15 Agustus 2009

KEPEMIPINAN KEPALA SEKOLAH DALAM MENGHADAPI MASALAH PADA TAHUN PERTAMA

Substansi manajemen pendidikan mencakup manajemen kurikulum, kesiswaan, personalia, sarana dan prasarana, keuangan, dan hubungan sekolah dengan masyarakat. Seorang kepala sekolah harus dapat mengelola substansi tersebut dengan sebaik-baiknya agar lembaga pendidikan atau sekolah dapat mencapai tujuannya dengan maksimal secara efektif dan efisien. Peran utama kepala sekolah yaitu sebagai administrator dan pemimpin pendidikan. Sebagai manajer/administrator, kepala sekolah bertugas melaksanakan fungsi-fungsi administrasi pendidikan di sekolah yang meliputi pengelolaan yang bersifat administratif dan operatif. Sedangkan sebagai pemimpin pendidikan, kepala sekolah bertugas untuk mendinamisasikan proses pengelolaan pendidikan baik secara administratif (pengarahan seluruh warga sekolah untuk mencapai tujuan sekolah) maupun edukatif (pengarahan/pembinaan tugas pengajaran serta semangat guru untuk mencapai kinerja yang lebih baik). Sehingga dapat disimpulkan bahwa kepala sekolah mempuRata Penuhnyai tugas atau peran ganda sebagai administrator (school manager) dan pemimpin pendidikan (educational leader). Tugas ganda tersebut sulit dipisahkan karena keduanya merupakan komplemen yang saling menyeimbangkan. Menurut Sergiovanni (1991) keberhasilan kepala sekolah dalam tugas administrasi dan kepemimpinan pendidikan memiliki satu arah tujuan untuk perbaikan pengajaran dan pembelajaran siswa (the improvement of teaching and learning for students). Soetopo dan Soemanto (1984) juga mengemukakan sejumlah ketrampilan dan kemampuan yang menggambarkan tugas dan peranan kepala sekolah dalam penerapan kepemimpinan pendidikan yang efektif yaitu kepala sekolah sebagai pemimpin di bidang kurikulum, personalia, public relation, hubungan guru-murid, personal non pengajaran, hubungan dengan kantor depdikbud, pelayanan bimbingan, hubungan dengan sekolah lain, perlengkapan sekolah, dan pengorganisasian. Empat bidang atau area tugas pokok kepemimpinan kepala sekolah tersebut adalah sbb: 1.Kepala sekolah sebagai pemimpin di bidang kurikulum Kepala sekolah harus dapat: (a) mengetahui dan menerima keberadaan filsafat pendidikan dalam keseluruhan sistem sekolah; (b) berusaha mengembangkan dan menggunakan filsafat hidup dan filsafat pendidikan secara personal maupun secara profesional; (c) mengetahui sumber-sumber material yang dapat membantu dalam mengembangkan kurikulum; (d) menyesuaikan kurikulum dengan kebutuhan masyarakat dan kebutuhan anak didik; (e) mendayagunakan sumber daya masyarakat dalam mengimplementasikan kurikulum; (f) mendorong pendekatan eksperimental dalam mengajar dan dalam kurikulum kepada semua anggota staf; (g) bertanggung jawab atas keseluruhan kurikulum dan memberikan kepemimpinan yang positif. 2.Kepala sekolah sebagai pemimpin di bidang personalia Kepala sekolah harus dapat: (a) memiliki kemampuan menerima dan menghargai individu guru sebagai anggota staf atas dasar karakter pribadi dan latar belakangnya; (b) memberikan bekal yang mendorong kekuatan, minat, dan kecakapan setiap anggota staf dalam melaksanakan tugas; (c) menghargai kekuatan dan kelemahan guru dan melengkapi serta membantunya melalui konseling pribadi; (d) mempraktekkan pendekatan psikologis dalam manajemen personalia. Pendekatan ini dapat dilakukan dengan kerjasama dalam perencanaan, hubungan individual dan kelompok, menciptakan iklim yang menyenangkan, dan pengorganisasian kurikulum dan sekolah secara bijaksana; (e) mengetahui dan menerapkan beraneka ragam teknik bekerja bersama staf dalam menyelesaikan problem; (f) mengembangkan sensitivitas orang lain; dan (g) Mendorong dan memberikan bimbingan dalam pertumbuhan profesional para guru dan mendorong motivasi belajar. 3.Kepala sekolah sebagai pemimpin di bidang pengorganisasian Kepala sekolah harus dapat: (a) mengorganisasikan sekolah untuk memainkan fungsi dan peranannya demi pertumbuhan murid dalam belajar; (b) bekerja sama dalam perencanaan dan pengorganisasian dengan staf agar pendayagunaan personal dapat efektif dan efisien; (c) merealisasikan tanggung jawab untuk membuat keputusan dalam berbagai situasi; dan (d) mengusahakan suatu organisasi untuk meningkatkan kesehatan mental dan stabilitas emosional keseluruhan personal sekolah. 4.Kepala sekolah sebagai pemimpin di bidang public relation Kepala sekolah harus dapat: (a) mendayagunakan organisasi orang tua murid dan guru dan organisasi tertentu demi kesehatan dan kesejahteraan anak didik; (b) menggunakan organisasi-organisasi tersebut untuk membantu personal sekolah dalam menentukan, mengembangkan, dan memahami tujuan sekolah; (c) menerap-kan kepemimpinan untuk meningkatkan partisipasi orang tua dalam menyelesaikan problema sekolah dan masyarakat; (d) mendorong kunjungan orang tua dan menyediakan fasilitas terhadap kunjungan orang tua ke sekolah dan kunjungan staf ke rumah-rumah siswa; (e) mengembangkan metode pelaporan reguler yang sistematik kepada orang tua tentang perkembangan sekolah; (f) mendayagunakan partisipasi siswa dalam program hubungan sekolah dengan masyarakat; (g) mengadakan studi dan mempraktekkan teknik-teknik latihan guru untuk menghandel public relation; (h) mendayagunakan orang tua dan warga masyarakat untuk meningkatkan program hubungan sekolah dengan masyarakat; dan (i) melihat dengan jelas bagaimana memperbaiki hubungan sekolah dengan masyarakat. Sejalan dengan itu, Depdiknas (2000) menjabarkan tujuh komponen tugas pokok kepala sekolah yang dijabarkan dalam penilaian kinerja kepala sekolah. Ketujuh komponen tugas pokok tersebut biasa disingkat dengan istilah PAK MASLIM, yaitu peranan serta tugas kepala sekolah sebagai: (1) pendidik (educator), (2) manajer (manager), (3) pengelola administrasi (administrator), (4) pengelola supervisi (supervisor), (5) pemimpin (leader), (6) pembaharu (inovator), dan (7) pendorong (motivator). Kepala sekolah harus dapat memahami serta melaksanakan kemampuan, peranan dan tugas di atas agar dapat mengelola substansi-substansi manajemen pendidikan. Sehingga berbagai permasalahan yang mungkin muncul dalam penerapan substansi manajemen pendidikan pada tahun pertama di sekolah, dapat diatasi dengan baik oleh kepala sekolah. Maka dapat disimpulkan bahwa kepemimpinan perlu dilaksanakan oleh kepala sekolah agar dapat menunjang tercapainya tujuan sekolah secara berhasil. Kepala sekolah yang efektif memiliki peran yang besar dalam pelaksanaan tugas, wewenang, dan tanggung jawab untuk mencapai tujuan sekolah secara efektif dan efisien.

Peningkatan Profesionalisme Guru

  1. Pendahuluan

Persaingan yang semakin kompetitif pada era modemisasi dan globalisasi pada saat ini harus dihadapi dengan menyiapkan sumber daya manusia yang berkualitas tinggi. Pendidikan yang diselenggarakan oleh sekolah sebagai lembaga pendidikan formal, merupakan salah satu sektor yang perlu mendapatkan perhatian serta prioritas utama. Sebab lembaga pendidikan formal merniliki peranan penting dalam rangka menyiapkan sumber daya manusia yang berkualitas dan mewujudkan tujuan pendidikan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.

Profesi guru merupakan kunci strategis dalam proses pendidikan, sebagai upaya mencerdaskan kehidupan bangsa dan menyiapkan sumber daya manusia yang berkualitas tinggi. Melalui komunikasi dan interaksi antara murid dan guru yang berlangsung secara efektif tentunya akan menghasilkan suatu produk pendidikan yang bermutu, selain keberhasilan dalam rangka memberantas keterbelakangan serta kebodohan, juga merupakan tolak ukur kemajuan bangsa.

Peranan besar tersebut yang menuntut seorang guru agar bersikap profesional. Tetapi jika kita simak di berbagai media massa, maka banyak sekali keluhan-keluhan yang dilontarkan oleh sebagian masyarakat yang menilai bahwa profesionalisme guru-guru kita dianggap masih kurang memadai. Anggapan tersebut dapat dianggap wajar apabila kita hubungkan dengan berbagai tantangan yang akan dihadapi di masa depan akibat dari pengaruh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi informasi.

Guru yang telah memahami kedudukan dan fungsinya sebagai pengajar dan pendidik, akan selalu terdorong untuk tumbuh dan berkembang menjadi profesional. Namun tidak semua guru dapat tumbuh dan berkembang sendiri untuk menjadi profesional. Sehingga guru-guru perlu mendapatkan bantuan dan binaan melalui usaha peningkatan profesionalisme guru.

Oleh sebab itu diperlukan suatu usaha pengembangan dan pembinaan profesi yang dilaksanakan secara serius oleh pemerintah, disamping adanya kemauan dari pribadi guru itu sendiri untuk menjadi seorang guru yang profesional. Usaha tersebut harus menggunakan alternatif model pengembangan dan pembinaan profesi guru, yang dirancang secara tepat dan berencana.

  1. Pembahasan

1. Pentingnya Sumber Daya Manusia yang Berkualitas

Dalam perkembangan masa depan Indonesia di era moderenisasi pada saat ini, terdapat dualisme sikap yang muncul kepermukaan. Pertama, yang terkait dengan sikap optimis. Era modernisasi diharapkan akan membawa masyarakat Indonesia kepada kehidupan yang lebih baik dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat. Modernisasi diharapkan akan membawa perubahan sistem dalam segala aspek kehidupan, sehingga meningkatakan kualitas pendidikan dan sumber daya manusia. Kedua, sikap yang menggambarkan rasa kecemasan karena kekhawatiran bahwa era moderenisasi disamping telah menghasilkan kemajuan pesat di berbagai bidang kehidupan, juga akan membawa malapetaka pada sistem nilai dan budaya luhur bangsa. Nilai luhur budaya bangsa Indonesia suatu saat bisa hilang diganti oleh nilai-nilai budaya barat.

Oleh sebab itu perlu dipersiapkan masyarakat Indonesia agar menjadi sumber daya manusia yang mampu menjawab tantangan era modernisasi dan sekaligus dapat mempertahankan nilai-nilai luhur budaya bangsa. Upaya yang harus ditempuh untuk menjawab tantangan diatas adalah dengan cara mengembangkan kualitas sumber daya manusia melalui program pendidikan, dengan mengutamakan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dilandasi dengan keteguhan iman dan taqwa. Untuk itu perlu dimantapkan sistem pendidikan yang diselenggarakan oleh sekolah sebagai lembaga pendidikan formal, yang berorientasi pada penguasaan Iptek dan penanaman Imtaq yang kuat.

2. Profesionalisme Jabatan Guru

Sekolah merupakan salah satu bentuk organisasi/lembaga pendidikan formal yang lahir dan berkembang dari pemikiran efisiensi dan efektifitas dalam pemberian pendidikan bagi masyarakat. Sekolah menerima tanggung jawab dan pelimpahan kepercayaan dari orang tua siswa untuk mendidik anak-anak mereka menjadi pribadi yang memiliki sejumlah kemampuan dan keterampilan yang diharapkan. Sekolah ditata dan dikelola secara formal, mengikuti haluan yang tercermin di dalam falsafah dan tujuan, penjenjangan, kurikulum, pengadministrasian serta pengelolaannya.

Peranan guru dalam lembaga pendidikan formal adalah sebagai tokoh kunci dalam rangka meningkatkan kualitas sumber daya manusia, karena guru yang berinteraksi secara langsung dengan siswanya dalam proses belajar mengajar. Dalam proses ini seorang guru mempunyai fungsi sebagai pendidik dan pengajar. Sebagai pengajar, guru bertugas menyampaikan atau mentransfer berbagai pengetahuan dari berbagai sumber, supaya terjadi perubahan pada diri seseorang, dari tidak tahu menjadi tahu. Sedangkan sebagai pendidik, guru bertugas untuk mengubah perilaku subjek didik sehingga dapat terbentuk suatu sikap dan kepribadian yang sesuai dengan tujuan pendidikan.

Tantangan di era modernisasi menyebabkan orientasi pendidikan masa depan harus lebih diarahkan pada penyiapan anak didik untuk menjadi seorang ahli profesional serta sebagai sumber daya manusia yang handal dan berguna bagi nusa dan bangsa. Dalam hal ini peranan tersedianya sarana dan prasarana pendidikan yang lengkap menjadi sangat penting. Dan yang tidak kalah penting lagi adalah dibutuhkannya tenaga pendidik dan pengajar atau guru yang profesional dalam bidang yang diajarkannya.

Guru dikategorikan profesional bila guru tersebut telah menunjukkan kemampuannya sebagai seorang guru, ia bukan hanya tahu banyak, tetapi juga bisa berbuat banyak. Selain itu guru yang profesional akan selalu mengikuti ilmu pengetahuan dan teknologi yang selalu berkembang dengan cepat. Sehingga guru tersebut memiliki kualitas mengajar yang tinggi sesuai dengan perkembangan zaman.

Sahertian (1994) menyatakan bahwa profesional mengandung makna yang lebih luas daripada hanya berkualitas tinggi dalam hal teknis saja. Makna profesional disini dapat dipandang dari tiga dimensi yaitu:

a. Ahli (expert)

yaitu ahli dalam bidang mengajar dan mendidik. Seorang guru tidak saja menguasai isi materi pengajaran yang diajarkan, tetapi juga mampu menanamkan konsep mengenai pengetahuan yang diajarkannya kepada subjek didik. Melalui pengajaran, guru membentuk konsep berpikir, sikap jiwa, dan dapat menyentuh inti kemanusiaan subjek didik. Pengetahuan dan pelajaran yang diberikan oleh guru adalah untuk membentuk pribadi yang utuh dari subjek didik. Sehingga guru dapat menumbuhkan prakarsa serta motivasi agar subjek didik dapat mengaktualisasi dirinya sendiri. Kiat mengajar seperti itulah yang dikatakan ahli dalam memberi pengetahuan, mengemhangkan pengetahuan dan menumbuhkan apresiasi.

b. Memiliki Otonomi dan Rasa Tanggang Jawab

Otonomi mempunyai arti suatu sikap yang profesional yang disebut mandiri. Guru profesional telah memiliki otonomi atau kemandirian dalam mengemukakan apa yang harus dikatakan berdasarkan keahliannya. Guru dapat menguasai apa yang akan diajarkannya serta mampu memberi pertanggungjawaban dan bersedia untuk dimintai pertanggungjawaban.

c. Memiliki Rasa Kesejawatan

Melalui organisasi profesi diciptakan rasa kesejawatan. Semangat korps dikembangkan agar harkat dan martabat guru dijunjung tinggi, baik oleh korps guru sendiri maupun masyarakat pada umumnya. Usaha meningkatkan citra guru di masyarakat diperjuangkan melalui organisasi profesi, di samping rasa sejawat diantara guru itu sendiri.

Profesionalisme mengandung arti menjalankan suatu profesi dengan baik sebagai sumber penghidupan. Dari pengertian ini maka dapat diambil suatu kesimpulan bahwa antara profesi dengan profesionalisme mempunyai arti yang hampir sama. Profesi berkaitan erat dengan pengertian suatu pekerjaan saja, yang kita lakukan sehari-hari secara rutin. Sedangkan profesionalisme didalamnya terkandung suatu keinginan untuk lebih berkualitas dengan dilandasi oleh suatu keahlian serta panggilan dari hati nuraninya untuk menjalankan tugasnya secara baik dan benar.

Sahertian (1994) menyebut profesionalisme dengan istilah profesionalisasi Profesionalisasi adalah suatu usaha untuk mencapai tingkat profesional. Usaha ini memiliki arti seluruh kegiatan yang dimaksudkan untuk memngkatkan mutu profesi mengajar dan mendidik. Kegiatan tersebut berupa suatu proses pertumbuhan, perawatan dan pemeliharaan profesi yang dilaksanakan sejak guru mulai mengajar dan berlangsung seumur hidupnya. Guru harus senantiasa berusaha menambah pengetahuan baru melalui membaca dan terus belajar.

Usaha meningkatkan profesionalisme guru dapat dilaksanakan melalui sistem pembinaan dan pengawasan. Sistem pembinaan dilakukan melalui program pre-service education, in-service education, dan in-service training. Sedangkan sistem pengawasan dilakukan melalui program supervisi pendidikan.

Semua usaha peningkatan profesionalisme tersebut tidak akan bisa berhasil secara sempurna bila tidak ada keinginan dari dalam diri guru itu sendiri untuk berkembang. Untuk itu diperlukan dorongan yang lahir dari keinginan guru itu sendiri untuk meningkatkan kualitas dirinya demi meraih kemajuan-kemajuan disertai dengan sarana dan prasarana yang dapat menunjang profesionalismenya.

3. Pembinaan

Peningkatan profesionalisme guru sangat erat kaitannya dengan peningkatan kualitas guru. Meningkatkan kualitas guru tidak lepas dari bidang studi pendidikan yang disajikan kepada peserta didik, sebab pendidikan lebih ditumbuhkembangkan sejalan dengan perkembangan masyarakat yang semakin rasional, kritis, dan lebih berorientasi kepada pengalaman daripada perkataan. Dalam hal ini diperlukan metode mengajar dan keterampilan menyampaikan pendidikan oleh guru yang sesuai dengan tingkat perkembangan peserta didik dengan menggunakan alat pelajaran yang memadai, serta contoh nyata dalam kehidupan sehari-hari.

Pembinaan dan peningkatan mutu guru semakin diarahkan pada peningkatan aspek profesionalisme guru, yang menyangkut pembinaan teknis edukatif yang meliputi kemampuan menguasai bidang studi yang akan diajarkan dan kemampuan untuk menguasai metode mengajar yang tepat. Sehingga guru dapat menguasai secara mendalam materi yang akan diajarkannya serta metode pengajarannya kepada muridnya yang dilandasi oleh rasa tanggungjawab serta dapat memantau basil belajar muridnya melalui berbagai bentuk teknik dan evaluasi. Baik melalui cara pengamatan terhadap perilaku murid sampai dengan tes hasil belajar. Seorang guru yang profesional akan mampu berpikir secara sistematis tentang apa yang telah diajarkannya kepada muridnya, serta dapat belajar dari pengalamannya tersebut untuk lebih meningkatkan lagi kualitas kegiatan belajar mengajar di kelas.

Sahertian (1994) mengatakan bahwa belajar secara terus dan membaca adalah suatu usaha untuk meningkatkan profesionalisme guru. Usaha serta upaya untuk meningkatkan profesionalisme ini bisa timbul dari dua segi, yaitu :

  1. Dari segi eksternal yaitu pimpinan yang mendorong guru untuk mengikuti penataran, kegiatan akademik, atau adanya lembaga-lembaga pendidikan yang memberi kesempatan bagi guru untuk belajar lagi.

  2. Dari segi internal, yaitu guru dapat berusaha sendiri untuk bertumbuh dalam jabatannya melalui belajar secara terus menerus. Dengan cara demikian guru akan lebih efektif dan efisien dalam melakukan tugas profesinya.

Usaha profesionalisme guru dapat dilaksanakan oleh pemerintah dengan cara menyediakan lembaga-lembaga pendidikan formal dengan berbagai program yaitu:

a. Program pre-service education

adalah program pendidikan untuk mendidik serta menyiapkan sumber daya manusia agar siap bekerja sebagai guru. Lembaga pendidikan yang melaksanakan program ini disebut sebagai lembaga pengadaan tenaga kependidikan.

b. Program in-service education

adalah program pendidikan guru yang difungsikan untuk meningkatkan kualitas guru yang sudah mempunyai jabatan dan bermanfaat untuk mengembangkan kemampuan dan peranannya sebagai seorang pendidik dan pengajar.

c. Program in-service training

umumnya dilakukan melalui kegiatan penataran, agar kemampuan guru meningkat sesuai dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta mempunyai kualifikasi formal tertentu sesuai dengan standar yang ditentukan.

Agar guru-guru yang dihasilkan dari lembaga pendidikan betul-betul bisa mendidik dan mengajar, maka diperlukan pengalaman dengan fasilitas dan peralatan praktek yang representatif dan memadai. Selain itu, pemerintah juga. diharapkan agar dapat memberikan beasiswa kepada guru-guru bidang studi tertentu untuk mengikuti pendidikan baik di dalam maupun di luar negeri, agar guru tersebut dapat mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi pada tataran internasional yang selalu berkembang dengan cepat dan pesat.

Masalah lain yang perlu diperhatikan ialah tentang kondisi para guru di daerah terpencil yang pada saat ini masih cukup memprihatinkan. Sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas serta profesionalisme guru di daerah terpencil, maka perlu diadakan studi tour ke beberapa daerah sebagai suatu studi perbandingan. Melalui studi tour ini diharapkan akan lebih memotivasi dan memperluas cakrawala pandangan serta pengetahuan para guru di daerah terpencil tersebut, sehingga dapat diaplikasikan di tempat ia mengajar. Disamping itu, perlu untuk lebih diintensifkan kembali pengadaan koran masuk desa ataupun suplai buku-buku pelajaran yang dapat menunjang keberhasilan pendidikan di daerah terpencil tersebut. Dengan adanya koran masuk desa dan suplai buku dari pemerintah, maka diharapkan akan menambah pengetahuan tentang mengajar dan para guru di daerah terpencil tersebut.

4. Pengawasan

Pelaksanaan pengawasan tidak harus secara formal dilaksanakan oleh pejabat formal pengawas, tetapi dapat langsung dilakukan oleh kepala sekolah. Burhanuddin (2002) menyatakan bahwa pendidik/guru dan pegawai akan bekerja dengan semangat yang tinggi, dan para siswa akan bisa belajar dengan tenang, apabila kepala sekolah mampu mempengaruhi, mengarahkan, mendorong, dan menggerakkan mereka ke arah pencapaian tujuan sekolah secara efektif. Tugas-tugas kepala sekolah tersebut pada hakikatnya adalah bagian dari fungsi supervisi (kepengawasan) yang merupakan salah satu sarana utama untuk meningkatkan kemampuan profesionalisme guru.

Supervisi pendidikan merupakan suatu rangkaian kegiatan untuk memperbaiki atau meningkatkan kemampuan pengajaran guru demi tercapainya hasil belajar siswa yang optimal, sehingga inti dari supervisi adalah pemberian bantuan (Wiyono, 2004). Berkaitan dengan pemecahan masalah guru, salah satu model pendekatan yang dianggap baik adalah model supervisi klinis (clinical supervision). Supervisi klinis adalah suatu bentuk bantuan profesional pada guru berdasarkan kebutuhannya melalui siklus perencanaan, pengamatan cermat, dan pemberian balikan yang segera secara obyektif tentang penampilan pengajarannya untuk meningkatkan keterampilan mengajar serta sikap profesionalismenya (Maisyaroh, 2001).

Adapun secara khusus supervisi hendaknya dilaksanakan secara a) sistematis yaitu dilaksanakan dengan perencanaan yang matang; b) obyektif dan realistis yaitu dilaksanakan sesuai dengan keadaan/kenyataan sebenarnya dan mudah dilaksanakan; c) konstruktif dan kreatif yaitu dilaksanakan dengan tujuan membangun motivasi kerja serta menimbulkan untuk dorongan meningkatkan semangat kerja; d) antisipatif yaitu diarahkan untuk mengahadapi kesulitan yang mungkin terjadi; e) kooperatif yaitu dapat menciptakan perasaan kebersamaan antara supervisor dengan guru untuk mengembangkan situasi pembelajaran yang lebih baik; dan f) preventif yaitu berusaha jangan sampai timbul hal-hal yang negatif.

Selain itu, guru hendaknya juga diberikan kesempatan yang lebih luas dalam perencanaan, pelaksanaan maupun evaluasi program supervisi pendidikan. Dengan demikian, kegiatan supervisi pendidikan bisa benar-benar sesuai dengan karakteristik dan kebutuhan guru. Sehingga pada akhirnya akan bisa mengembangkan kemampuan profesional guru secara maksimal (Wiyono, 2004).

C. Kesimpulan dan Saran

Persaingan yang semakin kompetitif di era modemisasi pada saat ini harus dihadapi dengan sumber daya manusia berkualitas tinggi, yang mampu menjawab tantangan era modemisasi. Usaha yang harus ditempuh dalam hal ini adalah dengan cara menyiapkan sumber daya manusia yang berkualitas tinggi melalui program pendidikan yang dilaksanakan oleh sekolah sebagai lembaga pendidikan formal.

Peranan guru dalam lembaga pendidikan formal adalah sebagai tokoh kunci dalam rangka meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Seiring dengan kemajuan di era modernisasi, maka dibutuhkan guru profesional untuk mendidik dan mengajar siswanya sehingga menjadi sumber daya manusia yang berkualitas.

Seorang guru dikatakan profesional apabila ia memiliki keahlian, tanggung jawab, dan kesejawatan. Namun tidak semua guru dapat tumbuh/berkembang sendiri untuk menjadi profesional. Maka diperlukan suatu usaha peningkatan profesionalisme guru yang harus dilaksanakan secara serius oleh pemerintah, disamping adanya kemauan dari pribadi guru itu sendiri untuk menjadi seorang guru yang profesional.

Usaha yang dilakukan oleh pemerintah untuk meningkatkan profesionalisme guru dapat dilakukan dengan program pembinaan melalui pre-service education, in-service education, dan in-service training, serta dengan program pengawasan melalui kegiatan supervisi pendidikan. Selain itu, seorang guru juga dapat meningkatkan profesionalismenya sendiri dengan cara membaca dan belajar secara terus menerus.

Sedangkan untuk meningkatkan kualitas serta profesionalisme guru di daerah terpencil, pemerintah dapat melakukan usaha pembinaan melalui studi tour, koran masuk desa, serta menggalakkan suplai buku-buku pelajaran ke sekolah pedesaan. Bentuk pembinaan lain adalah pemberian beasiswa kepada guru-guru bidang studi tertentu untuk mengikuti pendidikan, baik di dalam maupun di luar negeri.

Agar berhasil secara sempurna, semua usaha peningkatan profesionalisme tersebut harus diimbangi dengan dorongan yang lahir dari keinginan guru itu sendiri untuk meningkatkan kualitas dirinya demi meraih kemajuan-kemajuan disertai dengan sarana dan prasarana yang dapat menunjang profesionalismenya.

DAFTAR RUJUKAN

Burhanuddin. 2002. Kepemimpinan Pendidikan: Konsep, Tipe, dan Gaya Kepemimpinan di Sekolah. Dalam Burhanuddin, Imron, A., dan Maisyaroh (Eds.), Manajemen Pendidikan: Wacana, Proses, dan Aplikasinya di Sekolah (hlm. 133-143). Malang: Penerbit UM.

Maisyaroh, 2001. Supervisi Klinis, Salah Satu Pendekatan dalam Pelaksanaan Supervisi Pengajaran. Malang: LP3 UM.

Sahertian, P.A. 1994. Profil Pendidik Profesional. Yogyakarta: Andi Offset

Wiyono, B. B. 2004. Supervisi Berbasis Sekolah. Dalam Burhanuddin, Imron, A., dan Maisyaroh (Eds.), Perspektif Manajemen Pendidikan Berbasis Sekolah (hlm. 50-60). Malang: Penerbit UM.

KEPEMIMPINAN KEPALA SEKOLAH

(Bagian dari Fungsi Penggerakan di Sekolah)

Kepemimpinan atau kegiatan memimpin merupakan usaha yang dilakukan oleh seseorang dengan segenap kemampuan yang dimilikinya untuk mempengaruhi, mendorong, membimbing, mengarahkan, dan menggerakkan orang-orang lain agar mereka mau bekerja dengan penuh semangat dan kepercayaan dalam rangka mencapai tujuan bersama. Dalam hubungannya dengan misi pendidikan, kepemimpinan bisa diartikan sebagai usaha kepala sekolah dalam mempengaruhi, mendorong, membimbing, mengarahkan, dan menggerakkan staf sekolah agar dapat bekerja secara efektif dalam rangka mencapai tujuan pendidikan dan pengajaran yang telah ditetapkan (Burhanuddin, 2002).

Nampaknya sukar dibedakan antara tujuan dan fungsi kepemimpinan pendidikan, lebih-lebih kalau dikaji secara praktis, keduanya mempunyai maksud yang sama dalam menyukseskan proses kepemimpinan (Burhanuddin, 1994). Tujuan kepemimpinan merupakan kerangka kerja ideal/filosofis yang dapat menjadi pedoman bagi setiap kegiatan kepemimpinan, dan sekaligus sebagai patokan yang harus dipedomani atau dicapai. Berdasarkan beberapa batasan kepemimpinan itu sendiri sudah dapat kita garis bawahi bahwa tujuan kepemimpinan pendidikan di sekolah tidak lain adalah agar segenap kegiatan yang dilaksanakan di sekolah dapat mencapai tujuan pengajaran secara efektif dan efisien (Burhanuddin, 2002).

Fungsi kepemimpinan pendidikan menunjuk kepada berbagai aktivitas atau tindakan yang dilakukan oleh seorang kepala sekolah dalam upaya menggerakkan guru-guru, karyawan, siswa, dan anggota masyarakat lain agar mau berbuat sesuatu guna menyukseskan program-program pendidikan di sekolah. Untuk memungkinkan tercapainya tujuan kepemimpinan pendidikan di sekolah, pada pokoknya kepala sekolah harus melakukan ketiga fungsi berikut: (1) Membantu guru-guru memahami, memilih, dan merumuskan tujuan pendidikan yang akan dicapai; (2) Menggerakkan guru-guru, karyawan, siswa, dan anggota masyarakat untuk menyukseskan program-program pendidikan di sekolah; dan (3) Menciptakan sekolah sebagai suatu lingkungan kerja yang harmonis, sehat, dinamis, dan nyaman, sehingga segenap anggota sekolah dapat bekerja dengan penuh produktivitas dan memperoleh kepuasan kerja yang tinggi.

Kepala sekolah merupakan pemimpin pendidikan yang sangat penting karena dialah yang berhubungan langsung dengan pelaksanaan program pendidikan di sekolah. Dapat dilaksanakan atau tidaknya suatu program pendidikan dan tercapai tidaknya tujuan pendidikan, sangat bergantung pada kecakapan dan kebijaksanaan kepala sekolah sebagai pemimpin pendidikan (Purwanto, 1990).

Thownsend (dalam Arifin, 1998) menegaskan bahwa kepemimpinan kepala sekolah mempunyai andil yang sangat besar dalam menjalankan kegiatan di sekolah. Kepala sekolah yang efektif merupakan pemimpin yang kuat dengan harapan yang tinggi tetapi tetap realistik terhadap situasi dan kondisi di sekolahnya. Peranan kepala sekolah sebagai pemimpin pendidikan sangat menentukan dalam menunjang keberhasilan suatu sekolah menuju sekolah yang efektif.

Wahjosumidjo (2002) berpendapat bahwa kepala sekolah sebagai pemimpin pendidikan bertanggung jawab dalam menggerakkan seluruh sumber daya yang ada di sekolah, sehingga lahir etos kerja dan produktifitas yang tinggi dalam mencapai tujuan. Disamping itu, kepala sekolah juga berperan untuk melakukan kontrol segala aktifitas guru, staf, dan siswa dan sekaligus untuk meneliti persoalan-persoalan yang timbul di lingkungan sekolah.

Kepemimpinan kepala sekolah juga berperan sebagai motor penggerak bagi sumber daya sekolah terutama para guru dan karyawan sekolah, sukses tidaknya kegiatan sekolah sebagian besar ditentukan oleh kualitas kepemimpinan yang dimiliki oleh kepala sekolah. Nawawi (1988) menyatakan bahwa semangat kerja guru dan bawahan lainnya, banyak tergantung pada kepemimpinan kepala sekolah. Para guru/ pegawai akan bekerja dengan baik dan para siswa akan bisa belajar dengan tenang, apabila kepala sekolah mampu mempengaruhi, mengarahkan, mendorong, dan menggerakkan mereka ke arah pencapaian tujuan sekolah secara efektif.

Arifin (1998) menyimpulkan dua peran utama kepala sekolah yaitu sebagai administrator dan pemimpin pendidikan. Sebagai manajer/administrator, kepala sekolah bertugas melaksanakan fungsi-fungsi administrasi pendidikan di sekolah yang meliputi pengelolaan yang bersifat administratif dan operatif. Sedangkan sebagai pemimpin pendidikan, kepala sekolah bertugas untuk mendinamisasikan proses pengelolaan pendidikan baik secara administratif (pengarahan seluruh warga sekolah untuk mencapai tujuan sekolah) maupun edukatif (pengarahan/pembinaan tugas pengajaran serta semangat guru untuk mencapai kinerja yang lebih baik).

Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa kepala sekolah mempunyai tugas atau peran ganda sebagai administrator (school manager) dan pemimpin pendidikan (educational leader). Tugas ganda tersebut sulit dipisahkan karena keduanya merupakan komplemen yang saling menyeimbangkan. Menurut Sergiovanni (1991) keberhasilan kepala sekolah dalam tugas administrasi dan kepemimpinan pendidikan memiliki satu arah tujuan untuk perbaikan pengajaran dan pembelajaran siswa (the improvement of teaching and learning for students).

Sementara itu, seiring dengan munculnya semangat baru desentralisasi persekolahan mendorong kepala sekolah untuk lebih menekankan fungsinya sebagai pemimpin pendidikan daripada administrator. Sejalan dengan itu, Sergiovanni (dalam Burhanuddin, 2001) berpendapat bahwa kebutuhan akan kepemimpinan pendidikan yang efektif lebih ditekankan pada peningkatan kualitas sekolah.

Dengan demikian, dapat digaris bawahi bahwa kepemimpinan yang efektif sangat diperlukan bagi peningkatan keefektifan sekolah. Atau dengan kata lain kepala sekolah harus bisa bertindak sebagai pemimpin yang efektif agar mampu berperan sesuai dengan tugas, wewenang, dan tanggung jawabnya untuk mencapai tujuan sekolah secara efektif dan efisien.

06 Agustus 2009

PROBLEMATIKA SEPUTAR PENDIDIKAN MORAL DAN BUDI PEKERTI

  1. Pendahuluan

Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang No 2/89 Sistem Pendidikan Nasional dengan tegas merumuskan tujuannya pada Bab II, Pasal 4, yaitu: mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya. Maksud manusia Indonesia seutuhnya yaitu manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan Berbudi Pekerti luhur. Di samping itu, juga memiliki pengetahuan dan keterampilan, sehat jasmani dan rohani , kepribadian yang mantap dan mandiri, serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.

Sebenarnya tujuan yang terdapat dalam sistem pendidikan nasional kita sudah sangat lengkap untuk membentuk anak didik menjadi pribadi utuh yang dilandasi akhlak dan budi pekerti luhur. Namun, pada kenyataannya, tujuan yang mulia tersebut tidak diimbangi pada tataran kebijakan pemerintah yang mendukung tujuan tersebut. Hal ini terbukti pada kurikulum sekolah tahun 1984 yang secara eksplisit telah menghapuskan mata pelajaran budi pekerti dari daftar mata pelajaran sekolah. Oleh karena itu, aspek-aspek yang berkaitan dengan budi pekerti menjadi kurang disentuh bahkan ada kecenderungan tidak ada sama sekali.

Jika penghapusan mata pelajaran budi pekerti tersebut karena dianggap telah cukup tercakup dalam mata pelajaran agama, tentu hal itu tidak demikian adanya. Walaupun budi pekerti merupakan bagian dari mata pelajaran agama yang salah satu bahasannya adalah akhlak/budi pekerti, pembahasan mengenai hal tersebut pasti memperoleh porsi yang amat sangat kecil. Hal ini mengingat cukup banyak aspek yang dibahas dalam mata pelajaran agama dengan alokasi waktu yang amat minim yaitu dua jam dalam seminggu. Oleh karena itu, sentuhan aspek moral/akhlak/budi pekerti menjadi amat tipis dan tandus. Padahal zaman terus berjalan, budaya terus berkembang, teknologi berlari pesat. Arus informasi manca negara bagai tak terbatas.

Hasilnya, budaya luar yang negatif mudah terserap tanpa ada filter yang cukup kuat. Gaya hidup modern yang tidak didasari akhlak/budi pekerti cepat ditiru. Perilaku negatif seperti tawuran menjadi budaya baru yang dianggap dapat mengangkat jati diri mereka. Premanisme ada dimana-mana, emosi meluap-luap, cepat marah dan tersinggung, ingin menang sendiri menjadi bagian hidup yang akrab dalam pandangan sebagian dari diri masyarakat kita sendiri.

Hal lain yang juga menunjukkan adanya indikator budi pekerti/moral yang gersang adalah banyaknya terjadi kasus pelecehan seksual yang dilakukan oleh anak sekolah di bawah umur. Dalam hal ini, bisa saja terjadi pelaku dan korban pelecehan tersebut adalah anak-anak. Tindak kejahatan mencuri, menodong bahkan membajak bus umum semua pelakunya adalah pelajar sekolah.

Fenomena-fenomena seperti dipaparkan di atas tentu tidak boleh dibiarkan. Anak menjadi generasi seperti apa kelak anak-anak jika dibiarkan dalam kondisi tersebut. Jika tidak dapat dicarikan jalan keluarnya, akan terbentuk generasi yang bermoral/berbudi pekerti rusak. Jika generasi kini rusak, bagaimana dengan pemimpin bangsa di masa mendatang.

Oleh karena itulah, penulis merasa tertarik untuk membahas akibat-akibat yang ditimbulkan dari kurang/minimnya penanaman moral/budi pekerti/akhlak. Khususnya dalam kurikulum sekolah sebagai benteng penangkal hal-hal negative. Termasuk juga usaha yang dapat dilakukan untuk menjawab permasalahan di seputar penanaman budi pekerti tersebut.

Tujuan yang ingin dicapai melalui tulisan ini adalah:

  1. Ingin mendeskripsikan lebih jauh tentang peran pemerintah dalam menangani permasalahan budi pekerti anak, khususnya anak sekolah

  2. Ingin mendeskripsikan peran orang tua dalam pembentukan budi pekerti yang baik bagi anak.

  3. Ingin mendeskripsikan peran masyarakat dalam menyikapi budi pekerti anak.

  1. Realitas di Lapangan

    1. Pendidikan Budi Pekerti di Rumah

Semenjak empat tahun terakhir Indonesia tergolek lemah bahkan dapat dikatakan sekarat akibat krisis panjang yang tak kunjung usai. Kondisi ini diperburuk oleh krisis moral dan budi pekerti para pemimpin bangsa yang juga berimbas pada generasi muda. Perilaku buruk sebagian siswa berseragam sekolah dapat dikatakan ada di kota mana saja di Indonesia.

Tawuran pelajar tidak hanya ada di kota-kota besar, tetapi merambah juga sampai ke pelosok-pelosok. Bahkan perilaku seks bebas dan lunturnya tradisi, budaya, tata nilai kemasyarakatan, norma etika dan budi pekerti luhur merambah ke desa-desa. Krisis yang terjadi ini salah satu indikator penyebab terbesarnya adalah kegagalan dari dunia pendidikan baik pendidikan formal, nonformal maupun informal. Padahal ketiga sektor tersebut memegang peranan yang sangat penting dalam rangka membentuk anak berbudi pekerti luhur. Aris Muthohar dalam bukunya Tata Krama di Rumah, Sekolah dan Masyarakat mengatakan tentang pentingnya ketiga lembaga tersebut menanamkan nilai-nilai tata karma budi pekerti luhur. Jika ketiga lembaga ini saling mengisi, diharapkan akan dapat membentuk anak yang berbudi pekerti luhur.

Untuk memaparkan ketiga lembaga yang berkaitan dengan pembentukan budi pekerti luhur ini, berikut ini akan dijelaskan satu persatu. Sebagai tempat awal seorang anak memperoleh pendidikan, berikut ini akan disajikan realita pendidikan budi pekerti di rumah sebagai lembaga pendidikan informal. Untuk memaparkan pendidikan budi pekerti di rumah/keluarga, harus dilihat dahulu kenyataan bahwa di Indonesia terdapat lebih dari 11 juta anak putus sekolah dan 6 juta di antaranya menjadi pekerja anak. Dari 6 juta pekerja anak, sekitar 2 juta anak bekerja dalam kondisi yang sangat membahayakan baik fisik maupun mental.

Jika dilihat dari prosentase jumlah anak yang ada di Indonesia, baru sekitar 12 persen yang dapat mengikuti program wajib belajar. Selebihnya tidak memperoleh kesempatan belajar yang selayaknya. Dapat dibayangkan jumlah yang tersisa masih sekitar 88 persen justru menjadi pekerja anak untuk membantu ekonomi keluarga. Jika mereka membantu orang tua berarti mereka sendiri tidak mempunyai kesempatan belajar di rumah, khususnya belajar penanaman nilai-nilai budi pekerti yang luhur.

Akibat tuntutan kebutuhan hidup keluarga yang sangat mendesak, jangankan memberi pendidikan bagi anak, masalah kesehatan dan keselamatan kerja bagi anak pun menjadi hal yang diabaikan orang tua. Orang tua tidak peduli jika anaknya dieksploitasi dengan upah yang sangat murah, bahkan yang sangat parah, orang tua justru kadang melanggar HAM anak dengan menyiksa anak kandung sendiri jika bekerja tidak mencapai target.

Umumnya orang tua yang sanggup membiayai pendidikan anaknya adalah para orang tua yang bekerja. Orang tua bekerja dengan waktu yang cukup panjang meninggalkan anaknya di rumah di bawah asuhan para pembantu rumah tangga yang juga sering kali sangat rendah tingkat pendidikannya (RCTI, November 2002).

Saat pulang dari bekerja, para orang tua sudah sangat lelah. Anak-anak pun sudah tertidur ditemani pembantu rumah tangga. Akibatnya, orang tua/keluarga semacam ini pun tak pernah sempat menanamkan nilai-nilai positif, khususnya nilai budi pekerti yang luhur. Kalaupun ada keluarga yang memiliki kesadaran yang cukup tinggi dengan menanamkan nilai-nilai positif, khususnya nilai-nilai agama sejak dini yang notebene sudah termasuk nilai akhlak/budi pekerti di dalamnya, dapat dikatakan jumlahnya masih bisa dihitung dengan jari. Anak-anak yang berbahagia memperoleh kesempatan seperti ini di keluarganya dibandingkan dengan yang tidak memperolehnya bagai segelas air di danau. Sudah barang tentu problematika yang muncul dari danaulah yang mencuat. Padahal sudah seharusnya ataupun merupakan hak anak untuk memperoleh itu semua?

    1. Pendidikan Budi Pekerti di Masyarakat

Penanaman nilai-nilai budi pekerti di masyarakat pun menjadi sangat kurang sebagai akibat dari himpitan ekonomi. Semua sibuk memikirkan pemenuhan kebutuhan hidup. Kontrol sesama masyarakat menjadi kurang, bahkan tidak ada. Semua serba individualistis.

Kondisi kacau di masyarakat seperti ini justru yang amat berpengaruh pada penanaman nilai-nilai budi pekerti yang luhur. Keluarga yang anaknya terbebas/tak terpengaruh sisi negatif lunturnya nilai-nilai budi pekerti seperti narkoba, tawuran, seks bebas, dan lain-lain tidak peduli pada tetangga/keluarga lain yang secara kebetulan mengalaminya, yang terpenting keluarga sendiri terlebih dahulu.

    1. Pendidikan Budi Pekerti di Sekolah

Sementara itu, penanaman nilai-nilai budi pekerti di sekolah, untuk saat ini memang sudah mengalami kemunduran. Data empiris membuktikan bahwa para guru pun sudah merasa enggan menegur anak didik yang berlaku tidak sopan di sekolah. Anak didik sering kali berperilaku tidak sopan terhadap guru, melecehkan sesama teman, bahkan ada sekolah yang tidak berani mengeluarkan anak didik yang sudah jelas-jelas menggunakan narkoba.

Belum lagi posisi materi budi pekerti yang sejajar dengan kurikulum mulok sampai saat ini memang tidak berdiri sendiri. Materi tersebut diintegrasikan ke dalam dua mata pelajaran, yaitu PPKn dan agama. Kalaupun pada akhirnya diintegrasikan pula ke dalam enam mata pelajaran lainnya, yaitu matematika, IPA, IPS, Kesenian, Bahasa Indonesia, dan Olahraga, rasanya masih kurang mengingat tingkat budi pekerti yang telah amat mahal dan langka di masa kini.

  1. Permasalahan

Berdasarkan realitas di lapangan, penulis merumuskan identifikasi masalah sebagai berikut:

    1. Mengapa pada masa sekarang ini moral dan budi pekerti anak demikian merosot?

    2. Bagaimana peran orang tua dalam menanamkan nilai-nilai moral dan budi pekerti yang baik?

    3. Bagaimana peran sekolah dalam menanamkan nilai-nilai pendidikan moral dan budi pekerti bagi anak didik?

    4. Bagaimana peran masyarakat dalam membangun generasi yang bermoral dan berbudi pekerti yang baik?

    5. Apa saja usaha pemerintah untuk mengatasi permasalahan merosotnya moral dan budi pekerti yang baik pada anak?

Dari sejumlah identifikasi masalah di atas, pembahasan akan lebih dikonsentrasikan pada permasalahan nomor 2, 3, dan 4 sebagai berikut:

  1. Bagaimana peran orang tua dalam menanamkan nilai-nilai moral dan budi pekerti yang baik?

  2. Bagaimana peran sekolah dalam menanamkan nilai-nilai pendidikan moral dan budi pekerti bagi anak didik?

  3. Bagaimana peran masyarakat dalam membangun generasi yang bermoral dan berbudi pekerti yang baik?

  1. Analisa SWOT

    1. Kekuatan Pendukung: Tersedianya Kebijakan Makro

Upaya mengatasi kemerosotan moral dan budi pekerti anak dapat dilakukan atas dasar adanya kekuatan yang mendukung, yaitu: di samping telah dituangkan dalam Sistem Pendidikan Nasioanal UU No.2/89. Bab II Pasal 4 yaitu untuk mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, keseharan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan. Juga terdapat pada perundang-undangan yang lain yaitu:

  1. TAP MPR No.X/MPR/1998 tentang pokok-pokok reformasi pembangunan pada Bab IV huruf D

    1. Butir 1 F: Peningkatan akhlak mulia dan budi pekerti luhur dilaksanakan melalui pendidikan budi pekerti di sekolah

    2. Butir 2 H: Meningkatkan pembangunan akhlak mulia dan moral luhur masyarakat melalui pendidikan agama untuk mencegah/menangkal tumbuhnya akhlak tidak terpuji.

  2. TAP MPR No.IV/MPR/1999, tentang GBHN Bab IV Huruf D mengenai agama butir 1:

    1. Menetapkan fungsi, peran, dan kedudukan agama sebagai landasan moral, spiritual dan etika dalam penyelenggaraan negara. Perundang-undangan tidak bertentangan dengan moral agama.

    2. Meningkatkan jaminan kesejahteraan tenaga kependidikan sehingga mampu berfungsi secara optimal terutama dalam meningkatkan pendidikan watak dan budi pekerti agar dapat mengembalikan wibawa lembaga dan negara.

  3. UU No.2/1989 Penjelasan Pasal 39 ayat (2): menyatakan bahwa pendidikan pancasila mengarahkan perhatian pada moral yang diharapkan diwujudkan ke dalam kehidupan sehari-hari.

  4. Komitmen masyarakat dalam berbagai lapisan terhadap etika bermasyarakat berbangsa, dan bernegara, ditengarai budi pekerti sebagai salah satu dimensi substansi pendidikan nasional yang perlu diintegrasikan ke mata pelajaran yang relevan.

    1. Kelemahan Implementasi: Krisis di Segala Bidang

Kelemahan yang muncul dalam rangka upaya memecahkan atau menanggulangi masalah kemerosotan moral dan budi pekerti anak diantaranya adalah sebagai berikut:

    1. Pada tataran pemerintah, baru hanya sebatas membuat peraturan, belum sampai pada upaya optimal dalam menanggulangi kemerosotan moral dan budi pekerti anak.

    2. Kondisi ekonomi di Indonesia yang terpuruk menimbulkan krisis di segala bidang termasuk bidang pendidikan.

    3. Krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia juga memberi dampak yang cukup signifikan dalam tuntutan ekonomi keluarga sehingga para orang tua walaupun mengerti tentang pentingnya menanamkan nilai-nilai moral dan budi pekerti pada anak, kurang dapat menerapkan pada anak.

    4. Era globalisasi sangat berpengaruh pada pergeseran nilai-nilai moral dan budi pekerti anak. Hal ini diiringi oleh tingkat kemajuan teknologi informatika yang bergerak maju dalam hitungan detik. Pada era ini, kejadian di belahan dunia yang satu akan dapat langsung diikuti dan diketahui oleh belahan dunia lainnya. Dunia menjadi tanpa pembatas ruang atau waktu. Pada kondisi inilah anak globalisasi hidup. Dia menjadi tahu segala. Batas-batas moral menjadi demikian tipis. Anak menjadi demikian kritis akan nilai-nilai moral yang diajarkan oleh keluarga atau yang diperlihatkan oleh para elit birokrat atau pemerintahnya.

    5. Teladan para birokrat atau elit politik terasa, demikian kurang. Nilai-nilai moral yang mereka pertunjukan di depan mata anak-anak bangsa sedemikian riskan dan vulgar diketahui oleh para anak tersebut. Kondisi inimenjadi titik lemah yang cukup fatal bagi usaha para pendidik baik di sekolah maupun di rumah untuk menanamkan nilai-nilai moral atau budi pekerti yang agung.

    1. Peluang: Munculnya Kesadaran Kolektif

Peluang yang diharapkan dapat digunakan dalam rangka mengatasi kemerosotan moral dan budi pekerti anak di Indonesia, diantaranya adalah: pada dasarnya tingkat kesadaran masyarakat sudah cukup tinggi untuk menanggulangi kemerosotan moral dan budi pekerti anak. Para orang tua pada umumnya berlomba-lomba menanamkan nilai-nilai moral dan budi pekerti luhur melalui pendidikan agama sejak usia dini. Penanaman pendidikan agama sejak usia dini akan secara otomatis tertanam nilai-nilai moral dan budi pekerti luhur yang akan berdampak sangat positif bagi perkembangan jiwa anak hingga dewasa. Ini terjadi karena moral dan budi pekerti merupakan bagian dari pendidikan agama yang disebut pendidikan akhlak.

Hal ini sejalan dengan pendapat pemikir Islam sekaligus pendidik Al-Ghazali yang dalam salah satu bukunya menyoroti sistem pendidikan Islam. Ia mengatakan bahwa budi pekerti itu akan kuat jika banyak dipraktikkan, dipatuhi, dan diyakini sebagai suatu yang baik dan direstui. Jika saja kesadaran menanamkan nilai-nilai agam muncul pada setiap orang tua di masyarakat, dengan menyingkirkan jauh-jauh rasa pesimistis dalam menghadapi tantangan dari luar, diharapkan kemerosotan moral dan budi pekerti akan dapat diatasi sedikit demi sedikit namun serempak.

Dalam agama Islam ada beberapa kata mutiara yang dapat dijadikan pegangan setiap orang untuk memulai suatu kebaikan, diantaranya:

    1. Mulailah dari dirimu sendiri terlebih dahulu (Ibda’ binafsika)

    2. Berlomba-lombalah kamu dalam berbuat kebaikan (fastabiqul khairat);

    3. Janganlah menunda-nunda berbuat kebaikan

Usaha yang dilakukan oleh para penentu kebijakan (decision maker) pun sangat populis, artinya mengena di hati masyarakat. Menteri Pendidikan Nasional pada waktu itu Yahya Muhaimin mengatakan bahwa selama ini pihaknya sudah berupaya melakukan antisipasi teknis dalam rangka pembentukan karakter dan daya nalar anak didik yang diyakini dapat menanggulangi kemerosotan moral dan budi pekerti. Diantaranya ialah pembentukan karakter yang berbudi pekerti. Diantaranya ialah pembentukan karakter yang berbudi pekerti luhur sejak tingkat sekolah dasar (SD).

    1. Tantangan Pendidikan Budi Pekerti

Tantangan yang akan menghadang dalam upaya menanggulangi kemerosotan moral dan budi pekerti anak antara lain sebagai berikut:

  1. Arus globalisasi dengan teknologinya yang berkembang pesat merupakan tantangan tersendiri di mana informasi baik positif maupun negatif dapat langsung diakses dalam kamar/rumah. Tanpa adanya bekal yang kuat dalam penanaman agama (yang telah tercakup di dalamnya nilai moral dan budi pekerti) hal itu akan berdampak negatif jika tidak disaring dengan benar.

  2. Pola hidup dan perilaku yang telah bergeser sedimikian serempaknya di tengah-tengah masyarakat juga merupakan tantangan yang tidak dapat diabaikan.

  3. Moral para pejabat/birokrat yang memang sudah amat melekat seperti “koruptor”, curang/tidak jujur, tidak peduli pada kesusahan orang lain, dan lain-lain ikut menjadi tantangan tersendiri karena bila mengeluarkan kebijakan, diragukan ketulusan dan keseriusannya diimplementasikan secara benar.

  4. Kurikulum sekolah mengenai dimasukkannya materi moral dan budi pekerti ke dalam setiap mata pelajaran juga cukup sulit. Ini terjadi karena ternyata tidak semua guru dapat mengaplikasikan model integrated learning tersebut ke dalam mata pelajaran lain yang sdang diajarkannya atau yang diampunya.

  5. Kondisi ekonomi Indonesia juga menjadi tantangan yang tidak dapat diabaikan begitu saja. Karena bagaimanapun, setiap ada kebijakan pasti memerlukan dana yang tidak sedikit.

  1. Temuan: Kondisi Objektif

Berdasarkan pada masalah yang timbul akibat dari merosotnya nilai-nilai moral dan budi pekerti anak dan setelah dianalisis berdasarkan realitas di lapangan, dijumpai beberapa temuan sebagai berikut:

    1. Perhatian pemerintah dapat dikatakan cukup serius, terutama bagi pembentukan manusia yang utuh, yaitu manusia yang agamis dan mandiri sebagaimana termaktub dalam Tap MPR/1999 dan didukung oleh peraturan dan ketetapan yang lainnya. Namun, pelaksanaan tidak semudah perencanaannya. Kondisi ekonomi di Indonesia di Indonesia yang sedang terpuruk saat ini sangat berpengaruh dalam menanggulangi kemerosotan nilai-nilai moral dan budi pekerti bangsa Indonesia, khususnya anak.

    2. Arus globalisasi yang hampir menjangkau seluruh dunia juga ikut berpengaruh pada perilaku anak yang sering bertentangan dengan nilai-nilai atau norma-norma adat istiadat, agama, dan nilai-nilai ketimuran anak di Indonesia.

  1. Kesimpulan

Kesimpulan makalah ini adalah sebagai berikut:

    1. Peran aktif orang tua atau keluarga sangat dituntut dalam upaya menanggulangi kemerosotan moral dan budi pekerti anak.

    2. Sekolah telah mencoba memasukkan materi moral dan budi pekerti ini secara terpadu (integrated) ke dalam setiap mata pelajaran. Namun, tentu saja hal ini masih belum efektif dan belum maksimal, mengingat tidak semua guru mampu mengaplikasikannya.

    3. Peran masyarakat masih sangat kurang bahkan tidak ada usaha sama sekali untuk turut menanggulangi kemerosotan moral dan budi pekerti anak, terutama dalam bentuk control. Namun, upaya penanaman agama sejak usia dini telah disiapkan oleh masing-masing keluarga.

    4. Pemerintah belum maksimal menangani dan menanggulangi kemerosotan moral dan budi luhur pekerti anak. Hal ini diakibatkan oleh kondisi atau ekonomi negara saat ini.

    5. Era globalisasi dengan ciri teknologi yang terus berkembang pesat turut memberi andil terjadinya kemerosotan moral dan budi pekerti anak.

  1. Saran dan Rekomendasi

    1. Pemerintah diharapkan lebih serius menangani kemerosotan moral dan budi pekerti anak, tidak hanya sebatas menetapkan kebijakan. Hal ini dapat dilakukan dengan (a) mengalokasikan anggaran pelatihan bagi para guru dalam melakukan integrasi materi moral dan budi pekerti ke dalam setiap mata pelajaran, (b) memasukan kembali materi moral dan budi pekerti menjadi mata pelajaran yang berdiri sendiri.

    2. Bagi orang tua yang berkecukupan diharapkan tidak hanya mengejar materi dan karier, tetapi diharapkan, lebih memberikan perhatian kepada anak-anak mereka, yaitu dengan cara memberikan penanaman nilai-nilai agama sejak dini. Sementara itu, bagi orang tua yang kurang mampu diharapkan tidak terlalu membebani anak dengan tuntutan bekerja, sementara mengabaikan hak mereka untuk mendapatkan pendidikan, khususnya pendidikan moral dan budi pekerti.

    3. Kepada organisasi keagamaan diharapkan turut peduli dengan upaya penanggulangan kemerosotan moral dan budi pekerti anak.

    4. Seluruh lapisan masyarakat melakukan kontrak sosial agar kemerosotan moral dan budi pekerti tidak semakin bertambah.

Daftar Pustaka

Budiarjo, Syukur. “Kurikulum” dan “Manusia di Balik Senjata”, Kompas. Jumat, 24 Mei 2002.

Dunn, William N. 1998. Analisa Kebijaksanaan Publik (Disadur oleh Muhadjir Darwin). Jogjakarta: Hanindita.

Eric, Lanerjan. The Publik Sector: Concepts, Models, and Aprroaches. London: Sage Publication, 1991.

Gunawan, Ary H. SosiologiPendidikan: Suatu Analisis Sosiologi TentangPelbagai Problem Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta, Mei 2002.

Harsono, Eko B. “Membawa Pendidikan Budi Pekerti ke Sekolah”. Suara Pembaharuan, 2 Mei 2001.

Muthohor, M. Aris. Tata Krama di Rumah, Sekolah dan Masyarakat. Jakarta: SIC, 2001.

Puskur. Pengembangan Silabus Kurikulum Berbasis Kompetensi. Jakarta: Balitbang Deodiknas, Juni 2002.

Salam, Barhanuddin. Pengantar Pedagogik (Dasar-dasar Ilmu Mendidik). Jakarta: Rineka Cipta, 1997.

Sulaiman, Fathiyah Hasan. Sistem Pendidikan menurut Al-Ghazali: Solusi Menghadapi Tantangan Zaman. Jakarta: Dea Pers, 2000.

Tarwiyah, Tuti, dkk. “Masalah Hak Azasi Anak dalam Pendidikan”, Makalah Seminar Kelas Program Doktor Pasca Sarjana Universitas Negeri Jakarta, 2002.

Tilaar, H.A.R. Paradigma Baru Pendidikan Nasional. Jakarta: Rineka Cipta. 2000.

………….., Membenahi Pendidikan Nasional. Jakarta: Rineka Cipta, April 2002.

Widodo, “Reaktualisasi Pendidikan Budi Pekerti”. Suara Pembaharuan. 2 Mei 2002.

STRATEGI PENGEMBANGAN KOMPETENSI SISWA DENGAN MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH

PENDAHULUAN

Dunia pendidikan Indonesia saat ini setidaknya menghadapi empat tantangan besar yang kompleks. Pertama, tantangan untuk meningkatkan nilai tambah (added value), yaitu bagaimana meningkatkan nilai tambah dalam rangka meningkatkan produktivitas, pertumbuhan dan pemerataan ekonomi, sebagai upaya untuk memelihara dan meningkatkan pembangunan yang berkelanjutan. Kedua, tantangan untuk melakukan pengkajian secara komprehensif dan mendalam terhadap terjadinya transformasi (perubahan) struktur masyarakat, dari masyarakat yang agraris ke masyarakat industri yang menguasai teknologi dan informasi, yang implikasinya pada tuntutan dan pengembangan sumber daya manusia (SDM).

Ketiga, tantangan dalam persaingan global yang semakin ketat,yaitu bagaimana meningkatkan daya saing bangsa dalam meningkatkan karya-karya yang bermutu dan mampu bersaing sebagai hasil penguasaan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni (ipteks). Keempat, munculnya kolonialisme baru di bidang iptek dan ekonomi menggantikan kolonialisme politik. Dengan demikian kolonialisme kini tidak lagi berbentuk fisik, melainkan dalam bentuk informasi. Berkembangnya teknologi informasi dalam bentuk komputer dan internet, sehingga bangsa Indonesia sangat bergantung kepada bangsa-bangsa yang telah lebih dulu menguasai teknologi informasi. Inilah bentuk kolonialisme baru yang menjadi semacam virtual enemy yang telah masuk ke seluruh pelosok dunia ini.

Kemajuan ini harus dapat diwujudkan dengan proses pembelajaran yang bermutu dan menghasilkan lulusan yang berwawasan luas, profesional, unggul, berpandangan jauh ke depan (Visioner), memiliki percaya dan harga diri yang tinggi. Untuk mewujudkan hasil di atas diperlukan strategi yang tepat, diantaranya adalah bagaimana strategi mengembangkan kompetensi siswa berdasarkan kemampuan, sikap, sifat serta tingkah laku siswa sehingga membuat siswa menyenangi proses pembelajaran. Peningkatan kompetensi siswa tidak bisa dipandang secara pragmatis, terpisah dari bagian bagiannya yang utuh. Peningkatan kompetensi siswa harus dilihat secara pendekatan sistem, menyeluruh, utuh dan tidak terpisah-pisah dari bagian-bagiannya sehingga dapat dilihat progress reports terhadap laju perkembangan kompetensi siswa seperti yang diharapkan. Selain dari pada itu, pengembangan kompetensi siswa dengan konsep pendekatan sistem terutama sistem manajemen berbasis sekolah akan sangat mudah dan efektif untuk mengevaluasi sistem apa yang perlu ditinjau, dimodifikasi ataupun diubah menurut kebutuhan.

Manajemen berbasis sekolah merupakan sebuah sistem yang memberikan hak atau otoritas khusus kepada pihak sekolah untuk mengelola sekolah sesuai dengan kondisi, lingkungan dan tuntutan ataupun kebutuhan masyarakat di mana sekolah tersebut berada. Berdasarkan analisa di atas, bagaimanakah wujud masyarakat Indonesia baru yang seharusnya ?. Jawabannya adalah masyarakat yang berpendidikan (Educated Sociaty). Oleh karena itu setiap lembaga pendidikan, khususnya dalam menghadapi masa depan harus ditujukan pada reformasi kelembagaan secara total, agar pendidikan nasional memiliki kemampuan untuk melaksanakan peran, fungsi dan misinya secara optimal.

KAJIAN TEORI

  1. Kompetensi

Kompetensi meliputi pengetahuan, pemahaman, keterampilan, nilai, sikap dan minat. Dalam konsep pelatihan yang berbasis kompetensi dijelaskan bahwa kompetensi merupakan gabungan antara keterampilan, pengetahuan dan sikap. Kompetensi digunakan untuk melakukan penilaian terhadap standar, memberikan indikasi yang jelas tentang keberhasilan dalam kegiatan pengembangan, membentuk sistem pengembangan dan dapat digunakan untuk menyusun uraian tugas seseorang. Standar kompetensi disusun sedemikian rupa mengacu kepada kesepakatan internasional tanpa harus mengabaikan berbagai aspek dan budaya yang bersifat lokal atau nasional. Standar kompetensi yang telah ada hendaknya dapat dimanfaatkan oleh berbagai pihak terutama dunia pendidikan dalam hal peningkatan kemampuan dasar siswa serta penyusunan kurikulum.

  1. Manajemen Berbasis Sekolah

Menurut Malen dkk. dalam Abu-Duhou (2002) manajemen berbasis sekolah secara konseptual dapat digambarkan sebagai suatu perubahan formal struktur penyelenggaraan, sebagai suatu bentuk desentralisasi yang mengidentifikasikan sekolah itu sendiri sebagai unit utama peningkatan serta bertumpu pada redistribusi kewenangan. Manajemen sekolah yang selama ini terstruktur dari pusat telah menghambat kran komunikasi atau setidaknya terjadinya distorsi informasi antara pusat dan daerah, sehingga menimbulkan mis-implementation pada tataran riil di sekolah. Hal inilah yang menjadi bahan dilahirkannya sebuah sistem manajemen yang mampu menanggulangi permasalahan tersebut, yaitu suatu manajemen yang diberi kewenangan penuh kepada sekolah untuk mengatur dirinya sendiri dalam batas-batas yang rasional.

Candoli dalam Abu (2002) menjelaskan bahwa manajemen berbasis sekolah merupakan suatu cara untuk "memaksa" sekolah mengambil tanggung jawab atas apa yang terjadi menurut justifikasi sekolah. Konsep ini menerangkan bahwa ketika sekolah diberi tanggung jawab penuh dalam mengembangkan program-program kependidikannya yang bertujuan melayani kebutuhan-kebutuhan para stakeholder maka pihak sekolah akan dipaksa untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut.

  1. Otoritas Sekolah dalam Manajemen Berbasis Sekolah

Secara khusus hal-hal yang di desentralisasikan adalah yang secara langsung berhubungan dengan para peserta didik, seperti keputusan tentang program pendidikan, alokasi waktu, dan kurikulum. Tetapi menurut Caldel dan Spinks dalam Abu (2002) membagi beberapa hal yang menjadi otoritas sekolah dalam MBS, diantaranya yaitu:

  1. Pengetahuan (Knowledge); otoritas keputusan berkaitan dengan kurikulum, tujuan dan sasaran pendidikan.

  2. Teknologi (Technology); otoritas mengenai srana dan prasaran pembelajaran

  3. Kekuasaan (Power); kewenangan dalam membuat keputusan.

  4. Material (Material); kewenangan mengenai penggunaan fasilitas, pengadaan dan peralatan alat-alat sekolah.

  5. Manusia (People) kewenangan atas keputusan mengenai sumber daya manusia, pengembangan profesionalisme dan dukungan terhadap proses pembelajaran.

  6. Waktu (Time); kewenangan mengalokasikan waktu

  7. Keuangan (Financial); kewenangan dalam mengalokasikan dana pendidikan.

Sedangkan Thomas dalam Abu (2002) mengelompokkan kewenagan sekolah dalam manajemen berbasisi sekolah dalam empat hal, yaitu:

  1. Penerimaan (admission); kewenangan untuk menentukan siswa mana yang akan diterima diseklolah.

  2. Penilaian (Assessment); kewenangan untuk menentukan berapa siswa yang akan dinilai.

  3. Informasi (Information); kewenangan untuk menseleksi data mengenai kinerja sekolah dan mempublikasikannya.

  4. Pendanaan (Funding); kewenangan untuk menentukan uang masuk bagi penerimaan siswa.

PEMBAHASAN

    1. Kompetensi Siswa

Untuk merespons berbagai kondisi sebagaimana yang telah diuraikan pada pendahuluan di atas, maka salah satu kebutuhan yang sangat penting adalah tersedianya sistem pendidikan dan pelatihan yang mampu menghasilkan SDM yang berkualitas setara dengan standar internasional. Untuk melaksanakan sistem pendidikan yang baik dibutuhkan suatu standar kompetensi yaitu kemampuan yang harus dimiliki oleh seseorang untuk melakukan pekerjaan sebagai patokan kinerja yang diharapkan. Salah satu bentuk sistem pendidikan yang mampu meningkatkan kompetensi siswa adalah sistem manajemen berbasis sekolah yang memberi hak sepenuhnya atau otonomi kepada sekolah untuk mengelola sekolah sesuai dengan kondisi, lingkungan dan kebutuhan tempat di mana sekolah berada.

    1. Strategi Pengembangan Kompetensi Siswa

Dunia pendidikan dewasa ini yang semakin banyak menghadapi tantangan, salah satu diantaranya ialah bahwa pendidikan itu berlangsung dalam latar lingkungan yang dibuat-buat, karena pendidikan itu harus membina tingkah laku yang berguna bagi individu di masa akan datang dan bukan waktu sekarang. Akibat dari latar lingkungan yang dibuat adalah terjadinya suasana pembelajaran yang tidak menyenangkan. Masalah lain yang dihadapi dunia pendidikan adalah sekolah masih menggunakan cara yang bersifat aversif, di mana para siswa menyelesaikan tugas-tugas sekolahnya terutama untuk menghindari stimulus-stimulus aversif seperti kecaman guru, ejekan di muka kelas, menghadap kepala sekolah jika tidak membuat tugas di rumah.

  1. Untuk memecahkan masalah untuk perbaikan pendidikan itu pernah diusulkan beberapa pemecahan masalah yang diantaranya:

  1. Mendapatkan guru yang berkualitas

  2. Mencari terobosan baru untuk menandingi sekolah unggul

  3. Menaikkan standar pembelajaran

  4. Mereorganisasi kurikulum.

Akan tetapi pemecahan masalah yang pernah ditawarkan tersebut tidak menyentuh esensi permasalahan dunia pendidikan itu sendiri. Menurut Skinner satu hal yang perlu dilakukan untuk memecahkan kebuntuan tersebut adalah bagaimana guru bertanggung jawab mengembangkan pada siswa tingkah laku verbal (kompetensi) atau kemampuan siswa yang merupakan pernyataan keterampilan dan pengetahuan mata pelajaran. Konkritnya Skinner menjelaskan yang harus dilakukan dalam rangka meningkatkan kemampuan siswa atau kompetensi siswa adalah:

  1. Membangun khazanah tingkah laku verbal dan non verbal yang menunjukkan hasil belajar.

  2. Menghasilkan dengan kemungkinan yang besar, tingkah laku yang disebut minat, antusiasme dan motivasi untuk belajar.

Sehingga dengan tugas seperti ini pembelajaran itu berfungsi memperlancar pemerolehan pola-pola tingkah laku verbal dan nonverbal yang perlu dimiliki setiap siswa. Menurut Weiner, dengan teori atribusinya, satu sumbangan penting untuk pendidikan adalah berkenaan dengan analisa terjadinya interaksi di kelas. Hal yang penting diperhatikan dalam interaksi di kelas dalam konteks proses pembelajaran serta dalam rangka meningkatkan kemampuan atau kompetensi siswa ialah ciri siswa, ciri-ciri siswa yang perlu dipertimbangkan ialah perbedaan perseorangan, kesiapan untuk belajar dan motivasi:

  1. Perbedaan Perseorangan

Dalam hal ini yang perlu diperhatikan ialah tingkat perkembangan siswa dan tingkat rasa harga diri siswa. Untuk mengimbangi adanya perbedaan perseorangan dalam proses pembelajaran diantaranya dapat dilakukan pengajaran dengan kelompok kecil (cooperative learning), tutorial, dan belajar mandiri serta belajar individual.

  1. Kesiapan untuk belajar

Kesiapan seorang siswa dalam kegiatan pembelajaran sangat mempengaruhi hasil pembelajaran yang bermanfaat baginya. Karena belajar sifatnya kumulatif, kesiapan untuk belajar baru mengacu pada kapabilitas, dimana kesiapan untuk belajar itu meliputi keterampilan-keterampilan yang rendah kedudukannya dalam tata hierarki keterampilan intelektual.

  1. Motivasi

Ciri khas dari teori-teori belajar ialah memperlakukan motivasi sebagai suatu konsep yang dihubungkan dengan asas-asas untuk menimbulkan terjadinya belajar pada diri siswa. Konsep ini memusatkan perhatian pada dilakukannya manipulasi lingkungan yang bisa mendorong siswa seperti membangkitkan perhatian siswa, mempelajari peranan perangsang atau membuat agar bahan ajar menarik bagi siswa.

Ketiga hal di atas harus diperhatikan yang dibarengi dengan penciptaan suasana kelas yang menyenangkan sehingga tingkah laku, respons yang dikeluarkan oleh siswa menghasilkan suasana pembelajaran yang nyaman dan menyenangkan akibat dari stimulus lingkungan yang dimanipulasi tersebut. Di samping ketiga hal di atas yang perlu diperhatikan dalam konteks peningkatan kompetensi siswa, maka kurikulum juga merupakan hal yang tidak terpisahkan dengan kompetensi siswa dalam pembelajaran. Untuk mengimbangi peningkatan kemampuan siswa dalam konteks tingkah laku, maka kurikulum juga perlu menjadi perhatian sehingga siswa benar-benar memiliki kompetensi yang sangat memadai.

Kurikulum saat ini, terutama kurikulum pendidikan nasional akan dikembangkan apa yang dinamakan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) (Competency Based Curriculum). Dalam konsep ini, kurikulum harus dikuasai oleh siswa setelah ia menyelesaikan satu unit pelajaran, satu satuan waktu dan satu satuan pendidikan. Materi kurikulum harus ditekankan pada mata pelajaran yang sanggup menjawab tantangan global dan perkembangan iptek yang sangat cepat. Di samping itu kurikulum yang dikembangkan harus berlandaskan pendidikan etika dan moral yang dikembangkan dalam mata pelajaran agama dan mata pelajaran lain yang relevan.

Selain itu kurikulum harus bersifat luwes, sederhana dan bisa menampung berbagai kemungkinan perubahan di masa yang akan datang sebagai dampak dari perkembangan teknologi dan tuntutan masyarakat. Kurikulum hanya bersifat pedoman pokok dalam kegiatan pembelajaran siswa dan dapat dikembangkan dengan potensi siswa, keadaan sumber daya pendukung dan kondisi yang ada. Semua alternatif solusi diatas tidak ada artinya jika tidak dimanajemeni atau dikelola dengan profesional. Salah satunya adalah dengan menerapkan sistem manajemen berbasis sekolah, di mana pihak sekolah memiliki otoritas yang cukup untuk mengelola konsep-konsep yang akan diterapkan dalam rangka meningkatkan kompetensi siswa.

Masalah kurikulum, tujuan pendidikan, keputusan atau kebijakan sekolah, fasilitas yang akan digunakan, pengembangan SDM sekolah, pengaturan waktu dan biaya pendidikan, haruslah sepenuhnya dikelola oleh sekolah sehingga langkah-langkah teknis di atas dapat terwujud.

PENUTUP

Untuk meningkatkan kompetensi siswa ada beberapa hal yang harus diperhatikan, diantaranya, ciri-ciri siswa antara lain, perbedaan perseorangan, kesiapan belajar dan motivasi yang dibarengi oleh pemanipulasian suasana pembelajaran menjadi lebih disukai oleh siswa sehingga dengan mempertimbangkan kondisi ini apa yang diharapkan sesuai dengan tujuan. Akan tetapi jika menspesifikasi pendidikan ke dalam tingkah laku sama dengan membatasi guru menjadi upaya untuk merubah tingkah laku siswa. Pada hal, pendidikan tidak hanya sebatas tutorial yang akan mengakibatkan pendidikan kurang manusiawi dan terlalu mekanistik. Akan tetapi pendidikan lebih dari itu, di mana pendidikan memerlukan tingkat kecerdasan dan kebebasan berpikir yang tinggi, kompetensi dan moral atau tingkah laku yang kompleks untuk mengarunginya.

Secara kelembagaan dalam rangka meningkatkan kompetensi siswa perlu sebuah sistem yang mampu mengakomodir tujuan tersebut. Salah satu bentuk dari sistem tersebut adalah manajemen berbasis sekolah yaitu sebuah sistem manajemen yang memberi keluasan kepada pihak sekolah untuk mengelola sekolah masing-masing menurut kebutuhan, kondisi, dan tuntutan lingkungan di mana sekolah tersebut berada.

DAFTAR PUSTAKA

Abu, D. I. 2002. School Base Management. Diterjemahkan oleh Noryamin Aini, Suparto, dan Abas Al-Jauhari. Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu.

Dahar, R. W. 1989. Teori-teori Belajar. Jakarta: Depdikbud.

Gredler, E. B. M. 1991. Belajar dan Membelajarkan. Diterjemahkan Munandir. Jakarta: CV. Rajawali.

Sudjana, N. 2001. Teknologi Pengajaran. Bandung: Sinar Baru Algesindo.

Sidi, I. D. 2001. Menuju Masyarakat Belajar (Menggagas Paradigma Baru Pendidikan). Jakarta: Paramadina.

Suryabrata, S. 1998. Psikologi Pendidikan. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Snelbecker, G. E. 1974. Learning Theory, Intructional Theory, and Psycoeducational Design. New York: McGraw-Hill Book Company.