12 September 2009

PANTAI JORONG TANAH LAUT KALSEL 3

Nah ini pang video 3, mugi2 menghibur hati panjenengan seberataan .......

PANTAI JORONG TANAH LAUT KALSEL 2

Kayak ini Pang video 2

kumaha atu...........?



Kakanakan lagi bamain itu nah......., piye seru tho......!

PANTAI JORONG TANAH LAUT KALSEL I

Jenuh juga otak kiri terus yang bekerja, masak teori melulu, nah sekarang kita lihat memori Pantai Jorong Tanah Laut Kalsel, yang membuat NYARAK PANG .......!



Lagi main di Pantai Jorong, kita semangat berpose untuk foto,, eh ga taunya si Pekhri lagi buat video,,, BANYAK TANGGUNGAN JUGA AKU ............... kadak kawak itu nah ....... !

06 September 2009

STRUCTURAL EQUATION MODELING

SEM (Structural Equation Modeling) merupakan teknik analisis yang memungkinkan pengujian sebuah rangkaian hubungan yang relatif rumit secara simultan. Hubungan yang rumit itu dapat dibangun antara satu atau beberapa variabel independen dengan satu atau beberapa variabel dependen. Masing-masing variabel dapat berbentuk faktor atau konstruk yang dibangun dari beberapa indikator. SEM merupakan pendekatan terintegrasi antara dua analisis yaitu analisis faktor dan analisis jalur (path analysis). Lee (2007:1) mengemukakan structural equation models are well recognized as the most important statistical method to serve the above purpose and can be applied to many fields. SEM menggunakan metode statistik untuk menyajikan data dalam pencapaian tujuan penelitian dan dapat menerapkan banyak model dalam menjawab rumusan masalah penelitian.

Analisis faktor secara apriori penelitian membangun suatu hipotesis berdasarkan teori dengan faktor strukturnya (Bollen, 1989). Parameter nilai error pada pengukuran variabel dan koefisien struktural (loading factor) yang menghubungkan secara linier variabel manifes dengan variabel latent merupakan faktor-faktor tiap variabel secara spesifik. Untuk mengetahui indikator dalam jabaran variabel tersebut merupakan alat pengukur faktor yang bersangkutan, maka perlu dikonfirmasi lebih lanjut, yaitu dengan memeriksa validitas dan reliabilitasnya.

Analisis jalur dikembangkan untuk mempelajari pengaruh (efek) secara langsung maupun tidak langsung dari variabel eksogen (independen) terhadap variabel endogen (dependen). Hubungan kausal didasarkan pada data, pengetahuan, perumusan hipotesis, dan analisis logis, sehingga dapat dikatakan analisis jalur dapat digunakan untuk menguji seperangkat hipotesis kausal serta untuk menafsirkan hubungan tersebut. Berdasarkan konsep tersebut maka rancangan penelitian yang menggambarkan diagram jalur dijadikan pedoman dalam menganalisis dan menginterpretasikan hubungan yang dihipotesiskan.

Mulaik (1972) menyatakan terdapat tiga hal yang diperhatikan dalam SEM yaitu 1) struktur yang spesifik antara variabel latent eksogen dan endogen sudah terstruktur, sudah dapat dihipotesiskan, 2) sudah ditetapkan bagaimana untuk mengukur variabel latent eksogen, dan 3) pengukuran model untuk variabel latent endogen sudah dideterminasikan. Berdasarkan konsep tersebut tahap penelitian dalam analisis data dengan SEM adalah 1) uji validitas dan reliabilitas (setara dengan analisis faktor), uji model hubungan antar variabel (path analysis), dan 3) konfirmasi model (SEM).

Adapun langkah-langkah analisis SEM dalam penelitian ini adalah:

  1. Pengembangan model berbasis teori

Pengembangan model teoritis dilakukan dengan telaah pustaka yang intens guna mendapatkan justifikasi atas model teoritis yang akan dikembangkan. Berdasarkan rancangan penelitian pengajuan model kausalitas dengan adanya hubungan sebab akibat antara empat variabel berdasarkan justifikasi teoritis.

  1. Mengkontruksi diagram jalur untuk menunjukkan hubungan kausalitas

Rancangan penelitian dibangun dan digambar dalam bentuk diagram jalur dengan tujuan mempermudah melihat hubungan-hubungan kausal antar variabel eksogen dan endogen yang akan diuji. Selanjutnya bahasa program akan mengkonversi gambar menjadi persamaan dan persamaan menjadi estimasi.

  1. Konversi diagram jalur ke dalam serangkaian persamaan struktural dan spesifikasi model pengukuran

Rancangan penelitian dikonversi secara spesifik ke dalam struktur persamaan yang menyatakan hubungan kausalitas antar berbagai konstruk dan spesifikasi model pengukuran (measurement model).

  1. Pemilihan matriks input dan teknik estimasi atas model yang dibangun

Input data yang digunakan dalam analisis SEM adalah menggunakan matriks kovarian (matriks korelasi). Setelah masuk program SEM data segera dikonversi dalam bentuk matriks kovarian (matriks korelasi).

  1. Menilai problem identifikasi

Problem identifikasi pada prinsipnya adalah problem mengenai ketidakmampuan dari model yang dikembangkan untuk menghasilkan estimasi yang unik. Problem identifikasi ini dapat dideteksi dari gejala-gejala yang muncul yaitu 1) standar error untuk satu atau beberapa koefisien sangat besar, 2) program tidak mampu menghasilkan matrik informasi yang seharusnya, 3) munculnya angka-angka aneh misalnya varians error yang negatif, dan 4) munculnya korelasi yang sangat tinggi antar koefisien estimasi.

  1. Evaluasi model

Kesesuaian model dapat dievaluasi dengan melihat berbagai kriteria goodness of fit. Secara garis besar uji goodness of fit model dapat digolongkan menjadi empat hal yaitu 1) ukuran sampel, 2) normalitas dan liniearitas, 3) multikoliniearitas, dan 4) validitas dan reliabilitas. Angka indeks yang digunakan untuk menguji kelayakan model dalam penelitian ini adalah significance probability dengan nilai cut off > 0,05 yang berarti bahwa model sesuai.

  1. Interpretasi dan modifikasi model

Langkah terakhir adalah menginterpretasikan model dan memodifikasikan model bagi model-model yang tidak memenuhi syarat pengujian yang dilakukan. Setelah model diestimasi harus mempunyai residual kovarian yang kecil. Batas jumlah residual adalah 5 %, jika residual > 5 % dari semua residual kovarian yang dihasilkan oleh model, maka perlu dipertimbangkan modifikasi model, misalnya dengan menambah jalur baru terhadap model yang diestimasi. Perubahan atau modifikasi model tersebut harus mempunyai dukungan dan justifikasi teori yang memadai.

Reference

Bollen, K. A. 1989. Structural Equation Models with Latent Variables. New York: John Wiley and Sons, Ltd.

Lee, S. Y. 2007. Structural Equation Modeling A Bayesian Approach. West Sussex: John Wiley and Sons, Ltd.

Mulaik, S. A. 1972. The Foundations of Factor Analysis. New York: McGraw Hilal Book Company.

STUDI KEPUSTAKAAN/MENYUSUN KERANGKA TEORITIS, HIPOTESIS PENELITIAN, DAN JENIS PENELITIAN

Kemampuan peneliti untuk menyusun kerangka teoritis akan sangat terkait dengan upaya penelusuran studi kepustakaan, sebagai upaya memperoleh sejumlah referensi yang mendukung dan tepat untuk membahas lingkup kajian penelitian yang dilakukan. Selanjutnya kerangka teoritis yang disusun akan bermanfaat pada saat peneliti menentukan hipotesis penelitian.

1. Studi Kepustakaan

Setelah seorang peneliti telah menetapkan topik penelitian, langkah selanjutnya adalah melakukan kajian yang berkaitan dengan: teori yang berkaitan dengan topik penelitian. Dalam pencarian teori, peneliti akan mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya dari kepustakaan yang berhubungan. Sumber-sumber kepustakaan dapat diperoleh dari: buku, jurnal, majalah, hasil-hasil penelitian (tesis dan disertasi), dan sumber-sumber lainnya yang sesuai (internet, koran dll). Keseluruhan upaya tersebut, dikatakan sebagai upaya Studi Kepustakaan untuk penelitian.

Istilah studi kepustakaan digunakan dalam ragam istilah oleh para ahli, diantaranya yang dikenal adalah: kajian pustaka, tinjauan pustaka, kajian teoritis, dan tinjuan teoritis. Penggunaan istilah-istilah tersebut, pada dasarnya merujuk pada upaya umum yang harus dilalui untuk mendapatkan teori-teori yang relevan dengan topik penelitian. Bila kita telah memperoleh kepustakaan yang relevan, maka segera untuk disusun secara teratur untuk dipergunakan dalam penelitian. Oleh karena itu studi kepustakaan meliputi proses umum seperti: mengidentifikasikan teori secara sistematis, penemuan pustaka, dan analisis dokumen yang memuat informasi yang berkaitan dengan topik penelitian.

Studi kepustakaan mempunyai beberapa fungsi, meliputi:

  1. Menyediakan kerangka konsepsi atau teori untuk penelitian yang direncanakan.

  2. Menyediakan informasi tentang penelitian terdahulu yang berhubungan dengan penelitian yang akan dilakukan.

  3. Memberi rasa percaya diri bagi peneliti, karena melalui kajian pustaka semua konstruksi yang berhubungan dengan penelitian telah tersedia.

  4. Memberi informasi tentang metode-metode, populasi dan sampel, instrumen, dan analisis data yang digunakan pada penelitian yang dilakukan sebelumnya.

  5. Menyediakan temuan, kesimpulan penelitian yang dihubungkan dengan penemuan dan kesimpulan kita.

Studi kepustakaan dari sumbernya dibedakan menjadi dua bagian yaitu: kepustakaan konseptual dan kepustakaan penelitian. Kepustakaan konseptual meliputi konsep-konsep atau teori-teori yang ada pada buku-buku dan artikel yang ditulis oleh para ahli yang dalam penyampaiannya sangat ditentukan oleh ide-ide atau pengalaman para ahli tersebut. Sebaliknya kepustakaan penelitian meliputi laporan penelitian yang telah diterbitkan baik pada jurnal maupun majalah ilmiah.

Bagi para pemula disarankan untuk menggunakan studi kepustakaan yang berasal dari kepustakaan konseptual, untuk lebih memudahkan dalam merangkum dan mengkategorikan teori, sesuai dengan kebutuhan pada saat akan membuat kerangka konseptual.

Didasarkan pada hal tersebut di atas, maka ada beberapa strategi dalam menyampaikan studi kepustakaan:

  1. Ungkapkan kajian pustaka yang benar-benar terkait erat dengan variabel penelitian.

  2. Ungkapkan kajian pustaka dengan urutan dari mulai paparan variabel bebas sampai dengan variabel terikat atau ungkapkan dari variabel yang cakupannya umum dan luas ke arah variabel yang spesifik. Tentu saja secara luas dan nampak saling menyapa antar paparan variabel tersebut dan bukan merupakan kumpulan kutipan sehingga tidak menjadi suatu pola pemikiran yang menyeluruh.

  3. Dapat diungkapkan hal-hal yang berkaitan dengan karakteristik sampel dan demografinya, bila memang dibutuhkan.

2. Kerangka Konsep

Penentuan kerangka konseptual oleh peneliti akan sangat membantu dalam menentukan arah kebijakan dalam pelaksanaan penelitian. Kerangka konseptual merupakan kerangka fikir mengenai hubungan antar variabel-variabel yang terlibat dalam penelitian atau hubungan antar konsep dengan konsep lainnya dari masalah yang diteliti sesuai dengan apa yang telah diuraikan pada studi kepustakaan.

Konsep dalam hal ini adalah suatu abstraksi atau gambaran yang dibangun dengan menggeneralisasikan suatu pengertian. Oleh karena itu, konsep tidak dapat diamati dan diukur secara langsung. Agar supaya konsep tersebut dapat diamati dan diukur, maka konsep tersebut harus dijabarkan terlebih dahulu menjadi variabel-variabel.

Dengan adanya kerangka konseptual akan bermanfaat bagi:

  1. Minat penelitian akan lebih terfokus ke dalam bentuk yang layak diuji dan akan memudahkan penyusunan hipotesis.

  2. Memudahkan identifikasi fungsi variabel penelitian, baik sebagai variabel bebas, tergantung, kendali, dan variabel lainnya.

Contoh “pendidikan” adalah konsep. Agar dapat diukur maka dijabarkan dalam bentuk variabel, misalnya “tingkat pendidikan atau jenis pendidikan”. “Ekonomi keluarga” adalah konsep, maka diubah menjadi variabel “tingkat penghasilan”. Kedua konsep tersebut dapat disebut sebagai variabel bebas. Sedangkan konsep lainnya dapat disebut sebagai variabel terikat, misalnya perilaku membuang sampah. Konsep-konsep tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:

Gambar 1. Interkorelasi konsep

Cara yang terbaik untuk mengembangkan kerangka konseptual tentu saja harus memperkaya asumsi-asumsi dasar yang berasal dari bahan-bahan referensi yang digunakan. Hal ini dapat diperkuat dengan mengadakan amatan-amatan langsung pada lingkup area masalah yang akan dijadikan penelitian. Dengan demikian kerangka konseptual yang dibuat merupakan paduan yang harmonis antara hasil pemikiran dari konsep-konsep (deduksi) dan hasil empirikal (induksi).

Pola berpikir deduksi adalah proses logika yang berdasar dari kebenaran umum mengenai suatu fenomena (teori) dan menggeneralisasikan kebenaran tersebut pada suatu peristiwa atau data tertentu yang berciri sama dengan fenomena yang bersangkutan. Pola pikir induksi adalah proses logika yang berangkat dari data empirik lewat observasi menuju kepada suatu teori. Dengan kata lain induksi adalah proses mengorganisasikan fakta-fakta atau hasil-hasil pengamatan yang terpisah menjadi suatu rangkuman hubungan atau suatu generalisasi.

3. Merumuskan Hipotesis

3.1 Pengertian hipotesis

Menyusun landasan teori juga merupakan langkah penting untuk membangun suatu hipotesis. Landasan teori yang dipilih haruslah sesuai dengan ruang lingkup permasalahan. Landasan teoritis ini akan menjadi suatu asumsi dasar peneliti dan sangat berguna pada saat menentukan suatu hipotesis penelitian.

Peneliti harus selalu bersikap terbuka terhadap fakta dan kesimpulan terdahulu baik yang memperkuat maupun yang bertentangan dengan prediksinya. Jadi, dalam hal ini telaah teoritik dan temuan penelitian yang relevan berfungsi menjelaskan permasalahan dan menegakkan prediksi akan jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan penelitian.

Kesimpulan yang dapat diambil adalah bahwa hipotesis penelitian dapat dirumuskan melalui jalur:

  1. Membaca dan menelaah ulang (reviu) teori dan konsep-konsep yang membahas variabel-variabel penelitian dan hubungannya dengan proses berfikir deduktif.

  2. Membaca dan mereviu temuan-temuan penelitian terdahulu yang relevan dengan permasalahan penelitian lewat berfikir induktif.

Hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap masalah penelitian yang kebenarannya harus diuji secara empiris. Hipotesis menyatakan hubungan apa yang kita cari atau ingin kita pelajari. Hipotesis adalah keterangan sementara dari hubungan fenomena-fenomena yang kompleks. Oleh karena itu, perumusan hipotesis menjadi sangat penting dalam sebuah penelitian.

3.2 Manfaat Hipotesis

Penetapan hipotesis dalam sebuah penelitian memberikan manfaat sebagai berikut:

  1. Memberikan batasan dan memperkecil jangkauan penelitian dan kerja penelitian.

  2. Mensiagakan peneliti kepada kondisi fakta dan hubungan antar fakta, yang kadangkala hilang begitu saja dari perhatian peneliti.

  3. Sebagai alat yang sederhana dalam memfokuskan fakta yang bercerai-berai tanpa koordinasi ke dalam suatu kesatuan penting dan menyeluruh.

  4. Sebagai panduan dalam pengujian serta penyesuaian dengan fakta dan antar fakta.

Oleh karena itu kualitas manfaat dari hipotesis tersebut akan sangat tergantung pada:

  1. Pengamatan yang tajam dari si peneliti terhadap fakta-fakta yang ada.

  2. Imajinasi dan pemikiran kreativ dari si peneliti.

  3. Kerangka analisa yang digunakan oleh si peneliti.

  4. Metode dan desain penelitian yang dipilih oleh peneliti.

3.3 Ciri hipotesis yang baik

Perumusan hipotesis yang baik dan benar harus memenuhi ciri-ciri sebagai berikut:

    1. Hipotesis harus dinyatakan dalam bentuk kalimat pernyataan deklaratif, bukan kalimat pertanyaan.

    2. Hipotesis berisi penyataan mengenai hubungan antar paling sedikit dua variabel penelitian.

    3. Hipotesis harus sesuai dengan fakta dan dapat menerangkan fakta.

    4. Hipotesis harus dapat diuji (testable). Hipotesis dapat duji secara spesifik menunjukkan bagaimana variabel-variabel penelitian itu diukur dan bagaimana prediksi hubungan atau pengaruh antar variabel termaksud.

    5. Hipotesis harus sederhana (spesifik) dan terbatas, agar tidak terjadi kesalahpahaman pengertian.

Beberapa contoh hipotesis penelitian yang memenuhi kriteria yang tersebut di atas:

    1. Olahraga teratur dengan dosis rendah selama 2 bulan dapat menurunkan kadar gula darah secara signifikan pada pasien IDDM.

    2. Pemberian tambahan susu sebanyak 3 gelas per hari pada bayi umur 3 bulan meningkatkan berat badan secara signifikan.

3.4 Menggali hipotesis

Didasarkan pada paparan di atas, maka tentu saja merumuskan hipotesis bukan pekerjaan mudah bagi peneliti. Oleh karena itu seorang peneliti dituntut untuk dapat menggali sumber-sumber hipotesis. Untuk itu dipersyaratkan bagi peneliti harus:

  1. Memiliki banyak informasi tentang masalah yang akan dipecahkan dengan cara banyak membaca literatur yang ada hubungannya dengan penelitian yang sedang dilaksanakan.

  2. Memiliki kemampuan untuk memeriksa keterangan tentang tempat, objek, dan hal-hal yang berhubungan satu sama lain dalam fenomena yang sedang diselidiki.

  3. Memiliki kemampuan untuk menghubungkan suatu keadaan dengan keadaan yang lain yang sesuai dengan kerangka teori dan bidang ilmu yang bersangkutan.

Dari beberapa pendapat para ahli, dapat disimpulkan bahwa penggalian sumber-sumber hipotesis dapat berasal dari:

  1. Ilmu pengetahuan dan pengertian yang mendalam yang berkaitan dengan fenomena.

  2. Wawasan dan pengertian yang mendalam tentang suatu fenomena.

  3. Materi bacaan dan literatur yang valid.

  4. Pengalaman individu sebagai suatu reaksi terhadap fenomena.

  5. Data empiris yang tersedia.

  6. Analogi atau kesamaan dan adakalanya menggunakan imajinasi yang berdasar pada fenomena.

Hambatan atau kesulitan dalam merumuskan hipotesis lebih banyak disebabkan karena hal-hal:

  1. Tidak adanya kerangka teori atau tidak ada pengetahuan tentang kerangka teori yang jelas.

  2. Kurangnya kemampuan peneliti untuk menggunakan kerangka teori yang ada.

  3. Gagal berkenalan dengan teknik-teknik penelitian yang ada untuk merumuskan kata-kata dalam membuat hipotesis secara benar.

3.5 Jenis-jenis Hipotesis

Penetapan hipotesis tentu didasarkan pada luas dan dalamnya serta mempertimbangkan sifat dari masalah penelitian. Oleh karena itu, hipotesispun bermacam-macam, ada yang didekati dengan cara pandang: sifat, analisis, dan tingkat kesenjangan yang mungkin muncul pada saat penetapan hipotesis.

3.5.1 Hipotesis dua-arah dan hipotesis satu-arah

Hipotesis penelitian dapat berupa hipotesis dua-arah dan dapat pula berupa hipotesis satu-arah. Kedua macam tersebut dapat berisi pernyataan mengenai adanya perbedaan atau adanya hubungan.

Contoh hipotesis dua arah:

  1. Ada perbedaan tingkat peningkatan berat badan bayi antara bayi yang memperoleh susu tambah 3 gelas dari ibu yang berperan ganda dan tidak berperan ganda.

  2. Ada hubungan antara tingkat kecemasan dengan prestasi belajar siswa.

Hipotesis dua-arah memang kurang spesifik, oleh karena itu perlu diformulasikan dalam hipotesis satu-arah. Contoh:

  1. Terdapat perbedaan peningkatan berat badan bayi yang signifikan antara bayi yang memperoleh susu tambah 3 gelas dari ibu yang berperan ganda dan tidak berperan ganda.

  2. Ada hubungan yang cukup kuat antara tingkat kecemasan siswa dengan prestasi belajar siswa.

3.5.2 Hipotesis Statistik

Rumusan hipotesis penelitian, pada saatnya akan diuji dengan menggunakan metode statistik, perlu diterjemahkan dalam bentuk simbolik. Simbol-simbol yang digunakan dalam rumusan hipotesis statistik adalah simbol-simbol parameter. Parameter adalah besaran-besaran yang apa pada populasi.

Sebagai contoh, hipotesis penelitian yang menyatakan adanya perbedaan usia menarche yang berarti antara siswi SMU I dan SMU II. Hal ini mengandung arti bahwa terdapat perbedaan rata-rata usia menarche antara siswi dari kedua sekolah tersebut. Dalam statistika, rata-rata berarti mean yang mempunyai simbol M, sedangkan parameter mean bagi populasi adalah . Oleh karena itu, simbolisasi hipotesis tersebut adalah:

Ha; 1≠ 2 (Hipotesis dua-arah) (kurang spesifik)

Ha: 1 > 2 (Hipotesis satu-arah) (tepat dan spesifik)

Atau

Ha; 1- 2 ≠ 0 (Hipotesis dua-arah)

Ha: 1 - 2 > 0 (Hipotesis satu-arah) IDM

Dengan demikian simbol Ha berarti hipotesis alternatif, yaitu penerjemahan hipotesis penelitian secara operasional. Hipotesis alternatif disebut juga hipotesis kerja. Jadi, statistik sendiri digunakan tidak untuk langsung menguji hipotesis alternatif, akan tetapi digunakan untuk menolak atau menerima hipotesis nihil (nol). Penerimaan atau penolakan hipotesis alternatif merupakan konsekuensi dari penolakan atau penerimaan hipotesis nihil.

Hipotesis nihil atau null hypothesis atau Ho adalah hipotesis yang meniadakan perbedaan antar kelompok atau meniadakan hubungan sebab akibat antar variabel. Hipotesis nihil berisi deklarasi yang meniadakan perbedaan atau hubungan antar variabel. Contoh dari hipotesis nol secara statistik adalah:

Ho; 1- 2 = 0 (Hipotesis dua-arah)

Ho: 1= 2= 0 (Hipotesis satu-arah)

Pada akhirnya penolakan terhadap hipotesis nihil akan membawa kepada penerimaan hipotesis alternatif, sedangkan penerimaan terhadap hipotesis nihil akan meniadakan hipotesis alternatif.

3.6 Kesalahan dalam perumusan hipotesis dan pengujian hipotesis

Dalam perumusan hipotesis dapat saja terjadi kesalahan. Macam kesalahan dalam perumusan hipotesis ada dua macam yaitu:

    1. Menolak hipotesis nihil yang seharusnya diterima, maka disebut kesalahan alpha dan diberi simbol atau dikenal dengan taraf signifikansi pengukuran.

    2. Menerima hipotesis nihil yang seharusnya ditolak, maka disebut kesalahan beta dan diberi simbol .

Pada umumnya penelitian di bidang pendidikan digunakan taraf signifikansi 0.05 atau 0.01, sedangkan untuk penelitian kedokteran dan farmasi yang resikonya berkaitan dengan nyawa manusia, diambil taraf signifikansi 0.005 atau 0.001 bahkan mungkin 0.0001. Misalnya saja ditentukan taraf signifikansi 5% maka apabila kesimpulan yang diperoleh diterapkan pada populasi 100 orang, maka akan tepat untuk 95 orang dan 5 orang lainnya terjadi penyimpangan.

Cara pengujian hipotesis didekati dengan penggunaan kurva normal. Penentuan harga untuk uji hipotesis dapat berasal dari Z-score ataupun T-score. Apabila harga Z-score atau T-score terletak di daerah penerimaan Ho, maka Ha yang dirumuskan tidak diterima dan sebaliknya.

4. Jenis Penelitian

Jenis-jenis penelitian sangat beragam macamnya, disesuaikan dengan cara pandang dan dasar keilmuan yang dimiliki oleh para pakar dalam memberikan klasifikasi akan jenis penelitian yang diungkapkan. Namun demikian, jenis penelitian secara umum dapat digolongkan sebagaimana yang akan dipaparkan berikut ini.

4.1. Jenis Penelitian Menurut Pendekatan Analitik

Dilihat dari pendekatan analisisnya, penelitian dibagi menjadi dua macam, yaitu: penelitian kuantitatif dan penelitian kualitatif.

4.1.1 Jenis penelitian kuantitatif

Penelitian dengan pendekatan kuantitatif menekankan analisisnya pada data-data numerikal (angka-angka) yang diolah dengan metoda statistik. Pada dasarnya pendekatan kuantitatif dilakukan pada jenis penelitian inferensial dan menyandarkan kesimpulan hasil penelitian pada suatu probabilitas kesalahan penolakan hipotesis nihil. Dengan metoda kuantitatif akan diperoleh signifikansi perbedaan kelompok atau signifikansi hubungan antar variabel yang diteliti. Pada umumnya, penelitian kuantitaif merupakan penelitian dengan jumlah sampel besar.

Bila disederhanakan penelitian berdasarkan pendekatan kuantitatif secara mendalam dibagi menjadi: penelitian deskriptif dan penelitian inferensial.

a. Penelitian deskriptif

Penelitian deskriptif melakukan analisis hanya sampai taraf deskripsi, yaitu menganalisis dan menyajikan data secara sistematik, sehingga dapat lebih mudah untuk difahami dan disimpulkan. Penelitian deskriptif bertujuan menggambarkan secara sistematik dan akurat fakta dan karakteristik mengenai populasi atau mengenai bidang tertentu. Analisis yang sering digunakan adalah: analisis persentase dan analisis kecenderungan. Kesimpulan yang dihasilkan tidak bersifat umum. Jenis penelitian deskriptif yang cukup dikenal adalah penelitian survei.

b. Penelitian inferensial

Penelitian inferensial melakukan analisis hubungan antar variabel dengan pengujian hipotesis. Dengan demikian, kesimpulan penelitian jauh melebihi sajian data kuantitatif saja, dan kesimpulannya adakalanya bersifat umum.

4.1.2 Jenis penelitian menurut pendekatan kualitatif

Penelitian dengan pendekatan kualitatif pada umumnya menekankan analisis proses dari proses berfikir secara deduktif dan induktif yang berkaitan dengan dinamika hubungan antar fenomena yang diamati, dan senantiasa menggunakan logika ilmiah. Penelitian kualitatif tidak berarti tanpa menggunakan dukungan dari data kuantitatif, akan tetapi lebih ditekankan pada kedalaman berfikir formal dari peneliti dalam menjawab permasalahan yang dihadapi.

Penelitian kualitatif bertujuan untuk mengembangkan konsep sensitivitas pada masalah yang dihadapi, menerangkan realitas yang berkaitan dengan penelusuran teori dari bawah (grounded theory), dan mengembangkan pemahaman akan satu atau lebih dari fenomena yang dihadapi.

4.2 Jenis Penelitian Menurut Tujuan

Jenis penelitian menurut tujuan terdiri dari:

4.2.1 Penelitian Eksploratif

Jenis penelitian eksploratif, adalah jenis penelitian yang bertujuan untuk menemukan sesuatu yang baru. Sesuatu yang baru itu dapat saja berupa pengelompokkan suatu gejala, fakta, dan penyakit tertentu. Penelitian ini banyak memakan waktu dan biaya.

4.2.2 Penelitian Pengembangan

Jenis penelitian pengembangan bertujuan untuk mengembangkan aspek ilmu pengetahuan. Misalnya: penelitian yang meneliti tentang pemanfaatan terapi gen untuk penyakit-penyakit menurun.

4.2.3 Penelitian Verifikatif

Jenis penelitian ini bertujuan untuk menguji kebenaran suatu fenomena. Misalnya saja, masyarakat mempercayai bahwa air sumur Pak Daryan mampu mengobati penyakit mata dan kulit. Fenomena ini harus dibuktikan secara klinik dan farmakologik, apakah memang air tersebut mengandung zat kimia yang dapat menyembuhkan penyakit mata.

4.3 Jenis Penelitian Menurut Waktu

4.3.1 Penelitian Longitudinal

Penelitian longitudinal adalah penelitian yang dilakukan dengan ciri: waktu penelitian lama, memerlukan biaya yang relatif besar, dan melibatkan populasi yang mendiami wilayah tertentu, dan dipusatkan pada perubahan variabel amatan dari waktu ke waktu. Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mempelajari pola dan urutan perkembangan dan/atau perubahan sesuatu hal, sejalan dengan berlangsungnya perubahan waktu. Jenis penelitian ini sering digunakan pada penelitian lingkup Epidemiologi dengan beberapa rancangan yang khas, seperti kohort, cross-sectional, dan kasus kontrol.

                1. Kohort

Penelitian kohort sering juga disebut penelitian follow up atau penelitian insidensi, yang dimulai dengan sekelompok orang (kohor) yang bebas dari penyakit, yang diklasifikasikan ke dalam sub-kelompok tertentu sesuai dengan paparan terhadap sebuah penyebab potensial terjadinya penyakit atau outcome.

Penelitian kohort memberikan informasi terbaik tentang penyebab penyakit dan pengukurannya yang paling langsung tentang resiko timbulnya penyakit. Jadi ciri umum penelitian kohort adalah:

a. dimulai dari pemilihan subyek berdasarkan status paparan.

    1. melakukan pencatatan terhadap perkembangan subyek dalam kelompok studi amatan.

    2. dimungkinkan penghitungan laju insidensi (ID) dari masing-masing kelompok studi.

    3. peneliti hanya mengamati dan mencatat paparan dan penyakit dan tidak dengan sengaja mengalokasikan paparan.

Oleh karena penelitian kohort diikuti dalam suatu periode tertentu, maka rancangannya dapat bersifat restropektif dan prospektif, tergantung pada kapan terjadinya paparan pada saat peneliti mau mengadakan penelitian.

Rancangan penelitian kohort prospektif, jika paparan sedang atau akan berlangsung, pada saat penelitian memulai penelitiannya. Rancangan kohort retrospektif, jika paparan telah terjadi sebelum peneliti memulai penelitiannya. Jenis penelitian ini sering disebut sebagai penelitian prospektif historik.

b. Penelitian cross-sectional (Lintas-Bagian)

Penelitian lintas-bagian adalah penelitian yang mengukur prevalensi penyakit. Oleh karena itu seringkali disebut sebagai penelitian prevalensi. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari hubungan penyakit dengan paparan dengan cara mengamati status paparan dan penyakit secara serentak pada individu dari populasi tunggal pada satu saat atau periode tertentu.

Penelitian lintas-bagian relatif lebih mudah dan murah untuk dikerjakan oleh peneliti dan amat berguna bagi penemuan pemapar yang terikat erat pada karakteristik masing-masing individu. Data yang berasal dari penelitian ini bermanfaat untuk: menaksir besarnya kebutuhan di bidang pelayanan kesehatan dari populasi tersebut. Instrumen yang sering digunakan untuk memperoleh data dilakukan melalui: survei, wawancara, dan isian kuisioner.

c. Penelitian Kasus Kontrol (case control)

Penelitian kasus kontrol adalah rancangan epidemiologis yang mempelajari hubungan antara paparan (amatan penelitian) dan penyakit, dengan cara membandingkan kelompok kasus dan kelompok kontrol berdasarkan status paparannya. Ciri penelitian ini adalah: pemilihan subyek berdasarkan status penyakitnya, untuk kemudian dilakukan amatan apakah subyek mempunyai riwayar terpapar atau tidak. Subyek yang didiagnosis menderita penyakit disebut: Kasus berupa insidensi yang muncul dari populasi, sedangkan subyek yang tidak menderita disebut Kontrol.

4.4 Jenis Penelitian Menurut Rancangan

Ada beberapa jenis penelitian yang didasarkan pada rancangan yang digunakan untuk memperoleh data, misalnya penelitian korelasional, kausal-komparatif, eksperimen, dan penelitian tindakan (action research).

4.4.1 Penelitian Korelasional (correlational research)

Tujuan penelitian korelasional adalah untuk mendeteksi sejauh mana variasi-variasi pada suatu faktor berhubungan dengan variasi-variasi pada satu atau lebih faktor lain berdasarkan pada koefisien korelasi.

Contoh penelitian korelasional yang umum dilakukan:

  1. Studi yang mempelajari hubungan antara skor pada test masuk perguruan tinggi dengan indeks prestasi semester pada mahasiswa STIKes di Wilayah Jawa Barat.

  2. Studi analisis faktor mengenai hubungan antara tingkat pengetahuan, pendidikan, dan status sosial dengan pemilihan jenis persalinan di desa tertinggal.

4.4.2 Penelitian Kausal-Komparatif (causal-comparative research)

Tujuan penelitian kausal-komparatif adalah untuk menyelidiki kemungkinan hubungan sebab-akibat dengan berdasar atas pengamatan terhadap akibat yang ada dan mencari kembali faktor yang mungkin menjadi penyebab melalui data tertentu.

Penelitian kausal-komperatif bersifat ex post facto, artinya data dikumpulkan setelah semua kejadian yang dipersoalkan berlangsung (lewat). Peneliti mengambil satu atau lebih akibat sebagai “dependent variable” dan menguji data itu dengan menelusuri kembali ke masa lampau untuk mencari sebab-sebab, saling hubungan, dan maknanya.

4.4.3 Penelitian Eksperimental-Sungguhan (true-experimental research)

Tujuan penelitian eksperimental sungguhan adalah untuk menyelidiki kemungkinan saling hubungan sebab-akibat dengan cara mengenakan kepada satu atau lebih kelompok eksperimental dengan satu atau lebih kondisi perlakuan dan memperbandingkan hasilnya dengan satu atau lebih kelompok kontrol yang tidak dikenai kondisi perlakuan.

Ciri utama dari penelitian eksperimen meliputi:

  1. Pengaturan variabel-variabel dan kondisi-kondisi eksperimental secara tertib-ketat, baik dengan kontrol atau manipulasi langsung maupun dengan randomisasi (pengaturan secara rambang).

  2. Secara khas menggunakan kelompok kontrol sebagai “garis dasar” untuk dibandingkan dengan kelompok (kelompok-kelompok) yang dikenai perlakuan eksperimental.

  3. Memusatkan usaha pada pengontrolan varians dengan cara: pemilihan subyek secara acak, penempatan subyek dalam kelompok-kelompok secara rambang, dan penentuan perlakuan eksperimental kepada kelompok secara rambang.

  4. Validitas internal merupakan tujuan pertama metode eksperimental.

  5. Tujuan ke dua metode eksperimental adalah validitas eksternal.

  6. Dalam rancangan eksperimental yang klasik, semua variabel penting diusahakan agar konstan kecuali variabel perlakuan yang secara sengaja dimanipulasikan atau dibiarkan bervariasi.

4.4.4 Penelitian Eksperimental-Semu (quasi-experimental research)

Tujuan penelitian eksperimental-semu adalah untuk memperoleh informasi yang merupakan perkiraan bagi informasi yang dapat diperoleh dengan eksperimen yang sebenarnya dalam keadaan yang tidak memungkinkan untuk mengontrol dan/atau memanipulasikan semua variabel yang relevan. Si peneliti harus dengan jelas mengerti kompromi apa yang ada pada validitas internal dan validiti eksternal rancangannya dan berbuat sesuai dengan keterbatasan-keterbatasan tersebut.

Ciri penelitian eksperimen semu meliputi:

  1. Penelitian eksperimental-semu secara khas mengenai keadaan praktis, yang di dalamnya adalah tidak mungkin untuk mengontrol semua variabel yang relevan kecuali beberapa dari variabel tersebut.

  2. Subyek penelitian adalah manusia, misalnya dalam mengukur aspek minat, sikap, dan perilaku.

c. Tetap dilakukan randomisasi untuk sampel, sehingga validitas internal masih dapat dijaga.

4.4.5 Penelitian Tindakan (action research)

Penelitian tindakan bertujuan mengembangkan keterampilan-keterampilan baru atau cara pendekatan baru dan untuk memecahkan masalah dengan penerapan langsung di dunia kerja atau dunia aktual yang lain.

Contoh penelitian tindakan misalnya adalah:

a. Penelitian tentang pelaksanaan suatu program inservice training untuk melatih para konselor bekerja dengan anak putus sekolah;

b. Penelitian untuk menyusun program penjajagan dalam pencegahan kecelakaan pada pendidikan pengemudi;

c. Penelitian untuk memecahkan masalah apatisme dalam penggunaan teknologi modern atau metode menanam padi yang inovatif.

Ciri penelitian tindakan adalah:

  1. Praktis dan langsung relevan untuk situasi aktual dalam dunia kerja.

  2. Menyediakan rangka-kerja yang teratur untuk pemecahan masalah dan perkembangan baru.

  3. Penelitian mendasarkan diri kepada observasi aktual dan data mengenai tingkah laku, dan tidak berdasar pada pendapat subyektif yang didasarkan pada pengalaman masa lampau.

  4. Fleksibel dan adaptif, membolehkan perubahan selama masa penelitiannya dan mengorbankan kontrol untuk kepentingan on-the spot experimentation dan inovasi.

EFFECTIVE LEADERSHIP

Effective Leadership 1

In order to examine and analyze the above quote it will be necessary to define and understand the terms that Sergiovanni uses. First, what is meant by, “truly effective schools”? Cohorts believed that to be ‘truly effective’ included, but went beyond high standardized test scores. “High performance districts thrive off of a team effort that begins with administration and filters down to the student body. Schools are looked at as a learning community/family environment were high standards are placed on both teachers and students (Daniels, 2000).

Furthermore, if we equate our high performing districts as those which attend to personal development. we are describing the formula for an ideal "family" unit or a successful business that encourages the participation of all the members. It really makes sense actually when you think about it because it is about healthy dynamics within a group where there is authority but also order, protocol, comfort, encouragement, empowerment and not an organization fraught with chaos and rule by intimidation (Frangos, 2000).

Also, relationships were built based on honesty, respect and trust. Each person has a vested interest in the success of the educational system because they were an integral partner in its development. They feel a sense of ownership, which increases the likelihood of increased participation. When individuals work together with a common goal, the synergistic possibilities are infinite. The end result of a high performing district is inevitable (Whalen, 2000). “High performing districts are people centered where trust and respect exist. I believe that there are too many districts out there where this is not true (Cimino, 2000). This definition of what it means to be a truly effective school is not just an ideal held by college students in ivory towers, but is consistent with the NEA’s perspective as well, “High performing districts attend to the

Ethical Leadership 2

Personal development and interpersonal relationships of all stakeholders, operate on democratic principles, think and act systemically, seek external partners and perspectives, and establish an inviting and inclusive sense of community (Barkley, 1997). Next, Sergiovanni expresses that “truly effective schools are those with a shared covenant”. The usage of the word covenant is intentional and purposeful. Covenant is defined as (1) a formal and binding agreement entered into by two or more persons or parties; a compact (2) God’s promises to mankind as set forth in the Bible (Doubleday, 1975). The term covenant has definite spiritual connotations in our society today, which is consistently eluded to by Sergiovanni.

"Instead of continuing to import corporate views of leadership to schools, we should return to our roots. The roots of school leadership are not found in providing visionary leadership as described by corporate writers, but in serving the common good, in ministering to the needs of the school, and in providing the oversight that protects the school and keeps it on a true course, clarifying purposes, promoting unity, and helping people to understand the problems they face and to find solutions (Sergiovanni, 1996) Book review comments, regarding his book, “Moral Leadership - Getting to the Heart of Reform” are as follows, “by the last quarter of the book one is comfortable with phrases like "covenantal relationship," "sacred authority," and "servant leadership" in a mainstream book about regular schools.

These values, usually "thought to be weak, impressionistic concepts, and more myth than reality" (p. 13) are shown to be not only fundamental to the creation of healthy schools in ordinary circumstances, but practical as well.” (Zuckerman, 1992) Clearly, it is by design that Sergiovanni uses vernacular that plainly implies spirituality. Moral connections grounded in cultural norms are central to Sergiovanni's theory of school leadership. "Moral connections come from the duties teachers, parents, and students accept.

Ethical Leadership 3

The obligations they feel toward others, and toward their work. Obligations result from common commitments to shared values and beliefs, he writes (Sergiovanni, 1997). Why is there such a need for ethical spirituality in American schools? “In 1963 the Supreme Court ruled in Abington Township v. Schempp that Bible reading and prayer were banned in public school classrooms.

What was not foreseen, however, was that the censorship of prayer and sectarian theology would also result in the banishment of values. The vacuum inevitably was filled with moral relativism. Because of the undermining of America's moral foundation, we see the guns-and-metal-detectors world of 2000, where veteran public school teachers and administrators yearn for the days when the worst offenses involved spitballs and smoking (cigarettes) in the lavatory. The public school system will never recover unless the American people restore to it at least some measure of ideological unity (Weinig, 2000). In his article, The 10 Worst Educational Disasters of the 21st Century, in EducationWeek, Weinig places the 1963 church-state court decisions as number one.

The Association of Supervision and Curriculum (ASCD) resounds Weinigs views, “America's public schools should be giving students more moral education, according to a report by a national organization that focuses on curriculum development and teaching procedures. American schools were founded with moral purpose, and offered moral education until the 1960s. Since that time, he said, schools have "stepped back" from their responsibility to teach morality. The report noted increasing public concern over adolescent emotional problems, rising teenage suicide and murder, and unwed mothers.

The report also cited public opinion polls which indicate that most Americans favor the teaching of moral behavior by public schools.” (ASCD, 1988) “The concern over matters of curricula extend far beyond the effectiveness with which the basic subjects are taught (Bush, 2000).

Ethical Leadership 4

Our rational trajectory has failed to solve deepening problems in the workplace” and schools (Bolman & Deal, 1995). “Separation of church (religion) and work is absurd – we can’t park our beliefs at the door. Spirituality is the basic desire to find ultimate meaning and purpose in ones' life and to live an integrated live. The search for meaning, purpose, wholeness and integration is a constant, never-ending struggle (confining this search to off hours violates the basic integrity people have of themselves as whole persons) (Mitroff, 2000). The taboo against talking about spiritual matters in the public sphere-robs people of the strength of courage, of the strength of heart to do what deep down they believe to be right (Bolman & Deal, 1995).

Therefore effective leaders are those who lead from within, and are in touch with their spirit-man. “The heart of leadership is in the hearts of leaders. You have to lead from something deep in your heart. We relegate spirituality to churches, temples, and mosques—for those who still attend them. We shun it at work. Spirituality is beyond us, and yet is in everything we do. It is extraordinary, and yet is extraordinarily simple (Bolman & Deal, 1995).

In his text, Moral Leadership: Getting to the Heart of School Reform, Sergiovanni frames moral leadership into three basic categories; the heart, the head, and the hand. Each of these areas become intertwined. The heart represents what one values and believes, the head signifies the mindscape of how the world works, and the hand shows one’s decisions, actions and behaviors. (This view of moral leadership is not new, Booker T. Washington founded Tuskeegee Institute on these same life principles).

Leading is giving. Leadership is an ethic (Bolman & Deal, 1995) it is easy to identify clear links and application of this type of leadership style with the Symbolic Frame of Organizational.

Ethical Leadership 5

Processes. Bolman and Deal equated their four-frame model of organizations to factories, families, jungles and temples. In a temple there is spirituality, not in the religious sense but in the sense that organizations are communities of conviction, held together by commonalties such as traditions, myths, rituals, ceremonies, values and beliefs. Leaders of temples must be spiritual. They guide people toward meaning and faith in work; they nourish commitment and loyalty; and, they comfort those whose faith in work may be burning out. Spiritual leaders offer the gift of significance, rooted in confidence that the work is worthy of one’s efforts, and the institution deserves one’s commitment and loyalty (Bolman & Deal, 1997).

Sergiovanni (1987:104) describes symbolic leaders as high priests who "define, strengthen, and articulate those enduring values, beliefs, and cultural standards that give the school its unique identity over time. Included in his description of activities related to symbolic leadership is the idea of developing and displaying a system of symbols over time. The lessons of the power of symbols to enhance the leadership of superintendents apply equally to other administrative roles in a school district.

Within the parameters of their role as directors of curriculum, staff development, or human resources, all central-office administrators can profit from capitalizing upon the symbolic aspects of their position. A building administrator can very quickly bring the benefits of symbolic leadership to improving the organizational culture of his/her school. Symbolic leadership provides a potent tool for improving organizational culture at every level of school district operations (McAdams & Zinck, 1998).

Sergiovanni does not simply speak of covenants, but of shared covenants. This means a “shift from leader-centered change to community interdependence that forms the basis of Sergiovanni's thesis that he wishes to lessen the influence of leadership. Technique and even charisma can stretch only so far; only the obligations and energy flowing from membership in a covenantal.

Ethical Leadership 6

Community are sufficient to guide and inspire the many players students, teachers, parents, and administrators necessary to the running of a good school. In that change the role of the hierarchical leader is to become steward; by becoming the servant of the whole s/he gains the moral authority to guide right action without needing to control it (Sergiovanni, 1992). Good connections are complex, not simple; they take time to build. Creating a community of mind means acknowledging differences, wanting to learn from them, and working for closer agreement. The biggest difference is achieved through building strong informal relationships, being willing to share power that benefits students and committing to learn from each other (Fullan, 1998).

Isn't it ironic? The thing that is needed regarding whole school reform, to a great extent, is simply connectedness, bonds, and the like. These things take time to develop, which yield better quality learning, meanwhile we often short circuit taking the time to develop these things in our quest for performance. Reflecting back to the quote that frames this paper, let us now examine the phrase, “clearly articulating the school’s core values and providing standards by which actions will be judged.

Core values are encompassed in a school’s vision and mission statement. One of the crucial purposes of supervision must be to articulate a vision and take the lead in its unfoldment (Cranston 1993, p.41). A worthy vision is the ‘glue’ needed to hold divergent views, values and beliefs sufficiently together that, respecting differences, an organizational synergism can be achieved (McAdams & Zinck, 1998). Schools are likely to be more successful in achieving in-depth learning when leaders work with staff and the community to build a collective educational vision that is clear, compelling, and connected to teaching and learning. This collective vision helps focus attention on what is important, motivates staff and students, and increases the sense.

Ethical Leadership 7

Of shared responsibility for students learning, it should have a clear and shared sense of purpose focused on student learning (Betances, 1992). A good vision not only has worthy goals, but also challenges and stretches everyone in the organization. Organizations advance when a clear, widely understood vision creates tension between the real and the ideal, pushing people to work together to reduce the gap (Fritz, 1996). Many leaders believe vision development is a straight forward task of articulating a statement of beliefs and then implementing it. However, some studies suggest that vision is more of an evolutionary process than a one-time event, a process that requires continuous reflection, action, and reevaluation ach day is an opportunity to come closer to your perceived ideal. (Hong, 1996) Both talk and action are necessary.

A good vision not only has worthy goals, but also challenges and stretches everyone in the organization. Teachers work very much in isolation, she explains. It's hard for them to make sense of the changing nature of the environment. So the principal provides a common definition of what the teachers are doing, one that both unites and moves them forward (Keller, 1998). Organizations advance when a clear, widely understood vision creates tension between the real and the ideal, pushing people to work together to reduce the gap (Fritz, 1996).

Many leaders believe vision development is a straight forward task of articulating a statement of beliefs and then implementing it. However, some studies suggest that vision is more of an evolutionary process than a one-time event, a process that requires continuous reflection, action, and reevaluation ach day is an opportunity to come closer to your perceived ideal. (Hong, 1996) Both talk and action are necessary. No matter who creates the vision the principal is its chief instigator, promoter, and guardian (Lashway, 1997). How will we as leaders facilitate vision in our schools? We must communicate and implement vision. No matter how inspiring it sounds on paper, the dream will wither unless it takes concrete.

Ethical Leadership 8

Form in policies, programs, and procedures (Starratt, 1995). Above all principals must create a climate and a culture for change. They do this by speaking about the vision often and enthusiastically; by encouraging experiments; by celebrating successes and forgiving failures; and by remaining steadfast in the face of the inevitable problems and missteps. Providing a standard by which actions will be judged is an essential accompaniment to shared vision. Current thinking on principals has identified several characteristics that are important in providing sound leadership. A good principal:

  1. Recognizes teaching and learning as the main business of a school;

  2. Communicates the school's mission clearly and consistently to staff members, parents, and students;

  3. Fosters standards for teaching and learning that are high and attainable;

  4. Provides clear goals and monitors the progress of students toward meeting them;

  5. Spends time in classrooms and listening to teachers;

  6. Promotes an atmosphere of trust and sharing;

Builds a good staff and makes professional development a top concern; and

  1. Does not tolerate bad teachers (Keller, 1998)

As Sergiovanni says, in the quote we have been contemplating, leaders must not only take the lead in formulating the covenant, but actively support and enforce it. Leadership effects school climate, and school climate effects the learning environment. Curriculum will be impacted by the vision, values, and climate/culture of the school. Senge believes that the best results come from smaller, more focused efforts, rather than from large.

Ethical Leadership 9

Scale efforts. He advocates a direct, intense, draining style of interpersonal leadership style so that performance can be monitored to ensure that things are going the way they should (Senge, 1998). One rule of thumb for me is do as i do, not as i say which meant that I had to work closely with staff, parents and students to put into place the structures, process and procedures which would enable us to begin to move towards achieving the commitment we had made.” (Buchanan 1998)

Leadership that serves school purposes, leadership that is tough enough to demand a great deal from everyone, and leadership that is tender enough to encourage the heart these are the images of leadership we need for schools as communities (Sergiovanni, 1997).

Leadership effects school climate, and school climate effects the learning environment. Curriculum will be impacted by the vision, values, and climate/culture of the school. There are cultural norms that facilitate school improvement. A servant leader will foster these norms, such as, critical inquiry and relationships. Successful schools do not suppress criticism but instead provide a positive and constructive atmosphere in which criticism can occur (Druian & Butler, 1987). The informal rules that govern behavior in schools appear to play a significant role in school improvement efforts.

Also, teacher development must move center stage in school improvement. Most staff developers would agree that the goal of staff development is change in individual’s knowledge, understanding, behaviors, skills, and in values and beliefs. Staff development and change process are cut from the same cloth (Joyce & Showers, 1980). An important leadership responsibility of leaders who work within the cultural perspective is supporting collegial interactions between teachers (Sergiovanni & Corbally, 1986). Successful school programs have in common a model of community, an extended family where achievement is important and so is caring for one another (Wehlage, 1988)

Ethical Leadership 10

Lastly, in regards to analyzing our initial quote, Sergiovanni says, when a vital standard is ignored, principals should lead by outrage. It would seem rather obvious that aspiring managers and leaders should be taught about courage as well as how to act courageously, for the good of their organization and everyone associated with it depends upon the manager or leader standing for something (Sergiovanni, 1992).

As Larry Lashway expressed it, students of ethics are unanimous on one point: moral leadership begins with moral leaders. To be an ethical school leader, then, is not a matter of following a few simple rules. The leader’s responsibility is complex and multi-dimensional, rooted less in technical expertise than in simple human integrity (Lashway, 1996).

References

Association for Supervision and Curriculum Development. (1988). Moral Education. (online ) Available: http://forerunner.com/forerunner/X0108_Moral_education.html. (8/2000)

Barkley, Bob. (1997). Hard Lessons About Educational Change: from the NEA Learning Laboratories. [online]. Available: http://www.nea.org/nci/sympo97/hardlessons.htm , 8/2000.

Betances, Samuel. (1992). North Central Regional Educational Laboratory (NCREL): Critical Issue: building a Collective Vision. [online]. Available: http://www.ncrel.org/sdrs/areas/leOcont.htm . (8/2000).

Bolman, Lee & Deal, Terrence. (1995) Leading With Soul. Jossey-Bass Publishers; San Francisco, Ca.

Bolman, Lee, & Deal, Terrence. (1997). Reframing Organizations. Jossey-Bass Publishers; San Francisco, Ca.

Buchanan, Carol. (1998). Principal Principles. [online]. Available: http://www1.tpgi.com.au/users/aseaton/philosophy/supavise.htm (8/2000).

Bush, Jeff & Yablonski, Brian. (2000). Leadership U: Virtuous Reality: Character Building In the Information Age. [online]. Available: http://www.leaderu.com/focus/edufeature2.html. (8/2000).

Cimino, Carl. (2000) SetonWorldwide: 6601 Threaded Discussion, Week 8. [online]. Available: http://www.setonworldwide.net/re/A_ThreadDisc.real?UnitNumber=8&CnodeID=17475&CourseID=107591&RSOID=134910&TopicID=0&SortType=1&Show=1&47=64777 , (8/2000).

Daniels, Kyle. (2000) SetonWorldwide: 6601 Threaded Discussion, Week 8. [online]. Available: http://www.setonworldwide.net/re/A_ThreadDisc.real?UnitNumber=8&CnodeID=17475&CourseID=107591&RSOID=134910&TopicID=0&SortType=1&Show=1&47=64777, (8/2000).

Druian & Butler. (1987). SEDL:The School Culture. [online]. Available: http://www.sedl.org/change/school/culture.html . (8/2000).

Frangos, Catherine. (2000) SetonWorldwide: 6601 Threaded Discussion, Week 8. [online]. Available: http://www.setonworldwide.net/re/A_ThreadDisc.real?UnitNumber=8&CnodeID=17475&CourseID=107591&RSOID=134910&TopicID=0&SortType=1&Show=1&47=64777 , (8/2000).

Hargreaves, Andy & Fullan, Michael. (1998). What’s Worth Fighting for Out There. Teachers College Press; New York, New York.

Joyce & Showers. (1980). SEDL: Staff Development and Change Process: Cut from the Same Cloth. [online]. Available: http://www.sedl.org/change/issues/issues42.html . (8/2000).

Keller, Bess. (Nov., 1998). EducationWeek: Principal Matters. [online]. Available: http://www.edweek.org/ew/vol-18/11prin.h18. (8/2000).

Landau, Sidney. (1975). Doubleday Dictionary. Doubleday & Co.; Garden City, NY.

Lashway, Larry. (Jan., 1997). ERIC Digest ED402643: Visionary Leadership. [online]. Available: http://ericir.syr.edu. (8/2000).

Lashway, Larry. (6/1996). ERIC Digest 107: Ethical Leadership. [online]. Available: http://eric.uoregon.edu/publications/digests/digest107.html. (8/2000).

McAdams, Richard & Zinck, Richard. (1998). Educational Research Service: Making A Difference In Our Children’s Future. [online]. Available: http://ers.vwh.net/spectrum/fall98a.htm . (8/2000).

Mitroff, Ian I. (3/23/2000). First International Forum on Management, Ethics and Spirituality (IFMES): Spirituality: The Next Major change In Management. [online].Available: http://www.davender.com/fimes1.htm#mitroff. (8/2000).

Senge, Peter. (1997). ACSU: Professional Development. [online]. Available: http://www.acsu.k12.vt.us/ACSUPlan/PrfDev.html . (8/2000).

Sergiovanni, Thomas. (1996). Review Notes: Leadership for the Schoolhouse. [online]. Available: http://www.fso.arizona.edu/dickportfolio/qualifyexam/evidence/eda660/sergiovanni.htm , (8/2000).

Sergiovanni, Thomas. (1999). Supervision and Instruction (6666) “A Talk With Tom Sergiovanni” [video]. Available: Seton Hall University, Supervision and Instruction (6666), So. Orange, NJ.

Sergiovanni, Thomas. (Dec. 1996/Jan. 1997) The Developer. [online]. Available: http://www.nsdc.org/library/developer/dev12-96.html . (8/2000).

Sergiovanni & Corbally. (1986). SEDL:The School Culture. [online]. Available: http://www.sedl.org/change/school/culture.html. (8/2000).

Souza, Katherine Zimmer. (1999). A Review of Spirituality in Counselor Education. ERIC Number ED436689. [online]. Available: http://ericir.syr.edu/plweb-cgi/fastweb?getdoc+ericdb+ericdb+1027296+1+wAAA+%28%28ethics%26and%26spirituality%29%29%26%28AND%26%281998%26OR%261999%26OR%262000%29%26%3APublication_Date%29 . (8/2000)

Wehlage. 1988. SEDL:The School Culture. [online]. Available: http://www.sedl.org/change/school/culture.html . (8/2000).

Weinig, Kenneth. (6/14/2000). Education Week: The 10 Worst Educational Disasters of the 21st Century: A Traditionalilst’s View. [online]. Available: http://www.edweek.org/ew/ewstory.cfm?slug=40weinig.h19&keywords=ethics. (8/2000).

Whalen, Diana. (2000). SetonWorldwide: 6601 Threaded Discussion, Week 8. [online]. Available: http://www.setonworldwide.net/re/A_ThreadDisc.real?UnitNumber=8&CnodeID=17475&CourseID=107591&RSOID=134910&TopicID=0&SortType=1&Show=1&47=64777 , (8/2000).

Wright, Elliott. (1999). Indiana Humanities Council: Teaching The Role of Religion in American History. [online]. Available: http://www.ihc4u.org/wright.htm. (8/2000).

Zuckerman, David. (1992). Book Review: Moral Leadership – Getting to the The Heart of School Improvement. [online]. Available: www.tc.columbia.edu/~academic/newlinks/pluribus/sergio.htm . (8/2000).