15 September 2011

Sistem Manajemen Mutu

Secara umum manajemen mutu dapat didefinisikan sebagai kegiatan terkoordinir untuk mengarahkan dan mengendalikan organisasi dalam hal mutu (Tim PPPG Teknologi Bandung, 2004:6). Dari definisi tersebut, maka aspek-aspek manajemen mutu mencakup: perencanaan mutu, pengendalian mutu, jaminan mutu, peningkatan mutu, dan kepemimpinan mutu. Perencanaan mutu (quality planning) adalah bagian dari manajemen mutu yang difokuskan pada penetapan sasaran mutu dan merinci proses operasional dan sumberdaya terkait yang diperlukan untuk memenuhi sasaran mutu yang telah dispesifikasikan. Pengendalian mutu (quality control) merupakan teknik-teknik dan aktivitas operasional yang digunakan untuk memenuhi persyaratan mutu. Jaminan mutu (quality assurance) adalah semua tindakan terencana dan sistematik yang diimplementasikan dan didemonstrasikan guna memberikan kepercayaan yang cukup bahwa produk barang dan jasa yang dihasilkan akan memenuhi persyaratan mutu. Peningkatan mutu (quality improvement) merupakan tindakan-tindakan yang diambil untuk meningkatkan keefektifan dan efisiensi dari semua proses dan kegiatan organisasi. Sedangkan kepemimpinan mutu (quality leadership) adalah kepemimpinan yang melibatkan semua karyawan dalam memuaskan pelanggan dan membangun kualitas ke dalam setiap sistem dan proses dalam organisasi.

Berdasarkan aspek-aspek sistem manajemen mutu di atas, maka SMM dapat memberi kerangka kerja bagi perbaikan berlanjut yang dapat meningkatkan kepuasan pelanggan dan pihak berkepentingan lainnya. SMM memberi keyakinan pada sebuah organisasi dan pelanggan bahwa SMM mampu memberikan produk yang konsisten sesuai dengan persyaratan yang telah ditetapkan. Untuk memenuhi kesesuaian dari suatu proses dan produk baik barang maupun jasa tersebut agar sesuai dengan syarat yang telah ditetapkan oleh pelanggan, maka organisasi dapat menerapkan standar persyaratan yang telah ditetapkan organisasi internasional ISO (International Organization for Standardization) melalui kelompok standar ISO versi 9000 tahun 2000. Kelompok standar ISO versi 9000 tahun 2000 terdiri dari empat seri yaitu: ISO 9000:2000; ISO 9001:2000; ISO 9004:2000; dan ISO 19011:2002 (Tim PPPG Teknologi Bandung, 2004:2).

Sebuah lembaga pendidikan, termasuk sekolah biasanya menerapkan standar ISO seri 9001:2000. ISO 9001:2000 merincikan persyaratan bagi sistem manajemen mutu (quality management system) bila suatu organisasi bermaksud memperagakan kemampuannya untuk menyediakan produk yang memenuhi persyaratan pelanggan dan peraturan yang berlaku, yang bertujuan untuk meningkatkan kepuasan pelanggan dan pihak berkepentingan lainnya (Tim PPPG Teknologi Bandung, 2004:2).

Standar ISO 9001:2000 merupakan standar untuk penerapan SMM bukan merupakan standar produk, sehingga apabila ada anggapan bahwa sebuah organisasi telah memperoleh sertifikat ISO 9001:2000, maka produknya juga telah memenuhi standar internasional. Standar produk merupakan hal yang berbeda dengan standar SMM. Namun demikian, apabila suatu produk diproses atau diproduksi dengan SMM yang telah memenuhi persyaratan internasional diyakini akan menghasilkan produk yang bermutu.

Ada delapan prinsip dasar manajemen mutu yang telah ditetapkan oleh ISO versi 9000:2000 menurut Tim PPPG Teknologi Bandung (2004:8) yang dapat digunakan pucuk pimpinan suatu organisasi dalam memimpin organisasinya ke arah peningkatan kinerja. Delapan prinsip dasar tersebut adalah sebagai berikut:

  1. Pusat perhatian pada pelanggan (Customer Focus)

Organisasi harus menyadari bahwa kelangsungan eksistensinya sangat tergantung pada pelanggan, karenanya organisasi harus memahami kebutuhan pelanggan baik untuk masa sekarang maupun masa yang akan datang. Organisasi juga harus bersungguh-sungguh memenuhi kebutuhan pelanggan tersebut, dan berusaha untuk melampauinya guna mewujudkan kepuasan pelanggan (customer satisfaction).

  1. Kepemimpinan (Leadership)

Pemimpin pada semua tingkatan harus menetapkan kesatuan tujuan dan arah organisasi. Mereka juga hendaknya menciptakan dan memelihara lingkungan intern agar semua orang dapat melibatkan diri secara penuh dalam upaya mencapai tujuan organisasi.

  1. Pelibatan orang (Involvement of People)

Orang pada semua tingkatan adalah inti sebuah organisasi. Oleh karena itu pelibatan orang mutlak dilakukan untuk melaksanakan kegiatan apapun. Kemampuan semua orang perlu didayagunakan secara maksimal untuk manfaat organisasi.

  1. Pendekatan proses (Process Approach)

Hasil yang dikehendaki akan tercapai lebih efisien, apabila dalam melaksanakan suatu kegiatan sumber daya terkait dikelola sebagai suatu proses.

  1. Pendekatan sistem pada manajemen (System Approach to Management)

Mengetahui, memahami, dan mengelola proses yang saling terkait sebagai suatu sistem, memberikan sumbangan pada keefektifan dan efisiensi organisasi dalam mencapai tujuannya.

  1. Perbaikan berlanjut (Continual Improvement)

Perbaikan berlanjut kinerja organisasi secara menyeluruh harus menjadi perhatian utama semua pihak mulai dari pimpinan tertinggi sampai pada semua staf di lapisan bawah dan hendaknya menjadi tujuan tetap organisasi.

  1. Pendekatan fakta dalam pengambilan keputusan (Factual Approach to Decision making)

Setiap pengambilan keputusan pada tingkatan apapun harus dilakukan berdasarkan pada analisis data dan informasi yang objektif.

  1. Hubungan pemasok yang saling menguntungkan (Mutually Beneficial Supplier Relationship)

Semua pihak harus menyadari bahwa suatu organisasi dan pemasoknya saling bergantung satu sama lain, karena itu harus dibangun hubungan saling menguntungkan guna meningkatkan kemampuan keduanya untuk menciptakan nilai.

ISO 9001:2000 menyarankan untuk mengadopsi pendekatan proses saat mengembangkan, menerapkan, dan memperbaiki keefektifan sistem manajemen mutu guna meningkatkan kepuasan pelanggan, yaitu dengan memenuhi persyaratan yang telah ditentukan oleh pelanggan. Pendekatan proses adalah suatu pendekatan dengan mengelola kegiatan-kegiatan yang saling berhubungan sebagai suatu proses (Tim PPPG Teknologi Bandung, 2004:10). Sedangkan dalam ISO 9000:2000, dijelaskan bahwa pendekatan dalam pengembangan dan penerapan SMM terdiri dari beberapa langkah berikut ini:

  1. Menentukan kebutuhan dan harapan pelanggan dan pihak berkepentingan lainnya;

  2. Menetapkan kebijakan mutu dan sasaran mutu organisasi;

  3. Menentukan proses dan tanggungjawab yang diperlukan untuk mencapai sasaran mutu;

  4. Menentukan dan menyediakan sumberdaya yang diperlukan untuk mencapai sasaran mutu;

  5. Menetapkan metode untuk mengukur efektivitas dan efisiensi tiap proses;

  6. Menerapkan pengukuran untuk menentukan efektivitas dan efisiensi tiap proses;

  7. Menentukan sarana pencegahan ketidaksesuaian dan menghilangkan penyebabnya;

  8. Menetapkan dan menerapkan proses perbaikan berlanjut dari sistem manajemen mutu.

Sebuah organisasi yang mengadopsi pendekatan tersebut akan menciptakan keyakinan dalam proses mutu dan produknya, dan menyediakan dasar melalui perbaikan yang berkelanjutan. Hal ini tentu akan memberikan sumbangan pada peningkatan kepuasan pelanggan dan pihak berkepentingan lainnya.

Menurut Tim PPPG Teknologi Bandung (2004:14), penerapan SMM ISO 9001:2000 pada dasarnya dibagi menjadi empat tahap, yaitu:

  1. Tahap Persiapan

Pada tahap ini dilakukan langkah-langkah persiapan seperti: pengkajian terhadap kondisi organisasi secara mendalam, pembentukan steering committee, tim penyusun dokumen, melaksanakan pelatihan pemahaman dan dokumentasi ISO, dan yang terpenting adalah membangun komitmen untuk menerapkan sistem manajemen mutu (quality management system) ISO 9001:2000.

  1. Tahap Penyusunan dan Pengesahan Dokumen

Pada tahap ini dilakukan penulisan dan pengesahan dokumen sistem manajemen mutu antara lain: kebijakan mutu, sasaran mutu, pedoman mutu, prosedur operasi standar, instruksi kerja, dan formulir-formulir.

  1. Tahap Implementasi

Tahap ini merupakan tahap penerapan sistem manajemen mutu yaitu dengan melaksanakan semua ketentuan yang telah ditulis dalam dokumen SMM ISO 9001:2000. Pada tahap ini selalu ada kemungkinan untuk merevisi dokumen, bila dalam penerapannya ditemukan kesalahan, kelemahan, dan kesulitan.

  1. Tahap Registrasi

Tahap ini dilakukan bila organisasi telah meyakini bahwa dokumen sistem manajemen mutu telah tersusun dan diterapkan sesuai persyaratan standar ISO 9001:2000. Tahap ini dapat dilakukan bila organisasi telah menerapkan sistem manajemen mutu sekurang-kurangnya tiga bulan, dan telah menghasilkan rekaman sebagai bukti pelaksanaan.

Berdasarkan tahapan-tahapan tersebut, sebuah organisasi atau sekolah yang telah berhasil menerapkan sistem manajemen mutu dengan standar ISO 9001:2000 akan mendapatkan pengakuan dari ISO, berupa sertifikat ISO 9001:2000. Berhasil tidaknya suatu organisasi mengembangkan dan menerapkan SMM ISO 9001:2000 ditentukan oleh tiga faktor utama yaitu: kepemimpinan dan tanggungjawab, adanya SMM, dan tersedianya sumberdaya baik sumberdaya manusia, prasarana, dana, dan lain sebagainya, seperti yang diilustrasikan oleh Tim PPPG Teknologi Bandung (2004:18), dalam gambar berikut:

Gambar 1 Aspek Kunci Implementasi SMM ISO 9001:2000

Berdasarkan gambar tersebut, dapat disimpulkan bahwa aspek kunci pertama dalam pengembangan dan penerapan SMM ISO 9001:2000 adalah kepemimpinan dan tanggung jawab. Artinya organisasi yang berkeinginan untuk menerapkan SMM harus memiliki pemimpin pada semua jenjang yang memiliki komitmen kuat dan tanggung jawab yang besar untuk membawa organisasi tersebut ke arah yang lebih baik. Aspek kedua, adalah tersedianya SMM sesuai dengan standar ISO 9001:2000 yang meliputi: kebijakan mutu, sasaran mutu, prosedur operasi standar, instruksi kerja, formulir, dan dokumen pendukung lainnya. Aspek ketiga yaitu tersedianya sumberdaya yang memadai untuk penerapan SMM yang meliputi: sumberdaya manusia, prasarana, dan dana.

Hubungan ISO 9000 dengan TQM

Hubungan antara ISO 9000 dengan TQM merupakan topik yang patut dicari titik terangnya, karena terkadang setiap organisasi dan institusi dapat menerapkan kedua hal tersebut dalam waktu yang bersamaan. Menurut Sallis (2006:131), ISO 9000 bukanlah sebuah standar TQM. TQM adalah upaya serius yang tidak hanya sekedar mendirikan sistem mutu, dan tidak memerlukan aplikasi standar eksternal. Ada sejumlah metode yang mungkin dapat membantu melihat hubungan antara TQM dan ISO 9000 seperti yang dikemukakan Sallis, (2006:131) berikut ini.

Ada empat model hubungan antara BS 5750/ISO 9000 dan TQM, yaitu:

  1. Model pertama, yang melihat BS 5750/ISO 9000 sebagai langkah awal dari TQM. BS 5750/ISO 9000 dapat menjadi langkah pertama menuju mutu terpadu. BS 5750/ISO 9000 menangani infrastruktur prosedural yang mengawali terjadinya perubahan kultur dan prilaku. Memperoleh BS 5750/ISO 9000 memberikan kepercayaan diri kepada institusi untuk melangkah ke depan untuk menangani isu-isu besar yang dihubungkan dengan TQM.

  2. Model kedua, adalah hampir sama dengan yang pertama, yaitu memposisikan BS 5750/ISO 9000 pada bagian inti dalam mutu terpadu. Dalam model ini BS 5750/ISO 9000 menyelenggarakan TQM dan memberinya pondasi yang solid untuk kemajuan selanjutnya.

  3. Dalam model ketiga, BS 5750/ISO 9000 memiliki peran yang minor dalam perusahaan TQM yang lebih besar. BS 5750/ISO 9000 hanya dilihat sebagai satu elemen dalam suatu usaha yang lebih penting. Perannya hanya sebatas menjamin konsistensi operasional prosedur institusi. Dalam model ini, mutu disampaikan oleh partisipasi aktif seluruh pekerja dalam tim pengembangan dan tidak hanya dengan sekedar prosedur-prosedur tertulis.

  4. Model keempat memiliki pandangan yang berbeda tentang hubungan antara TQM dan standar mutu eksternal. Dalam model ini BS 5750/ISO 9000 dipandang sebagai hal yang tidak relevan terhadap mutu.

Berdasarkan pendapat yang dikemukakan Sallis tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa sebenarnya antara ISO 9000 dengan TQM merupakan satu kesatuan yang dapat dijadikan pedoman bagi sebuah organisasi dalam melaksanakan perbaikan mutu organisasi. TQM dan ISO 9000 merupakan metode perbaikan mutu yang memiliki kesamaan dalam tahapan penerapannya. ISO 9000 memiliki peranan dalam TQM. Standar mutu tersebut dapat memberikan pesan aktual dan potensial kepada pelanggan, bahwa institusi menggunakan mutu secara serius, dan bahwa kebijakan serta praktiknya sesuai dengan standar mutu nasional dan internasional. Menerapkan ISO 9000 di sebuah organisasi, merupakan sebuah langkah yang mahal dan memakan waktu, dan bahkan mungkin sulit untuk dilakukan oleh sebuah institusi kecil, khususnya sekolah. Dana adalah hal yang sangat utama, sementara semua bentuk manfaat selalu diharapkan berjangka panjang.

Konsep Dasar Total Quality Management

Total Quality Management (TQM) adalah nama atau istilah yang pertama kali diperkenalkan oleh Waren (behavioral scientist) dan didokumentasikan oleh Walton (Burhanuddin, 2002:17). Dalam dunia usaha/industri, Tjiptono & Diana (2002:4) berpendapat bahwa total quality management merupakan suatu pendekatan dalam menjalankan usaha yang mencoba untuk memaksimumkan daya saing organisasi melalui perbaikan terus menerus atas produk, jasa, manusia, proses, dan lingkungannya. Total quality management (TQM) is determined by the senior managers of an organization, who by virtue of the positions they hold, are responsible to customers, employees, suppliers, and shareholders for the success of the business (Tenner & DeToro,1992:31).

Lebih lanjut Slamet, dkk (1996:1) menyatakan bahwa TQM atau manajemen mutu terpadu adalah suatu pola manajemen yang berisi prosedur agar dalam organisasi, setiap orang berusaha keras secara terus menerus memperbaiki jalan menuju sukses. Artinya, TQM bukanlah seperangkat peraturan dan ketentuan yang kaku dan harus diikuti, melainkan seperangkat prosedur dan proses untuk memperbaiki kinerja dan meningkatkan mutu kerja. TQM sendiri berasal dan dikembangkan di USA (United States of America), kemudian ditransfer ke Jepang, setelah itu tersebar lagi di negara Amerika dan Eropa. TQM merupakan salah satu upaya yang dilakukan oleh suatu perusahaan untuk mendongkrak keunggulan perusahaan melalui pemenuhan kebutuhan pelanggan dan peningkatan kualitas melalui perbaikan secara berkesinambungan. Keberhasilan penerapan TQM di dunia usaha/industri tidak lepas juga karena adanya unsur yang terdapat dalam TQM itu sendiri. Menurut Tjiptono (2002:14) unsur TQM itu terdiri dari: (1) kepuasan pelanggan; (2) respek terhadap setiap orang; (3) manajemen berdasarkan fakta; dan (4) perbaikan berkesinambungan.

Indikasi utama dari organisasi yang mengimplementasikan TQM menurut Supriyanto (1999:i) adalah (1) bertujuan untuk meningkatkan kualitas secara terus menerus; (2) prinsip yang digunakan adalah berfokus pada pelanggan (kepuasan), perbaikan pada proses, dan melibatkan seluruh anggotanya secara optimal; dan (3) menggunakan elemen-elemen pendukungnya meliputi kepemimpinan, diklat, adanya dukungan struktur, komunikasi multi arah, adanya penghargaan, dan pengukuran secara optimal.

Definisi yang dikemukakan para ahli mengenai konsep dasar TQM semakin berkembang, seperti yang dikemukakan oleh Padhi (2002:1) sebagai berikut:

Total quality is a description of the culture, attitude and organization of a company that strives to provide customers with products and services that satisfy their needs. The culture requires quality in all aspects of the company’s operations, with processes being done right the first time and defects and waste eradicated from operations.

Total mutu merupakan suatu uraian kultur, sikap, dan organisasi suatu perusahaan atau kelompok yang bekerja keras untuk menyediakan pelanggan dengan produk dan jasa yang mencukupi kebutuhan mereka. Kultur masyarakat memerlukan produk yang berkualitas, sehingga dalam semua aspek operasi, melalui proses pembuatan yang benar. Selain itu menurut Hashmi (2002:1)

TQM is a method by which management and employees can become involved in the continuous improvement of the production of goods and services. It is a combination of quality and management tools aimed at increasing business and reducing losses due to wasteful practices.

Berdasarkan pendapat Hashmi tersebut, TQM merupakan suatu metode dimana terdapat pelibatan manajemen dan karyawan untuk mencapai kemajuan yang berkelanjutan dalam produksi barang-barang dan jasa. Hal ini juga merupakan suatu kombinasi mutu dan perkakas manajemen yang mengarah pada meningkatnya bisnis dan mengurangi kerugian akibat praktik pemborosan.

Berdasarkan beberapa definisi yang telah dikemukakan oleh para ahli mengenai konsep dasar TQM, maka dapat disimpulkan bahwa total quality management merupakan sebuah strategi atau usaha yang diterapkan oleh sektor industri modern dalam meningkatkan kualitas usaha melalui produk yang dihasilkan dengan memperhatikan tiga karakteristik utamanya, yaitu: (1) customer focuss atau fokus pada pelanggan; (2) process improvement atau perbaikan secara terus menerus; dan (3) total involvement atau pelibatan seluruh tim.

Konsep Dasar TQM dalam Pendidikan

Keberhasilan penerapan TQM dalam dunia usaha/industri telah dijadikan inspirasi bagi perbaikan kualitas di sektor atau bidang lainnya, termasuk bidang pendidikan. Adopsi TQM di sektor industri, tidak jauh berbeda dengan apa yang diterapkan di bidang pendidikan. TQM masuk dalam bidang pendidikan sekitar tahun 1980 (Supriyanto, 1999:32). Awal mulanya TQM dilaksanakan di perguruan tinggi, dan mulai mengalami perkembangan sekitar tahun 1990 di negara Inggris dan Amerika. Menurut Sallis (2006:73), TQM dalam pendidikan adalah filosofi tentang perbaikan secara terus menerus, yang dapat memberikan seperangkat alat praktis kepada setiap institusi pendidikan dalam memenuhi kebutuhan, keinginan, dan harapan para pelanggannya, saat ini dan masa yang akan datang. Serupa dengan Sallis, Syafaruddin (2002:36) berpendapat bahwa:

Manajemen mutu pendidikan merupakan aplikasi konsep manajemen mutu yang disesuaikan dengan sifat dasar sekolah sebagai organisasi jasa kemanusiaan (pembinaan potensi pelajar) melalui pengembangan pembelajaran berkualitas, agar melahirkan lulusan yang sesuai dengan harapan orangtua, masyarakat, dan pelanggan pendidikan lainnya.

Lebih lanjut, Schargel menegaskan bahwa total quality education is a process which involves focusing on meeting and exceeding customer expectations, continuous improvement, sharing responsibilities with employees, and reducing scrap and rework (Syafaruddin, 2002:36). Mutu terpadu dalam pendidikan dipahami sebagai suatu proses yang melibatkan pemusatan pada pencapaian kepuasan harapan pelanggan pendidikan, perbaikan terus menerus, pembagian tanggungjawab dengan para pegawai, dan pengurangan pekerjaan tersisa dan pengerjaan kembali (ulang).

Berdasarkan definisi-definisi di atas dapat dikaji, bahwa TQM dalam bidang pendidikan haruslah mengutamakan pemenuhan kebutuhan pelanggan pendidikan dengan cara mengadakan perbaikan secara berkesinambungan terhadap seluruh aspek spesifik yang ada dalam lembaga pendidikan, terutama bidang kurikulum yang terkait dengan kegiatan belajar-mengajar bagi siswa, dengan melibatkan seluruh unsur pimpinan dan staf yang ada dalam suatu lingkungan lembaga pendidikan atau sekolah.

Hoy, melalui karyanya yang berjudul improving quality in education (Syafaruddin, 2002:47) menyatakan bahwa mutu pendidikan adalah suatu evaluasi terhadap proses pendidikan dengan harapan tinggi untuk dicapai dan mengembangkan bakat-bakat para pelanggan pendidikan dalam proses pendidikan. Mutu adalah hal yang esensial sebagai bagian dalam proses pendidikan. Sebagai sebuah yang esensial, maka manajemen mutu terpadu dalam pendidikan haruslah menempatkan pelanggan dan produk. Oliver berpendapat, agar dalam bidang pendidikan tercapai kebutuhan pelanggan hari ini dan mendatang, maka diperlukan pengembangan kurikulum secara terus menerus berdasarkan suara hati dari pasar yang diteliti (Syafaruddin, 2002:47). Untuk mengembangkan kurikulum secara terus menerus berdasarkan suara hati dari pasar, maka lembaga pendidikan/sekolah wajib melakukan survei tentang apa yang dibutuhkan oleh para pelanggan. Pelanggan disini mengacu pada peserta didik, tenaga pendidik/guru, staf sekolah, serta survei kebutuhan pengguna lulusan sekolah. Setelah ini ditemukan, maka selanjutnya sekolah dapat menetapkan seperangkat rencana pengembangan kurikulum sesuai dengan kebutuhan pasar kepada siswa dalam proses belajar-mengajar.

Konsep TQM dalam pendidikan dapat diimplementasikan dengan menggunakan model yang dikutip Supriyanto (1999:33) sebagaimana gambar berikut:

Gambar 1 Model implementasi TQM dalam pendidikan

Model implementasi TQM tersebut dimulai dari tujuan utama TQM itu sendiri. Tujuan utama dari TQM yaitu meningkatkan mutu pendidikan melalui peningkatan di segala komponen pendidikan secara berkelanjutan dan bertahap. Sedangkan prinsip yang harus diperhatikan oleh setiap lembaga pendidikan untuk mencapai tujuan tersebut adalah dengan berfokus pada pelanggan pendidikan, peningkatan kualitas melalui proses serta melibatkan seluruh tim yang ada secara menyeluruh. Agar berhasil, implementasi TQM di bidang pendidikan harus juga didukung dengan adanya peningkatan kualitas pendidikan secara berkelanjutan, melalui: kepemimpinan, pendidikan dan latihan, dukungan struktur, komunikasi, penghargaan dan pengakuan, serta pengukuran.

Dengan demikian TQM dalam pendidikan berkaitan dengan adanya penciptaan budaya kualitas dengan menempatkan pelanggan sebagai fokus utama melalui pelibatan seluruh karyawan dan staf bidang pendidikan serta perbaikan secara terus menerus, demi tercapainya organisasi pendidikan yang bermutu, yang mampu bersaing dan tetap bertahan dalam era perkembangan zaman.

Syarat dan Teknik TQM dalam Bidang Pendidikan

Menurut Supriyanto (1999:43) agar program-program yang dibawa melalui TQM dapat berhasil dengan baik, maka terdapat persyaratan yang harus dipenuhi jika TQM diimplementasikan dalam institusi pendidikan, yaitu:

    1. Peningkatan secara berkesinambungan

Ditinjau dari segi TQM sebagai suatu pendekatan, maka TQM mencari suatu bentuk permanen dalam lembaga, sehingga fokus bukan diarahkan pada kebijaksanaan jangka pendek, tetapi diarahkan pada kebijaksanaan jangka panjang melalui pendekatan kualitas.Untuk menciptakan suatu budaya peningkatan kualitas yang berkelanjutan dalam sebuah organisasi pendidikan, maka pimpinan harus memberikan kepercayaan kepada staf yang dipimpinnya, sehingga dengan kepercayaan yang telah diberikan kepada staf, maka staf akan memiliki tanggungjawab untuk menciptakan kualitas terbaik sesuai dengan komitmen yang telah disepakati.

    1. Perubahan budaya

Menurut Robbins (dalam Supriyanto 1999:44) ada tiga langkah pengelolaan perubahan, yaitu: unfreezing, moving, and refreezing. Unfreezing yang berarti pelelehan merupakan upaya perubahan budaya yang bertujuan untuk mengatasi adanya tekanan, baik tekanan secara individual maupun kelompok. Moving atau perubahan mempunyai makna suatu gerakan perpindahan dari keadaan lama ke keadaan baru. Sedangkan refreezing atau pembekuan, merupakan suatu bentuk permanenisasi dari suatu perubahan yang telah ada dalam suatu organisasi.

    1. Organisasi ke atas samping – bawah

Implementasi TQM pada organisasi pendidikan dapat berhasil apabila pimpinan perlu menciptakan suatu komunikasi yang efektif dengan memanfaatkan semua media secara multi arah kepada seluruh staf yang ada di dalam organisasi.

    1. Menjaga hubungan dengan pelanggan

Agar kebutuhan pelanggan pendidikan dapat terpenuhi, maka sebaiknya pimpinan lembaga pendidikan perlu mengembangkan paradigma baru bahwa yang semula kecenderungannya acuh dengan pelanggan, di masa mendatang harus memprioritaskan dan memuaskan pelanggan.

    1. Kolega sebagai pelanggan

Fokus TQM terhadap pelanggan bukan sekedar memenuhi kebutuhan dari luar, tetapi kolega yang ada dalam lembaga juga merupakan pelanggan. Karena itu, keseimbangan untuk memenuhi kebutuhan pelanggan internal dan eksternal sangat diperlukan.

    1. Pemasaran internal

Pemasaran internal merupakan alat komunikasi untuk menyampaikan berbagai informasi kepada para staf tentang apa yang terjadi dalam lembaga, sehingga staf memiliki kesempatan untuk memberikan ide umpan balik. Pemasaran internal diharapkan dapat menjadi pendongkrak pada pemasaran eksternal.

    1. Profesionalisme dan fokus pelanggan

Pandangan tradisional berpendapat bahwa profesi guru dianggap sebagai penjaga kualitas dan standar, sehingga konsep TQM yang menekankan anggapan pelanggan sebagai penyebab terjadinya konflik dalam pengelolaan pendidikan perlu diluruskan. Karena itu perlu diberikan pemahaman tentang bagaimana cara agar guru dan peserta didik dapat memperoleh keuntungan dari perubahan yang terjadi.

    1. Kualitas belajar

Lembaga yang akan menerapkan TQM harus mengantisipasi gaya belajar bagi peserta didik secara serius, sehingga didapatkan strategi yang baik untuk masing-masing individu atau peserta didik yang memiliki perbedaan dalam belajar.

    1. Mengatasi hambatan dalam mempertahankan TQM

TQM merupakan pekerjaan yang membutuhkan kesetiaan dalam jangka panjang. Oleh karena itu dalam pelaksanaannya mempunyai beberapa hambatan. Agar semua permasalahan dapat diselesaikan, maka diperlukan alat dan teknik TQM yang dapat digunakan untuk kepentingan peningkatan kualitas pendidikan.

Seperti yang telah dikemukakan di atas, dalam TQM terdapat alat dan teknik yang dapat dipergunakan untuk mengatasi hambatan atau permasalahan yang dialami oleh organisasi pendidikan, seperti yang dikemukakan oleh Supriyanto (1999:50). Alat dan teknik TQM dimaksud diadopsi dari pemikiran Sallis (1993), Tenner dan DeToro (1992), dan Murgatroyd dan Mogan (1993) yang diuraikan secara singkat sebagai berikut: brainstorming (curah pendapat), affinity networks (jaringan kerja saling terkait), fishbone or Ishikawa diagrams (diagram sebab akibat, tulang ikan, atau Ishikawa, force – field analysis/ alat dan teknik yang digunakan untuk mempelajari suatu situasi yang memerlukan perubahan), process charting (untuk memberi keyakinan bahwa institusi memahami secara tepat siapa sebenarnya pelanggan/konsumennya sekaligus dapat mengidentifikasi sumber-sumber yang diperlukan untuk melayani dan memuaskan mereka), flowchart, pareto analysis, benchmarking (simbol/tanda untuk menentukan tinggi suatu daerah) adalah suatu standar untuk pengukuran performansi, career-path mapping (penggambaran jalan karir untuk mengidentifikasi kejadian penting atau hambatan potensial dalam karir para peserta didik).

Konsep Dasar Kegiatan Belajar-Mengajar

Belajar adalah proses kognitif, persepsi, dan pengembangan verbal (Hamalik, 1990:64). Burton menyatakan bahwa learning is a change in the individual due to instruction of that individual and his environment (Mustiningsih, 2001:1). Belajar diartikan sebagai proses dimana timbulnya atau diubahnya kegiatan karena mereaksi suatu keadaan. Lebih lanjut Hilgard berpendapat bahwa learning is the process by which an activity originates or changed through training procedurs (whetver in the laboratory or in the natural environment) as distinguished from changes by factors not atribute to training (Sanjaya, 2006:89).

Belajar adalah proses perubahan melalui kegiatan atau prosedur latihan, baik latihan di dalam laboratorium maupun di dalam lingkungan alamiah. Belajar juga dapat dikatakan sebagai perubahan tingkah laku yang terjadi melalui pengalaman. Segala perubahan tingkah laku yang berbentuk kognitif, afektif, maupun psikomotorik dan terjadi karena proses pengalaman dapat dikategorikan sebagai prilaku belajar (Sukmadinata, 2005: 52). Pembelajaran merupakan aktivitas guru yang berupa kegiatan penciptaan sistem lingkungan yang dimaksudkan agar mental dan pikiran anak terdorong dan terangsang untuk melakukan aktivitas belajar (Saputra, 2001:1).

Berdasarkan pendapat para ahli mengenai definisi belajar di atas, maka dapat disimpulkan bahwa belajar sebenarnya merupakan sebuah proses perubahan dari tiga ranah pendidikan, yaitu perubahan afektif (sikap), kognitif (pengetahuan), dan psikomotorik (keahlian). Perubahan ini tentunya adalah perubahan ke arah positif melalui proses pembelajaran di lingkungan keluarga, lingkungan tempat tinggal, maupun di lembaga pendidikan formal dan non formal.

Menurut Bidge terdapat tiga rumpun teori belajar, yaitu teori disiplin mental, behaviorisme, dan cognitive gestalt field (Sukmadinata, 2005:53). Menurut rumpun teori disiplin mental, dari kelahirannya, anak telah memiliki potensi-potensi tertentu. Belajar merupakan upaya untuk mengembangkan potensi-potensi tersebut. Kelompok teori belajar behaviorisme dikenal juga dengan teori S – R (Stimulus – Respon). Teori ini berpendapat bahwa seorang individu tidak memiliki atau tidak membawa potensi apa-apa dari kelahirannya. Perkembangan anak ditentukan oleh faktor yang berasal dari lingkungan. Teori ini menganggap bahwa perkembangan seseorang menyangkut hal-hal nyata yang dapat dilihat, dan diamati. Selanjutnya adalah teori cognitive gestald field. Menurut teori ini, belajar adalah proses mengembangkan insight atau pemahaman baru. Pemahaman terjadi apabila individu menemukan cara baru dalam menggunakan unsur-unsur yang ada dalam lingkungan, termasuk struktur tubuhnya sendiri. Gestald Field melihat bahwa belajar merupakan perbuatan yang bertujuan, eksploratif, imajinatif, dan kreatif (Sukmadinata, 2005:55).

Mengajar dapat diartikan menyerahkan kebudayaan berupa pengalaman-pengalaman kepada anak didik. Dengan kata lain mengajar belajar berarti mewariskan kebudayaan dari masyarakat generasi tertentu kepada generasi penerusnya (Mustiningsih, 2001:2). Clarke berpendapat bahwa mengajar yaitu kegiatan yang dirancang dan dilaksanakan untuk menghasilkan perubahan pada tingkah laku murid (Mustiningsih, 2001:6). Mengajar dapat juga diartikan sebagai suatu upaya yang dilakukan guru agar siswa belajar (Sukmadinata, 2005:131). Inti dari definisi yang telah dikemukakan, maka mengajar adalah suatu kegiatan yang harus dilaksanakan oleh seorang tenaga pendidik sebagai tuntutan profesi guru yang mereka miliki dengan cara memberikan transfer ilmu pendidikan sesuai dengan tiga ranah pendidikan. Mengajar itu berat (teaching is taft), karena di dalam proses mengajar, seorang guru juga mendidik. Dalam mendidik, guru tidak hanya memberikan ilmu pengetahuan maupun keterampilan saja kepada didikannya, tetapi juga dituntut untuk mampu mengarahkan peserta didik tersebut agar memiliki sikap, prilaku, dan moral yang benar. Sehingga nantinya diharapkan terdapat keseimbangan antara kemampuan kognitif, afektif, dan psikomotorik peserta didik.

Disimpulkan bahwa kegiatan belajar-mengajar merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dilepaskan dari sebuah pendidikan. Keduanya merupakan sebuah proses interaksi antara peserta didik dengan tenaga pendidiknya. Kegiatan belajar-mengajar dapat juga diartikan sebagai proses pembelajaran. Pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar (UU RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 1).

Implementasi Total Quality Management dalam Kegiatan Belajar-Mengajar

Field berpendapat bahwa untuk menerapkan manajemen mutu terpadu dalam pendidikan (Syafaruddin 2002:81), ada 10 langkah yang harus dilalui:

  1. Mempelajari dan memahami manajemen mutu terpadu secara menyeluruh;

  2. Memahami dan mengadopsi jiwa dan filosofi untuk perbaikan terus menerus;

  3. Menilai jaminan mutu saat ini dan program pengendalian mutu;

  4. Membangun sistem mutu terpadu (kebijakan mutu, rencana strategis mutu, implementasi rencana, rencana pelatihan, organisasi dan struktur, prosedur bagi tindakan perbaikan, pendefinisian terhadap nilai tambah tindakan);

  5. Mempersiapkan orang-orang untuk perubahan, menilai budaya mutu sebagai tujuan untuk mempersiapkan perbaikan, melatih orang-orang untuk bekerja pada suatu kelompok kerja;

  6. Mempelajari teknik untuk menyerang atau mengatasi akar persoalan (penyebab) dan mengaplikasikan tindakan koreksi dengan menggunakan teknik dan alat manajemen mutu terpadu;

  7. Memilih dan menetapkan pilot project untuk diaplikasikan;

  8. Tetapkan prosedur tindakan perbaikan dan sadari akan keberhasilannya;

  9. Menciptakan komitmen dan strategi yang benar oleh pemimpin yang akan menggunakannya, dan

  10. Memelihara jiwa mutu terpadu dalam penyelidikan dan aplikasi pengetahuan yang amat luas.

Salah satu komitmen yang harus diutamakan sekolah dalam menerapkan TQM pada kegiatan belajar-mengajar adalah kebutuhan pelanggan sekolah itu sendiri. Berikut jenis pelanggan pendidikan menurut Sallis (2006:71).

Pendidikan = Jasa (nilai tambah yang diberikan pada

pelajar)

Pelajar = Pelanggan atau klien eksternal utama

Orangtua/Kepala Daerah/Sponsor = Pelanggan eksternal kedua

Pemerintah/masyarakat/bursa kerja = Pelanggan eksternal ketiga

Guru/staf = Pelanggan internal

Untuk mengimplementasikan TQM pada kegiatan belajar-mengajar siswa di SMK, pihak sekolah dapat menerapkan siklus PDCA (Plan, Do, Check, Act) yang dalam dunia industri dipergunakan oleh perusahaan untuk menyelesaikan masalah. Siklus PDCA diperkenalkan oleh Deming, salah satu tokoh TQM (Slamet, dkk 1996:5). Pada siklus Deming ini, proses penyelesaian masalah dengan menggunakan siklus perencanaan, pelaksanaan, evaluasi, dan tindak lanjut. Berikut delapan langkah dalam penyelesaian masalah berdasarkan siklus PDCA Deming.

Gambar 2.3 Siklus PDCA (Slamet dkk, 1996:5)

Perencanaan (Plan)

Menurut Tampubolon (Slamet, dkk 1996:4) tahap perencanaan dimulai dari:

Langkah (1) : Tentukan problem utama. Apabila banyak problema yang dihadapi, carilah yang paling penting;

Langkah (2) : Tentukan faktor penyebab;

Langkah (3) : Tetapkan urutan penyebab;

Langkah (4) : Perumusan rencana penanggulangan dan sasaran.

Apabila tahap perencanaan dari siklus PDCA ini kita kembangkan pada tahap perencanaan di kegiatan belajar-mengajar siswa, maka langkah pertama yang harus dilakukan sekolah adalah menetapkan permasalahan di seputar kegiatan pembelajaran secara sistematis. Dalam menentukan urutan masalah, kepala sekolah harus mengikutsertakan staf dan guru untuk membicarakannya. Sebaiknya kepala sekolah membentuk kelompok kerja atau tim khusus perbaikan untuk berpartisipasi dalam pembuatan rencana perbaikan. Dalam mengidentifikasi permasalahan seputar kegiatan belajar-mengajar hendaknya sekolah dapat membatasi permasalahan yang ada, kemudian mencari kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman yang mungkin saja ada dari fokus masalah melalui analisis SWOT/SWOT analysis (Strenghts, Weaknessess, Opportunities, Threat).

Setelah dilakukan identifikasi fokus masalah melalui analisis SWOT, tim akan mudah menentukan penyebab dari masalah yang ada. Langkah selanjutnya adalah tim perbaikan harus menetapkan urutan penyebab masalah yang ada dalam kegiatan belajar-mengajar secara sistematis berdasarkan permasalahan terpenting terlebih dahulu, hingga ke permasalahan ringan. Tahap dari akhir perencanaan ini adalah tim perbaikan/pihak sekolah wajib mengadakan perumusan langkah perbaikan atau usaha pemecahan masalah yang akan dilakukan, beserta maksud dan tujuan dari langkah penanggulangan itu.

Pelaksanaan (Do)

Tahap pelaksanaan ini merupakan tahap implementasi rencana-rencana penanggulangan dari masalah yang ada. Pada tahap ini, menurut Tampubolon (dalam Slamet, dkk 1996:4), perencanaan yang telah ada dilaksanakan sesuai dengan yang telah ditetapkan. Pada tahap pelaksanaan ini, tim perbaikan sebaiknya harus tetap memantau proses implementasi maupun hasilnya. Apabila pada saat proses pelaksanaan rencana, tiba-tiba terjadi peristiwa dengan keadaan yang tidak terprediksi sebelumnya, maka pihak sekolah harus mampu mengadakan penyesuaian sesuai dengan kondisi tersebut.

Evaluasi (Check)

Pada tahap evaluasi ini, tim perbaikan mutu kegiatan belajar-mengajar harus mengadakan pemantauan terhadap semua bagian kegiatan dari proses pelaksanaan rencana yang telah dilaksanakan. Evaluasi dijalankan untuk mengetahui apakah sasaran yang telah ditetapkan berhasil sesuai rencana atau terdapat penyimpangan Tampubolon (dalam Slamet, dkk 1996:4). Pada tahap ini, buatlah alat atau cara untuk memantau (memonitor) pelaksanaan proses dan hasilnya, konfirmasikan bahwa cara atau alat itu absah untuk digunakan, apakah evaluasi itu mendatangkan efek yang diinginkan, apakah ada konsekuensi yang tak diharapkan (Slamet, dkk 1996:9).

Tindak Lanjut (Act)

Tahapan ini merupakan tahapan akhir dari siklus PDCA. Tim perbaikan mutu kegiatan belajar-mengajar sekolah harus menetapkan usulan standar lanjutan berdasarkan hasil yang telah didapatkan, kemudian tim perbaikan mutu menetapkan langkah perbaikan berikutnya untuk permasalahan yang belum terselesaikan. Menurut Slamet, dkk (1996:9) langkah tindak lanjut tersebut sebagai berikut:

  1. Nilailah hasil-hasil yang dicapai demikian pula proses pemecahan masalah dan perubahan proses yang direkomendasikan;

  2. Teruskan perbaikan proses bila diperlukan, bakukan bila memungkinkan;

  3. Rayakan keberhasilan yang dicapai.