29 Juni 2010

NYANTAI DULU

Selamat beraktivitas bagi pembaca blog saya ini. Sambil nyantai, entah dengan baca koran, ngopi, atau bersantai ala yang lain, sengaja saya hadirkan video berikut. Mudah2an menghibur bagi kita semua. Tetap semangat, tak kenal menyerah dalam berusaha ikhtiar. Bagi teman2 mahasiswa yang lagi ngerjakan tugas akhir, entah skripsi, tesis, dan disertasi saya doakan mudah2an lancar semua, lancar konsultasinya, lancar waktu mengerjakannya, lancar tepat lulusnya sesuai dengan standar masing2 (S1 8smt, S2 4 smt, dan S3 6smt), pokok'e saya doakan lancar apik kabeh (asal yo jujur juga ngerjak'ne tugas akhire). Amin ... ! Ini dia video band favorit saya BOOMERANG
Lha iki yo BOOMERANG juga, tapi klipnya bukan ....
Klo iki klip asline, BOOMERANG Seumur Hidupku .....

ANALISIS DATA KUALITATIF

Analisis data dalam kualitatif sebenarnya peneliti tidak harus menutup diri terhadap kemungkinan penggunaan data kualitatif, karena data ini bermanfaat bagi pengembangan analisis itu sendiri. Prosedur penelitian lapangan yang lain yang umum ialah memeriksa apa yang dikatakan oleh partisipan atau pengamat yang berbeda-beda itu tentang satu kenyataan setelah itu terjadi. Peneliti perpustakaan seringkali tidak mengalami kesulitan besar dalam menggunakan taktik ini. Tiga taktik yang lebih paralel dalam penelitian lapangan atau penelitian perpustakaan.

Pertama, tentu saja sangat mungkin kita mengikuti sekuen-sekuen tertentu dari kejadian-kejadian yang berkaitan. Kedua, seorang peneliti lapangan berharap biasa menentukan siapa yang terlibat dalam satu kejadian dan siapa yang tidak atau siapa yang mungkin tahu tentang hal itu dan siapa yang mungkin tidak tahu; peneliti perpustakaan harus pula menemukan bagaimana informan yang bermacam-macam itu mengukur dan menilai hal-hal semacam itu. Ketiga, seringkali peneliti lapangan “terjerumus” oleh makna kata kunci yang mereka lihat digunakan secara konstan oleh masyarakat.

Teknik Analisis Kualitatif

  1. Teknik Analisis Isi (Content Analysis)

Teknik ini merupakan strategi verifikasi kualitatif, teknik analisis data ini dianggap sebagai teknik analisis data yang sering digunakan. Artinya teknik ini adalah yang paling abstrak untuk analisis data-data kualitatif. Secara teknik, content analysis mencakup upaya-upaya, klasifikasi lambang-lambang yang dipakai dalam komunikasi, menggunakan kriteria dalam klasifikasi, dan menggunakan teknik analisis tertentu dalam membuat produksi. Analisis ini sering digunakan dalam analisis-analisis verifikasi. Cara kerja atau logika analisis ini sesungguhnya sama dengan kebanyakan analisis data kualitatif. Peneliti memulai analisis dengan menggunakan lambang-lambang tertentu, mengklasifikasi data tersebut dengan kriteria-kriteria tertentu serta melakukan prediksi dengan teknik analisis yang tertentu pula.

  1. Teknik Analisis Domain (Domain Analysis)

Analisis domain digunakan untuk menganalisis gambaran objek peneliti secara umum atau di tingkat permukaan, namun relatif utuh tentang objek penelitian tersebut. Teknik analisis ini terkenal sebagai teknik yang dipakai dalam penelitian yang bertujuan eksplorasi. Artinya, analisis hasil penelitian ini hanya ditargetkan untuk memperoleh gambaran seutuhnya dari objek yang diteliti, tanpa harus diperincikan secara detail unsur-unsur yang ada dalam keutuhan objek penelitian tersebut.

Seorang peneliti misalnya menganalisa lembaga sosial, maka domain atau kategori simbolik dari lembaga sosial antara lain: keluarga, perguruan tinggi, rumah sakit. Sehubungan dengan kemungkinan bervariasinya domain, maka disarankan menggunakan hubungan semantik (semantik relationship) yang bersifat universal dalam analisis domain, yakni:

  1. Jenis,

  2. Ruang,

  3. Sebab akibat,

  4. Rasional,

  5. Lokasi kegiatan,

  6. Cara ke tujuan,

  7. Fungsi,

  8. Urutan,

  9. Atribut.

Terdapat 6 langkah dalam mengaplikasikan analisis domain, yakni:

  1. Memilih pola hubungan semantik tertentu atas dasar informasi atau fakta yang tersedia dalam catatan harian peneliti di lapangan,

  2. Menyiapkan kerja analisis domain,

  3. Memilih kesamaan-kesamaan data dari catatan harian peneliti di lapangan,

  4. Mencari konsep-konsep induk dan kategori-kategori simbolik dari tertentu yang sesuai dengan suatu pola hubungan semantik,

  5. Menyusun pertanyaan-pertanyaan struktural untuk masing-masing domain,

  6. Membuat daftar keseluruhan domain dari seluruh data yang ada.

  1. Teknik Analisis Taksonomi (Taksonomi Analysis)

Teknik analisis domain memberikan hasil analisis yang luas dan umum, tetapi belum terperinci serta masih bersifat menyeluruh. Apabila yang diinginkan adalah suatu hasil dari analisis yang terfokus pada suatu domain atau sub-sub domain tertentu maka peneliti harus menggunakan teknik analisis taksonomi. Teknik ini terfokus pada domain-domain tertentu, kemudian memilih domain tersebut menjadi sub-sub domain serta bagian-bagian yang lebih khusus dan terperinci, yang umumnya merupakan satu rumpun yang memiliki kesamaan. Hal yang perlu diketahui pula bahwa banyak sedikit pecahan-pecahan domain menjadi subdomain dan seterusnya, tergantung pada kompleksnya domain itu sendiri atau tergantung pada peneliti mengembangkan kompleksitas domain tertentu.

  1. Teknik Analisis Komponensial (Componential Analysis)

Teknik analisis komponensial adalah teknik analisis yang cukup menarik dan paling mudah dilakukan karena menggunakan “pendekatan kontras antarelemen”. Kedua teknik analisis tersebut pada umumnya digunakan dalam ilmu-ilmu sosial karena dua cara ini adalah yang termudah untuk gejala-gejala sosial. Teknik analisis komponensial secara keseluruhan memiliki kesamaan kerja dengan teknik analisis taksonomik, hal yang membedakan kedua teknik analisis ini hanyalah pada pendekatan yang dipakai oleh masing-masing teknik analisis.

Teknik analisis komponensial digunakan dalam analisis kualitatif untuk menganalisis unsur-unsur yang memiliki hubungan-hubungan yang kontras satu sama yang lain dalam domain-domain yang telah ditentukan untuk dianalisis secara lebih terperinci. Kegiatan analisis dapat dimulai dengan menggunakan beberapa tahap yaitu: (a) penggelaran hasil observasi dan wawancara; (b) pemilihan hasil observasi dan wawancara; dan (c) menemukan elemen-elemen kontras.

  1. Teknik Analisis Tema Kultural (Discovering Cultural Themes Analysis)

Teknik analisis tema memiliki bentuk yang sama dengan teknik analisis domain, tetapi muatan analisis berbeda dengan yang tersirat dalam nama masing-masing teknik tersebut. Teknik analisis tema mencoba mengumpulkan sekian banyak tema-tema, fokus budaya, etos budaya, nilai dan simbol budaya yang terkonsentrasi pada domain-domain tertentu.

Selain itu, analisis tema berusaha menemukan hubungan-hubungan yang terdapat pada domain-domain yang dianalisis sehingga akan membentuk suatu kesatuan yang holistik, dalam suatu complex pattern yang akhirnya akan menampakkan ke permukaan tentang tema-tema atau faktor yang paling mendominasi domain tersebut dan mana yang kurang mendominasi. Ada beberapa hal yang secara prinsip paling menonjol pada analisis ini yaitu dalam melakukan analisis. Peneliti harus kegiatan sebagai berikut:

  1. Peneliti harus mampu melakukan analisis komponensial antar domain,

  2. Membuat skema sarang laba-laba untuk dapat terbentuk pada domain satu dengan lainnya,

  3. Menarik makna dari hubungan-hubungan yang terbentuk pada masing-masing domain,

  4. Menarik kesimpulan secara universal dan holistik tentang makna persoalan sesungguhnya yang sedang dianalisis.

Sebelum hasil analisis ini dibuat dalam sebuah laporan, maka peneliti sekali lagi harus melakukan komparasi hasil analisisnya dengan berbagai macam literatur yang ada serta kelompok atau masyarakat lain sehubungan dengan persoalan yang ditelitinya.

  1. Teknik Analisis Komperatif Konstan (Constant Comperatif Analysis)

Teknik ini adalah yang paling ekstrim menerapkan strategi analisis deskriptif. Dikatakan ekstrim karena teknik ini betul-betul menerapkan logika induktif dalam analisisnya, hal tersebut jarang kita jumpai dalam penelitian-penelitian sosial. Esensinya bahwa teknik analisis komparatif adalah teknik yang digunakan untuk membandingkan kejadian-kejadian yang terjadi pada saat peneliti menganalisa kejadian tersebut dan dilakukan secara terus-menerus sepanjang penelitian ini dilakukan. Langkah-langkah dalam teknik komparatif konstan, yakni:

  1. Tahap membandingkan kejadian yang dapat diterapkan pada tiap kategori,

  2. Tahap memandukan kategori dan ciri-cirinya,

  3. Tahap membatasi lingkup teori,

  4. Tahap menulis teori,

  5. Peneliti harus memublikasikan teori yang ditemukannya dengan penuh keyakinan.

  1. Analisis Induksi (Induction Analysis)

Pengujian intensif pada strategi yang memilih beberapa kasus yang di bangun dengan pengalaman menyebabkan suatu fenomena. Analisis induksi ini digunakan untuk mengeliminasi kasus negatif. Langkah-langkah dari analisis induksi, yakni:

  1. Definisi kasar dari fenomena harus sudah dirumuskan,

  2. Salah satu masalah diuji dengan apakah obyektif atau tidak hipotesis sesuai dengan hasil fakta observasi,

  3. Jika hipotesisi tidak sama atau hipotesis ditulis ulang atau fenomena yang dijelaskan didefinisikan ulang kasus itu ditiadakan,

  4. Prosedur dari pengujian suatu kasus dan di luar kasus negatif dari formulasi hipotesis atau fenomena yang didefinisikan ulang dilanjutkan sampai hubungannya ada.

PENELITIAN KUALITATIF: GROUNDED THEORY APPROACH

  1. Pendahuluan

Grounded Theory Approach adalah metode penelitian kualitatif yang menggunakan sejumlah prosedur sistematis guna mengembangkan teori dari kancah. Pendekatan ini pertama kali disusun oleh dua orang sosiolog Barney Glaser dan Anselm Strauss, yang menghasilkan karya buku, yaitu: The Discovery of Grounded Theory (1967); Theoritical Sensitivity (1978); Qualitative Analysis for Social Scientists (1987); dan Basics of Qualitative Research: Grounded Theory Procedures and Techniques (1990). Menurut Glaser dan Strauss, pendekatan grounded theory merupakan metode ilmiah, karena prosedur kerjanya yang dirancang secara cermat sehingga memenuhi keriteria metode ilmiah. Keriteria dimaksud adalah adanya signifikansi, kesesuaian antara teori dan observasi, dapat digeneralisasikan, dapat diteliti ulang, adanya ketepatan dan ketelitian, serta dapat dibuktikan.

Sesuai dengan nama yang disandangnya, tujuan dari grounded theory approach adalah teoritisasi data. Teoritisasi adalah sebuah metode penyusunan teori yang berorientasi tindakan/interaksi, karena itu cocok digunakan untuk penelitian terhadap perilaku. Penelitian ini tidak bertolak dari suatu teori atau untuk menguji teori (seperti paradigma penelitian kuantitatif), melainkan bertolak dari data menuju suatu teori. Untuk maksud itu, yang diperlukan dalam proses menuju teori itu adalah prosedur yang terencana dan teratur (sistematis). Selanjutnya, metode analisis yang ditawarkan Grounded Theory Approach adalah teoritisasi data (grounded theory).

Grounded theory pada dasarnya dapat diterapkan pada berbagai disiplin ilmu-ilmu sosial, namun demikian seorang peneliti tidak perlu ahli dalam bidang ilmu yang sedang ditelitinya. Hal yang lebih penting adalah bahwa dari awal peneliti telah memiliki pengetahuan dasar dalam bidang ilmu yang ditelitinya, supaya ia paham jenis dan format data yang dikumpulkannya.

  1. Perumusan Masalah Penelitian

Paradigma kualitatif mengasumsikan bahwa di dalam kehidupan sosial selalu ditemukan regulasi-regulasi yang relatif sudah terpola. Pola-pola regulasi yang ditemukan melalui penelitian itulah yang dirumuskan menjadi teori. Asumsi ini dipertegas dalam grounded theory, dengan menyatakan bahwa; (a) semua konsep yang berhubungan dengan fenomena belum dapat diidentifikasi; dan (b) hubungan antarkonsep belum terpahami atau belum tersusun secara konseptual. Oleh sebab itu, tidak mungkin bagi seorang peneliti untuk mengajukan masalah yang sangat spesifik seperti yang dituntut dalam metode kuantitatif, baik variabel maupun tipe hubungan antarvariabelnya.

Substansi rumusan masalah dalam pendekatan grounded theory masih bersifat umum, yaitu dalam bentuk pertanyaan yang masih memberi kelonggaran dan kebebasan untuk menggali fenomena secara luas, dan belum sampai menegaskan mana saja variabel yang berhubungan dengan ruang lingkup masalah dan mana yang tidak. Demikian pula tipe hubungan antarvariabelnya belum perlu dieksplisitkan dalam rumusan masalah yang dibuat.

Bertolak dari dasar asumsi dan kemungkinan yang diutarakan di atas, rumusan masalah dalam grounded theory disusun secara bertahap. Pada tahap awal, sebelum pengumpulan data, dikemukan rumusan masalah yang bersifat luas (tetapi tidak terlalu terbuka), yang kemudian nanti setelah data yang bersifat umum dikumpulkan, rumusan masalahnya semakin dipersempit dan lebih difokuskan sesuai dengan sifat data yang dikumpulkan. Intinya adalah bahwa rumusan masalah dalam grounded theory disusun lebih dari satu kali. Rumusan masalah yang diajukan pada tahap pertama dimaksudkan sebagai panduan dalam mengumpul data, sedangkan rumusan masalah yang diajukan pada tahap berikutnya dimaksudkan sebagai panduan untuk menyusun teori.

Perumusan masalah yang disebut terakhir ini inheren dengan perumusan hipotesis penelitian. Seperti lazimnya pada setiap penelitian, rumusan masalah yang disusun pada tahap awal adalah yang memiliki substansi yang jelas serta diformulasikan dalam bentuk pertanyaan. Ciri rumusan masalah yang disarankan dalam grounded theory adalah: (a) berorientasi pada pengidentifikasian fenomena yang diteliti; (b) mengungkap secara tegas tentang obyek (formal dan material) yang akan diteliti, serta (c) berorientasi pada proses dan tindakan.

Contoh rumusan masalah awal pada grounded theory; “Bagaimanakah wanita yang berpenyakit kronis mengatasi kehamilan?”. Pertanyaan yang diajukan dalam rumusan masalah ini bermaksud untuk: (a) mengenali secara tepat dan mendalam perilaku wanita yang sedang berpenyakit kronis dalam mengatasi kehamilannya; (b) obyek formal penelitian adalah wanita yang berpenyakit kronis yang sedang hamil, sedangkan obyek materialnya adalah cara-cara yang dilakukan oleh wanita itu dalam mengatasi persoalan kehamilan dalam kondisi sakit; dan (c) orientasi utama yang disoroti adalah tahapan tindakan si wanita dan jenis-jenis atau bentuk-bentuk tindakan yang dipilih.

  1. Penggunaan Teori Terdahulu

Sebagaimana penelitian kualitatif pada umumnya, pendekatan grounded theory sama sekali tidak bermaksud untuk menguji teori, dan bahkan tidak bertolak dari variabel-variabel yang direduksi dari suatu teori. Sungguh tidak relevan jika penelitian dengan grounded theory dimulai dengan teori atau variabel yang telah ada, karena akan menghambat pengembangan rumusan teori baru. Oleh sebab itu, penelitian grounded theory tidak perlu terlalu terpangaruh oleh literatur karena akan menutupi kreativitas dalam mengumpul, memahami dan menganalisis data. Inilah yang dimaksudkan dalam pendekatan grounded theory, bahwa sesungguhnya peneliti belum memiliki pengetahuan tentang obyek yang diteliti, termasuk jenis data dan kategori-kategori yang mungkin ditemukan.

Pendekatan grounded theory, teori yang sudah ada harus diletakkan sesuai dengan maksud penelitian yang dikerjakan. Penelitian yang bermaksud menemukan teori dari dasar:

  1. Jika peneliti menghadapi kesulitan dalam hal konsep ketika merumuskan masalah, membangun kerangka berpikir, dan menyusun bahan wawancara, maka konsep-konsep yang digunakan oleh teori terdahulu dapat dipinjam untuk sementara sampai ditemukan konsep yang sebenarnya dari kancah,

  2. Jika penelitian dengan grounded theory menemukan teori yang memiliki hubungan dengan teori yang sudah dikenal, maka temuan baru itu merupakan sumbangan baru untuk memperluas teori yang sudah ada. Demikian pula, jika ternyata teori yang ditemukan identik dengan teori yang sudah ada, maka teori yang ada dapat dijadikan sebagai pengabsahan dari temuan baru itu,

  3. Jika peneliti sudah menemukan kategori-kategori dari data yang dikumpulkan, maka ia perlu memeriksa apakah sistem kategori serupa telah ada sebelumnya. Jika ya, maka peneliti perlu memahami tentang apa saja yang dikatakan oleh peneliti lain tentang kategori tersebut, tetapi bukan untuk mengikutinya. Penelitian yang bermaksud memperluas teori,

  4. Jika penelitian bermaksud untuk memperluas teori yang telah ada, maka penelitian dapat dimulai dari teori tersebut dengan merujuk kerangka umum teori itu. Dengan kata lain, kerangka teoritik yang sudah ada bisa digunakan untuk menginterpretasi dan mendekati data. Namun demikian, penelitian yang sekarang harus dikembangkan secara tersendiri dan terlepas dari teori sebelumnya. Dengan demikian, penelitian dapat dengan bebas memilih data yang dikumpulkan, sehingga memungkinkan teori awalnya dapat diubah, ditambah, atau dimodifikasi,

  5. Jika penelitian sekarang bertolak dari teori yang sudah ada, maka ia dapat dimanfaatkan untuk menyusun sejumlah pertanyaan atau menjadi pedoman dalam pengamatan /wawancara untuk mengumpul data awal,

  6. Jika temuan penelitian sekarang berbeda dari teori yang sudah ada, maka peneliti dapat menjelaskan bagaimana dan mengapa temuannya berbeda dengan teori yang ada.

  1. Analisis Data

Esensi kegiatan pengumpulan dan analisis data dalam grounded theory adalah proses yang saling berkaitan erat, dan harus dilakukan secara bergantian (siklus). Karena itu kegiatan analisis yang dibicarakan pada bagian berikut telah dikerjakan pada saat pengumpulan data sedang berlangsung. Kegiatan analisis dalam penelitian ini dilakukan dalam bentuk pengkodean (coding). Pengkodean merupakan proses penguraian data, pengonsepan, dan penyusunan kembali dengan cara baru. Tujuan pengkodean dalam penelitian grounded theory adalah untuk: (a) menyusun teori; (b) memberikan ketepatan proses penelitian; (c) membantu peneliti mengatasi bias dan asumsi yang salah; dan (d) memberikan landasan, memberikan kepadatan makna, dan mengembangkan kepekaan untuk menghasilkan teori.

Terdapat dua prosedur analisis yang merupakan dasar bagi proses pengkodean, yaitu: (a) pembuatan perbandingan secara terus-menerus (the constant comparative methode of analysis); dan (b) pengajuan pertanyaan. Konteks penelitian grounded theory, hal-hal yang diperbandingkan itu cukup beragam, yang intinya berada pada sekitar: (a) relevansi fenomena atau data yang ditemukan dengan permasalahan pokok penelitian; dan (b) posisi dari setiap fenomena dilihat dari sifat-sifat atau ukurannya dalam suatu tingkatan garis kontinum.

  1. Pengkodean Terbuka (Open Coding)

    1. Pelabelan Fenomena

Pelabelan fenomena merupakan langkah awal dalam analisis. Yang dimaksud dengan pelabelan fenomena adalah pemberian nama terhadap benda, kejadian atau informasi yang diperoleh melalui pengamatan dan atau wawancara. Pada hakikatnya, pelabelan itu merupakan suatu pembuatan nama dari setiap fenomena dengan konsep-konsep tertentu. Jadi pelabelan fenomena itu tidak lain adalah satu kegiatan konseptualisasi data.

Cara untuk melakukan pelabelan ini ialah dengan membandingkan insiden-insiden, sampai dapat diberikan nama yang sama untuk fenomena-fenomena yang serupa. Cara ini tidak sekedar meringkas hasil pengamatan atau wawancara dengan kata-kata kunci sebagai ganti dari sebuah deskripsi yang panjang, melainkan memberikan konsep baru terhadap fenomena (atau kegiatan konseptualisasi). Sebagai contoh, jika peneliti melihat sekelompok orang duduk melingkar mengelilingi sebuah meja besar, di mana masing-masing menyampaikan pendapat secara bergantian di bawah kordinasi seorang yang mengatur lalu-lintas pembicaraan, maka fenomena yang berlangsung dalam waktu yang lama ini dapat diberi label dengan diskusi atau rapat.

    1. Penemuan dan Penamaan Kategori

Pada hakikatnya, setiap fenomena yang sudah diberi label adalah unit-unit data yang masih berserakan. Kapasitas intelektual manusia tidak cukup kuat untuk sekaligus memproses dan menganalisis informasi yang jumlahnya besar seperti itu. Untuk menyederhanakan data tersebut perlu dipisahkan ke dalam beberapa kelompok. Penyederhanaan data itu pada umumnya dilakukan dengan cara mereduksi data sehingga menjadi lebih ringkas dan padat, kemudian membagi-baginya ke dalam kelompok-kelompok tertentu (kategorisasi) sesuai sifat dan substansinya. Proses kategorisasi ini pada dasarnya tergantung pada tujuan penelitian yang sudah ditetapkan pada rancangan penelitian.

Jika dalam pelabelan fenomena dilakukan proses konseptualisasi, maka dalam pemberian nama kategori dilakukan proses abstraksi. Kegiatan ini berkaitan dengan logika induktif, di mana sejumlah unit data yang sama atau memiliki keserupaan dikelompokkan dalam satu kategori kemudian diberi nama yang lebih abstrak. Kambing, lembu, dan kerbau, misalnya, adalah konsep-konsep yang memiliki keserupaan dan dapat dikelompokkan jadi satu kategori dengan nama binatang menyusui (mamalia). Contoh lain, jika anda melihat anak-anak sedang bermain, lalu ada yang merebut mainan, menyembunyikan mainan, menjauhi teman, menangis, maka semua konsep perilaku itu dapat dijadikan satu kategori, yaitu sebagai strategi untuk menghindari pinjaman atas mainan miliknya. Intinya adalah memadukan konsep-konsep yang menurut tujuan penelitian anda memiliki keserupaan menjadi satu kategori dan kemudian memberi label (nama) yang lebih abstrak yang mencakup semua konsep tersebut.

Pemberian nama kategori ini, adakalanya peneliti membuat sendiri nama yang sesuai dengan kelompok unit data, tetapi adakalanya meminjam istilah yang sudah dibuat oleh peneliti atau ahli lainnya. Kedua-duanya tetap dibenarkan dalam grounded theory. Namun demikian, cara pemberian nama yang paling dianjurkan, adalah dengan menggunakan istilah yang dipakai oleh subyek yang diteliti, karena cara inilah yang disarankan sesuai dengan pendekatan emic yang menjadi ciri dari setiap penelitian kualitatif.

    1. Penyusunan Kategori

Dasar untuk penyusunan kategori adalah sifat dan ukurannya. Yang dimaksud dengan sifat di sini adalah karakteristik atau atribut suatu kategori (yang berfungsi sebagai ranah ukuran, dimensional range), sedangkan ukuran adalah posisi dari sifat dalam suatu kontinium. Lambang-lambang Partai Golkar dalam suatu kampanye, misalnya, berupa kaos, jaket, topi, bendera, spanduk, umbul-umbul, dan sebagainya, semua dikategorikan dengan warna kuning.

Warna kuning (kategori) dari lambang-lambang yang tampak itu sesungguhnya tidak persis sama, di sana ada perbedaan baik dari segi intensitas coraknya, maupun kecerahannya. Intensitas corak dan kecerahan itulah sifat dari warna kuning tersebut. Masing-masing sifat itu memiliki dimensi yang dapat diukur. Setiap dimensinya dapat ditempatkan pada posisi tertentu dalam garis kontinium. Intensitas corak warna itu, misalnya, dapat diberi ukuran mulai dari yang kuning tebal (orange) sampai pada kuning tipis (keputih-putihan).

Demikian seterusnya, setiap kategori data bisa ditempatkan di mana saja di sepanjang kontinua dimensional secara bervariasi. Akibatnya, setiap kategori memiiki profil dimensional yang terpisah. Beberapa profil itu dapat dikelompokkan sehingga membentuk suatu pola. Profil dimensional ini menggambarkan sifat khusus dari suatu fenomena dalam kondisi-kondisi yang ada. Hal penting yang perlu dipahami adalah penentuan sifat umum dari suatu fenomena atau kategori. Sifat umum dari setiap kategori fenomena tentu tidak sama. Sifat umum dari warna, adalah intensisitas corak dan kecerahan, sedangkan sifat umum dari perilaku adalah frekuensi, intensitas, durasi, dan seterusnya.

  1. Pengkodean Terporos (Axial Coding)

Pengkodean terporos adalah seperangkat prosedur penempatan data kembali dengan cara-cara baru dengan membuat kaitan antarkategori. Pengkodean ini diawali dari penentuan jenis kategori kemudian dilanjutkan dengan penemuan hubungan antar kategori atau antar subkategori. Setiap kategori dalam grounded theory harus dikelompokkan ke dalam satu jenis kategori berikut; yaitu kondisi kausal, konteks, kondisi pengaruh, strategi aksi/interaksi, dan konsekuensi. Sistem pengelompokan kategori ini disebut dengan model paradigma Grounded Theory. Tugas peneliti pada tahap ini adalah memberi kode terhadap setiap kategori data, dengan mengajukan pertanyaan, termasuk jenis kategori apa data ini? Model paradigma inilah yang menjadi dasar untuk menemukan hubungan antar kategori atau antarsubkategori.

Kegiatan selanjutnya adalah menghubungkan subkategori dengan kategorinya. Sifat pertanyaan yang diajukan dalam pengkodean terporos mengarah pada suatu jenis hubungan. Alternatif hubungan-hubungan itu adalah; hubungan antara kondisi kausal dengan strategi aksi/interaksi, hubungan antara konteks dengan strategi aksi/interaksi, hubungan antara kondisi pengaruh dengan strategi aksi/interaksi, hubungan antara strategi aksi/interaksi dengan konsekuensi. Pola hubungan yang perlu ditemukan itu tidak terhenti pada hubungan antara dua kategori, melainkan harus dapat mengungkap hubungan antara semua jenis kategori, yang dapat digambarkan ke dalam skema berikut:

  1. Pengkodean Terpilih (Selective Coding)

Mengingat masalah penelitian dalam grounded theory masih bersifat umum, mungkin sekali peneliti menemukan sejumlah besar data dengan kategori dan hubungan antarkategori/subkategori yang banyak dan bervariasi. Kenyataan ini tentu dapat membingungkan, karena datanya masih belum terfokus pada titik tertentu. Untuk menyederhanakannya perlu dilakukan proses penggabungan dan atau seleksi secara sistematis.

Langkah pertama yang dapat dilakukan untuk menyederhanakan data adalah dengan menggabungkan semua kategori, sehingga menghasilkan tema khusus. Penggabungan tidaklah banyak berbeda dengan pengkodean terporos, kecuali tingkat abstraksnya. Konsep-konsep yang digunakan dalam penggabungan lebih abstrak dari konsep pengkodean terporos. Cara ini merupakan tugas peneliti yang paling sulit. Kepekaan teoritik dari peneliti amat penting di sini. Inti dari proses penggabungan itu adalah, bagaimana peneliti dapat menemukan spirit teoritis dari semua kategori. Spirit teoritis itu mungkin saja tidak tampak secara eksplisit, tetapi tertangkap oleh pikiran peneliti.

Ada beberapa tahapan kerja yang disarankan dalam proses pengkodean terpilih ini:

  1. Mereproduksi kembali alur cerita atau susunan data ke dalam pikiran,

  2. Mengidentifikasi data dengan menulis beberapa kalimat pendek yang berisi inti cerita atau data. Pertanyaan yang perlu diajukan peneliti terhadap dirinya sendiri, adalah “apakah yang tampak menonjol dari wilayah penelitian ini?”, atau “apa masalah utamanya”,

  3. Menyimpulkan dan memberi kode terhadap satu atau dua kalimat sebagai kategori inti. Keriteria kategori inti yang disimpulkan itu ialah bahwa ia merupakan inti masalah yang dapat mencakup semua fenomena/data. Kategori inti harus cukup luas agar mencakup dan berkaitan dengan kategori lain. Kategori inti ini dapat diibaratkan sebagai matahari yang berhubungan secara sistematis dengan planet-planet lain. Lalu kategori inti tersebut diberi nama (konseptualisasi),

  4. Menentukan pilihan kategori inti. Jika ternyata pada tahap “b” ada dua atau tiga kategori inti, maka mau tak mau harus dipilih satu saja. Kategori inti lainnya dijadikan sebagai kategori tambahan yang tidak menjadi inti pembahasan dalam penelitian ini.

Tahap penggabungan dan atau pemilihan ini, peneliti sebenarnya telah sampai pada penemuan tema pokok penelitian. Pada umumnya metode kualitatif menganggap penelitian telah selesai pada penemuan tema ini. Lain hal dalam Grounded Theory, tema utama (yang sudah ditemukan) dipandang sebagai dasar untuk merumuskan masalah utama dan hipotesis penelitian. Karena itu, peneliti perlu merumuskan masalah pokok dan hipotesis penelitiannya. Berdasarkan masalah dan hipotesis itu, peneliti harus kembali lagi ke lapangan untuk mengabsahkan atau membutikannya. Hasil pembuktian itulah yang menjadi temuan penelitian, yang disebut sebagai teori.

  1. Analisis Proses

Menganalisis proses merupakan bagian penting dalam Grounded Theory. Analisis proses adalah pengaitan urutan tindakan/interaksi. Kegiatan analisis ini terdiri dari penelusuran terhadap: (a) perubahan kondisi; (b) respon (strategi aksi/interaksi) terhadap perubahan; (c) konsekuensi yang timbul dari respons; dan (d) penjabaran posisi konsekwensi sebagai bagian dari kondisi. Penelitian grounded theory, analisis proses bukan merupakan bagian dari tahapan kegiatan, tetapi sebagai cara untuk mempertajam analisis dalam pengkodean (khusus pada pengkodean terporos dan pengkodean terpilih).

Hasil analisis proses itu juga perlu ditunjukkan dalam penulisan laporan penelitian. Maksud analisis proses ini adalah sebagai cara untuk menghidupkan data melalui penggambaran dan pengaitan tindakan/interaksi untuk mengetahui urutan dan atau rangkaian data. Dalam pengaitan itu tidak hanya untuk mengenali urutan waktu atau kronologi suatu peristiwa, melainkan yang lebih penting adalah untuk menemukan keterkaitan antara stimulus, respon, dan akibat. Kondisi, respon, dan konsekwensi harus dilihat sebagai tiga hal yang terus bergerak secara dinamis dan berputar mengikuti garis lingkaran. Praktiknya, proses dapat dilihat sebagai pergerakan progresif dan dapat pula dilihat sebagai pergerakan nonprogresif.

Kedua perspektif proses ini dapat dijabarkan, yakni: (a) proses sebagai pergerakan progresif, jika proses dilihat sebagai pergerakan progresif, maka peneliti dapat mengkonsepkan data sebagai langkah-langkah, fase-fase, atau tahapan. Cara ini cukup baik untuk penelitian yang membahas tentang perkembangan, sosialisasi, transformasi mobilitas sosial, imigrasi, dan peristiwa sejarah. Hal penting yang perlu diingat di sini ialah bahwa kesemua unsur paradigma Grounded Theory harus berperan dalam menjelaskan rentang waktu dan variasinya, di mana keterkaitan atau hubungan-hubungan antar unsur tetap dapat dieksplisitkan. (b) Proses sebagai pergerakan nonprogresif, bagaimanapun tidak semua fenomena terjadi secara kronologis, karena tidak jarang pula ditemukan fenomena yang tidak dapat dinyatakan sebagai langkah-langkah dan fase-fase progresif yang runtut. Untuk fenomena seperti ini, peneliti dianjurkan untuk menganalisis penggantian atau perubahan tindakan/interaksi yang terencana sebagai tanggapan atas perubahan kondisi.

  1. Pengumpulan Data dan Penyampelan Teoritik

Instrumen pengumpul data penelitian grounded theory pada dasarnya adalah peneliti sendiri. Proses kerja pengumpulan data itu terdapat dua metode utama yang dapat digunakan secara simultan, yaitu observasi dan wawancara mendalam. Metode observasi dan wawancara dalam grounded theory tidak berbeda dengan observasi dan wawancara pada jenis penelitian kualitatif lainnya.

Hal yang spesifik yang membedakan pengumpulan data pada penelitian grounded theory dari pendekatan kualitatif lainnya adalah pada pemilihan fenomena yang dikumpulkan. Paling tidak, pada grounded theory sangat ditekankan untuk menggali data perilaku yang sedang berlangsung (life history) untuk melihat prosesnya serta ditujukan untuk menangkap hal-hal yang bersifat kausalitas. Seorang peneliti grounded theory selalu mempertanyakan “mengapa suatu kondisi terjadi?”, “apa konsekuensi yang timbul dari suatu tindakan/reaksi?”, dan “seperti apa tahap-tahap kondisi, tindakan/reaksi, dan konsekuensi itu berlangsung?”.

Responden penelitian grounded theory tidak didasarkan pada jumlah populasi, melainkan pada keterwakilan konsep dalam beragam bentuknya. Teknik pengambilan responden dilakukan dengan cara penyampelan teoritik. Penyampelan teoritik adalah pengambilan responden berdasarkan konsep-konsep yang terbukti berhubungan secara teoritik dengan teori yang sedang disusun. Tujuannya adalah mengambil responden peristiwa/fenomena yang menunjukkan kategori, sifat, dan ukuran yang secara langsung menjawab masalah penelitian.

Sebagai contoh, jika peneliti sedang meneliti “warna kuning” yang di dimensinya terdiri atas “intensitas corak” dan “kecerahan”, maka peneliti memutuskan untuk mendalami “intensitas corak” saja (tidak lagi membahas tentang “kecerahan”), berarti ia sudah melakukan penyampelan. Penegasan ini memberi makna, bahwa pada dasarnya yang di responden itu bukan obyek formal penelitian (orang atau benda-benda), melainkan obyek material yang berupa fenomena-fenomena yang sudah dikonsepkan. Namun demikian, karena fenomena itu melekat dengan subyek (orang atau benda), maka dengan sendirinya obyek formal juga ikut di responden dalam peroses pengumpulan atau penggalian fenomena.

Berkenaan dengan proposisi terakhir, pada hakikatnya fenomena yang telah terpilih itulah yang dicari atau digali oleh peneliti ketika proses pengumpulan data. Karena fenomena itu melekat dengan subyek yang diteliti, maka jumlah subyek pun terus bertambah sampai tidak ditemukan lagi informasi baru yang diungkap oleh beberapa subyek yang terakhir. Itulah sebabnya, penentuan responden subyek dalam penelitian grounded theory, seperti halnya penelitian kualitatif pada umumnya, tidak dapat direncanakan dari awal. Subyek-subyek yang diteliti secara berproses ditentukan di lapangan, ketika pengumpulan data berlangsung. Cara penyampelan inilah yang disebut dalam penelitian kualitatif sebagai snowball sampling.

Sesuai dengan tahap pengkodean dan analisis data, penyampelan dalam Grounded Theory diarahkan dengan logika dan tujuan dari tiga jenis dasar prosedur pengkodean. Ada tiga pola penyampelan teoritik, yang sekaligus menandai tiga tahapan kegiatan pengumpulan data: (a) penyampelan terbuka; (b) penyampelan relasional dan variasional; dan (c) penyampelan pembeda. Penyampelan ini bersifat kumulatif (di mana penyampelan terdahulu menjadi dasar bagi penyampelan berikutnya) dan semakin mengerucut sejalan dengan tingkat kedalaman fokus penelitian.

Penyampelan terbuka, penyampelan ini bertujuan untuk menemukan data sebanyak mungkin sepanjang berkenaan dengan rumusan masalah yang dibuat pada awal penelitian. Karena pada tahap awal itu peneliti belum yakin tentang konsep mana yang relevan secara teoritik, maka obyek pengamatan dan orang-orang yang diwawncarai juga masih belum dibatasi. Data yang terkumpul dari kegiatan pengumpulan data awal inilah kemudian dianalisis dengan pengkodean terbuka.

Penyampelan relasional dan variasional, sebagaimana diutarakan di atas, tujuan pengkodean terporos adalah menghubungkan secara lebih khusus kategori-kategori dengan sub-subkategorinya. Untuk maksud ini perlu dilakukan penyampelan yang berfokus pada pengungkapan dan pembuktian hubungan-hubungan tersebut. Kegiatan itu dinamakan penyampelan relasional dan variasional. Penyampelan relasional dan variasional diupayakan untuk menemukan sebanyak mungkin perbedaan tingkat ukuran di dalam data. Hal pokok yang perlu pada penemuan perbedaan tingkat ukuran tersebut adalah proses dan variasi. Jadi, inti utama penyampelan di sini adalah memilih subyek, lokasi, atau dokumen yang memaksimalkan peluang untuk memperoleh data yang berkaitan dengan variasi ukuran kategori dan data yang bertalian dengan perubahan.

Penyampelan pembeda, penyampelan pembeda berkaitan dengan kegiatan pengkodean terpilih. Karena itu tujuan penyampelan pembeda di sini adalah penetapan subyek yang diduga dapat memberi peluang bagi peneliti untuk membuktikan atau menguji hubungan antarkategori.

Kegiatan pengumpulan data dalam penelitian grounded theory berlangsung secara bertahap dan dalam rentang waktu yang relatif lama. Proses pengambilan responden juga berlangsung secara terus menerus ketika kegiatan pengumpulan data. Jumlah responden bisa terus bertambah sejalan dengan pertambahan jumlah data yang dibutuhkan. Ketentuan umum dalam grounded theory adalah melakukan penyampelan hingga pemenuhan teoritik bagi setiap kategori tercapai. Maksudnya, penyampelan dihentikan apabila: (a) tidak ada lagi data baru yang relevan; (b) penyusunan kategorinya telah terpenuhi; dan (c) hubungan antarkategori sudah ditetapkan dan dibuktikan.

Berdasarkan uraian tentang prinsip penyampelan di atas, pengambilan kesimpulan dalam penelitian grounded theory tidak didasarkan pada generalisasi, melainkan pada spesifikasi. Bertolak dari pola penalaran ini, penelitian grounded theory bermaksud untuk membuat spesifikasi-spesifikasi terhadap: (a) kondisi yang menjadi sebab munculnya fenomena; (b) tindakan/interaksi yang merupakan respon terhadap kondisi itu; dan (c) konsekuensi-konsekuensi yang timbul dari tindakan/interaksi itu. Segingga rumusan teoritik sebagai hasil akhir yang ditemukan dari jenis penelitian ini tidak menjustfikasi keberlakuannya untuk semua populasi, seperti dalam penelitian kuantitatif, melainkan hanya untuk situasi atau kondisi tersebut.

  1. Penutup

Grounded Theory Approach adalah satu jenis metode penelitian kualitatif yang berorientasi pada penemuan teori dari kancah. Dilihat dari prosedur, prinsip, dan teknik yang digunakan, metode ini benar-benar bersifat kualitatif murni, tetapi jika dilihat dari kerangka berpikir yang digunakan ternyata secara implisit pendekatan ini meminjam metode kuantitatif. Terdapat tiga dasar kerangka berpikir kuantitif yang dipinjam grounded theory.

Pertama, penggunaan hukum kausalitas sebagai dasar penyusunan teori. Seperti diketahui, bahwa dalam epistemologi ilmiah, prinsip kausalitas adalah salah asumsi dasar bagi pengembangan ilmu pengetahuan, karena sangat diyakini bahwa segala hal yang terjadi di alam ini tidak lepas dari hukum sebab-akibat.

Kedua pengukuran fenomena, penelitian kualitatif pada umumnya tidak melakukan pengukuran terhadap data yang ditemukannya, melainkan lebih menekankan pada pengelompokan konfigurasi dari variasinya. Lain hal dengan Grounded Theory, di sini dilakukan pengukuran-pengukuran, sebagaimana yang lazim dilakukan pada metode kuantitatif.

Ketiga penggunaan variabel, secara eksplisit memang tidak pernah disebut-sebut istilah variabel dalam grounded theory, tetapi dengan penggunaan paradigma teoritik yang membagi fenomena ke dalam kondisi kausal, konteks, kondisi pengaruh, tindakan/interaksi, dan konsekwensi, serta mencari hubungan-hubungan antara unsur-unsur itu merupakan pertanda bahwa di dalam metode ini digunakan konsep-konsep yang identik dengan variabel.

Perkawinan metode kualitatif dengan kuantitatif dalam grounded theory merupakan satu perkembangan baru yang patut diberi apresiasi positif. Proses perkawinan itu sendiri harus dimaklumi, tidak saja karena Strauss dan Glaser sebagai dua tokoh penggagas metode ini yang memiliki latar pemikiran yang berbeda (kualitatif dan kuantitatif), melainkan juga karena tuntutan perkembangan metode keilmuan yang terus berkembang. Mau tak mau, metode kualitatif harus menata prosedur dan teknik-teknik penelitiannya agar semakin dipercaya sebagai metode yang dapat diandalkan dalam pengembangan ilmu pengetahuan.

KEMAMPUAN PENGENDALIAN KONFLIK DAN KINERJA

    Konflik

    1. Pengertian Konflik

Konflik berasal dari kata conflict (Inggris) yang berarti percekcokan, perselisihan, dan pertentangan. Kata “konflik” berasal dari kata confliegere, confflictm yang berarti saling berbenturan. Arti kata ini menunjuk pada semua bentuk benturan, tabrakan, ketidaksesuaian, ketidakserasian, perkelahian, oposisi, dan interaksi yang antagonis (Kartono, 1991:213). Menurut Kamaludin (2002:141) konflik adalah segala sesuatu (interaksi) pertentangan atau antagonis antara dua pihak atau lebih. Konflik juga merupakan suatu interaksi yang antagonis mencakup tingkah laku lahiriah yang tampak jelas mulai dari bentuk-bentuk perlawanan halus, terkontrol, tersembunyi, tak langsung, sampai pada bentuk perlawanan terbuka (Clinton dalam Soetopo dan Supriyanto, 1993:3).

Konflik adalah relasi-relasi psikologis yang antagonis, berkaitan dengan tujuan-tujuan yang tak bisa dipertemukan, sikap-sikap emosional yang bermusuhan, dan struktur-struktur nilai yang berbeda. Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa konflik adalah suatu keadaan dari seseorang atau kelompok dalam organisasi yang mengalami suatu perbedaan dalam menghadapi atau memandang suatu hal yang diwujudkan melalui perilaku yang tidak sejalan dengan pihak lain. Ketidaksetujuan dan ketidaksejalanan tersebut diperlihatkan dengan berbagai macam cara. Caranya dapat berupa perlawanan tertutup maupun terbuka.

    1. Jenis Konflik

Jenis-jenis konflik yang ada dalam kehidupan organisasi menurut Kamaludin (2002:143) terdiri dari: (1) konflik dalam diri sendiri (person role conflict), yaitu konflik yang terjadi manakala seseorang menghadapi suatu ketidakpastian tentang pekerjaan yang ia harapkan untuk melaksanakannya, atau bila permintaan suatu pekerjaan bertentangan dengan kemauannya, (2) konflik antar individu, yaitu konflik yang timbul karena adanya perbedaan-perbedaan kepribadian individu dalam organisasi, (3) konflik antarindividu dengan kelompok, yaitu konflik yang muncul manakala seseorang menghadapi suatu tekanan kuat untuk memenuhi tuntutan kebutuhan banyak orang/kelompok.

Morris (2003:16) menyatakan bahwa ada beberapa konflik diantaranya yaitu: (1) konflik internal, yaitu konflik yang merupakan kekacauan yang meledak dalam diri seseorang yang merefleksikan kesenjangan pemisah antara apa yang diinginkan, apa yang dikatakan, dengan apa yang diperbuat, (2) konflik antar pribadi, yaitu merupakan konflik yang muncul di antara satu orang dengan orang lainnya, (3) dinamika konflik kelompok, adalah konflik yang berada di antara pribadi-pribadi dengan sebuah kelompok khusus (tim, departemen, perusahaan, dan sebagainya). Tidak hanya individu-individu harus berhubungan dengan persoalan internal mereka dan di antara mereka sendiri sebagai pribadi, mereka juga harus menanggulangi keseluruhan interaksi semua pelaku yang terlibat. Jadi, dapat disimpulkan bahwa jenis-jenis konflik terdiri dari konflik dalam diri sendiri (person role conflict), konflik antar individu, dan konflik antar individu dengan kelompok.

    1. Sumber Konflik

Konflik lahir dari tekanan-tekanan yang tidak dapat diterima oleh individu-individu anggota organisasi (Owens, 1991). Adapun pendapat yang menyatakan bahwa sumber konflik dalam suatu organisasi menurut Wahjosumidjo (1995) adalah: (a) manusia dan perilakunya, (b) struktur organisasi, (c) komunikasi. Banyak hal yang dapat memicu terjadinya konflik dalam suatu organisasi.

Menurut Kamaludin (2002:144), sumber-sumber yang dapat memicu terjadinya konflik yaitu: (1) perbedaan-perbedaan dalam tujuan, (2) saling ketergantungan kegiatan-kegiatan kerja, (3) perbedaan nilai-nilai atau persepsi, (4) gaya-gaya individual. Menurut Yulk dan Wexley (1988:231), beberapa penyebab terjadinya konflik, diantaranya: (a) persaingan terhadap sumber-sumber seperti sumber dana anggaran, ruang, dan sumber-sumber penting lainnya, (b) ketergantungan tugas, (c) kekaburan batas bidang kerja, (d) masalah status, contohnya: senioritas, jenis kelamin, kecakapan, pendidikan serta prestasi yang diraih, (e) sifat-sifat individu. Sumber-sumber yang menjadi pendahulu terjadinya konflik organisasi antara lain: (1) persaingan terhadap sumber-sumber, (2) ketergantungan pekerjaan, (3) kekaburan bidang tugas, (4) perbedaan tujuan, (5) problem status, (6) rintangan komunikasi, (7) sifat-sifat individu.

Faktor-faktor yang menyebabkan adanya konflik menurut Hardjana (1994:20) diantaranya yaitu: (a) komunikasi, contohnya: salah dalam penggunaan bahasa, pengucapan, bahasa yang sulit dimengerti, dan informasi yang disampaikan tidak jelas, sehingga dapat menimbulkan kesalahpahaman antar karyawan, (b) perbedaan individu dalam hal perbedaan pendirian dan perasaan, (c) perbedaan latar belakang kebudayaan, (d) perbedaan kepentingan antara individu atau kelompok. Berdasarkan beberapa pendapat yang telah dikemukakan di atas, disimpulkan bahwa faktor-faktor penyebab atau sumber-sumber terjadinya konflik diantaranya karena adanya perbedaan dalam tujuan, perbedaan persepsi, dan gaya individu.

    Pengendalian Konflik

Pengendalian konflik atau manajemen konflik merupakan suatu strategi yang digunakan oleh pemimpin untuk mencegah konflik yang merusak, melainkan dapat menjadikan konflik sebagai suatu keadaan yang bersifat memperbaiki dalam mencapai tujuan organisasi. Petterson (2004:82) menegaskan bahwa apapun konflik yang dihadapi, konsentrasi pemikiran harus diarahkan kepada bagaimana mengatasi konflik yang negatif dan memelihara konflik yang positif. Terdapat dua hal yang menjadi pertimbangan dalam menghadapi suatu konflik: (a) tujuan atau kepentingan pribadi, (b) tujuan pribadi ini jika penting maka akan dipertahankan habis-habisan, sebaliknya apabila tidak terlalu penting maka dengan mudah untuk dikorbankan, (c) hubungan baik dengan pihak lain, (d) sama seperti tujuan pribadi, hubungan baik dengan pihak lain juga akan menjadi sesuatu yang penting atau sama sekali tidak penting untuk dipertimbangkan.

Adapun teknik pengendalian konflik menurut Umar (1997:86) ada 5 macam, yaitu: (a) kompetisi, (b) kolaborasi, (c) penghindaran, (d) akomodasi, dan (e) kompromi. Kompetisi disebut juga dengan strategi “kalah-menang” yaitu suatu penyelesaian konflik yang dilakukan dengan cara menggunakan kekuasaan dan kekuatan. Strategi ini cocok dilakukan pada saat darurat, menyangkut perkara penting, dan pada saat melawan orang yang mengambil keuntungan demi perilaku yang tidak kompetitif.

Kolaborasi disebut sebagai strategi “menang-menang” dimana pihak-pihak yang berkonflik mencari penyelesaian konflik yang sama-sama menguntungkan bagi keduabelah pihak. Strategi ini cocok digunakan pada saat mencari solusi terpadu jika ada dua masalah yang terlalu penting untuk dikompromikan, untuk menggabungkan pandangan dari orang-orang dengan sudut pandang yang berbeda, dan berkaitan dengan perasaan yang telah ikut terlibat dalam suatu hubungan.

Penghindaran yaitu strategi menjauhi sumber konflik dengan mengalihkan persoalan sehingga konflik tidak sampai muncul. Strategi ini cocok digunakan pada saat menghadapi perkara yang begitu pelik, penting dan mendesak, jika tidak ada peluang untuk memuaskan pimpinan, jika gangguan potensial lebih besar dari keuntungan penyelesaian konflik yang didapat, memberi kesempatan pada orang lain untuk berpikir jernih, mengumpulkan informasi lebih daripada keputusan yang tepat. Jika orang lain dapat mengatasi konflik dengan lebih baik, jika isu muncul sebagai gejala dari isu lain.

Akomodasi, adalah strategi yang menempatkan seluruh kepentingan lawan di atas kepentingan diri sendiri. Strategi ini cocok dilakukan pada saat anda sadar bahwa anda salah dalam mendapatkan posisi yang baik untuk didengar, belajar dan menunjukkan anda rasional, jika isu tertentu lebih penting untuk orang lain daripada untuk diri anda dan untuk memuaskan orang lain dan memelihara kerja sama, untuk menegaskan kepercayaan bagi isu yang akan datang, dan memberi kesempatan belajar dari kesalahan.

Kompromi sering juga disebut dengan strategi “kalah-kalah”, di mana pihak-pihak yang terlibat sama-sama mengorbankan sebagian dari sasarannya dan mendapatkan hasil yang maksimal. Strategi ini cocok dilakukan pada saat menginginkan tujuan yang dianggap penting tetapi tidak seimbang dengan usaha atau daya potensi gangguan yang lebih kuat, jika lawan dengan kekuatan sama rela berkorban untuk tujuan yang berbeda, untuk mencapai penyelesaian sementara atas isu yang rumit, untuk mencapai pemecahan yang tepat sesaat dengan tekanan waktu, dan sebagai cadangan untuk berjaga-jaga jika kolaborasi/kompetisi tidak berhasil.

Adapun dua pendekatan dalam mengendalikan konflik (Owens, 1991), yaitu cooperativeness dan asertiveness. Cooperativeness adalah keinginan untuk memenuhi kebutuhan dan minat pihak lain. Asertiveness adalah keinginan untuk memenuhi keinginan dan minat diri-sendiri. Kedua pendekatan tersebut merupakan teknik-teknik dalam mengendalikan konflik yang efektif. Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat beberapa teknik dalam pengendalian konflik, diantaranya: (1) teknik kompetisi, (2) teknik penghindaran, (3) teknik akomodasi, (4) teknik kompromi, (5) teknik kolaborasi

    Kinerja

  1. Pengertian Kinerja

Kinerja atau prestasi kerja adalah hasil kerja seseorang selama periode tertentu dibandingkan dengan kemungkinan, misalnya standar, target, atau kinerja yang terlebih dahulu dan telah disepakati bersama (Suprihanto dalam Srimulyo, 1999:33). Pendapat lain dikemukakan oleh Dharma (1991:54) yang mengungkapkan bahwa kinerja adalah sesuatu yang dikerjakan atau produk atau jasa yang dihasilkan atau diberikan seseorang atau kelompok orang. Hampir seluruh cara dalam pengukuran kinerja dipertimbangkan berdasarkan ketepatan kerja, kualitas pekerjaan, dan ketepatan waktu. Selain itu, kinerja juga dapat diartikan sebagai hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seorang karyawan atau pegawai dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang telah diberikan padanya.

Melalui beberapa pendapat di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa kinerja adalah prestasi kerja atau hasil kerja karyawan yang diukur berdasarkan ketepatan kerja, kualitas pekerjaan, dan ketepatan waktu dalam menyelesaikan pekerjaannya sesuai dengan tugas dan tanggung jawab yang telah diberikan.

  1. Penilaian Kinerja

Mengungkapkan penyebab-penyebab dasar dari buruknya kinerja adalah suatu fungsi yang penting tetapi sering diabaikan dalam proses penilaian kinerja. Penilaian kinerja adalah suatu cara untuk meningkatkan keterlibatan karyawan (Timpe, 1992:233). Sasaran proses penilaian adalah untuk membuat karyawan memandang diri mereka sendiri seperti adanya, mengenali kebutuhan perbaikan kinerja, dan untuk berperan serta dalam membuat rencana perbaikan kinerja.

Owens (1991) mengemukakan penilaian terhadap kinerja meniliki tujuan sebagai berikut: (a) tujuan evaluasi: berkaitan dengan penentuan gaji, promosi, penurunan pangkat, pemberhentian sementara, dan pemecatan pegawai, (b) tujuan pengembangan: yaitu berkenaan dengan penelitian, umpan balik, pengembangan karier pegawai dan pengembangan organisasi, perencanaan sumber daya manusia, perbaikan kinerja dan komunikasi.

Faktor-faktor yang menjadi penentu kinerja terdiri dari: keterampilan, tingkat upaya, dan kondisi eksternal. Keterampilan yang dimaksud adalah bahan mentah (pengetahuan, kemampuan, kecakapan interpersonal, kecakapan teknis) seorang karyawan yang dibawa ke tempat kerja. Tingkat upaya adalah motivasi karyawan dalam melaksanakan pekerjaan. Sedangkan kondisi eksternal yaitu dapat berupa situasi persaingan yang ketat, kondisi ekonomi yang buruk, alat-alat rusak, dan lain-lain.

Adapun aspek-aspek kinerja menurut Mitchell (1978) meliputi: (1) kualitas kerja, kualitas kerja yang baik menunjukkan bahwa seseorang tersebut memiliki kinerja yang baik. Sebaliknya apabila kualitas pekerjaannya jelek, maka kinerjanya lemah. (2) ketepatan, seseorang yang dapat bekerja dengan tepat sesuai dengan petunjuk yang seharusnya, didukung dengan kecepatan seseorang dalam bekerja, menandakan bahwa orang tersebut memiliki kinerja yang baik. Glimore (1974) berpendapat bahwa seseorang yang kinerjanya baik, mampu bekerja dengan tepat, cepat, dan rapi. (3) inisiatif, seseorang yang memiliki kinerja yang baik memiliki inisiatif yang tinggi dalam melaksanakan setiap tugas dan tanggung jawab yang dibebankan kepadanya (Greenberg, 1974). Ia memanfaatkan potensi pikirannya untuk senantiasa menemukan kreativitas-kreativitas baru yang dapat meningkatkan hasil kerjanya, memiliki ide, temuan-temuan baru. Orang seperti ini banyak belajar dari buku maupun dengan bertanya. (4) kapabilitas, tingkat kinerja yang baik dapat diamati dari kapabilitas. Seseorang yang mempunyai kemampuan yang baik akan dapat menyelesaikan semua permasalahan yang muncul dalam pekerjaan dengan baik dan senang menerima tantangan, tidak mudah menyerah, tidak mudah mengeluh, tidak mudah emosi, segala kemampuannya dioptimalkan untuk menyelesaikan tugasnya, dan ketika kemampuan yang dimiliki dirasakan tidak dapat mengatasi masalah yang dihadapi, maka ia akan berusaha untuk belajar (Luthans, 1981), (5) komunikasi, seseorang yang tingkat kinerjanya tinggi, dapat berkomunikasi dengan baik. Baik dengan atasan maupun dengan teman sejawat. Mitchell (1978) mengemukakan apabila segala sesuatu dikomunikasikan dengan baik, maka kondisi yang dihadapi dapat diatasi dengan baik.

Kinerja merupakan faktor penentu dalam keberhasilan atau kegagalan suatu perusahaan. Baik buruknya suatu kinerja dipengaruhi oleh beberapa hal, diantaranya: (a) sifat pekerjaan itu sendiri, (b) kejelasan tugas, yaitu: jelas kapan harus dilakukan, jelas mengenai apa yang diharapkan, terdapat standar kinerja, dianggap dapat dicapai oleh individu, hanya sedikit atau tidak ada tugas-tugas lain yang mengganggu, (c) sumber daya: data, waktu, peralatan, materi, uang, tenaga kerja, (d) individu: kapasitas mental, fisik, kemampuan, keterampilan, kesediaan untuk bekerja, (e) umpan balik: persyaratan-persyaratan penting yang diukur sehubungan dengan harapan pekerjaan atau tugas, (f) akibat-akibat: positif apabila melakukan pekerjaan seperti yang diharapkan, negatif atau netral apabila tidak berprestasi, tidak negatif bila tidak berprestasi, tidak negatif bila berprestasi.

Berdasarkan pendapat tersebut di atas, maka diketahui beberapa aspek penilaian terhadap kinerja individu dalam organisasi, diantaranya: kualitas kerja, ketepatan, inisiatif, kapabilitas, komunikasi. Adapun indikator suatu keberhasilan atau kegagalan suatu perusahaan dapat ditinjau dari dua faktor, yaitu faktor internal (pribadi) dan faktor eksternal (lingkungan). Berikut ini adalah tabel yang menjelaskan suatu keberhasilan dan kegagalan suatu perusahaan (Timpe, 1992:33):

Tabel 2.1 Mengapa di Balik Keberhasilan dan Kegagalan

Kinerja

Internal (pribadi)

Eksternal (lingkungan)

Kinerja baik

  • Kemampuan tinggi

  • Kerja keras

  • Pekerjaan mudah

  • Nasib baik

  • Bantuan dari rekan-rekan

  • Pimpinan yang baik

Kinerja buruk

  • Kemampuan jelek

  • Upaya sedikit

  • Pekerjaan sulit

  • Nasib buruk

  • Rekan kerja tidak produktif

  • Pimpinan yang tidak simpatik

    Hubungan Tingkat Pengendalian Konflik Dengan Kinerja

Konflik lahir dari tekanan-tekanan yang tidak dapat diterima oleh individu-individu anggota organisasi (Owens, 1991). Konflik dapat diketahui sedini mungkin dengan cara memperhatikan hubungan-hubungan yang ada, karena pada umumnya hubungan yang tidak normal merupakan gejala konflik, misalnya: ketegangan, kekakuan, ketakutan, kekalutan, dan saling fitnah. Meskipun demikian, tidak semua konflik dapat diketahui gejalanya.

Handoko (1998:284) menggambarkan hubungan antara konflik dengan kinerja organisasi yaitu apabila penanganan konflik dilakukan secara optimal akan menghasilkan kinerja yang maksimal. Bilamana tingkat penanganan konflik itu terlalu rendah, kinerja organisasi bisa mengalami stagnansi, dan kelangsungan hidup organisasi terancam. Di lain pihak, bila tingkat konflik terlalu tinggi, kekacauan dan perpecahan juga bisa membahayakan kelangsungan hidup organisasi. Konflik dapat menghambat kinerja apabila dibiarkan berkepanjangan dan tidak mendapatkan penyelesaian yang jelas. Akan tetapi, konflik akan mendorong kinerja karyawan menjadi lebih baik apabila dikelola dan dikendalikan dengan tepat.

Pendapat lain dikemukakan oleh Winardi (1994) yang menyatakan bahwa adanya konflik akan menimbulkan keuntungan dan bukan kerugian bagi individu atau organisasi. Keuntungan yang dapat dicapai dari adanya konflik, diantaranya: (a) kreativitas dan inovasi yang meningkat akibat adanya konflik. Orang-orang berupaya melaksanakan pekerjaannya atau berupaya menciptakan cara-cara baru yang lebih baik, (b) upaya yang mengikuti intensitasnya. Konflik dapat menyebabkan diatasinya perasaan apatis dan dapat menyebabkan orang-orang yang terlibat akan bekerja lebih keras, dengan demikian kinerja akan meningkat, (c) ikatan/kohesi yang makin kuat. Konflik yang terjadi dengan pihak luar dapat menyebabkan diperkuatnya ikatan /kohesi dan komitmen untuk mencapai tujuan bersama, dengan demikian kinerja individu-individu dalam organisasi akan meningkat.

Melalui beberapa pendapat tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara pengendalian konflik dengan kinerja. Apabila penanganan konflik dilakukan secara optimal akan menghasilkan kinerja yang maksimal. Bilamana tingkat penanganan konflik itu terlalu rendah, kinerja organisasi bisa mengalami stagnansi, dan kelangsungan hidup organisasi terancam.

DAFTAR RUJUKAN

Arikunto, S. 2002. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: PT. Rineka Cipta.

Best, J. W. 1982. Metodologi Penelitian Pendidikan. Terjemahan olej Arief Furchan. Surabaya: Usaha Nasional

Cohen, D. 1983. Statistic Analysis. New York: Holt Rinchart and Winston, Inc.

Dharma, A. 1990. Human Behavior at Work (Alih Bahasa). Jakarta: Erlangga.

Handoko, H. 1992. Manajemen Personalia dan Sumber Daya Manusia. Yogyakarta: BPFE

Handoko, H. 2000. Manajemen Personalia dan Sumber Daya Manusia. Edisi 2. Yogyakarta: BPFE

Kamaludin. 2002. Manajemen Personalia. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Kusnadi, dan Wahyudi. 2001. Teori dan Manajemen Konflik. Malang: Penerbit Taroda.

Luthans, F. 1981. Organizational Behavior 3rd ed. New York: McGraw-Hill Book Company.

Mantja, W. 1996. Konpetensi Kepala Sekolah Landasan Peran dan Tanggung Jawab. Jurnal Filsafat Teori dan Praktek Kependidikan Tahun 2003 Nomor 1, Januari, Malang.

Mitchell, E. 1995. Organizational Development for Operating Manager. Terjemahan Ny. Roehmulyadi. Bandung: Amaco.

Mulyasa, E. 2005. Menjadi Kepala Sekolah Profesional (Cetakan IV). Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Owens, R.G. 1991. Organizational Behavior in Education. Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice-Hall, Inc.

Riduwan. 2004. Belajar Mudah Penelitian Mudah Bagi Guru Karyawan dan Peneliti Pemula. Bandung: Alfabeta.

Salladien. 1997. Metodologi Penelitian Pendidikan. Malang: Percetakan IKIP Malang.

Soetopo, H. 1985. Administrasi Pendidikan: Dasar Teoritik untuk Praktek Profesional. Bandung: PT. Angkasa.

Sudjana, N. 1998. Metode Statistika. Bandung: Tarsito.

Sugiyono. 1999. Metode Penelitian Administrasi. Bandung: Alfabeta.

Sugiyono. 2000. Statistik untuk Penelitian. Bandung: Sinar Baru.

Thoha, M. 1956. Kepemimpinan dalam Manajemen, Suatu Pendekatan Perilaku. Jakarta: Raja Grafindo.

Timpe, A.D. 1989. The Art and Science of Bussiness Management Performance. New York: Kend Publishing.

Wahjosumidjo. 1995. Kepemimpinan dan Motivasi. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Wexley, K., N. 1992. Perilaku Organisasi dan PsychologyPersonalia. Terjemahan oleh Sobaruddin. Jakarta: Rineka Cipta.

Winardi. 1994. Manajemen Konflik (Konflik Perubahan Pengembangan). Bandung: Penerbit Mandar Maju.