05 November 2012

Lepas Kepenatan


Kualitas Pelayanan Pendidikan


A.    Mutu Pelayanan Pendidikan
Keberhasilan suatu jasa pelayanan dalam mencapai tujuannya sangat tergantung pada konsumennya, dalam arti perusahaan memberikan layanan yang bermutu kepada para pelanggannya akan sukses dalam mencapai tujuannya. Sekarang ini mutu pelayanan telah menjadi perhatian utama dalam memenangkan persaingan. Mutu pelayanan dapat dijadikan sebagai salah satu strategi lembaga untuk menciptakan kepuasan konsumen. Suatu pendidikan bermutu tergantung pada tujuan dan yang akan dilakukan dalam pendidikan. Definisi pendidikan bermutu harus mengakui bahwa pendidikan apapun termasuk dalam suatu sistem. Mutu dalam beberapa bagian dari sistem mungkin baik, tetapi mutu kurang baik yang ada di bagian lain dari sistem, yang menyebabkan berkurangnya mutu pendidikan secara keseluruhan dari pendidikan.
Definisi mutu layanan berpusat pada upaya pemenuhan kebutuhan dan keinginan pelanggan serta ketepatan penyampainya untuk mengimbangi harapan pelanggan. Kualitas jasa adalah tingkat keunggulan yang diharapkan dan pengendalian atas tingkat keunggulan tersebut untuk memenuhi keinginan pelanggan (Tjiptono dan Diana, 2003). Mutu pelayanan diketahui dengan cara membandingkan harapan / kepentingan pelanggan atas layanan yang ideal dengan layanan yang benar-benar mereka terima. Menurut Feigenbaum (1996) mutu merupakan kekuatan penting yang dapat membuahkan keberhasilan baik di dalam organisasi dan pertumbuhan lembaga, hal ini juga bisa diterapkan di dalam penyelenggaraan pelayanan mutu pendidikan. Selanjutnya jika mutu dikaitkan dalam penyelenggaraan pendidikan maka dapat berpedoman pada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan yang menyatakan bahwa penjaminan mutu adalah wajib baik internal maupun eksternal.
Apabila jasa pelayanan yang diterima atau dirasakan sesuai dengan yang diharapkan maka mutu pelayanan yang dipersepsikan baik dan memuaskan. Jika pelayanan jasa yang diterima melampaui harapan pelanggan maka mutu pelayanan dipersepsikan sebagai mutu yang ideal. Sebaliknya jika pelayanan yang diterima lebih rendah daripada yang diharapkan, maka mutu pelayanan dipersepsikan buruk. Dengan demikian baik tidaknya kualitas jasa tergantung pada kemampuan penyedia jasa dalam memenuhi harapan/kepentingan pelanggannya secara konsisten. Kajian mengenai karakteristik jasa pada lembaga pendidikan tinggi, terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan, yakni:
1.      Perguruan tinggi termasuk ke dalam kelompok jasa murni (pure service), di mana pemberian jasa yang dilakukan didukung alat kerja atau sarana pendukung semata, seperti ruangan kelas, kursi, meja, dan buku-buku;
2.   Jasa yang diberikan membutuhkan kehadiran pengguna jasa (mahasiswa), jadi di sini pelanggan yang mendatangi lembaga pendidikan tersebut untuk mendapatkan jasa yang diinginkan (meskipun dalam perkembangannya ada yang menawarkan program jarak, universitas terbuka, dan kuliah jarak jauh);
3.  Penerimaan jasa adalah orang, jadi merupakan pemberian jasa yang berbasis orang. Sehingga berdasarkan hubungan dengan pengguna jasa (pelanggan / mahasiswa) adalah high contact system yaitu hubungan pemberi jasa dengan pelanggan tinggi. Pelanggan dan penyedia jasa terus berinteraksi selama proses pemberian jasa berlangsung. Untuk menerima jasa, pelanggan harus menjadi bagian dari sistem jasa tersebut;
4.  Hubungan dengan pelanggan adalah berdasarkan member relationship, di mana pelanggan telah menjadi anggota lembaga pendidikan tersebut, sistem pemberian jasanya secara terus menerus dan teratur sesuai kurikulum yang telah ditetapkan.

Pelayanan yang didasarkan pada hubungan dengan kepuasan pelanggan merupakan kunci mempertahankan pelanggan dan mencakup pemberian keuntungan finansial serta sosial di samping ikatan struktural dengan pelanggan. Suatu jasa pelayanan harus memutuskan seberapa banyak pelayanan berdasarkan hubungan harus dilakukan pada masing-masing segmen pasar dan pelanggan, dari tingkat biasa, relatif, bertanggung jawab, proaktif sampai kemitraan penuh. Azwar (1996) berpendapat masalah mutu akan muncul apabila unsur masukan, proses, lingkungan serta keluaran menyimpang dari standar yang telah ditetapkan.
1.      Model Mutu Pelayanan
Suatu cara perusahaan jasa untuk tetap dapat unggul bersaing adalah memberikan jasa dengan kualitas yang lebih tinggi dari pesaingnya secara konsisten. Harapan pelanggan dibentuk oleh pengalaman masa lalunya, pembicaraan dari mulut ke mulut serta promosi yang dilakukan oleh perusahaan jasa, kemudian dibandingkannya. Pelayanan terhadap suatu model tergantung pada tujuan analisis dan jenis permasalahan. Banyak model yang dapat dipergunakan untuk menganalisis mutu pelayanan membuat mutu pelayanan yang dibutuhkan untuk mencapai mutu pelayanan yang tinggi (Zeitharml, 1990).
Model ini menunjukkan bagaimana berbagai gap dalam proses penyelenggaraan layanan bisa mempengaruhi perkiraan konsumen terhadap mutu pelayanan. Model ini juga berguna bagi manajer dan staf dalam melihat persepsi mereka sendiri sebagai penyedia jasa terhadap kualitas dan menyadari seberapa jauh mereka benar-benar mengerti persepsi konsumen. Dalam menganalisis kualitas dan kepuasan pelayanan, pelanggan akan membandingkan pelayanan yang mereka terima dengan mereka harapkan.

2.      Pengukuran Mutu Pelayanan
Secara hakiki manusia pada dasarnya tidak akan merasa puas. Dalam konteks pengukuran kepuasan konsumen, tidak dapat digunakan ukuran absolut namun sebagai parameter pengukuran ini dapat digunakan beberapa pandangan yang sebagaimana disimpulkan dari literatur dan interview yang sudah divalidasi baik secara personal maupun kelompok. Ada tiga komponen penting atas kepuasan konsumen, yaitu: (1) ringkasan respons afektif yang intensitasnya bervariasi; (2) fokus kepuasan di sekitar pilihan produk, pembelian, dan konsumsi; (3) penentuan waktu yang beragam tergantung situasi, namun umumnya terbatas pada durasi. Menurut Feigenbaum (1996) mutu merupakan satu satunya kekuatan terpenting yang dapat membuahkan keberhasilan baik di dalam organisasi dan pertumbuhan perusahaan baik di skala besar maupun di skala kecil, hal ini juga bisa diterapkan di dalam penyelenggaraan pelayanan mutu pendidikan.
B.     Kepuasan Pelanggan
Kepuasan seorang pelanggan atau kepuasan dari para pelanggan merupakan suatu tingkat perasaan pelanggan setelah pelanggan membandingkan kinerja / hasil yang dirasakannya sesuai dengan harapan yang diinginkannya. Jadi tingkat kepuasan pelanggan itu berbeda satu dengan lainnya. Tingkat kepuasan pelanggan merupakan fungsi dari perbedaan antara kinerja yang dirasakan dan harapan yang diinginkannya. Jika kinerja yang dilakukannya di bawah harapan yang diinginkannya maka secara otomatis pelanggan merasa kecewa, dan bila kinerja dilakukan sesuai dengan harapan yang diinginkannya, maka pelanggan merasa puas, dan jika kinerja dilakukan melebihi harapan yang diinginkannya maka jelaslah pelanggan merasa sangat puas sekali.
Pada dasarnya pengertian kepuasan pelanggan mencakup adanya perbedaan antara tingkat kepentingan dan kinerja yang ada dengan hasil yang akan diharapkan dan dirasakannya. Kepuasan pelanggan mencakup perbedaan antara harapan dan kinerja atau hasil yang diharapkan. Jika di sini kinerja tidak mencukupi harapan, maka pelanggan akan merasa tidak puas. Aritonang (2005) berpendapat bahwa kepuasan pelanggan yang diartikan sebagai hasil penilaian pelanggan terhadap apa yang diharapkannya dengan membeli dan mengonsumsi suatu produk. Ada dua ukuran mengenai kepuasan pelanggan yaitu: (1) harapan pelanggan yang berfungsi sebagai pembanding atas suatu ukuran; dan (2) kepuasan pelanggan yang dikaitkan dengan kinerja produk.
Selain itu pelanggan akan merasa puas jika produk yang dibeli dan dikonsumsi berkualitas. Di sini dikatakan bahwa ukuran suatu kualitas dapat bersifat obyektif maupun subyektif. Pada umumnya sekarang orang sering menggunakan ukuran subyektif karena berorientasi pada persepsi dan sikap dari pada kriteria yang lebih obyektif dan konkret. Adapun alasan kenapa orang menggunakan pengukuran subyektif dikarenakan indeks obyektif tidak dapat diterapkan untuk menilai kualitas jasa. Hal ini dipertegas oleh Kotler (1999) yang menyatakan customer satisfaction is a person’s feeling of pleasure or disappointment resulting from comparing a product’s, received performance (or outcome) in relations to the person’s expectation.
Kepuasan pelanggan merupakan perasaan senang atau kecewa seseorang sebagai hasil perbandingan antara prestasi atau produk yang dirasakan dan yang diharapkannya. Jika dikaitkan atau diterapkan kepuasan pelanggan pada bidang pendidikan, maka penilaian terhadap aspek setiap komponen belajar-mengajar khususnya kinerja dosen dalam mengelola proses belajar-mengajar memerlukan sumber informasi data dari berbagai pihak terutama sumber data yang terlibat dalam proses belajar-mengajar. Sementara itu Sudjana (1999) berpendapat penilaian hasil proses belajar-mengajar di dalam pendidikan terbagi dalam tiga kelompok yaitu: (1) tenaga pendidik; (2) mahasiswa itu sendiri; dan (3) para orang tua dan masyarakat.
Perlu diperhatikan pula bahwa informasi dari mahasiswa terutama yang berkenaan dengan keadaan dan karakteristik mahasiswa itu sendiri. Pandangan mahasiswa mengenai kemampuan dosen mengajar, pandangan mahasiswa mengenai cara belajar di kampus, dan pandangan mahasiswa mengenai hasil belajar-mengajar serta pelayanan yang diterima oleh mahasiswa, merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan yang merupakan faktor yang menentukan penilaian dan pengukuran kepuasan pelanggan di bidang pendidikan.
Menurut Zeitharml (1990) terdapat 10 aspek kualitas layanan secara umum, yaitu: (1) tangible, penampilan fisik peralatan. personalia dan materi komunikasi; (2) reliability, kemampuan untuk melaksanakan layanan yang dijanjikan secara bertanggung jawab dan akurat; (3) responsivenes, keinginan untuk membantu pengguna dan menyediakan layanan yang cepat; (4) competency, penguasaan kemampuan dan pengetahuan yang diperlukan untuk melaksanakan pelayanan; (5) courtesy, sopan santun, respek dan bersahabat dari personalia penghubung; (6) credibility, dapat dipercaya dan pemurah dari penyedia layanan; (7) security, bebas dari bahaya risiko dan keraguan; (8) acces, kemudahan dihubungi dan dedikasi; (9) communication, menjaga pengguna selalu diinformasikan dalam bahasa yang mudah dimengerti, dan selalu mau mendengarkan keluhan pengguna; dan (10) understanding the costumer, selalu berusaha untuk mengerti pengguna dan kebutuhannya.
Kesepuluh aspek ini dapat memberikan gambaran kualitas yang dapat memuaskan pelanggan atau pengguna. Lebih lanjut Zeithaml (1990) mengidentifikasi penyebab kegagalan dalam kualitas layanan dalam lima kesenjangan antara persepsi pelanggan dan penyedia yaitu bentuk kesenjangan dalam hal: (1) antara layanan yang diharapkan dan persepsi manajemen ekspektasi pengguna; (2) antara kualitas layanan dan persepsi pengguna; (3) antara hasil penyerahan layanan dan spesifikasi kualitas layanan; (4) antara hasil penyerahan layanan dan nilai komunikasi eksternal pengguna; dan (5) antara layanan yang dirasakan dan yang diharapkan.
Indikator mengukur suatu mutu jasa pelayanan oleh Zeitharml dapat diuraikan pada 10 dimensi dasar, yang diringkas menjadi 5 dimensi pengukuran dan memberi kesan bahwa 10 dimensi yang asli adalah saling tumpang tindih satu sama lain, sehingga Parasuraman telah membuat sebuah skala multiitem yang diberi nama service quality / serqual (Shahin, 2009). Menurut Parasuraman terdapat lima dimensi kualitas pelayanan (serqual), yaitu: (1) dimensi berwujud (tangibles), untuk mengukur penampilan fasilitas fisik, peralatan, karyawan dan sarana komunikasi; (2) dimensi keandalan (reliability), untuk mengukur kemampuan perusahaan dalam memberikan jasa yang tepat dan dapat diandalkan; (3) dimensi daya tanggap (responsivenessss), menunjukan kesediaan untuk membantu dan memberikan pelayanan kepada pelanggan dengan cepat; (4) dimensi jaminan (assurance), untuk mengukur kemampuan dan keramahan karyawan serta sifat dapat dipercaya; dan (5) dimensi empati (emphaty), untuk mengukur pemahaman karyawan terhadap kebutuhan pelanggan serta perhatian yang diberikan oleh karyawan (Shahin, 2009).
Pada dasarnya pengertian kepuasan pelanggan mencakup perbedaan antara tingkat kepentingan dan kinerja atau hasil yang dirasakan. Pengertian tersebut dapat diterapkan dalam penilaian kepuasan atau ketidakpuasan terhadap satu lembaga tertentu karena keduanya berkaitan erat dengan konsep kepuasan pelanggan, sebagaimana diilustrasikan pada Gambar 1. Kepuasan pelanggan mencakup perbedaan antara harapan dan kinerja atau hasil yang diharapkan. Jika kinerja tidak mencukupi harapan, maka pelanggan tersebut dianggap tidak puas. (Tjiptono dan Diana, 2003). Untuk menciptakan kepuasan pelanggan, lembaga harus menciptakan dan mengelola suatu sistem untuk memperoleh pelanggan yang lebih banyak dan kemampuan untuk mempertahankan pelanggannya.


Gambar 1 Konsep Kepuasan Pelanggan

 
1.      Metode Penilaian Kepuasan Pelanggan
Penilaian terhadap aspek atau dimensi setiap komponen belajar-mengajar yang telah dijabarkan di atas, khususnya kinerja dosen dalam mengelola proses belajar-mengajar memerlukan sumber data dari berbagai pihak terutama yang terlibat dalam kegiatan belajar-mengajar. Sudjana (1999) menyatakan sumber data yang diperlukan pada umumnya berasal dari tiga kelompok, yaitu: (1) tenaga kependidikan; (2) mahasiswa itu sendiri; dan (3) para orangtua mahasiswa. Menilai kemampuan mengajar ini dapat digunakan berbagai sumber penilaian, yaitu mahasiswa, kolega/teman sejawat, diri sendiri, alumni, dan catatan administrasi.
Sudjana (1999) menyatakan bahwa informasi dari mahasiswa, terutama berkenaan dengan keadaan dan karakteristik mahasiswa itu sendiri, pandangan mahasiswa mengenai kemampuan dosen mengajar, pandangan mahasiswa mengenai cara belajar di kampus, pandangan mahasiswa mengenai penilaian hasil belajar, kesulitan yang dihadapi mahasiswa dalam belajar, sikap dosen pada waktu mengajar, pelayanan yang diterima mahasiswa dari dosen dan dari kampus pada umumnya dan hasil belajar yang dicapainya. Lebih lanjut Sudjana mengemukakan khususnya metode penilaian rating scale untuk mahasiswa dapat digunakan sebagai alat untuk menggali data tentang kemampuan mengajar dosen.
Penilaian terhadap kepuasan pelanggan menjadi hal yang sangat esensial bagi setiap organisasi, karena langkah tersebut dapat memberikan umpan balik dan masukan bagi keperluan pengembangan dan implementasi strategi dalam peningkatan kepuasan pelanggan. Pada prinsipnya kepuasan pelanggan itu dapat diukur dengan berbagai macam metode dan teknik, misalnya kuesioner yang diisi oleh pelanggan, observasi langsung atau partisipasi, melalui telepon atau pos, focus group, wawancara semiterstruktur/terstruktur, dan wawancara open-ended. Neal dan Lamb berpendapat penelitian mengenai kepuasan pelanggan dilakukan dengan penelitian survei, baik melalui pos, telepon, ataupun wawancara langsung (Tjiptono dan Diana, 2003).
Penilaian kepuasan pelanggan dengan menggunakan metode survei, maka pemberi pelayanan akan memperoleh tanggapan dan umpan balik secara langsung dari pelanggan dan juga memberikan tanda positif bahwa perusahaan menaruh perhatian terhadap para pelanggannya. Adapun beberapa cara yang dapat dilakukan dengan menggunakan metode survei, yakni:
a.       Pengukuran dapat dilakukan secara langsung melalui pertanyaan kepada pelanggan dengan ungkapan sangat tidak puas, puas, cukup puas, puas, dan sangat puas;
b.      Responden diberi pertanyaan mengenai seberapa besar mereka mengharapkan suatu atribut tertentu dan seberapa besar yang mereka rasakan;
c.       Responden diminta menuliskan masalah-masalah yang mereka hadapi yang berkaitan dengan penawaran dari lembaga dan diminta untuk menuliskan perbaikan-perbaikan yang mereka sarankan;
d.      Responden diminta meranking elemen atau atribut penawaran berdasarkan derajat kepentingan setiap elemen dan seberapa baik kinerja lembaga pada masing-masing elemen.

2.      Pengukuran Kepuasan Pelanggan
Mengukur kepuasan pelanggan sangat bermanfaat bagi lembaga dalam rangka mengevaluasi posisi lembaga saat ini dibandingkan dengan pesaing dan pengguna akhir, serta menemukan bagian yang membutuhkan peningkatan. Kotler (1999) mengemukakan beberapa cara lembaga dalam melakukan pengukuran kepuasan pelanggan, adalah:
a.       Complaint and Suggestion System (sistem keluhan dan saran), informasi dari saran dan keluhan ini akan dijadikan data dalam melakukan antisipasi dan pengembangan perusahaan;
b.      Costumer Satisfaction Surveys (survei kepuasan pelanggan) tingkat keluhan konsumen dijadikan data dalam mengukur tentang kepuasan, hal itu bisa melalui survei, pos, teleponfrend, atau angket;
c.       Ghost Shopping (pembeli bayangan), dengan mengirimkan orang untuk melakukan pembelian di perusahaan orang lain maupun di perusahaan sendiri untuk melihat secara jelas keunggulan dan kelemahan pelayanannya;
d.      Lost Customer Analysis (analisis pelanggan yang beralih), yaitu kontak yang dilakukan kepada pelanggan yang telah beralih pada perusahaan lain untuk dijadikan perbaikan kinerja dalam meningkatkan kepuasan.
Keberhasilan dalam mencapai suatu tujuan akan menghasilkan kepuasan. Sehingga dengan timbulnya suatu kepuasan akan menimbulkan motivasi yang baik bagi mahasiswa yang dapat meningkatkan minat keingintahuan terhadap pelajaran lain. Hal ini mempunyai dampak yang positif untuk mencapai prestasi belajar mahasiswa dengan baik.
a.       Ketepatan Waktu (Be on Time)
Keluhan klasik dari mahasiswa bila dosen tidak hadir tepat waktu sudah merupakan hal yang biasa yang dapat diatasi dengan berbagai alasan yang disampaikan oleh dosen. Tetapi hal ini sebenarnya merupakan masalah yang harus cepat diselesaikan bila suatu institusi pendidikan ingin meningkatkan kualitas pelayanannya. Dalam pelaksanaan proses belajar-mengajar, waktu merupakan bagian yang penting untuk menentukan keberhasilan suatu pendidikan. Sehingga perlu diperhitungkan baik secara efektif dan efisiensi sehingga tujuan mata ajaran, tujuan instruksional, dan tujuan institusional dapat tercapai.
Hal ini dapat dibayangkan bila mulai perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi proses belajar-mengajar tidak memperhatikan waktu, maka akan terjadi gangguan bukan saja pada proses belajar-mengajar di kelas, melainkan dapat mempengaruhi seluruh sistem pendidikan yang ada dalam organisasi tersebut. Sebagai contoh apabila dosen masuk terlambat 20 menit, maka pasti mengakhiri kuliah pun menjadi pengambilan waktu dosen lain yang akan mengajar dan seterusnya sampai sistem lain pun terpengaruh. Oleh sebab itu, dosen yang dapat menghargai waktu dengan hadir dan mengakhiri kuliah tepat waktu pada proses belajar-mengajar, maka diharapkan sistem pelayanan pendidikan akan lebih baik dan mahasiswa akan merasa puas.
b.      Keterampilan Penguasaan dan Menjelaskan Materi
Aspek dosen dalam pengajaran, penguasaan, dan menjelaskan materi berarti mengorganisasikan isi pelajaran dalam urutan yang terencana sehingga dengan mudah dapat dipahami oleh peserta didik. Penguasaan dan penyampaian informasi yang terencana dengan baik dan disajikan dengan urutan yang cocok merupakan ciri utama kegiatan penguasaan dan menjelaskan. Dengan kata lain, penguasaan dan menjelaskan adalah kemampuan dosen dalam menyiapkan dan menyajikan informal lisan yang diorganisasikan secara sistematik, yang bertujuan untuk menunjukkan hubungan, misalnya antara sebab dan akibat, antara yang diketahui dengan yang belum diketahui, atau antara hukum (dalil, definisi) yang berlaku umum dengan bukti atau contoh sehari-hari.
Secara umum komponen-komponen keterampilan penguasaan dan menjelaskan materi terbagi tiga unsur, yaitu:
1)      Menganalisis dan merencanakan, hal-hal yang perlu diperhatikan yaitu yang berhubungan dengan isi pesan (materi) dan yang berhubungan dengan penerimaan pesan (mahasiswa);
2)      Menyajikan suatu penjelasan, hal-hal yang perlu diperhatikan ialah kejelasan, penggunaan ilustrasi, dan pemberian tekanan. Kejelasan yaitu dengan kata-kata, kalimat. ungkapan dan volume suara yang baik dan jelas, menghindari kata-kata yang tak perlu memperhatikan bahasa yang baik tata kalimatnya, mendefinisikan istilah baru (bahasa asing) dan menggunakan waktu diam sejenak untuk melihat apakah mahasiswa mengerti apa yang disampaikan. Penggunaan ilustrasi dan contoh yaitu dengan memberikan contoh dan ilustrasi yang jelas, nyata dengan benda-benda yang dapat ditemui mahasiswa dalam kehidupan sehari-hari, bila menjelaskan konsep baru atau konsep yang abstrak/lisan. Pemberian tekanan, yaitu memusatkan perhatian mahasiswa pada masalah pokok dan cara memecahkannya serta mengurangi informasi yang tidak begitu penting dengan tujuan memudahkan belajar, pusatkan perhatian kepada hal-hal yang disampaikan;
3)      Balikan, dalam menyajikan materi, dosen hendaknya memberikan kesempatan kepada mahasiswa untuk menunjukkan pemahamannya dengan memberikan kesempatan mahasiswa atau dosen bertanya tentang materi-materi yang susah dijelaskan, sehingga dapat mengetahui minat dan sikap mahasiswa terhadap materi yang disampaikan.

Slameto (1991) mengemukakan prinsip-prinsip cara mengajar yang harus dilaksanakan seefektif mungkin oleh pendidik, yakni: (1) perhatian, dosen membangkitkan perhatian mahasiswa kepada pelajaran yang diberikan; (2) aktivitas, dosen menimbulkan aktivitas mahasiswa dalam berpikir maupun bertindak; (3) apersepsi, dosen menghubungkan pelajaran yang diberikan dengan pengetahuan yang telah dimiliki mahasiswa atau pengalamannya; (4) peragaan, dengan pemilihan media yang tepat dapat membantu menjelaskan pelajaran yang diberikan dan juga membantu mahasiswa untuk membentuk pengertian yang benar; (5) repetisi, pelajaran yang selalu diulang akan memberikan tanggapan yang jelas dan tidak mudah dilupakan; (6) korelasi, untuk memperluas pengetahuan peserta didik, dosen perlu memperhatikan dan memikirkan hubungan di antara setiap bahan pelajaran; (7) konsentrasi, usaha konsentrasi pelajaran menyebabkan mahasiswa memperoleh pengalaman langsung, mengamati sendiri, untuk menyusun dan menyimpulkan pengetahuan; (8) sosialisasi, bekerja di dalam kelompok dapat juga meningkatkan cara berpikir mereka sehingga dapat memecahkan masalah dengan lebih baik dan lancar; (9) individualisasi, mahasiswa merupakan makhluk individu yang unik, mempunyai perbedaan khas, seperti perbedaan intelegensi, bakat, hobi tingkah laku, watak maupun sikapnya, latar belakang kebudayaan, sosial ekonomi, dan keadaan orangtuanya; dan (10) evaluasi, menggambarkan kemajuan mahasiswa, prestasi, kata-katanya, dan juga dapat menjadi bahan umpan balik untuk perbaikan bagi dosen dan mahasiswa.

c.       Penggunaan Metode dan Media Pengajaran
Media pengajaran/alat bantu adalah setiap benda yang digunakan untuk memperlancar proses belajar-mengajar. Media pengajaran atau alat bantu tersebut diklasifikasikan: (1) alat peraga, yaitu alat bantu untuk memperjelas penyampaian materi seperti Liquid Crytal Display; dan (2) alat pelengkap pengajaran, yaitu alat bantu yang diperlukan untuk berlangsungnya proses belajar-mengajar, seperti kapur tulis. bangku, dan meja. Alat peraga secara sederhana dapat dibedakan atas alat peraga visual, alat peraga audio, dan alat peraga audio-visual. Masing-masing alat peraga ini memiliki intensitas (kemampuan) dalam merangsang timbulnya persepsi seseorang mahasiswa. Sedangkan metode mengajar adalah cara yang digunakan dosen dalam mengadakan hubungan dengan mahasiswa pada saat berlangsungnya pengajaran (Sudjana 1999), oleh karena itu peranan metode mengajar sebagai alat untuk menciptakan proses belajar-mengajar.
Dosen dengan menerapkan metode pengajaran diharapkan tumbuh berbagai kegiatan belajar mahasiswa sehubungan dengan kegiatan mengajar dosen. Berbagai macam metode pengajaran yang dapat digunakan oleh dosen di mana masing-masing metode tidak dapat berdiri sendiri, tetapi dapat digunakan berbagai jenis metode mengajar secara bergantian atau saling bahu membahu satu sama lain, di mana setiap metode memiliki kelemahan dan keuntungannya. Tugas dosen ialah memilih berbagai metode yang tepat untuk menciptakan proses belajar-mengajar yang efektif. Ketepatan penggunaan metode mengajar tersebut sangat bergantung kepada tujuan, isi proses belajar-mengajar dan kegiatan belajar-mengajar. Metode pengajaran yang biasa digunakan, yakni: (1) metode ceramah; (2) metode tanya jawab; (3) metode diskusi; (4) metode tugas belajar dan resitasi; (5) metode kerja kelompok; (6) metode demonstrasi dan eksperimen; (7) metode problem solving; (8) metode latihan; dan (9) metode simulasi.
Ceramah adalah penuturan bahan pelajaran secara lisan. Metode ini tidak senantiasa buruk apabila penggunaannya betul-betul disiapkan dengan baik, didukung dengan dan media, serta memerhatikan batas-batas kemungkinan penggunaannya. Metode tanya jawab adalah metode mengajar yang memungkinkan terjadinya komunikasi langsung yang bersifat dua arah, sebab pada saat yang sama terjadi dialog antara dosen dan mahasiswa. Dosen bertanya mahasiswa menjawab, atau mahasiswa bertanya dosen menjawab. Dalam komunikasi ini terlihat adanya hubungan timbal balik secara langsung antara dosen dan mahasiswa.
Diskusi pada dasarnya adalah tukar menukar informasi, pendapat dan unsur-unsur pengalaman secara teratur dengan maksud untuk mendapat pengertian bersama yang lebih jelas dan lebih teliti tentang sesuatu, atau untuk mempersiapkan dan merampungkan keputusan bersama. Oleh karena itu, diskusi bukan debat karena debat adalah perang mulut, orang beradu argumentasi, beradu paham, dan kemampuan persuasi untuk memenangkannya pahamnya sendiri. Dalam diskusi, tiap orang diharapkan memberikan sumbangan sehingga seluruh kelompok kembali dengan paham yang dibina bersama. Dengan sumbangan saran tiap orang, kelompok diharapkan akan maju dari satu pemikiran yang lain, langkah demi langkah sampai kepada paham terakhir sebagai hasil karya bersama.
Metode tugas belajar dan resitasi tidak sama dengan pekerjaan rumah, tetapi jauh lebih luas. Tugas bisa dilaksanakan di rumah, kampus, dan perpustakaan. Tugas dan resitasi merangsang mahasiswa untuk aktif belajar baik secara individual atau kelompok. Oleh karena itu tugas dapat diberikan secara individual atau kelompok. Metode kerja kelompok mengandung pengertian bahwa mahasiswa sebagai satu kesatuan (kelompok) tersendiri ataupun dibagi atas beberapa kelompok kecil (sub-subkelompok). Demonstrasi dan eksperimen merupakan metode mengajar yang efektif, sebab mahasiswa mencari jawaban dengan usaha sendiri berdasarkan fakta (data). Demonstrasi yang dimaksud adalah metode mengajar yang memperlihatkan proses terjadinya sesuatu.
Metode problem solving bukan hanya sekedar metode mengajar tetapi juga merupakan suatu metode berpikir, sebab dalam problem solving dapat menggunakan metode-metode lainnya dimulai dengan mencari data sampai menarik kesimpulan. Metode latihan digunakan untuk memperoleh suatu ketangkasan atau keterampilan dari apa yang telah dipelajari. Mengingat latihan ini kurang mengembangkan bakat/inisiatif mahasiswa untuk berpikir, maka hendaknya dosen memperhatikan tingkat kewajaran dari metode ini.
Metode simulasi berarti cara untuk menjelaskan sesuatu (bahan pelajaran) melalui pembuatan yang bersifat pura-pura atau melalui proses tingkah laku imitasi atau bermain peranan mengenai suatu tingkah laku yang dilakukan seolah-olah dalam keadaan yang sebenarnya. Penerapan metode dalam kegiatan belajar-mengajar, tidak digunakan sendiri-sendiri tetapi merupakan kombinasi dari beberapa metode, seperti ceramah, tanya jawab, diskusi, tugas, ceramah, demonstrasi, dan eksperimen.

d.      Kemampuan dan Kesempatan Bertanya
Mengajukan pertanyaan dalam proses pembelajaran tidak hanya dimaksudkan untuk mendapatkan jawaban, akan tetapi memiliki maksud tertentu. Oleh sebab itu, dosen harus memiliki keterampilan bertanya secara baik, sehingga pertanyaan yang diajukan sesuai dengan maksudnya. Pentingnya keterampilan bertanya dalam proses pembelajaran dilatarbelakangi oleh beberapa hal. Pertama, latar belakang lingkungan masyarakat dan keluarga kurang membiasakan bertanya. Akibatnya baik dosen maupun mahasiswa kurang terampil dalam mengungkapkan pertanyaan. Kedua, keterampilan bertanya dapat digunakan untuk mengaktifkan proses pembelajaran. Membelajarkan mahasiswa berarti bahwa mahasiswa terlibat aktif dalam proses belajar itu, dan diharapkan terjadi perubahan tingkah laku mahasiswa sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan.
Hal ini berarti, dengan menggunakan keterampilan dasar bertanya, proses dan hasil belajar mahasiswa dapat ditunjang. Dewey (2001) berpendapat bahwa berpikir adalah bertanya. Mahasiswa dengan mengajukan pertanyaan secara berencana, berfungsi untuk berpikir kreatif dan kritis dalam proses belajar. Cara mengajukan pertanyaan yang berpengaruh positif bagi kegiatan belajar mahasiswa merupakan satu hal yang tidak mudah. Oleh sebab itu, dosen hendaknya berusaha agar memahami dan menguasai penggunaan keterampilan bertanya.
Keterampilan bertanya dibedakan atas keterampilan bertanya tingkat dasar dan bertanya tingkat lanjut. Keterampilan bertanya tingkat dasar mempunyai beberapa komponen dasar yang perlu diterapkan dalam mengajukan segala jenis pertanyaan. Bertanya tingkat lanjutan merupakan lanjutan dari keterampilan bertanya dasar dan berfungsi untuk mengembangkan kemampuan berpikir mahasiswa, memperbesar partisipasinya dan mendorong agar mahasiswa dapat mengambil inisiatif sendiri.

e.       Keterampilan Variasi dan Komunikasi
Keterampilan dasar mengajar mengadakan variasi dapat diartikan sebagai suatu proses perubahan dalam pengajaran yang menyangkut tiga komponen, yaitu (1) gaya mengajar yang bersifat personal; (2) penggunaan media dan bahan-bahan instruksional, dan (3) pola serta tingkat interaksi dosen-mahasiswa (Hasibuan, 1998). Proses belajar perlu adanya variasi, karena penggunaan variasi, dapat: (1) menimbulkan dan meningkatkan perhatian mahasiswa terhadap aspek-aspek belajar-mengajar yang relevan; (2) meningkatkan kemungkinan berfungsinya motivasi dan rasa ingin tahu melalui kegiatan penelitian dan penjelajahan; (3) membentuk sikap positif terhadap dosen dan kampus; dan (4) kemungkinan pada mahasiswa dapat mendapat pelayanan secara individual sehingga memberi kemudahan belajar.
Komponen-komponen keterampilan mengadakan variasi menurut Hasibuan (1988) yakni: (1) variasi dalam gaya mengajar dosen, yang terdiri dari penggunaan variasi suara, pemusatan perhatian, kesenyapan, mengadakan kontak pandang, gerakan badan dan mimik, pergantian posisi dosen dalam kelas; (2) variasi dalam penggunaan media dan bahan pengajaran, yang terdiri,dari variasi alat/bahan yang dapat dilihat, alat/bahan yang dapat didengar, alat/bahan yang dapat diraba dan dimanipulasi; dan (3) variasi pola interaksi dan kegiatan mahasiswa, yang terdiri dari mendengarkan dosen, diskusi dalam kelas, mahasiswa berdiskusi dalam kelompok kecil, dan mahasiswa mengerjakan tugas secara individual.
Sementara itu Sallis (2002) berpendapat bahwa dalam perkuliahan bermutu yang dihasilkan oleh perguruan tinggi pada dasarnya adalah jasa kependidikan, yang disajikan kepada pelanggannya, terutama para mahasiswa. Jasa itu berupa perkuliahan. Apabila perkuliahan memuaskan mahasiswa mereka akan tertarik dan menghadirinya.

f.       Evaluasi Hasil Pembelajaran
Evaluasi merupakan perkiraan sampai sejauh manakah peserta didik itu maju ke arah tujuan yang ingin dicapai. Evaluasi pendidikan ialah taraf pelaksanaan yang di dalamnya dosen memeriksa dan memberi penilaian terhadap bahan pengetahuan dan kecakapan yang telah dianjurkan kepada mahasiswa. Wrighstone mendefinisi evaluasi ialah perkiraan pertumbuhan dan perkembangan mahasiswa menuju tujuan atau nilai dalam kurikulum (Sudjana, 1999). Berdasarkan pendapat tersebut disimpulkan tujuan evaluasi adalah: (1) mengetahui kemajuan atau prestasi belajar mahasiswa; dan (2) mengetahui tingkat efisiensi metode penyajian pengajaran.
Pendidikan mengenal evaluasi produk dan evaluasi proses. Evaluasi produk ialah evaluasi terhadap hasil yang diperoleh mahasiswa setelah mengikuti proses belajar-mengajar, yang memusatkan perhatian pada produk atau efek yang dihasilkan oleh mahasiswa, sesuai dengan tujuan instruksional yang seharusnya dicapai. Peranan evaluasi dalam upaya pendidikan sangat penting. Oleh sebab itu, seluk beluknya mendapat perhatian sepenuhnya, untuk mengetahui kemampuan yang dimiliki oleh mahasiswa, dosen harus memiliki informasi mengenai mahasiswa, yang diperoleh melalui evaluasi, yang dilakukan oleh dosen. Evaluasi memberikan informasi mengenai hasil belajar yang telah dimiliki oleh mahasiswa. Dengan informasi tersebut dosen dapat menentukan apakah tujuan yang telah ditetapkan itu telah tercapai atau belum.
Kepuasan mahasiswa merupakan suatu bentuk penilaian berdasarkan perasaannya terhadap pelaksanaan proses belajar-mengajar oleh dosen untuk mengevaluasi sampai berapa jauh tingkat kualitas pelayanan pembelajaran yang telah dilakukan, sehingga dapat menimbulkan rasa puas dan tidak puas. Menganalisa tingkat kepuasan mahasiswa untuk menjawab rumusan masalah penelitian, maka digunakan Importance Performance Analysis atau Analisis Tingkat Kepentingan dan Kinerja Kepuasan Pelanggan (Supranto, 2006).

C.    Manajemen Mutu Pendidikan
Kajian tentang manajemen pendidikan, tidak bisa melepaskan diri dari pengertian ilmu administrasi pada umumnya. Bahkan dapat dikatakan bahwa manajemen pendidikan adalah penggunaan atau aplikasi dari administrasi ke dalam pendidikan. Kata administrasi berarti mengatur, memelihara. Sehingga kata administrasi dapat diartikan sebagai suatu keinginan atau usaha untuk membantu, melayani, mengarahkan atau mengatur semua kegiatan di dalam mencapai suatu tujuan (Purwanto, 2007).
Sedangkan pengertian manajemen pendidikan adalah segenap proses pengerahan dan pengintegrasian segala sesuatu, baik personel, spiritual, maupun material yang bersangkut paut dengan pencapaian dan tujuan pendidikan. Manajemen pendidikan adalah segala usaha dari orang-orang yang terlibat di dalam proses pencapaian tujuan pendidikan yang diorganisasikan, diintegrasikan dan dikoordinasikan secara efektif (Purwanto, 2007).

D.     Sarana dan Prasarana Pendidikan
Guna meningkatkan kualitas, kepuasan, dan mutu suatu lembaga pendidikan agar dikenal baik oleh mahasiswanya maupun oleh masyarakat, di sini yang terpenting adalah adanya sarana dan prasarana yang lengkap dan memadai. Dengan sarana dan prasarana yang ada di lembaga pendidikan yang semakin lengkap dan representatif serta nyaman bagi peserta didik dan para pengajarnya seperti adanya laboratorium, perpustakaan, ruang komputer, laboratorium bahasa, gedung serba guna, gedung untuk pengembangan bakal dan minat, gedung untuk olah raga, gedung kelas yang representatif dan nyaman, gedung alumni, peralatan aktualisasi dan media ekspresi dan fasilitas lain akan meningkatkan mutu serta kualitas lembaga pendidikan tersebut.
Berpedoman pada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sitem Pendidikan Nasional pasal 45 bahwa setiap satuan pendidikan formal dan nonformal menyediakan sarana dan prasarana yang memenuhi keperluan pendidikan sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan potensi fisik, kecerdasan intelektual, sosial, emosional, dan kejiwaan peserta didik. Hal ini sering dilihat terdapatnya perbedaan yang antara lembaga pendidikan yang berada di pelosok daerah terpencil dengan lembaga pendidikan yang berada di kota besar yang memiliki sarana dan prasarana yang lengkap. Di sinilah sering terjadinya diskriminasi dan persaingan tidak seimbang antarlembaga pendidikan. Seharusnya pemerintah dalam hal ini mengambil suatu tindakan untuk mengatasi kesenjangan tersebut agar kesenjangan tersebut dapat diatasi dan kualitas, kepuasan serta mutu pendidikan dapat terjaga dari mulai daerah terpencil sampai kota-kota besar sehingga Indonesia dapat bersaing dengan negara-negara lainnya.

E.    Manajemen Sarana dan Prasarana Pendidikan
Manajemen sarana dan prasarana pendidikan merupakan hal yang sangat menunjang atas tercapainya suatu tujuan dari pendidikan, sebagai seorang personal pendidikan, pendidik dituntut untuk menguasai dan memahami administrasi sarana dan prasarana, guna meningkatkan daya kerja yang efektif dan efisien serta mampu menghargai etika kerja sesama personal pendidikan, sehingga akan tercipta keserasian, kenyamanan yang dapat menimbulkan kebanggaan dan rasa memiliki, baik dari warga kampus maupun warga masyarakat sekitarnya. Lingkungan pendidikan akan bersifat positif atau negatif itu tergantung pada pemeliharaan administrasi sarana dan prasarana itu sendiri.
Secara etimologis (bahasa) sarana berarti alat langsung untuk mencapai tujuan pendidikan, misalnya: ruang, buku, perpustakaan, dan laboratorium. Sedangkan prasarana berarti alat tidak langsung untuk mencapai tujuan dalam pendidikan, misalnya: lokasi/tempat, bangunan kampus, lapangan olahraga, dan uang. Disimpulkan manajemen sarana dan prasarana pendidikan itu adalah semua komponen yang secara langsung maupun tidak langsung menunjang jalannya proses pendidikan untuk mencapai tujuan dalam pendidikan itu sendiri.
Secara mikro pimpinan lembaga yang bertanggung jawab atas pengadaan sarana dan prasarana pendidikan yang di perlukan di sebuah kampus. Sedangkan manajemen sarana dan prasarana itu sendiri mempunyai peranan yang sangat penting bagi terlaksananya proses pembelajaran di kampus serta menunjang tercapainya tujuan pendidikan di sebuah kampus, baik tujuan secara khusus maupun tujuan secara umum. Beberapa konsep mengenai manajemen sarana dan prasarana, yakni:
1.      Berdasarkan Konsepsi Lama dan Modern
Menurut konsepsi lama administrasi sarana dan prasarana itu di artikan sebagai sebuah sistem yang mengatur ketertiban peralatan yang ada di kampus. Menurut konsepsi modern administrasi sarana dan prasarana itu adalah suatu proses seleksi dalam penggunaan sarana dan prasarana yang ada di kampus. Dosen menurut konsepsi lama bertugas untuk mengatur ketertiban penggunaan sarana kampus, menurut konsepsi modern dosen bertugas sebagai administrator dan bertanggung jawab kepada pimpinan kampus.

2.      Berdasarkan Pandangan Pendekatan Operasional
Berdasarkan pendekatan operasional tertentu sarana dan prasarana dibagi menjadi enam bagian yaitu: (1) seperangkat kegiatan dalam mempertahankan ketertiban penggunaan sarana dan prasarana di kampus melalui penggunaan disiplin (pendekatan otoriter); (2) seperangkat kegiatan untuk mempertahankan ketertiban sarana dan prasarana dengan melalui pendekatan intimidasi; (3) seperangkat kegiatan untuk memaksimalkan penggunaan sarana dan prasarana dalam proses pembelajaran (pendekatan permisif); (4) seperangkat kegiatan untuk mengefektifkan penggunaan sarana dan prasarana sesuai dengan program pembelajaran; (5) seperangkat kegiatan untuk mengembangkan sarana dan prasarana; dan (6) seperangkat kegiatan untuk mempertahankan keutuhan dan keamanan dari sarana dan prasarana yang ada.

3.      Komponen Manajemen Sarana dan Prasarana Pendidikan
Komponen manajemen sarana dan prasarana mencakup: (1) lahan; (2) ruang perabot; (3) alat dan media pendidikan; dan (4) buku atau bahan ajar. Lahan yang di perlukan untuk mendirikan lembaga pendidikan harus di sertai dengan tanda bukti kepemilikan yang sah dan lengkap (sertifikat), adapun jenis lahan tersebut harus memenuhi beberapa kriteria, yakni: (1) lahan terbangun adalah lahan yang di atasnya berisi bangunan; (2) lahan terbuka adalah lahan yang belum ada bangunan di atasnya; (3) lahan kegiatan praktik adalah lahan yang di gunakan untuk pelaksanaan kegiatan praktik; dan (4) lahan pengembangan adalah lahan yang di butuhkan untuk pengembangan bangunan dan kegiatan praktik. Lokasi kampus harus berada di wilayah pemukiman yang sesuai dengan cakupan wilayah sehingga mudah di jangkau dan aman dari gangguan bencana alam dan lingkungan yang kurang baik.
Secara umum jenis ruang ditinjau dari fungsinya dapat dikelompokkan, yakni: (1) ruang pendidikan, berfungsi untuk menampung proses kegiatan belajar-mengajar teori dan praktik antara lain: ruang teori dan ruang perpustakaan; ruang laboratorium dan ruang kesenian; dan ruang olah raga dan ruang keterampilan; (2) ruang administrasi, berfungsi untuk melaksanakan berbagai kegiatan kantor, seperti ruang dekan, ketua program studi, ruang tata usaha, ruang dosen, dan gudang; dan (3) ruang penunjang, berfungsi untuk menunjang kegiatan yang mendukung proses kegiatan belajar-mengajar antara lain: ruang ibadah dan ruang serbaguna; ruang koperasi mahasiswa, ruang konseling, dan uang kesehatan, dan ruang senat, dan ruang kamar mandi.
Secara umum perabot kampus mendukung tiga fungsi yaitu: fungsi pendidikan, fungsi administrasi, dan fungsi penunjang. Jenis perabot lembaga pendidikan dikelompokkan menjadi tiga macam, yakni: (1) perabot pendidikan, semua jenis mebel yang di gunakan untuk proses kegiatan belajar-mengajar, adapun jenis, bentuk, dan ukurannya mengacu pada kegiatan itu sendiri; (2) perabot administrasi, perabot yang di gunakan untuk mendukung kegiatan kantor. jenis perabot ini hanya tidak baku/terstandar secara internasional; dan (3) perabot penunjang, perabot yang digunakan/dibutuhkan dalam ruang penunjang. seperti perabot perpustakaan, perabot klinik, dan perabot senat.
Alat dan media pendidikan digunakan dalam setiap perkuliahan. Setiap perkuliahan sekurang-kurangnya memiliki satu jenis alat peraga praktik yang sesuai dengan keperluan pendidikan dan pembelajaran, sehingga dengan demikian proses pembelajaran tersebut akan berjalan dengan optimal. Buku atau bahan ajar adalah sekumpulan bahan pelajaran yang di gunakan dalam kegiatan proses belajar-mengajar. Bahan ajar ini terdiri dari: (1) buku pegangan, di gunakan oleh dosen dan peserta didik sebagai acuan dalam pembelajaran yang bersifat normatif, adaptif, dan produktif; (2) buku pelengkap, digunakan oleh dosen untuk memperluas dan memperdalam penguasaan materi; (3) buku sumber, digunakan oleh dosen dan peserta didik untuk memperoleh kejelasan informasi mengenai suatu bidang ilmu/keterampilan; (4) buku bacaan, digunakan oleh dosen dan peserta didik sebagai bahan bacaan tambahan (nonfiksi) untuk memperluas pengetahuan dan wawasan serta sebagai bahan bacaan (fiksi) yang bersifat relatif.
4.      Hubungan Sarana dan Prasarana dengan Program Pengajaran
Jenis peralatan dan perlengkapan yang disediakan lembaga pendidikan dan cara-cara administrasinya mempunyai pengaruh besar terhadap proses belajar-mengajar. Persediaan yang kurang dan tidak memadai akan menghambat proses belajar-mengajar, demikian pula administrasinya yang jelek akan mengurangi kegunaan alat-alat dan perlengkapan tersebut, sekalipun peralatan dan perlengkapan pengajaran itu keadaannya istimewa. Namun yang lebih penting dari itu semua adalah penyediaan sarana di lembaga pendidikan disesuaikan dengan kebutuhan peserta didik serta kegunaan hasilnya di masa mendatang.

5.      Pemeliharaan Sarana dan Prasarana Pendidikan
Pemeliharaan merupakan kegiatan penjagaan atau pencegahan dari kerusakan suatu barang, sehingga barang tersebut selalu dalam kondisi baik dan siap pakai. Pemeliharaan dilakukan secara kontinu terhadap semua barang-barang inventaris kadang-kadang dianggap sebagai suatu hal yang sepele, padahal pemeliharaan ini merupakan suatu tahap kerja yang tidak kalah pentingnya enggan tahap-tahap yang lain dalam administrasi sarana dan prasarana. Sarana dan prasarana yang sudah dibeli dengan harga mahal apabila tidak dipelihara maka tidak dapat dipergunakan.
Pemeliharaan dimulai dari pemakai barang, yaitu dengan berhati-hati dalam menggunakannya. Pemeliharaan yang bersifat khusus harus dilakukan oleh petugas profesional yang mempunyai keahlian sesuai dengan jenis barang yang dimaksud. Pelaksanaan barang inventaris meliputi: perawatan, pencegahan kerusakan, penggantian ringan. Pemeliharaan berbeda dengan rehabilitasi, rehabilitasi adalah perbaikan berskala besar dan dilakukan pada waktu tertentu.
6.      Fungsi Manajemen Sarana dan Prasarana
Selain memberi makna penting bagi terciptanya dan terpeliharanya kondisi yang baik di dalam penyelenggaraan pendidikan yang optimal manajemen sarana dan prasarana di lembaga pendidikan berfungsi, yakni: (1) memberi dan melengkapi fasilitas untuk segala kebutuhan yang di perlukan dalam proses belajar-mengajar; dan (2) memelihara agar tugas-tugas mahasiswa yang di berikan oleh dosen dapat terlaksana dengan lancar dan optimal.
Fungsi manajemen yang di pandang perlu dilaksanakan secara khusus oleh pimpinan lembaga pendidikan ialah perencanaan. Perencanaan sebagai suatu proses penentuan dan penyusunan rencana dan program kegiatan yang akan di lakukan pada masa yang akan datang secara terpadu dan sistematis berdasarkan landasan, prinsip dasar, dan data yang terkait serta menggunakan sumber daya lainnya dalam rangka mencapai tujuan yang telah di tetapkan sebelumnya. Rencana tersebut hendaknya memiliki sifat-sifat, yakni: harus jelas, konkret, efektif, dan berdaya guna.

7.      Tujuan Manajemen Sarana dan Prasarana
Tujuan dari manajemen saran dan prasarana adalah tidak lain agar semua kegiatan tersebut mendukung tercapainya tujuan pendidikan. Manajemen sarana dan prasarana semakin lama dirasakan semakin rumit karena pendidikan juga menyangkut masyarakat atau orangtua peserta didik, yang terlibat langsung dalam pendidikan tersebut. Oleh karena itu apabila manajemen sarana dan prasarana berjalan dengan baik, maka semakin yakin pula bahwa tujuan pendidikan akan tercapai dengan baik. Mengingat lembaga pendidikan merupakan subsistem pendidikan nasional maka tujuan dari manajemen sarana dan prasarana bersumber dari tujuan pendidikan nasional itu sendiri. Sedangkan subsistem manajemen sarana dan prasarana dalam lembaga pendidikan bertujuan untuk menunjang tercapainya tujuan pendidikan di lembaga tersebut, baik tujuan khusus maupun tujuan secara umum.
Tujuan dari manajemen sarana dan prasarana adalah: (1) mewujudkan situasi dan kondisi lembaga pendidikan yang baik sebagai lingkungan belajar maupun sebagai kelompok belajar, yang memungkinkan peserta didik untuk mengembangkan kemampuan semaksimal mungkin; (2) menghilangkan berbagai hambatan yang dapat menghalangi terwujudnya interaksi dalam pembelajaran; (3) menyediakan dan mengatur fasilitas serta perabot belajar yang mendukung dan memungkinkan mahasiswa belajar sesuai dengan lingkungan sosial, emosional, dan intelektual mahasiswa dalam proses pembelajaran; dan (4) membina dan membimbing mahasiswa sesuai dengan latar belakang sosial, ekonomi, budaya serta sifat- sifat individunya.

D.    Kerangka Konseptual Kualitas Pelayanan Pendidikan
Salah satu faktor yang menentukan kualitas pelayanan kampus ataupun lembaga lainnya adalah kemampuan dalam memberikan pelayanan yang berkualitas bagi pengguna jasa / pelanggan. Sesuai dengan filosofi Manajemen Mutu Terpadu, maka pendidikan dipandang sebagai jasa dan usaha lembaga pendidikan sebagai industri jasa, bukan proses produksi. Oleh sebab itu, kampus sebagai lembaga pendidikan harus memikirkan tentang pelanggan-pelanggan yang mempunyai berbagai kebutuhan dan tentang bagaimana memuaskan pelanggan tersebut.
Salah satu faktor yang menentukan kepuasan pelanggan adalah kualitas pelayanan yang terdiri dari 5 dimensi pelayanan, yakni: reliability, responsiveness, assurance, empathy, dan tangible (Gambar 2.2). Kualitas pelayanan pendidikan bersumber dari SDM yaitu dosen dan staf, serta fasilitas (sarana-prasarana) pendidikan yang tersedia. Semakin tinggi kualitas pelayanan, semakin puas pelanggan. Kualitas pelayanan cukup maka harapan pelanggan terpenuh, tetapi bila kualitas pelayanan kurang maka pelanggan tidak puas. Perbedaan kualitas pelayanan pendidikan di lembaga pendidikan dimungkinkan oleh berbedanya jenis atau karakter dari masing-masing unit kerja.
Dimensi kualitas sangat memengaruhi mahasiswa di dalam mengikuti perkuliahan di suatu lembaga pendidikan. Pengaruh yang paling mendasar untuk mahasiswa adalah dalam hal pelayanan pendidikan. Pelayanan sering dikenal dengan istilah service yaitu melakukan sesuatu bagi orang lain, service bisa dilakukan baik oleh individual maupun kelompok orang. Istilah service mencerminkan suatu produk yang tidak berwujud (intangible).
Intangible adalah suatu pelayanan / jasa / service yang secara umum tidak bisa dilihat, dirasa, dicium, didengar, atau diraba. Karena jasa itu bersifat tidak dapat dilihat biasanya lebih sulit untuk dievaluasi, jadi untuk mengantisipasi hal tersebut yang perlu diperhatikan dalam dimensi kualitas tersebut adalah tempat (place), orang (people), peralatan (equipment), bahan materi yang tidak lengkap, komunikasi yang tidak lancar dan masih ada faktor lainnya yang membuat pelayanan mengalami gap / hambatan.
Pelayanan pendidikan merupakan intangible / jasa yang tidak bisa dilihat dan salah satu faktor yang terpenting untuk menuju sukses tidaknya mahasiswa dalam mengikuti kuliah di lembaga pendidikan adalah adanya pelayanan pendidikan yang terbaik bagi mahasiswanya. Selain itu dengan pelayanan pendidikan yang terbaik dan yang sesuai dengan kualitas serta kinerja yang baik akan mengurangi adanya gap atau celah-celah yang sering terjadi dalam setiap lembaga pendidikan, di mana celah-celah tersebut menjadi masalah yang sangat penting dan sangat berpengaruh di lembaga pendidikan.
Pengaruh tersebut timbul dari tempat, dari pengurus/orang, dan peralatan di lembaga pendidikan yang kurang profesional. Untuk mengatasi adanya celah-celah atau gap yang mengakibatkan mahasiswa mengalami kesulitan dalam menuntut pendidikan salah satunya adalah pelayanan pendidikan yang tidak profesional dan tidak berkualitas diubah menjadi pelayanan pendidikan yang berkualitas dan profesional. Jika pelayanan pendidikan berkualitas dan profesional, maka akan mempengaruhi harapan dan perasaan bagi mahasiswa untuk semangat dalam mengikuti kuliah di lembaga pendidikan. Pelayanan pendidikan sangat berpengaruh bagi peserta didik di lembaga pendidikan. Kerangka konseptual penelitian diilustrasikan seperti Gambar 2.


Gambar 2 Kerangka Konseptual Penelitian



1.      Pelayanan Pendidikan yang Diharapkan oleh Peserta Didik
Lembaga pendidikan merupakan suatu lembaga jasa yang salah satunya ada unsur manusia, di mana manusia yang ada di lembaga pendidikan tersebut berfungsi untuk mendidik seseorang/kelompok orang sesuai dengan yang dicita-citakannya. Untuk hal tersebut perlu adanya suatu kualitas pelayanan yang sangat baik dan bermutu serta profesional dari manusia yang berada dalam lembaga pendidikan tersebut. Adanya suatu pelayanan pendidikan yang profesional dan berkualitas yang dilakukan oleh lembaga pendidikan maka secara langsung maupun tidak langsung akan mempengaruhi kualitas pendidikan mahasiswa yang dihasilkannya.
Setiap mahasiswa maupun orangtua peserta didik akan selalu mengharapkan suatu pelayanan yang baik dari lembaga pendidikan yang dimasuki anaknya, dimana dengan suatu pelayanan pendidikan yang baik mahasiswa berharap segala usaha dalam mengikuti kuliah di lembaga pendidikan dapat berjalan dengan lancar, tepat waktu, dan hasilnya dapat diterapkan, dan dipraktikkan di masyarakat.

2.      Pelayanan Pendidikan yang Dirasakan oleh Peserta Didik
 Pelayanan pendidikan termasuk suatu jasa dan jasa tidak bisa diamati secara fisik namun jasa dapat dirasakan, dan jasa pelayanan pendidikan yang baik dan profesional akan menjawab seberapa jauh kepuasan dapat diraih dan dirasakan oleh mahasiswanya. Di dalam pelayanan jasa pendidikan dimensi yang sangat berkaitan adalah dimensi peralatan dan fasilitas yang digunakan serta personel dan materi komunikasi yang digunakan apakah sudah sesuai dengan standar yang telah diterapkan dan ditentukan oleh undang-undang yang diatur oleh negara.
Adanya peralatan dan fasilitas penunjang di lembaga pendidikan yang lengkap dan pelayanan yang profesional hal ini akan dapat dirasakan oleh mahasiswanya karena dengan hal tersebut segala aktivitas dan tugas mahasiswa dapat berjalan dan terlaksana dengan baik dan hasilnya dapat dirasakan oleh mahasiswanya sendiri dengan demikian mahasiswa dapat segera selesai dari kuliahnya dan dapat merasakan hasil jerih payahnya dengan mempraktikkan segala ilmu yang didapatkannya di dalam kuliah di lembaga pendidikan tersebut di masyarakat.
Sehingga agar lembaga pendidikan dapat sukses dan berhasil serta menghasilkan mahasiswa yang berguna bagi masyarakat, maka yang paling utama di sini adalah celah gap yang ada di dalam lembaga pendidikan tersebut harus di minimalkan sekecil mungkin supaya tidak mengganggu kelancaran proses belajar-mengajar. Dengan diminimalkan celah/gap pada faktor pelayanan pendidikan kepada mahasiswanya hal tersebut akan meningkatkan mutu dan kualitas dan hasil proses belajar-mengajar mahasiswanya, sehingga mahasiswa akan semakin puas dengan apa yang diharapkan dan apa yang dirasakan dan lama kelamaan, dan gap tersebut akan hilang dengan sendirinya jika pelayanan pendidikan terus ditingkatkan dan diperbaiki setiap waktu.

DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, S. 2010. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta.

Aritonang, L., R. 2005. Kepuasan Pelanggan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Ary, D., Jacobs, L. C., dan Razavieh, A. Tanpa tahun. Pengantar Penelitian dalam Pendidikan. Terjemahan oleh Arief Furchan. 1982. Surabaya: Usaha Nasional.

Blaikie, N. 2003. Analyzing Quantitative Data from Description to Explanation. London: Sage Publications.

Depdiknas. 2001. Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (Buku 1). Jakarta: Depdiknas.

Dewey, J. 2001. Democracy and Education. Pennsylvania: Pennsylvania State University.

Fiegenbaum, A., V. 1996. Total Quality Control. New York: McGraw-Hill Book.

Gunawan, I. 2010. Hubungan Ketersediaan, Alokasi Penggunaan, dan Ketaatan Peraturan Penggunaan Dana dengan Mutu Pendidikan SMA Negeri Se-Kota Malang. Tesis tidak diterbitkan. Banjarmasin: Program Pascasarjana Universitas Lambung Mangkurat.

Goetsch, D. L., dan Davis, S. 1994. Introduction to Total Quality: Quality, Productivity, Competitiveness. New Jersey: Prentice Hall Internasional, Inc.

Hamdani, A. 2008. Manajemen  Pemasaran Jasa. Jakarta: Salemba Empat.

Kotler, P. 1999. Marketing Management. New Jersey: Prentice Hall Internasional, Inc.

Natalisa, D. 2007. Survey Kepuasan Pelanggan Program Studi Magister Manajemen Universitas Sriwijaya. Jurnal Manajemen dan Bisnis Sriwijaya, 5(9): 83 – 98.

Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, (Online), (http://www.depdiknas.go.id, diakses 26 Maret 2006).

Purwanto, N. 2007. Administrasi dan Supervisi Pendidikan. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Riduwan. 2006. Metode dan Teknik Menyusun Tesis. Bandung: Alfabeta.

Riduwan, dan Kuncoro, E. A. 2007. Cara Menggunakan dan Memaknai Analisis Jalur (Path Analysis). Bandung: Alfabeta.

Sallis, E. 2002. Total Quality Management in Education. London: Kogan Page Ltd.

Santoso, S. 2000. Buku Latihan SPSS Statistik Parametrik. Jakarta: Gramedia.

Setyadin, B. (bsyadin@yahoo.com). 30 Mei 2007. Analisis Jalur. e-mail kepada Imam Gunawan (imamgun@rocketmail.com).

Setyadin, B. 2005a. Dasar-Dasar Penelitian Ilmiah. Modul I disajikan dalam Penataran Tenaga Fungsional Akademik Politeknik Kotabaru, Lembaga Penelitian Universitas Negeri Malang, Kotabaru Kalimantan Selatan, 15 – 22 Februari 2005.

Setyadin, B. 2005b. Desain dan Metode Penelitian Kuantitatif. Modul IV disajikan dalam Penataran Tenaga Fungsional Akademik Politeknik Kotabaru, Lembaga Penelitian Universitas Negeri Malang, Kotabaru Kalimantan Selatan, 15 – 22 Februari 2005.

Shahin, A. 2009. Servqual and Model of Service Quality Gaps: A Framework for Determining and Prioritizing Critical Factors in Delivering Quality Services. Department of Management, University of Isfahan, Iran, (Online), (http://www.proserv.nu, diakses 4 Oktober 2010).

Siagian, S., P. 2004. Teori Motivasi dan Aplikasinya. Jakarta: PT. Rineka Cipta.

Slameto. 1991. Belajar dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya. Jakarta: Rineka Cipta.

Sudarmanto, R. G. 2005. Analisis Regresi Linear Ganda dengan SPSS. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Sudjana, N. 1999. Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Sugiyono. 2004. Metode Penelitian Administrasi. Bandung: CV Alfabeta.

Sugiyono. 2005. Statistika untuk Penelitian. Bandung: CV Alfabeta.

Sugiyono. 2009. Metode Penelitian Pendidikan: Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung: CV Alfabeta.

Supranto, J. 2006. Pengukuran Tingkat Kepuasan Pelanggan untuk Menaikkan Pangsa Pasar. Jakarta: PT. Rineka Cipta.

Syafaruddin. 2002. Manajemen Mutu Terpadu dalam Pendidikan Konsep, Strategi, dan Aplikasi. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia.

Tjiptono, F., dan Diana, A. 2003. Total Quality Management. Yogyakarta: Penerbit Andi.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. 2006. Bandung: Fokus Media.

Usman, H. 2007. Peranan dan Fungsi Tenaga Administrasi Sekolah/Madrasah dan Upaya Mengefektifkannya. Jurnal Tenaga Kependidikan, 2(2):13-29.

Winarsunu, T. 2002. Statistik dalam Penelitian Psikologi dan Pendidikan. Malang: Universitas Muhammadiyah Malang.

Wiyono, B., B. 2004. Metode Penelitian Kuantitatif. Malang: Program SP4 Jurusan Administrasi Pendidikan Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Malang.

Zeitharml, V. A. 1990. Delivering Service Quality: Balancing Customer Perceptions and Expectations. New York: The Free Press.