah proses lintas budaya (trans-cultural) dan silang budaya (cross cultural) yang kemudian mempertemukan nilai-nilai budaya satu
dengan yang lainnya. Pertemuan nilai-nilai budaya (cultural contact) dapat menghasilkan dua kemungkinan, yaitu: (1)
asimilasi, pertemuan tanpa menghasilkan nilai-nilai baru yang bermakna; dan (2)
akulturasi, pertemuan yang membuahkan nilai-nilai baru yang bermakna. Salah
satu fungsi dari sekolah mencakup fungsi sosial. Sekolah dalam menjalankan
fungsi sosial harus mampu mensosialisasikan peserta didik, sehingga mereka
nantinya bisa mengubah diri mereka dan masyarakatnya. Masyarakat merupakan
sebuah tempat yang menjadi tempat hidup, tumbuh, berkembang dan berubah bagi
manusia.
Sekolah berupaya menggali dan
mewariskan nilai-nilai dan etika yang bersumber pada kearifan lokal dalam
membangun kehidupan berbangsa. Oleh karena itu, sudah seharusnya kurikulum
sekolah memberikan perhatian yang lebih besar pada pendidikan karakter bangsa
dibandingkan kurikulum masa sebelumnya. PBP menjadi hal yang krusial untuk
dilaksanakan secara masif dalam rangka membangun bangsa. Selama sebuah bangsa
menganggap bahwa modal pembangunan yang penting adalah sumber daya alam, maka
selama itu pula bangsa tersebut tidak akan maju atau sulit maju. Sumber daya
manusia merupakan faktor pertama dan utama modal membangun bangsa, yang di
dalamnya menyangkut aspek budi pekerti manusia sebagai sebuah bangsa.
2.
Revitalisasi Gotong Royong melalui Bidang
Pendidikan
Gotong royong merupakan
karakter Bangsa Indonesia yang sangat penting untuk terus dilestarikan, sebab
dengan semangat gotong royong, masyarakat akan memiliki semangat untuk bekerja
sama dalam membangun bangsa. Apalagi di tengah-tengah perkembangan jaman dewasa
ini yang mengarah pada sikap individualisme. Gotong royong merupakan bentuk
kerja secara bersama-sama (teamwork) dengan
orang lain dalam menyelesaikan suatu pekerjaan untuk kemaslahatan bersama. Teamwork is working with others to reach a
common goal; acting together to achieve a shared vision (Anaya, 2002:197).
Tantangan ke depannya adalah bagaimana kegiatan pendidikan karakter yang sudah
mulai intensif dilaksanakan di sekolah-sekolah itu, juga mendapat proses
penguatan (reinforcement) dari lingkungan keluarga dan masyarakat (Policy
Brief, 2011:19). Sehingga berbagai perilaku yang dikembangkan di sekolah juga
menjadi kegiatan keseharian siswa di rumah maupun di lingkungan masyarakat
masing-masing.
Gotong royong menjadi salah
nilai-nilai esensial yang harus diinternalisasi baik pada setiap individu
maupun bangsa (Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional, 2014:1). Pengembangan
karakter dan jati diri bangsa juga ditandai oleh terbangunnya modal sosial yang
tercermin pada bekerjanya pranata gotong royong, berdayanya masyarakat adat dan
komunitas budaya, meningkatnya kepercayaan antarwarga, yang berorientasi untuk
menumbuhkan kepedulian sosial dan hilangnya diskriminasi (Kementerian
Perencanaan Pembangunan Nasional, 2014:74-75). Pemahaman terhadap nilai-nilai
luhur budaya bangsa menjadi landasan untuk memperkuat kebersamaan dan
persatuan, toleransi, tenggang rasa, gotong royong, etos kerja, dan menciptakan
kehidupan yang harmonis. Hal tersebut merupakan salah satu upaya untuk
memperkuat karakter dan jati diri bangsa.
Pendidikan merupakan bentuk
strategi kebudayaan yang berperan memberi arah bagi tercapainya kemaslahatan hidup
berbangsa dan bernegara. Pendidikan sebagai salah satu pranata sosial yang
dimiliki masyarakat memiliki tugas untuk mewujudkan keteraturan sosial
masyatakat. Manusia berinteraksi untuk saling bekerja sama, menghargai,
menghormati, hidup rukun, dan bergotong royong (Sukardi dan Rohman, 2009:60).
Sehingga dengan demikian interaksi sosial yang terwujud mengarah pada bentuk
penyatuan (asosiatif). Program yang dapat dicanangkan sekolah dalam rangka
menumbuhkan sikap gotong royong kepada para peserta didik adalah Program Jumat
Bersih. Program Jumat Bersih merupakan kegiatan yang dilaksanakan oleh peserta
didik secara bersama-sama menciptakan lingkungan sekolah yang indah, bersih,
dan asri guna mendukung kegiatan pembelajaran di sekolah.
Peserta didik bergotong royong
bersama-sama dengan bekerja bakti membersihkan lingkungan sekolah, menanam
tanaman, dan menjaga kebersihan sekolah. Peserta didik dengan Program Jumat
Bersih dapat menumbuhkan semangat gotong royong, sehingga pada saat dewasa
terjun di tengah-tengah kehidupan masyarakat, tidak akan canggung untuk ikut
terlibat secara langsung gotong royong bekerja sama dengan masyarakat. Jiwa
gotong royong juga mengandung karakter kerja keras yang dapat ditanamkan kepada
peserta didik, yakni perilaku yang menunjukkan upaya sungguh-sungguh dalam
mengatasi berbagai hambatan belajar dan tugas, serta menyelesaikan tugas dengan
sebaik-baiknya (Kemendiknas, 2010:9).
Gotong royong merupakan
kearifan lokal bangsa Indonesia, yang tercantum dalam jabaran butir Pancasila
pada sila kelima Keadilan bagi Seluruh Rakyat Indonesia, yakni mengembangkan
perbuatan-perbuatan yang luhur yang mencerminkan sikap dan suasana kekeluargaan
dan kegotong-royongan (Gunawan, 2016:77). Revitalisasi gotong royong
sebagaimana manifestasi identitas nasional, pada gilirannya harus diarahkan
juga pada pembinaan dan pengembangan moral, sehingga sikap gotong royong
digalakkan melalui bidang pendidikan kepada peserta didik dapat dijadikan dasar
dan arah dalam upaya untuk mengatasi krisis sikap hidup bersama dan
berdampingan secara harmonis.
3.
Revitalisasi Pendidikan Keluarga dan Agama
Pendidikan menempati ruang
yang amat penting bagi proses pembangunan di berbagai bidang. Pendidikan
merupakan hal yang sangat fundamental dalam meningkatkan kualitas kehidupan
manusia dan menjamin perkembangan sosial maupun ekonomi sebuah bangsa. Berarti
mendidik bermaksud membuat manusia menjadi lebih sempurna, membuat manusia meningkatkan
hidupnya dari kehidupan alamiah menjadi berbudaya. Mendidik adalah membudayakan
manusia. Budaya adalah segala hasil pikiran, perasaan, kemauan, dan karya
manusia secara individual atau kelompok untuk meningkatkan hidup dan kehidupan
manusia atau cara hidup yang telah dikembangkan oleh masyarakat.
Sehingga pendidikan harus
membentuk karakter peserta didik. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya
pendidikan bagi peserta didik di masa yang akan datang. Anak dengan ilmu
pengetahuan diharapkan akan dapat hidup lebih baik, apabila ilmu itu dikuasai,
dimiliki, dan diamalkan oleh manusia. Sekecil apapun ilmu yang dimiliki
seseorang, akan bermanfaat apabila ia amalkan dan sebaliknya sebesar apapun
ilmu yang dimiliki apabila tidak diamalkan pasti ilmu itu tidak ada gunanya.
Oleh karena itu, pendidikan harus diajarkan mulai anak masih kecil dan bahkan
mulai dari dalam kandungan oleh orang tuanya dan kewajiban orang tua untuk
melakukan hal tersebut di atas.
Ahmad (2006:6) berpendapat
bahwa kewajiban orang tua untuk memberikan pendidikan (terutama pendidikan
agama) yang ditanamkan kepada anak-anaknya. Lebih lanjut Ahmad (2006:6)
menyatakan berdasarkan hasil penelitian, anak yang masih dalam kandungan yang
usia kandungannya tiga bulan sudah dapat diajari, yaitu diawali dengan
perilaku, misalnya sikap orang tua yang berdoa untuk mendoakan anaknya, karena
pada usia kandungan tersebut calon bayi sudah memiliki ruh dan jasmani yang
sudah mulai sempurna. Usaha tersebut merupakan salah satu bagian dari
pendidikan prenatal yang harus dilaksanakan oleh orang tua. Pendidikan pranatal
adalah usaha sadar dan terencana dari orang tua untuk mendidik anak yang masih
berada dalam kandungan ibunya, meliputi berbagai aspek kehidupan, yaitu
memberikan stimulasi edukatif terhadap janin dengan langkah-langkah tertentu
tentang materi pelajaran yang dipilih oleh orang tuanya.
Keluarga memiliki andil yang
lebih besar dalam menanamkan prinsip keimanan yang kokoh sebagai dasar bagi
anak untuk menjalani aktivitas hidupnya. Keluarga sebagai keteladanan bagi
generasi baru. Pendidikan harus berorientasi pada terbentuknya karakter peserta
didik. Setiap tahap pendidikan dievaluasi dan dipantau dengan seksama, sehingga
menjadi jelas apa yang menjadi potensi positif seseorang yang harus dikembangkan
dan apa yang menjadi faktor negatif seseorang yang perlu disikapi. Akar dari
karakter ada dalam berpikir dan cara merasa seseorang. Sebagaimana diketahui
manusia terdiri atas tiga unsur pembangun, yaitu: (1) hati, berkaitan dengan
bagaimana dia merasa; (2) pikiran, berkaitan dengan bagaimana dia berpikir; dan
(3) fisik, berkaitan dengan bagaimana dia bersikap. Proses pembentukan itu
tidak berjalan seadanya, namun ada kaidah-kaidah tertentu yang harus
diperhatikan.
Beberapa kaidah pembentukan
karakter adalah: (1) kaidah kebertahapan, yakni proses pembentukan dan
pengembangan karakter harus dilakukan secara bertahap, karena peserta didik
tidak bisa berubah secara tiba-tiba dan instan; (2) kaidah kesinambungan, yakni
seberapa pun kecilnya porsi latihan, tetapi harus ada kesinambungannya, proses
yang berkesinambungan inilah yang nantinya membentuk rasa dan warna berpikir
peserta didik yang lama-lama akan menjadi kebiasaan dan seterusnya menjadi
karakter pribadinya yang khas; (3) kaidah momentum, yakni menggunakan suatu
momentum peristiwa untuk fungsi pendidikan dan latihan, misalnya puasa untuk
mengembangkan sifat sabar, kemauan yang kuat, dan kedermawanan; (4) kaidah
motivasi instrinsik, karakter yang kuat akan membentuk manusia sempurna jika
dorongan yang menyertainya benar-benar lahir dari dalam diri sendiri, sehingga
proses merasakan sendiri, melakukan sendiri adalah penting; dan
(5) kaidah pembimbingan, pembentukan karakter ini tidak bisa dilakukan tanpa
pembimbing (orang tua dan guru). Kedudukan seorang pembimbing adalah memantau
dan mengevaluasi perkembangan peserta didik. Kaidah-kaidah tersebut harus
diperhatikan oleh guru dan orang tua agar anak didik nantinya memiliki karakter
yang baik.
Sesuai dengan pendapat Ahmad
(2006:6) yang menyatakan bahwa pendidikan agama harus ditanamkan sejak dini
terutama dalam kehidupan keluarga, maka pendidikan agama tidak hanya tanggung
jawab pranata agama saja, melainkan juga tanggung jawab keluarga. Religion may serve as an identity marker in
the maintenance of ethnic, social or political stability, but it can also serve
as an identity marker in conflicts of similar nature (Haar dan Tsuruoka,
2007). Menggagas terbentuknya masyarakat agamis sebagai landasan untuk mencapai
cita-cita pembangunan merupakan kebutuhan yang mendesak (Kartanegara, 2006).
Penyesuaian lembaga-lembaga pendidikan agama akhir-akhir ini cukup
mengemberikan, artinya lembaga-lembaga pendidikan memenuhi keinginan untuk
menjadikan lembaga-lembaga tersebut sebagai tempat untuk mempelajari ilmu umum
dan ilmu agama serta keterampilan.
Pendidikan agama diharapkan
dapat melahirkan generasi-generasi penyerahan diri dan kepatuhan para hamba
kepada Tuhan, menarik umat manusia itu keluar daripada kesetiaan mengabdikan
diri kepada sesama hamba Tuhan, kepada suasana menyembah dan mengabdikan diri
kepada Tuhan, membawa mereka keluar dari sikap patuh dan tunduk kepada sesama
hamba Tuhan di dalam urusan peraturan hidup dan pemerintahan, nilai-nilai dan
kebudayaan, untuk bersikap patuh dan tunduk kepada kekuasaan pemerintahan dan
peraturan Tuhan sahaja di dalam semua urusan hidup (Qutb, 2012:37). Gunawan
(2011:32) menyatakan bahwa pendidikan melalui kegiatan pembelajaran diharapkan
menggabungkan keseluruhan potensi otak peserta didik sehingga membentuk
kebermaknaan (God Spot).
God Spot bagian otak yang menjadi pusat spiritual qoutient, kebermaknaan. Potensi God
Spot ialah pengembangan kejiwaan yang
berdimensi ketuhanan, hubungan yang bersifat vertikal atau sering disebut spiritual qoutient (Gunawan, 2011:32). Segenap potensi tersebut secara fitrah
dianugerahkan Tuhan kepada manusia dalam kedudukannya sebagai insan, manusia
seutuhnya, dengan seluruh totalitasnya, jiwa dan raga. Pendidikan perlu terus
ditingkatkan, dioptimalkan, dan masih memungkinkan untuk ditingkatkan. Sehingga
perlu adanya perubahan dalam pemikiran para pendidik yang cenderung pada
transfer pengetahuan belaka. Pendidikan pada akhirnya dapat kembali pada
fitrahnya, yang memanusiakan manusia dalam kedudukannya sebagai insan.
DAFTAR RUJUKAN
Ahmad, K. I. 2 Juni 2006.
Pendidikan Anak. Banjarmasin Post,
hlm. 6.
Anaya, R. 2002. Teamwork.
Dalam McElmeel, S. L. (Eds.), Character
Education: A Book Guide for Teachers, Librarians, and Parents (hlm.
197-208). Greenwood Village: Libraries Unlimited, Teacher Ideas Press, A
Division of Greenwood Publishing Group, Inc.
Bappenas. 2012. Bidang Pembangunan Sosial Budaya dan
Kehidupan Beragama, (Online), (http://www.bappenas.go.id/files/5513/5071/6566/02buku-ii-rkp-2012---bab-ii__20110524155612__3161__7.pdf),
diakses 12 Mei 2016.
Dimyati, M. 1996. Landasan Pendidikan: Analisis Keilmuan,
Teorisasi, dan Praktek Pendidikan. Pidato Pengukuhan Guru Besar IKIP
Malang, Malang, 1 November.
Gunawan, I. 2011.
Merekonstruksi Fitrah Pendidikan. Komunikasi,
Majalah Kampus Universitas Negeri Malang Tahun 33 Nomor 276 September – Oktober
2011, hlm. 32.
Gunawan, I. 2012. Mengembangkan Karakter Bangsa Berdasarkan
Kearifan Lokal. Prosiding Seminar Nasional Meretas Sekolah Humanis untuk
Mendesain Siswa Sekolah Dasar yang Cerdas dan Berkarakter, Fakultas Keguruan
dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Surakarta, 6 Mei, hlm. 67 s.d. 79.
Gunawan, I. 2013. Metode Penelitian Kualitatif Teori dan Praktik.
Jakarta: PT Bumi Aksara.
Gunawan, I. 2014. Analisis Dampak Supervisi Pendidikan
terhadap Perkembangan Masyarakat dan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Revitalisasi Manajemen Pendidikan
Nasional Menuju Perbaikan Mental, Jurusan Administrasi Pendidikan Universitas
Negeri Malang, Malang, Desember 2014, hlm. 249-269.
Gunawan, I. 2015. Penumbuhan Budi Pekerti Peserta Didik
Melalui Nilai-nilai dan Etika Kepemimpinan Pendidikan dengan Pendekatan Soft
System Methodology. Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Meningkatkan
Layanan Guru dan Kepala Sekolah dalam Penumbuhan Budi Pekerti, Jurusan
Administrasi Pendidikan Universitas Negeri Malang, Malang, Oktober 2015, hlm.
65-84.
Gunawan, I. 2016. Merevitalisasi Kepemimpinan Pancasila dalam
Bidang Pendidikan. Prosiding Seminar Nasional Penguatan Manajemen
Pendidikan di Era Kompetisi Global, Jurusan Administrasi Pendidikan Universitas
Negeri Malang, Malang, Maret 2016, hlm. 67-84.
Haar, G. T., dan Tsuruoka,
Y. 2007. Religion In The Twenty-First Century: A Short Introduction. Dalam
Haar, G. T., dan Tsuruoka, Y., (Eds.), Religion
and Society An Agenda for the 21st Century. Leiden, Boston: Brill, Hotei
Publishing, IDC Publishers, Martinus Nijhoff Publishers.
Kamus Bahasa Indonesia. 2008. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional.
Karsidi, R. 2015. Peningkatan Mutu Pendidikan melalui
Penerapan Teknologi Belajar Jarak Jauh. Makalah disajikan dalam Seminar
Regional Unit Pelaksana Belajar Jarak Jauh, Universitas Terbuka, Solo, 28 Mei.
Kartanegara, E. H. 2006. Di Bawah Kibaran Bendera Reformasi.
Makalah disajikan dalam Seminar Refleksi Tahun I Pemerintahan Kota Pekalongan
di Bawah Kepemimpinan Walikota dan Wakil Walikota, H. M. Basyir Ahmad dan H. Abu Almafachir, Gedung KPUD
Kota Pekalongan, 14 Agustus.
Kartono, K. 1977. Tinjauan Holistik Mengenai Tujuan Pendidikan
Nasional. Jakarta: Pradnya Paramita.
Kemendikbud. 2015. Mendikbud Canangkan Program Penumbuhan Budi
Pekerti, (Online), (http://www.kemdikbud.go.id/kemdikbud/berita/4391),
diakses 16 Agustus 2015.
Kemendiknas. 2010. Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter
Bangsa. Jakarta: Pusat Kurikulum, Badan Penelitian dan Pengembangan,
Kemendiknas.
Kementerian Perencanaan
Pembangunan Nasional. 2014. Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2015-2019, Buku II Agenda Pembangunan
Bidang. Jakarta: Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional.
King, J. L., Gurbaxani,
V., Kraemer, K. L., McFarlan F. W., Raman, K. S., dan Yap, C. S. 1994.
Institutional Factors in Information Technology Innovation. Information System Research, 5(2):
31-41.
Kleden, I. 25 Juni 2015.
Tanggung Jawab atas Pendidikan. Kompas,
hlm. 6.
Laudon, K. C., dan Laudon,
J. P. 2008. Organization and Technology
in The Networked Enterprise Management Information System (online). (http://www.prenhall.com, diakses 14
Desember 2012).
Lucas, H. C. 1981. Implementation: The Key to Successful of
Information Systems. New York: Columbia University Press.
Miarso, Y. 2011. Penerapan Teknologi Pendidikan di Indonesia.
Jakarta: Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional.
Oliver, R. 2001. Teaching and Learning Online: A Beginner’s Guide to E-learning and E-teaching
in Higher Education. Mt Lawley, WA: Edith Cowan University.
Pasific, B. S. B., dan
Praherdhiono, H. 2014. Mengkonstruksi
Pengetahuan melalui Komunikasi dalam Komunitas Pebelajar Menggunakan Perspektif
Informatika. Makalah disajikan dalam Workshop Pengembangan Media
Pembelajaran Berbasis Blended Learning, Pusat Pengembangan Sumber Belajar
(P2SB) Lembaga Pengembangan Pendidikan dan Pembelajaran (LP3) Universitas
Negeri Malang, Batu, 11 s.d. 13 September.
Peraturan Presiden Nomor 45 Tahun 2016 tentang Rencana Kerja Pemerintah
Tahun 2017, (Online),
(http://www.indonesia.go.id), diakses 28 Juni 2016.
Policy Brief. 2011. Pendidikan Karakter: Tanggung Jawab Bersama Sekolah dan
Masyarakat. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar, Kemdiknas.
Qutb, S. 2012. Petunjuk Sepanjang Jalan. Surakarta:
Ziyad Books.
Riyani. 2011. Pengaruh Penerapan Manajemen Berbasis
Sekolah, Pertemuan Ilmiah Guru, dan Kelompok Kerja Guru terhadap Kinerja Guru
SD Negeri di Kota Batu. Tesis tidak diterbitkan. Malang: Program
Pascasarjana Universitas Negeri Malang.
Sasono, A. 2009. Ekonomi Kerakyatan dalam Dinamika Perubahan.
Malakah disajikan dalam Konferensi Internasional Ekonomi Jaringan, Hotel
Sangri-La, Jakarta, 5 s.d. 7 Desember.
Setiyono, I. 2005.
Supervisi Pendidikan Sekolah Dasar. Jurnal
Pendidikan Dasar, 6(1): 1-8.
Soetopo, H., dan Soemanto,
W. 1984. Kepemimpinan dan Supervisi
Pendidikan. Malang: PT Bina Aksara.
Sukardi, J. S., dan
Rohman, A. 2009. Sosiologi. Jakarta:
Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional.
Undang-undang Nomor 18 Tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian,
Pengembangan, dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, (Online), (http://www.indonesia.go.id),
diakses 22 Juni 2015.
Wen, S. 2013. Future of Education (Masa Depan Pendidikan). Terjemahan oleh
Arvin Saputra. Batam: Lucky Publishers.
William, F. 2014. The News Communication. Los Angeles:
Wadsworth, Inc.
Tidak ada komentar:
Komentar baru tidak diizinkan.