01 Desember 2016

Peran Strategis Kepala Sekolah

Ketika membahas tentang upaya pengembangan sekolah, peningkatan mutu sekolah, atau upaya meningkatkan kinerja sekolah, maka sebenarnya tokoh sentral dalam menyukseskan hal tersebut adalah kepala sekolah. Kepala sekolah merupakan leader bagi semua warga sekolah yang memiliki power, memiliki power untuk mempengaruhi, dan bahkan memiliki power untuk memaksa agar semua komponen yang ada di sekolah bekerja dengan baik dalam menunjang tercapainya tujuan sekolah secara efektif dan efisien. Peran kepala sekolah sebagai leader lebih membawa arah perubahan bagi sekolahnya melalui inovasi, gagasan, dan ide dari dirinya sendiri atau dengan mengakomodasi semua pemikiran warga sekolah. Peran lain kepala sekolah adalah sebagai manajer lebih menekankan pada kepala sekolah menjaga sistem serta tatanan yang di sekolah. Peran kepala sekolah sebagai manajer lebih statis ketimbang leader yang lebih dinamis. Bagaimana kepala sekolah menyeimbangkan perannya ini menjadi tantangan tersendiri, sebab diera yang tak menentu ini, kepala dituntut untuk berimprovisasi memiliki daya kreativistas tinggi untuk membawa sekolah menuju sekolah yang berkualitas. Di sisi lain kepala sekolah juga harus menjaga tatatan sistem sekolah sesuai dengan prosedur-prosedur yang ada demi terciptanya sekolah yang mapan.

Sekian terima kasih.

07 September 2016

FUNGSI GURU DALAM KEGIATAN PEMBELAJARAN


Guna meningkatkan peran guru dalam proses belajar-mengajar dan hasil belajar siswa, guru diharapkan mampu menciptakan lingkungan belajar yang efektif dan mampu mengelola kelas. Sebab kelas merupakan lingkungan belajar serta merupakan merupakan suatu aspek dari lingkungan sekolah yang perlu diorganisasi. Lingkungan ini perlu diatur dan diawasi agar kegiatan-kegiatan belajar terarah kepada tujuan-tujuan pendidikan. Lingkungan yang baik ialah yang bersifat menantang dan merangsang siswa untuk belajar, memberikan rasa aman dan kepuasan dalam mencapai hasil belajar yang diharapkan.



A.   PENGERTIAN GURU

Guru merupakan salah satu unsur penting yang harus ada selain siswa. Menjadi seorang guru bukanlah tugas yang mudah. Hal ini dikarenakan guru mengemban peran yang sangat penting dalam proses pendidikan. Guru merupakan figur sentral, di tangan gurulah terletak kemungkinan berhasil atau tidaknya pencapaian tujuan belajar mengajar di sekolah. Oleh karena itu, tugas dan peran guru bukan saja mendidik, mengajar, dan melatih saja, tetapi juga bagaimana guru juga dapat membaca situasi kelas dan kondisi siswanya dalam menerima pelajaran. Sudarwan dan Danim (2010:63) menyatakan bahwa secara leksital sebutan guru tidak termuat dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Kata guru dalam undang-undang tersebut dimasukkan ke dalam genus pendidik. Sesungguhnya guru dan pendidik merupakan dua hal yang berbeda.

Kata pendidik (Bahasa Indonesia) merupakan padanan dari kata educator (Bahasa Inggris). Kata educator berarti educationist atau educationalist yang artinya dalam Bahasa Indonesia adalah pendidik, spesialis di bidang pendidikan, atau ahli pendidikan. Kata guru (Bahasa Indonesia) merupakan padanan dari kata teacher (Bahasa Inggris). Kata teacher bermakna sebagai person who teach, expecially in school, atau guru adalah seseorang yang mengajar, khususnya di sekolah. Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru menyatakan sebutan guru mencakup: (1) guru itu sendiri, baik guru kelas, guru bidang studi, maupun guru bimbingan dan konseling, atau guru bimbingan karier; (2) guru dengan tugas tambahan sebagai kepala sekolah; dan (3) guru dalam jabatan pengawas. Istilah guru juga mencakup individu-individu yang melakukan tugas bimbingan dan konseling, supervisi pembelajaran di institusi pendidikan atau sekolah-sekolah negeri dan swasta, teknisi sekolah, administrator atau kepala sekolah, dan tenaga administrasi sekolah (TAS) untuk urusan-urusan administratif.

Gunawan (2013:48) menyatakan bahwa pandangan masyarakat Jawa tradisional, secara sosio-kultural guru merupakan suatu profesi yang terhormat. Hal ini terungkap dari kata “guru” yang dalam Bahasa Jawa menurut kerata basa atau jarwa dhosok merupakan kependekan dari digugu lan ditiru yang berarti dianut dan dicontoh (Ranggawarsita, 1954). Bertolak dari kerata basa itu, maka guru merupakan pribadi dan profesi yang dihormati dalam masyarakat Jawa tradisional. Mereka menjadi panutan dan contoh bagi masyarakat karena memiliki keahlian, kemampuan, dan perilaku yang pantas untuk dijadikan teladan. Oleh karena itu, untuk menjadi guru seseorang harus memenuhi sejumlah kriteria untuk memenuhi gambaran ideal dari masyarakat Jawa tradisional itu. Pandangan masyarakat Jawa tradisional tentang guru seperti disebutkan di atas, tentunya juga terdapat pada kelompok etnik yang lain di Indonesia. Dengan kata lain, sebenarnya pandangan masyarakat Indonesia terhadap profesi guru terrepresentasi dari pandangan masyarakat Jawa tradisional itu.

Guru adalah pribadi dan profesi yang terhormat dalam masyarakat Indonesia. Pada masa sekarang (modern) pandangan sosio-kultural terhadap guru mengalami pergeseran, tetapi profesi guru masih dianggap terhormat dan mulia di hadapan masyarakat, karena guru merupakan garda depan dalam pencapaian tujuan nasional, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa (Gunawan, 2013:49). Gurulah yang “menciptakan” orang-orang cerdik pandai yang diantaranya telah menjadi guru bangsa ini. Oleh karena memiliki kedudukan dan peranan yang strategis dalam pembangunan nasional bidang pendidikan khususnya dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa, tidak berbeda dengan pada masa tradisional, dengan bahasa dan istilah yang lain pada masa sekarang ini guru dituntut untuk memiliki kualifikasi, kompetensi, dan profesionalisme.

Sehingga peran guru dalam mengembangkan kepribadian siswa sangatlah nampak. Disinilah perlu adanya keteladanan pada pribadi guru itu sendiri, yang ditampilkan dalam kehidupan sehari-hari, baik di lingkungan sekolah atau masyarakat, dilihat siswa atau tidak, guru tetap menampilkan kepribadian yang anggun. Pembelajaran yang dilaksanakan oleh guru pada dasarnya memiliki satu tujuan yaitu mencetak dan mengarahkan siswa supaya jadi orang yang baik, berkepribadian baik, dan cerdas. Hal ini dipertegas oleh Gunawan (2011:32) yang berpendapat bahwa guru melalui kegiatan pembelajaran diharapkan menggabungkan keseluruhan potensi otak peserta didik sehingga membentuk kebermaknaan (God Spot). Segenap potensi tersebut secara fitrah dianugerahkan Tuhan kepada manusia dalam kedudukannya sebagai insan, manusia seutuhnya, dengan seluruh totalitasnya, jiwa, dan raga. Pendidikan perlu terus ditingkatkan, dioptimalkan, dan masih memungkinkan untuk ditingkatkan. Sehingga perlu adanya perubahan dalam pemikiran para pendidik yang cenderung pada transfer pengetahuan belaka. Pendidikan pada akhirnya dapat kembali pada fitrahnya, yang memanusiakan manusia dalam kedudukannya sebagai insan.

Jika guru memiliki kepribadian baik, memiliki kasih sayang terhadap siswa, ketenangan hati, maka menjadi seorang guru yang dirindukan oleh siswa-siswanya (Khalifah dan Quthub, 2009:35). Guru yang dicintai adalah sosok yang menerima dengan tulus dan berbahagia - sebelum segala sesuatu - sebagai manusia. Hal ini akan menjadikan guru lebih bisa memahami siswa-siswanya dan berinteraksi baik dengan siswa. Guru yang dicintai adalah seorang guru yang memiliki sifat ramah dalam berinteraksi kepada sesama, memahami orang lain, menghormati tanggung jawab, disiplin dalam sikap dan tugas-tugasnya, dan mampu berinisiatif dan inovatif. Siswa yang berkepribadian baik diajar oleh guru yang berkepribadian baik pula. Siswa yang memiliki kepribadian kurang baik berubah menjadi baik dan sukses, sebaliknya siswa memiliki kepribadian baik tiba-tiba berubah menjadi kurang baik. Baik atau buruknya kepribadian siswa dipengaruhi oleh kepribadian guru. Sehingga sebelum menuntut siswa berkarakter baik, maka perlu mengembangkan karakter baik pada guru.



B.   FUNGSI GURU DALAM KELAS

Ketika ilmu pengetahuan masih terbatas, ketika penemuan hasil-hasil teknologi belum berkembang hebat seperti sekarang ini, maka fungsi utama guru di sekolah adalah menyampaikan ilmu pengetahuan sebagai warisan kebudayaan masa lalu yang dianggap berguna sehingga harus dilestarikan. Peters menyatakan tugas dan tanggung jawab guru meliputi tiga aspek, yaitu guru sebagai pengajar, guru sebagai pembimbing, dan guru sebagai administrator kelas (Wahyuningsih, 2010:12-13). Guru sebagai pengajar, lebih menekankan kepada tugas dalam merencanakan dan melaksanakan pengajaran. Guru dalam tugas ini dituntut untuk memiliki seperangkat pengetahuan dan keterampilan teknis mengajar, selain menguasai ilmu atau bahan yang akan diajarkannya.

Guru sebagai pembimbing, memberi tekanan kepada tugas, memberikan bantuan kepada siswa dalam pemecahan masalah yang dihadapinya. Tugas ini merupakan aspek mendidik sebab tidak hanya berkenaan dengan penyampaian ilmu pengetahuan akan tetapi juga menyangkut pengembangan kepribadian dan pembentukan nilai-nilai para siswa. Guru sebagai administrator kelas, memiliki kemampuan tata ruang untuk pengajaran, serta mampu menciptakan iklim belajarmengajar berdasarkan hubungan manusiawi yang harmonis dan sehat. Wijaya (2013) menyatakan bahwa fungsi guru sebagai pendidik di dalam kelas sangatlah banyak, yaitu: (1) pendidik; (2) pengajar; (3) pembimbing; (4) pelatih; (5) penasihat; (6) pengelola kelas; (7) demonstrator; (8) korektor; (9) inspirator; (10) informator; (11) organisator; (12) motivator; (13) inisiator; (14) fasiliator; (15) inovator; (16) mediator; dan (17) evaluator. Berikut ini akan diuraikan fungsi guru sebagai pendidik di dalam kelas.

1.        Pendidik

Guru adalah pendidik yang menjadi tokoh, penelitian dan identifikasi bagi para peserta didik dan lingkungannya. Oleh karena itu, guru harus mempunyai standar kualitas pribadi tertentu yang mencakup tanggung jawab, wibawa, mandiri, dan disiplin. Guru harus memahami nilai-nilai, norma moral, dan sosial, serta berusaha berperilaku dan berbuat sesuai dengan nilai dan norma tersebut. Guru juga harus bertanggung jawab atas tindakannya dalam proses pembelajaran di sekolah sebagai pendidik, guru juga harus berani mengambil keputusan secara mandiri berkaitan dengan pembelajaran dan pembentukan kompetensi dan bertindak sesuai dengan kondisi peserta didik dan lingkungan.



2.        Pengajar

Ajar memiliki makna memberi petunjuk kepada orang lain supaya mengetahui sesuatu hal (ajaran, nasihat). Pengajar berarti orang yang member petunjuk agar orang lain mengetahui tentang suatu ajaran atau nasihat. Guru sebagai pengajar maksudnya adalah seorang guru harus membantu peserta didik yang sedang berkembang untuk mempelajari sesuatu yang belum diketahuinya, membentuk kompetensi dan memahami materi standar yang dipelajari.



3.        Pembimbing

Membimbing dalam hal ini dapat dikatakan sebagai kegiatan menuntun peserta didik dalam perkembangannya dengan jelas memberikan langkah dan arah yang sesuai dengan tujuan pendidikan. Peranan ini harus lebih dipentingkan, karena kehadiran guru di sekolah adalah untuk membimbing anak dituntut menjadi dewasa susila yang cakap. Tanpa bimbingan, peserta didik akan mengalami kesulitan dalam menghadapi perkembangan dirinya. Kekurangmampuan peserta didik menyebabkan lebih banyak tergantung pada bantuan guru. Tetapi semakin dewasa, ketergantungan peserta didik semakin berkurang, jadi bagaimanapun juga bimbingan dari guru sangat diperlukan pada saat anak didik belum mampu berdiri sendiri (mandiri).



4.        Pelatih

Proses pendidikan dan pembelajaran memerlukan latihan keterampilan baik intelektual maupun motorik, sehingga menuntut guru untuk bertindak sebagai pelatih. Karena tanpa latihan seorang peserta didik tidak akan mampu menunjukkan penguasaan kompetensi dasar, tidak akan mahir dalam berbagai keterampilan yang dikembangkan sesuai dengan materi standar, juga harus mampu memperhatikan perbedaan individu peserta didik.



5.        Penasihat

Guru adalah sebagai penasihat bagi peserta didik, bahkan bagi orang tua, meskipun mereka tidak memiliki latihan khusus sebagai penasihat. Agar guru menyadari fungsinya sebagai penasihat, maka ia harus memahami psikologi kepribadian dan mental, akan menolong guru untuk menjalankan fungsinya sebagai penasihat.



6.        Pengelola Kelas

Guru sebagai pengelola kelas hendaknya dapat mengelola kelas dengan baik, karena kelas adalah tempat berhimpun semua peserta didik dan guru dalam rangka menerima bahan pelajaran dari guru. Kelas yang dikelola dengan baik akan menunjang jalannya interaksi edukatif. Sebaliknya kelas yang tidak dikelola dengan baik akan menghambat kegiatan pengajaran. Wiyani (2013b) menyatakan bahwa kualitas dan kuantitas belajar peserta didik di kelas ditentukan oleh faktor guru sebagai seorang manajer kelas. Penguasaan terhadap pengetahuan teori tentang belajar dan keterampilan mengajar merupakan modal awal yang harus dimiliki oleh guru sebagai manajer kelas, untuk selanjutnya guru harus memahami konsep dan kegiatan dalam manajemen kelas.



7.        Demonstrator

Guru melalui perannya sebagai demonstrator hendaknya senantiasa menguasai bahan atau materi pelajaran yang akan diajarkannya serta, senantiasa mengembangkannya dalam arti meningkatkan kemampuannya dalam hal ilmu yang dimilikinya karena hal ini sangat menentukan hasil belajar yang dicapai oleh siswanya. Untuk bahan pelajaran yang sukar dipahami peserta didik, guru harus berusaha dengan membantunya, dengan cara memperagakan apa yang diajarkan, sehingga apa yang guru inginkan sejalan dengan pemahaman peserta didik.



8.        Korektor

Guru sebagai korektor harus bisa membedakan mana nilai yang baik dan mana yang buruk. Kedua nilai ini harus dipahami dalam kehidupan masyarakat. Kedua nilai ini mungkin telah peserta didik miliki dan mungkin telah mempengaruhinya, sebelum anak didik masuk sekolah. Karena latar belakang kehidupan anak didik yang berbeda. Semua nilai yang baik harus guru pertahankan dan semua nilai buruk harus disingkirkan dari jiwa peserta didik. Bila guru membiarkannya, berarti guru telah mengabaikan peranannya sebagai korektor, yang menilai dan mengkoreksi semua sikap, tingkah laku, dan perbuatan peserta didik.



9.        Inspirator

Guru sebagai inspirator harus dapat memberikan ilham yang baik bagi kemajuan belajar peserta didik. Persoalan belajar adalah masalah utama peserta didik. Guru harus dapat memberikan petunjuk (ilham) bagaimana cara belajar yang baik. Petunjuk itu tidak mesti harus bertolak dari sejumlah teori-teori belajar yang baik. Hal yang penting bukan teorinya, namun bagaimana melepaskan masalah yang dihadapi oleh peserta didik.



10.    Informator

Sebagai informator, guru harus dapat memberikan informasi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, selain sejumlah bahan pelajaran untuk setiap mata pelajaran yang telah diprogramkan dalam kurikulum. Informasi yang baik dan efektif diperlukan dari guru. Kesalahan informasi adalah racun bagi peserta didik. Untuk menjadi informator yang baik dan efektif, penguasaan bahasa-lah sebagai kuncinya, ditopang dengan penguasaan bahan yang akan diberikan peserta didik. Informator yang baik adalah guru yang mengerti kebutuhan peserta didik dan mengabdi untuk peserta didik.



11.    Organisator

Sebagai organisator, adalah sisi lain dari peranan yang diperlukan dari guru. Dalam bidang ini guru memiliki kegiatan pengelolaan kegiatan akademik, menyusun tata tertib sekolah, menyusun kalender akademik, dan sebagainya. Semuanya diorganisasikan, sehingga dapat mencapai efektivitas dan efisiensi dalam belajar pada diri peserta didik.



12.    Motivator

Sebagai motivator, guru hendaknya dapat mendorong peserta didik agar bergairah dan aktif belajar. Dalam upaya memberikan motivasi, guru dapat menganalisis motif-motif yang melatarbelakangi peserta didik malas belajar dan menurun prestasinya di sekolah. Motivasi dilakukan dengan cara memperhatikan kebutuhan peserta didik.



13.    Inisiator

Guru harus dapat menjadi pencetus ide-ide kemajuan dalam pendidikan pengajaran. Proses pembelajaran sekarang ini harus diperbaiki sesuai perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang pendidikan. Bukan mengikuti terus tanpa pencetus ide-ide inovasi bagi kemajuan pendidikan dan pengajaran.



14.    Fasilitator

Makna dari fasilitator adalah memberi kemudahan. Guru sebagai fasilitator hendaknya mampu mengusahakan sumber belajar yang berguna serta dapat menunjang pencapaian tujuan dan proses belajar mengajar, baik yang berupa narasumber, buku teks, majalah, ataupun surat kabar.



15.    Inovator

Innovator memiliki makna orang yang selalu memiliki gagasan-gagasan baru guna menyelesaikan suatu permasalahan. Guru menerjemahkan pengalamannya yang telah lalu ke dalam kehidupan yang bermakna bagi peserta didik. Tugas guru adalah menerjemahkan kebijakan dan pengalaman berharga ke dalam istilah atau bahasa yang akan diterima oleh peserta didik. Oleh karena itu, sebagai jembatan antara generasi tua dan generasi muda, yang juga sebagai penerjemah pengalaman, guru harus menjadi pribadi yang terdidik. Guru merupakan sumber ide siswa manakala ia memiliki suatu permasalahan. Selain itu, guru juga merupakan penggerak gagasan-gagasan baru dalam mengembangkan proses pembelajaran.



16.    Mediator

Sebagai mediator guru harus memiliki pengetahuan dan pemahaman yang yang cukup tentang media pendidikan dalam berbagai bentuk dan jenisnya, baik media nonmaterial maupun materiil. Media berfungsi sebagai alat komunikasi guna mengaktifkan proses interaksi edukatif. Keterampilan menggunakan semua media itu diharapkan dari guru yang disesuaikan dengan pencapaian tujuan pengajaran.



17.    Evaluator

Sebagai evaluator, guru dituntut untuk menjadi seorang evaluator yang baik dan jujur, dengan memberikan penilaian yang menyentuh aspek kepribadian anak didik dan aspek penilaian jawaban peserta didik ketika tes. Peserta didik yang berprestasi baik, belum tentu memiliki kepribadian yang baik. Jadi penilaian itu pada hakekatnya diarahkan pada perubahan kepribadian peserta didik agar menjadi manusia susila yang cakap. Sebagai evaluator guru tidak hanya menilai produk (hasil pengajaran), tetapi juga menilai proses (jalannya pengajaran). Maka dari kedua kegiatan ini, akan mendapatkan umpan balik.

Hoyle mengemukakan seperangkat peranan guru yang sekaligus ditampilkannya di dalam kelas (Safitri, 2014). Peranan-peranan itu adalah: (1) wakil masyarakat; (2) hakim (memberi nilai); (3) sumber (proses, pengetahuan, dan keterampilan); (4) penolong (memberi bimbingan bagi kesulitan peserta didik); (5) detektif (menemukan pelanggar aturan); (6) pelerai (menyelesaikan perselisihan di antara peserta didik); (7) objek identifikasi bagi peserta didik; (8) penawar kecemasan (membantu siswa mengendalikan nafsu); (9) penunjang kekuatan ego (membantu siswa untuk memiliki kepercayaan pada diri sendiri); (10) pemimpin kelompok (membentuk iklim kelompok); (11) pengganti orang tua (bertindak sebagai tempat mengeluh anak-anak muda); (12) sasaran kemarahan peserta didik (bertindak sebagai objek agresi yang timbul dari frustrasi yang diciptakan orang dewasa); (13) teman dan kepercayaan (membangun hubungan yang hangat dengan peserta didik dan saling mempercayai); dan (14) objek perhatian (mematuhi kebutuhan psikologi peserta didik).



C.   FUNGSI GURU DALAM PEMBELAJARAN

Kegiatan pembelajaran merupakan kegiatan akademik yang bersifat universal. Ada banyak variabel yang dapat mempengaruhi proses pembelajaran. Guru merupakan faktor kunci dalam kegiatan pembelajaran. Guru dewasa ini dihadapkan pada tuntutan yang semakin berat, terutama untuk mempersiapkan siswa agar mampu menghadapi dinamika perubahan yang berkembang dengan pesat (Gunawan, 2013:60). Perubahan yang terjadi tidak saja berkaitan dengan perubahan ilmu pengetahuan dan teknologi saja, melainkan juga menyentuh tentang pergeseran aspek nilai dan moral dalam kehidupan bermasyarakat. Pembelajaran tidak berhenti pada tataran kognitif, tetapi menyentuh pada tataran internalisasi, dan pengamalan nyata dalam kehidupan anak didik sehari-hari di masyarakat (Gunawan, 2013:60).

Hal tersebut sesuai dengan ajaran hidup Ki Hadjar Dewantara, “Tringa” yang meliputi ngerti, ngrasa, dan nglakoni, mengingatkan terhadap segala ajaran, cita-cita hidup yang kita anut diperlukan pengertian, kesadaran dan kesungguhan dalam pelaksanaanya. Tahu dan mengerti saja tidak cukup, kalau tidak merasakan, menyadari, dan tidak ada artinya kalau tidak melaksanakan dan tidak memperjuangkan. Diibaratkan ilmu tanpa amal seperti pohon kayu yang tidak berbuah. Seorang guru menurut Yoesoef mempunyai tiga tugas pokok yaitu tugas profesional, tugas manusiawi, dan tugas kemasyarakatan (Wardani, 2010). Tugas-tugas profesional dari seorang guru yaitu meneruskan atau tramisi ilmu pengetahuan, keterampilan dan nilai-nilai lain yang sejenis yang belum diketahui peserta didik dan seharusnya diketahui oleh peserta didik.

Tugas manusiawi adalah tugas-tugas membantu peserta didik agar dapat memenuhi tugas-tugas utama dan manusia kelak dengan sebaik-baiknya. Tugas-tugas manusiawi itu adalah transformasi diri, identifikasi diri sendiri dan pengertian tentang diri sendiri. Guru seharusnya dengan pendidikan mampu membantu anak didik untuk mengembangkan daya pikir atau penalaran sedemikian rupa sehingga mampu untuk turut secara kreatif dalam proses tranformasi kebudayaan ke arah keadaban demi perbaikan hidupnya sendiri dan kehidupan seluruh masyarakat di mana dia hidup. Tugas kemasyarakatan merupakan konsekuensi guru sebagai warga negara yang baik, turut mengemban dan melaksanakan Pancasila dan UUD 1945.

Ketika seorang guru dalam melaksanakan kegiatan pembelajaran, maka guru akan memainkan tiga fungsi, yaitu fungsi instruksional, fungsi edukasional, dan fungsi managerial. Fungsi instruksional berkaitan dengan peran guru sebagai pengajar, yakni orang yang memberikan petunjuk berupa ilmu pengetahuan kepada para siswanya. Fungsi edukasional berkaitan dengan peran guru sebagai pendidik, yakni mendidik para siswanya agar memiliki karakter yang kuat. Dan fungsi managerial berkaitan dengan peran guru sebagai manajer kelas, yakni mengatur keperluan administrasi kelas guna mendukung pelaksanaan pembelajaran.

1.        Fungsi Instruksional

Sepanjang sejarah keguruan, tugas atau fungsi guru yang sudah tradisional adalah mengajar (to teach), yaitu: (1) menyampaikan sejumlah keterangan-keterangan dan fakta-fakta kepada murid; (2) memberikan tugas-tugas kepada mereka; dan (3) mengoreksi atau memeriksanya. Fungsi intruksional inilah yang masih selalu diutamakan oleh hampir semua orang yang disebut guru, dan fungsi instruksional ini masih dominan dalam karier besar guru. Fungsi instruksional ini wujudnya adalah usaha sadar guru untuk membantu siswa atau anak didik, agar mereka dapat belajar sesuai dengan kebutuhan dan minatnya.



2.        Fungsi Edukasional

Fungsi guru sesungguhnya bukan hanyalah mengajar, akan tetapi juga harus mendidik (to educate). Fungsi educational ini harus merupakan fungsi sentral guru. Setiap guru dalam fungsi ini harus berusaha mendidik para siswanya menjadi manusia dewasa. Hal ini sejalan dengan hakikat pendidikan, yakni pendidikan merupakan sebuah proses mendewasakan manusia. Guru bertugas mendidik para siswanya. Langeveld (1996) menyatakan bahwa mendidik adalah memberi pertolongan secara sadar dan sengaja kepada seorang anak (yang belum dewasa) dalam pertumbuhannya menuju ke arah kedewasaan, dalam arti dapat berdiri sendiri dan bertanggung jawab susila atas segala tindakannya menurut pilihannya sendiri.



3.        Fungsi Managerial

Fungsi kepemimpinan atau managerial guru ini dalam administrasi sekolah modern tidak hanya terbatas di dalam kelas, akan tetapi juga menyangkut situasi sekolah dimana ia bekerja, bahkan menynangkut pula kegiatan-kegiatan di dalam masyarakat. Guru memiliki satu kesatuan peran dan fungsi yang tidak terpisahkan, antara kemampuan mendidik membimbing, mengajar dan melatih. Keempat kemampuan tersebut merupakan kemampuan integratif antara yang satu dengan yang lain tidak dapat dipisahkan. Fungsi instruksional guru adalah mengajar yaitu, menyampaikan sejumlah keterangan-keterangan dan fakta-fakta kepada murid, memberikan tugas-tugas kepada mereka, mengoreksi atau memerikasanya, merencanakan program pengajaran dan melaksanakan program yang telah disusun, dan penilaian setelah program itu dilaksanakan.
Guru harus memiliki standar kualitas pribadi tertentu, yang mencangkup tanggung jawab, wibawa, mandiri, dan disiplin. Guru sebagai manajer memiliki empat fungsi, yaitu: (1) merencanakan tujuan belajar; (2) mengorganisasikan sebagai sumber belajar untuk mewujudkan tujuan belajar; (3) memimpin, meliputi motivasi, mendorong, dan menstimulasi siswa; dan (4) mengawasi segala sesuatu apakah sudah berfungsi sebagaimana mestinya atau belum, dalam rangka pencapaian tujuan.

11 Juli 2016

PERAN PENDIDIKAN DALAM PERKEMBANGAN SOSIAL BUDAYA


Masyarakat dengan berbagai karakteristik tentu memiliki problema yang ada tentu harus diselesaikan dalam rangka mewujudkan pembangunan sosial budaya yang mapan. Persoalan dan tatanan sosial budaya dalam masayarakat memiliki kekhasan yang berbeda antara masyarakat satu dengan yang lainnya, sehingga solusi yang diterapkan dalam menyelesaikan masalah tersebut juga berbeda. Peran pendidikan dalam rangka mengembangkan sosial budaya masyarakat memiliki tempat yang strategis. Sebab dengan pendidikan, masyarakat dapat mempelajari, mengembangkan, dan mewariskan tatanan sosial budaya dari generasi ke generasi. Pendidikan merupakan sarana sekaligus juga wahana mengembangkan sosial budaya masyarakat menuju taraf yang lebih baik.

Pembangunan bidang sosial budaya dan kehidupan beragama merupakan rangkaian dari upaya kunci peningkatan kualitas hidup manusia dan masyarakat Indonesia dalam rangka pencapaian sasaran yaitu terwujudnya masyarakat Indonesia yang berakhlak mulia, bermoral, beretika, berbudaya, dan beradab, serta bangsa yang berdaya saing untuk mencapai masyarakat yang lebih makmur dan sejahtera yang antara lain, ditunjukkan oleh meningkatnya kualitas SDM (Bappenas, 2012). Peraturan Presiden Nomor 45 Tahun 2016 tentang Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2017 pada Bagian Prioritas Pembangunan Nasional Subbagian Pembangunan Manusia dan Masyarakat menyatakan penguatan daya rekat sosial dalam kemajemukan memiliki arah: (1) pengembangan ruang publik yang ramah dan bebas dari penyebaran kebencian; (2) peningkatan kerjasama dan kesetiakawanan sosial; dan (3) peningkatan lembaga agama, keluarga, dan media publik yang mengajarkan perdamaian dan toleransi. Jika mengacu pada Peraturan Presiden Nomor 45 Tahun 2016 tentang Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2017 tersebut, maka bidang pendidikan menjadi salah satu tumpuan dalam menguatkan daya rekat sosial dalam kemajemukan. Berikut ini akan diuraikan strategi bidang pendidikan dalam mewujudkan daya rekat sosial dalam kemajemukan, yakni: (1) penumbuhan budi pekerti; (2) revitalisasi gotong royong melalui bidang pendidikan; dan (3) revitalisasi pendidikan keluarga dan agama.

1.        Penumbuhan Budi Pekerti

Tatanan sosial yang tercipta dalam kehidupan masyarakat dan bangsa dipengaruhi oleh karakter warga masyarakat dan bangsa tersebut. Masyarakat yang berkarakter merupakan modal pembangunan sosial masyarakat. Menjadi hal yang krusial penumbuhan budi pekerti terus secara masif dan sistematis dilaksanakan. Pendidikan menjadi wahana yang efektif untuk hal tersebut. Gunawan (2015:67) menyatakan pendidikan memegang peranan penting dalam perubahan sosial budaya manusia. Sosial budaya membentuk karakter suatu masyarakat. Sosial budaya membentuk tatanan nilai dan etika kemasyarakatan. Sekolah sebagai lembaga pendidikan yang merupakan sistem sosial dan pranata sosial, memiliki tanggung jawab dalam mentransformasi sosial budaya bangsa kepada generasi sekarang, termasuk dalam hal ini adalah budi pekerti. Membentuk akhlak peserta didik menjadi hal yang krusial dalam penyelenggaraan pendidikan. Peran sekolah adalah sebagai pewaris, pemelihara, dan pembaharu kebudayaan.

Hal ini dipertegas oleh Kartono (1977) yang berpendapat bahwa sekolah dapat dijadikan sebagai: (1) sentrum budaya untuk mengoperkan nilai dan benda budaya sendiri agar budaya nasional tidak hilang ditelan masa; (2) arena untuk mengumpulkan ilmu pengetahuan modern, teknik, dan pengalaman; dan (3) bengkel latihan untuk mempraktikkan hak asasi manusia selaku warga negara yang bebas di tengah iklim demokrasi. Sekolah memiliki tugas mewariskan, memelihara, dan mengembangkan budaya yang tercermin dalam kurikulum. Sekolah sebagai lembaga pendidikan berfungsi sentrum mempelajari, mengembangkan, dan mewariskan tatanan sosial masyarakat. Peserta didik perlu dipersiapkan untuk menghadapi tatanan sosial yang semakin mengglobal.

Oleh sebab itu, perlu adanya upaya masif yang bersifat gerakan agar budaya asing yang masuk akan disaring dengan sistem nilai dan etika bangsa Indonesia, sehingga akan terjadi akulturasi budaya yang bersifat konstruktif (Gunawan, 2015:65). Apalagi dengan adanya sikap masyarakat yang cenderung inferior kepada budaya asing. Pergeseran nilai-nilai dan etika ini juga mempengaruhi budi pekerti seseorang dalam masyarakat. Hal ini harus disikapi dengan bijak. Penumbuhan budi pekerti (PBP) merupakan rangkaian usaha pertumbuhan dan perubahan yang berencana dan dilakukan secara sadar oleh seluruh warga suatu bangsa, negara, dan pemerintah menuju modernitas dalam rangka pembinaan bangsa (Gunawan, 2015:65). PBP adalah pembiasaan sikap dan perilaku positif di sekolah, yang dimulai sejak masa orientasi peserta didik baru sampai dengan kelulusan, dari jenjang Sekolah Dasar (SD), sampai dengan Sekolah Menengah Atas (SMA) atau Sekolah Menegah Kejuruan (SMK), dan sekolah pada jalur pendidikan khusus (Kemendikbud, 2015).

Implementasi gerakan penumbuhan budi pekerti adalah upaya untuk menjadikan sekolah sebagai taman untuk menumbuhkan karakter positif bagi para peserta didik (Kemendikbud, 2015). PBP akan fokus dilakukan melalui kegiatan nonkurikuler pada seluruh jenjang pendidikan yang disesuaikan dengan tahapan usia perkembangan peserta didik. PBP pada pelaksanaannya akan bersifat kontekstual atau disesuaikan dengan muatan lokal daerah. PBP ini akan dilaksanakan fokus melalui jalur nonkurikuler yang biasanya kurang dapat perhatian, padahal memiliki efek besar dalam belajar mengajar. Penumbuhan budi pekerti terdiri dari tiga kata, yakni penumbuhan, budi, dan pekerti. Penumbuhan berasal dari kata tumbuh yang berarti timbul (hidup) dan bertambah besar atau sempurna (Kamus Bahasa Indonesia, 2008:1558). Budi artinya alat batin yang merupakan paduan akal dan perasaan untuk menimbang baik dan buruk; tabiat; akhlak; watak; perbuatan baik; kebaikan (Kamus Bahasa Indonesia, 2008:226). Sedangkan pekerti artinya perangai; tabiat; akhlak; watak; perbuatan (Kamus Bahasa Indonesia, 2008:1140). PBP berarti segenap upaya mengembangkan akhlak manusia agar berperilaku baik, berbuat baik dalam kehidupan bermasyarakat. PBP juga dapat diartikan sebagai rangkaian usaha pertumbuhan dan perubahan yang berencana dan dilakukan secara sadar oleh seluruh warga suatu bangsa, negara, dan pemerintah menuju modernitas dalam rangka pembinaan bangsa (nation building).

Budi pekerti menentukan tingkah laku manusia, sehingga salah satu faktor penyebab yang lazim dijadikan “kambing hitam” terjadinya tingkah laku warga negara yang tak terpuji ialah pekerti masyarakat yang mulai bergeser, bahkan menurun kualitasnya. Kondisi demikian menurut Gunawan (2012:67-68) dipengaruhi oleh tren dunia yakni globalisasi, yang memungkinkan informasi dapat masuk dengan tidak terbatas (borderless information). Di dalam situasi yang seperti ini terjadilah proses lintas budaya (trans-cultural) dan silang budaya (cross cultural) yang kemudian mempertemukan nilai-nilai budaya satu dengan yang lainnya. Pertemuan nilai-nilai budaya (cultural contact) dapat menghasilkan dua kemungkinan, yaitu: (1) asimilasi, pertemuan tanpa menghasilkan nilai-nilai baru yang bermakna; dan (2) akulturasi, pertemuan yang membuahkan nilai-nilai baru yang bermakna. Salah satu fungsi dari sekolah mencakup fungsi sosial. Sekolah dalam menjalankan fungsi sosial harus mampu mensosialisasikan peserta didik, sehingga mereka nantinya bisa mengubah diri mereka dan masyarakatnya. Masyarakat merupakan sebuah tempat yang menjadi tempat hidup, tumbuh, berkembang dan berubah bagi manusia.

Sekolah berupaya menggali dan mewariskan nilai-nilai dan etika yang bersumber pada kearifan lokal dalam membangun kehidupan berbangsa. Oleh karena itu, sudah seharusnya kurikulum sekolah memberikan perhatian yang lebih besar pada pendidikan karakter bangsa dibandingkan kurikulum masa sebelumnya. PBP menjadi hal yang krusial untuk dilaksanakan secara masif dalam rangka membangun bangsa. Selama sebuah bangsa menganggap bahwa modal pembangunan yang penting adalah sumber daya alam, maka selama itu pula bangsa tersebut tidak akan maju atau sulit maju. Sumber daya manusia merupakan faktor pertama dan utama modal membangun bangsa, yang di dalamnya menyangkut aspek budi pekerti manusia sebagai sebuah bangsa.



2.        Revitalisasi Gotong Royong melalui Bidang Pendidikan

Gotong royong merupakan karakter Bangsa Indonesia yang sangat penting untuk terus dilestarikan, sebab dengan semangat gotong royong, masyarakat akan memiliki semangat untuk bekerja sama dalam membangun bangsa. Apalagi di tengah-tengah perkembangan jaman dewasa ini yang mengarah pada sikap individualisme. Gotong royong merupakan bentuk kerja secara bersama-sama (teamwork) dengan orang lain dalam menyelesaikan suatu pekerjaan untuk kemaslahatan bersama. Teamwork is working with others to reach a common goal; acting together to achieve a shared vision (Anaya, 2002:197). Tantangan ke depannya adalah bagaimana kegiatan pendidikan karakter yang sudah mulai intensif dilaksanakan di sekolah-sekolah itu, juga mendapat proses penguatan (reinforcement) dari lingkungan keluarga dan masyarakat (Policy Brief, 2011:19). Sehingga berbagai perilaku yang dikembangkan di sekolah juga menjadi kegiatan keseharian siswa di rumah maupun di lingkungan masyarakat masing-masing.

Gotong royong menjadi salah nilai-nilai esensial yang harus diinternalisasi baik pada setiap individu maupun bangsa (Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional, 2014:1). Pengembangan karakter dan jati diri bangsa juga ditandai oleh terbangunnya modal sosial yang tercermin pada bekerjanya pranata gotong royong, berdayanya masyarakat adat dan komunitas budaya, meningkatnya kepercayaan antarwarga, yang berorientasi untuk menumbuhkan kepedulian sosial dan hilangnya diskriminasi (Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional, 2014:74-75). Pemahaman terhadap nilai-nilai luhur budaya bangsa menjadi landasan untuk memperkuat kebersamaan dan persatuan, toleransi, tenggang rasa, gotong royong, etos kerja, dan menciptakan kehidupan yang harmonis. Hal tersebut merupakan salah satu upaya untuk memperkuat karakter dan jati diri bangsa.

Pendidikan merupakan bentuk strategi kebudayaan yang berperan memberi arah bagi tercapainya kemaslahatan hidup berbangsa dan bernegara. Pendidikan sebagai salah satu pranata sosial yang dimiliki masyarakat memiliki tugas untuk mewujudkan keteraturan sosial masyatakat. Manusia berinteraksi untuk saling bekerja sama, menghargai, menghormati, hidup rukun, dan bergotong royong (Sukardi dan Rohman, 2009:60). Sehingga dengan demikian interaksi sosial yang terwujud mengarah pada bentuk penyatuan (asosiatif). Program yang dapat dicanangkan sekolah dalam rangka menumbuhkan sikap gotong royong kepada para peserta didik adalah Program Jumat Bersih. Program Jumat Bersih merupakan kegiatan yang dilaksanakan oleh peserta didik secara bersama-sama menciptakan lingkungan sekolah yang indah, bersih, dan asri guna mendukung kegiatan pembelajaran di sekolah.

Peserta didik bergotong royong bersama-sama dengan bekerja bakti membersihkan lingkungan sekolah, menanam tanaman, dan menjaga kebersihan sekolah. Peserta didik dengan Program Jumat Bersih dapat menumbuhkan semangat gotong royong, sehingga pada saat dewasa terjun di tengah-tengah kehidupan masyarakat, tidak akan canggung untuk ikut terlibat secara langsung gotong royong bekerja sama dengan masyarakat. Jiwa gotong royong juga mengandung karakter kerja keras yang dapat ditanamkan kepada peserta didik, yakni perilaku yang menunjukkan upaya sungguh-sungguh dalam mengatasi berbagai hambatan belajar dan tugas, serta menyelesaikan tugas dengan sebaik-baiknya (Kemendiknas, 2010:9).

Gotong royong merupakan kearifan lokal bangsa Indonesia, yang tercantum dalam jabaran butir Pancasila pada sila kelima Keadilan bagi Seluruh Rakyat Indonesia, yakni mengembangkan perbuatan-perbuatan yang luhur yang mencerminkan sikap dan suasana kekeluargaan dan kegotong-royongan (Gunawan, 2016:77). Revitalisasi gotong royong sebagaimana manifestasi identitas nasional, pada gilirannya harus diarahkan juga pada pembinaan dan pengembangan moral, sehingga sikap gotong royong digalakkan melalui bidang pendidikan kepada peserta didik dapat dijadikan dasar dan arah dalam upaya untuk mengatasi krisis sikap hidup bersama dan berdampingan secara harmonis.
 
3.        Revitalisasi Pendidikan Keluarga dan Agama
Pendidikan menempati ruang yang amat penting bagi proses pembangunan di berbagai bidang. Pendidikan merupakan hal yang sangat fundamental dalam meningkatkan kualitas kehidupan manusia dan menjamin perkembangan sosial maupun ekonomi sebuah bangsa. Berarti mendidik bermaksud membuat manusia menjadi lebih sempurna, membuat manusia meningkatkan hidupnya dari kehidupan alamiah menjadi berbudaya. Mendidik adalah membudayakan manusia. Budaya adalah segala hasil pikiran, perasaan, kemauan, dan karya manusia secara individual atau kelompok untuk meningkatkan hidup dan kehidupan manusia atau cara hidup yang telah dikembangkan oleh masyarakat.
Sehingga pendidikan harus membentuk karakter peserta didik. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya pendidikan bagi peserta didik di masa yang akan datang. Anak dengan ilmu pengetahuan diharapkan akan dapat hidup lebih baik, apabila ilmu itu dikuasai, dimiliki, dan diamalkan oleh manusia. Sekecil apapun ilmu yang dimiliki seseorang, akan bermanfaat apabila ia amalkan dan sebaliknya sebesar apapun ilmu yang dimiliki apabila tidak diamalkan pasti ilmu itu tidak ada gunanya. Oleh karena itu, pendidikan harus diajarkan mulai anak masih kecil dan bahkan mulai dari dalam kandungan oleh orang tuanya dan kewajiban orang tua untuk melakukan hal tersebut di atas.
Ahmad (2006:6) berpendapat bahwa kewajiban orang tua untuk memberikan pendidikan (terutama pendidikan agama) yang ditanamkan kepada anak-anaknya. Lebih lanjut Ahmad (2006:6) menyatakan berdasarkan hasil penelitian, anak yang masih dalam kandungan yang usia kandungannya tiga bulan sudah dapat diajari, yaitu diawali dengan perilaku, misalnya sikap orang tua yang berdoa untuk mendoakan anaknya, karena pada usia kandungan tersebut calon bayi sudah memiliki ruh dan jasmani yang sudah mulai sempurna. Usaha tersebut merupakan salah satu bagian dari pendidikan prenatal yang harus dilaksanakan oleh orang tua. Pendidikan pranatal adalah usaha sadar dan terencana dari orang tua untuk mendidik anak yang masih berada dalam kandungan ibunya, meliputi berbagai aspek kehidupan, yaitu memberikan stimulasi edukatif terhadap janin dengan langkah-langkah tertentu tentang materi pelajaran yang dipilih oleh orang tuanya.
Keluarga memiliki andil yang lebih besar dalam menanamkan prinsip keimanan yang kokoh sebagai dasar bagi anak untuk menjalani aktivitas hidupnya. Keluarga sebagai keteladanan bagi generasi baru. Pendidikan harus berorientasi pada terbentuknya karakter peserta didik. Setiap tahap pendidikan dievaluasi dan dipantau dengan seksama, sehingga menjadi jelas apa yang menjadi potensi positif seseorang yang harus dikembangkan dan apa yang menjadi faktor negatif seseorang yang perlu disikapi. Akar dari karakter ada dalam berpikir dan cara merasa seseorang. Sebagaimana diketahui manusia terdiri atas tiga unsur pembangun, yaitu: (1) hati, berkaitan dengan bagaimana dia merasa; (2) pikiran, berkaitan dengan bagaimana dia berpikir; dan (3) fisik, berkaitan dengan bagaimana dia bersikap. Proses pembentukan itu tidak berjalan seadanya, namun ada kaidah-kaidah tertentu yang harus diperhatikan.
Beberapa kaidah pembentukan karakter adalah: (1) kaidah kebertahapan, yakni proses pembentukan dan pengembangan karakter harus dilakukan secara bertahap, karena peserta didik tidak bisa berubah secara tiba-tiba dan instan; (2) kaidah kesinambungan, yakni seberapa pun kecilnya porsi latihan, tetapi harus ada kesinambungannya, proses yang berkesinambungan inilah yang nantinya membentuk rasa dan warna berpikir peserta didik yang lama-lama akan menjadi kebiasaan dan seterusnya menjadi karakter pribadinya yang khas; (3) kaidah momentum, yakni menggunakan suatu momentum peristiwa untuk fungsi pendidikan dan latihan, misalnya puasa untuk mengembangkan sifat sabar, kemauan yang kuat, dan kedermawanan; (4) kaidah motivasi instrinsik, karakter yang kuat akan membentuk manusia sempurna jika dorongan yang menyertainya benar-benar lahir dari dalam diri sendiri, sehingga proses merasakan sendiri, melakukan sendiri adalah penting; dan (5) kaidah pembimbingan, pembentukan karakter ini tidak bisa dilakukan tanpa pembimbing (orang tua dan guru). Kedudukan seorang pembimbing adalah memantau dan mengevaluasi perkembangan peserta didik. Kaidah-kaidah tersebut harus diperhatikan oleh guru dan orang tua agar anak didik nantinya memiliki karakter yang baik.
Sesuai dengan pendapat Ahmad (2006:6) yang menyatakan bahwa pendidikan agama harus ditanamkan sejak dini terutama dalam kehidupan keluarga, maka pendidikan agama tidak hanya tanggung jawab pranata agama saja, melainkan juga tanggung jawab keluarga. Religion may serve as an identity marker in the maintenance of ethnic, social or political stability, but it can also serve as an identity marker in conflicts of similar nature (Haar dan Tsuruoka, 2007). Menggagas terbentuknya masyarakat agamis sebagai landasan untuk mencapai cita-cita pembangunan merupakan kebutuhan yang mendesak (Kartanegara, 2006). Penyesuaian lembaga-lembaga pendidikan agama akhir-akhir ini cukup mengemberikan, artinya lembaga-lembaga pendidikan memenuhi keinginan untuk menjadikan lembaga-lembaga tersebut sebagai tempat untuk mempelajari ilmu umum dan ilmu agama serta keterampilan.
Pendidikan agama diharapkan dapat melahirkan generasi-generasi penyerahan diri dan kepatuhan para hamba kepada Tuhan, menarik umat manusia itu keluar daripada kesetiaan mengabdikan diri kepada sesama hamba Tuhan, kepada suasana menyembah dan mengabdikan diri kepada Tuhan, membawa mereka keluar dari sikap patuh dan tunduk kepada sesama hamba Tuhan di dalam urusan peraturan hidup dan pemerintahan, nilai-nilai dan kebudayaan, untuk bersikap patuh dan tunduk kepada kekuasaan pemerintahan dan peraturan Tuhan sahaja di dalam semua urusan hidup (Qutb, 2012:37). Gunawan (2011:32) menyatakan bahwa pendidikan melalui kegiatan pembelajaran diharapkan menggabungkan keseluruhan potensi otak peserta didik sehingga membentuk kebermaknaan (God Spot).
God Spot bagian otak yang menjadi pusat spiritual qoutient, kebermaknaan. Potensi God Spot ialah pengembangan kejiwaan yang berdimensi ketuhanan, hubungan yang bersifat vertikal atau sering disebut spiritual qoutient (Gunawan, 2011:32). Segenap potensi tersebut secara fitrah dianugerahkan Tuhan kepada manusia dalam kedudukannya sebagai insan, manusia seutuhnya, dengan seluruh totalitasnya, jiwa dan raga. Pendidikan perlu terus ditingkatkan, dioptimalkan, dan masih memungkinkan untuk ditingkatkan. Sehingga perlu adanya perubahan dalam pemikiran para pendidik yang cenderung pada transfer pengetahuan belaka. Pendidikan pada akhirnya dapat kembali pada fitrahnya, yang memanusiakan manusia dalam kedudukannya sebagai insan.


DAFTAR RUJUKAN



Ahmad, K. I. 2 Juni 2006. Pendidikan Anak. Banjarmasin Post, hlm. 6.



Anaya, R. 2002. Teamwork. Dalam McElmeel, S. L. (Eds.), Character Education: A Book Guide for Teachers, Librarians, and Parents (hlm. 197-208). Greenwood Village: Libraries Unlimited, Teacher Ideas Press, A Division of Greenwood Publishing Group, Inc.



Bappenas. 2012. Bidang Pembangunan Sosial Budaya dan Kehidupan Beragama, (Online), (http://www.bappenas.go.id/files/5513/5071/6566/02buku-ii-rkp-2012---bab-ii__20110524155612__3161__7.pdf), diakses 12 Mei 2016.



Dimyati, M. 1996. Landasan Pendidikan: Analisis Keilmuan, Teorisasi, dan Praktek Pendidikan. Pidato Pengukuhan Guru Besar IKIP Malang, Malang, 1 November.



Gunawan, I. 2011. Merekonstruksi Fitrah Pendidikan. Komunikasi, Majalah Kampus Universitas Negeri Malang Tahun 33 Nomor 276 September – Oktober 2011, hlm. 32.



Gunawan, I. 2012. Mengembangkan Karakter Bangsa Berdasarkan Kearifan Lokal. Prosiding Seminar Nasional Meretas Sekolah Humanis untuk Mendesain Siswa Sekolah Dasar yang Cerdas dan Berkarakter, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Surakarta, 6 Mei, hlm. 67 s.d. 79.



Gunawan, I. 2013. Metode Penelitian Kualitatif Teori dan Praktik. Jakarta: PT Bumi Aksara.



Gunawan, I. 2014. Analisis Dampak Supervisi Pendidikan terhadap Perkembangan Masyarakat dan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Revitalisasi Manajemen Pendidikan Nasional Menuju Perbaikan Mental, Jurusan Administrasi Pendidikan Universitas Negeri Malang, Malang, Desember 2014, hlm. 249-269.



Gunawan, I. 2015. Penumbuhan Budi Pekerti Peserta Didik Melalui Nilai-nilai dan Etika Kepemimpinan Pendidikan dengan Pendekatan Soft System Methodology. Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Meningkatkan Layanan Guru dan Kepala Sekolah dalam Penumbuhan Budi Pekerti, Jurusan Administrasi Pendidikan Universitas Negeri Malang, Malang, Oktober 2015, hlm. 65-84.



Gunawan, I. 2016. Merevitalisasi Kepemimpinan Pancasila dalam Bidang Pendidikan. Prosiding Seminar Nasional Penguatan Manajemen Pendidikan di Era Kompetisi Global, Jurusan Administrasi Pendidikan Universitas Negeri Malang, Malang, Maret 2016, hlm. 67-84.



Haar, G. T., dan Tsuruoka, Y. 2007. Religion In The Twenty-First Century: A Short Introduction. Dalam Haar, G. T., dan Tsuruoka, Y., (Eds.), Religion and Society An Agenda for the 21st Century. Leiden, Boston: Brill, Hotei Publishing, IDC Publishers, Martinus Nijhoff Publishers.



Kamus Bahasa Indonesia. 2008. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional.



Karsidi, R. 2015. Peningkatan Mutu Pendidikan melalui Penerapan Teknologi Belajar Jarak Jauh. Makalah disajikan dalam Seminar Regional Unit Pelaksana Belajar Jarak Jauh, Universitas Terbuka, Solo, 28 Mei.



Kartanegara, E. H. 2006. Di Bawah Kibaran Bendera Reformasi. Makalah disajikan dalam Seminar Refleksi Tahun I Pemerintahan Kota Pekalongan di Bawah Kepemimpinan Walikota dan Wakil Walikota, H. M. Basyir Ahmad dan H. Abu Almafachir, Gedung KPUD Kota Pekalongan, 14 Agustus.



Kartono, K. 1977. Tinjauan Holistik Mengenai Tujuan Pendidikan Nasional. Jakarta: Pradnya Paramita.



Kemendikbud. 2015. Mendikbud Canangkan Program Penumbuhan Budi Pekerti, (Online), (http://www.kemdikbud.go.id/kemdikbud/berita/4391), diakses 16 Agustus 2015.



Kemendiknas. 2010. Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa. Jakarta: Pusat Kurikulum, Badan Penelitian dan Pengembangan, Kemendiknas.



Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional. 2014. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2015-2019, Buku II Agenda Pembangunan Bidang. Jakarta: Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional.



King, J. L., Gurbaxani, V., Kraemer, K. L., McFarlan F. W., Raman, K. S., dan Yap, C. S. 1994. Institutional Factors in Information Technology Innovation. Information System Research, 5(2): 31-41.



Kleden, I. 25 Juni 2015. Tanggung Jawab atas Pendidikan. Kompas, hlm. 6.



Laudon, K. C., dan Laudon, J. P. 2008. Organization and Technology in The Networked Enterprise Management Information System (online). (http://www.prenhall.com, diakses 14 Desember 2012).



Lucas, H. C. 1981. Implementation: The Key to Successful of Information Systems. New York: Columbia University Press.



Miarso, Y. 2011. Penerapan Teknologi Pendidikan di Indonesia. Jakarta: Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional.



Oliver, R. 2001. Teaching and Learning Online: A Beginner’s Guide to E-learning and E-teaching in Higher Education. Mt Lawley, WA: Edith Cowan University.



Pasific, B. S. B., dan Praherdhiono, H. 2014. Mengkonstruksi Pengetahuan melalui Komunikasi dalam Komunitas Pebelajar Menggunakan Perspektif Informatika. Makalah disajikan dalam Workshop Pengembangan Media Pembelajaran Berbasis Blended Learning, Pusat Pengembangan Sumber Belajar (P2SB) Lembaga Pengembangan Pendidikan dan Pembelajaran (LP3) Universitas Negeri Malang, Batu, 11 s.d. 13 September.



Peraturan Presiden Nomor 45 Tahun 2016 tentang Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2017, (Online), (http://www.indonesia.go.id), diakses 28 Juni 2016.



Policy Brief. 2011. Pendidikan Karakter: Tanggung Jawab Bersama Sekolah dan Masyarakat. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar, Kemdiknas.



Qutb, S. 2012. Petunjuk Sepanjang Jalan. Surakarta: Ziyad Books.



Riyani. 2011. Pengaruh Penerapan Manajemen Berbasis Sekolah, Pertemuan Ilmiah Guru, dan Kelompok Kerja Guru terhadap Kinerja Guru SD Negeri di Kota Batu. Tesis tidak diterbitkan. Malang: Program Pascasarjana Universitas Negeri Malang.



Sasono, A. 2009. Ekonomi Kerakyatan dalam Dinamika Perubahan. Malakah disajikan dalam Konferensi Internasional Ekonomi Jaringan, Hotel Sangri-La, Jakarta, 5 s.d. 7 Desember.



Setiyono, I. 2005. Supervisi Pendidikan Sekolah Dasar. Jurnal Pendidikan Dasar, 6(1): 1-8.



Soetopo, H., dan Soemanto, W. 1984. Kepemimpinan dan Supervisi Pendidikan. Malang: PT Bina Aksara.



Sukardi, J. S., dan Rohman, A. 2009. Sosiologi. Jakarta: Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional.



Undang-undang Nomor 18 Tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, (Online), (http://www.indonesia.go.id), diakses 22 Juni 2015.



Wen, S. 2013. Future of Education (Masa Depan Pendidikan). Terjemahan oleh Arvin Saputra. Batam: Lucky Publishers.



William, F. 2014. The News Communication. Los Angeles: Wadsworth, Inc.

LANDASAN SOSIAL PENDIDIKAN

Pendidikan dalam penyelenggaraannya juga berlandaskan pada landasan sosial. Landasan sosial pendidikan menekankan pada pendidikan dalam prosesnya memperhatikan kondisi dan proses sosial yang terjadi di suatu masyarakat ataupun sebuah bangsa. Kondisi sosial suatu masyarakat akan mempengaruhi penyelenggaraan bidang pendidikan, seperti proses pembelajaran, pengembangan kurikulum, dan pola kerjasama sekolah dengan masyarakat. Landasan sosial pendidikan mencakup kekuatan sosial masyarakat yang selalu berkembang dan berubah sesuai dengan perkembangan jaman. Kekuatan tersebut dapat berupa kekuatan nyata dan potensial yang berpengaruh dalam perkembangan pendidikan dan sosial budaya seiring dengan dinamika masyarakat.
Dasar sosial pendidikan mengkaji kondisi sosial dan pendidikan berdasarkan prinsip pemecahan masalah secara ilmiah dan berdasarkan nilai demokrasi. Kajian sosial pendidikan mengkombinasikan konsep, instrumen, dan metode dari ilmu sosial dan filsafat untuk membentuk kajian terpadu tentang asal usul, tujuan, dan fungsi lembaga pendidikan dalam suatu masyarakat. Manan (1989:5) mengemukakan sebuah program pendidikan mencerminkan kehidupan dan kondisi suatu masyarakat dan tidak dapat dipisahkan dari aspek sosial budaya, sejarah, dan filosofi yang semuanya memberi arah dalam bidang pendidikan. Kajian mengenai dasar sosial dan budaya dari pendidikan bertujuan untuk membekali guru dengan pengetahuan yang mendalam tentang masyarakat dan kebudayaan di mana mereka hidup dan untuk membantu calon guru untuk mengetahui bahwa pengertian mengenai masyarakat dan kebudayaan sangat penting artinya guna memahami tentang masalah pendidikan.
Kajian sosial budaya menghubungkan pengetahuan tentang masyarakat dan kebudayaan dengan pendidikan sebagai institusi untuk memelihara kesinambungan dan pengembangan masyarakat dan kebudayaan. Sekolah harus memahami isu dan masalah sosial budaya dalam masyarakat terutama yang berkaitan dengan perubahan sosial budaya yakni modernisasi. Pemahaman tentang sosial budaya dan proses perubahan sosial budaya diharapkan sekolah dapat mempertahankan dan meningkatkan fungsinya sebagai agent of change dan membentuk generasi yang berkualitas. Suatu masyarakat dibentuk oleh orang-orang, cara-cara mereka bertingkah laku merupakan kebudayaan mereka.
Karena konsep masyarakat dan kebudayaan tersebut bersifat interdependen, maka dalam konsep sosial budaya digunakan dalam mengkaji kedudukan pendidikan dalam masyarakat. Hubungan antara pendidikan dan kehidupan sosial budaya suatu masyarakat dan isu-isu yang muncul dalam perkembangan pendidikan dan pembangunan suatu masyarakat. Kajian konsep sosial budaya akan terfokus pada pembahasan: (1) karakteristik sosial budaya; (2) transmisi sosial budaya; dan (3) hubungan sosial budaya dengan pendidikan. Berikut ini akan diuraikan ketiga hal tersebut.
1.        Karakteristik Sosial Budaya Pendidikan
Potensi yang dimiliki manusia yaitu otak mampu menghasilkan kebudayaan, hasil dari potensi yang tercermin dari berbagai hasil manusia merupakan sumber pembentukan kebudayaan. Kebudayaan merupakan pengalaman universal manusia, manifestasi lokal dan regionalnya bersifat unik. Sosial budaya bersifat dinamis tetapi juga bersifat dinamis, dengan adanya perubahan terus menerus dan tetap. Koentjaraningrat (1974) mengemukakan bahwa kebudayaan memiliki unsur-unsur yang universal yaitu bahasa, sistem teknologi, sistem ekonomi, organisasi sosial, sistem pengetahuan, sistem religi, dan sistem kesenian. Bentuk manifestasi dari unsur-unsur sosial budaya berbagai masyarakat bersifat unik.
Semua masyarakat memiliki unsur budaya bahasa tetapi tidak ada dua bahasa yang identik sama. Masing-masing kebudayaan memiliki kekerabatan dan persamaan tetapi tidak identik. Keragaman atau keunikan dari unsur-unsur sosial budaya terbentuk karena adanya keragaman lingkungan dan sejarah perkembangan suatu masyarakat. Kebudayaan bersifat stabil dan dinamis. Unsur-unsur sosial budaya biasanya bertahan dan stabil untuk suatu periode waktu tertentu, tetapi kontak budaya dan perubahan lingkungan mempengaruhi terjadinya perubahan budaya (enkulturasi dan akulturasi). Pendidikan memegang peranan penting dalam perubahan sosial budaya manusia. Sosial budaya membentuk karakter suatu masyarakat.
Berdasarkan kajian tentang sosial budaya, Murdock (2015) mengidentifikasi karakteristik kebudayaan yang bersifat universal, yaitu: (1) kebudayaan dipelajari dan bukan bersifat insting, karena itu kebudayaan tidak dapat diselidiki asal usulnya dari gen atau kromosom; (2) kebudayaan ditanamkan, generasi baru tidak memiliki pilhan tentang kurikulum kebudayaan, hanya manusia yang dapat menyampaikan warisan sosialnya dan generasi berikutnya dapat menyerap dan mengembangkan; (3) kebudayaan bersifat sosial dan dimiliki bersama oleh manusia dalam berbagai masyarakat yang terorganisasi; (4) kebudayaan bersifat gagasan, kebiasaan-kebiasaan kelompok dikonsepsikan atau diungkapkan sebagai norma-norma ideal atau pola perilaku; (5) kebudayaan sampai pada satu tingkat memuaskan individu dan kebutuhan kelompok sosial secara budaya dapat didefinisikan; dan (6) kebudayaan bersifat integratif, selalu ada tekanan ke arah konsistensi dalam setiap kebudayaan, jika tidak maka konflik akan cepat menghancurkannya. Kebudayaan yang terintegrasi dengan baik memiliki kepaduan sosial (social cohesion) di antara institusi dan kelompok sosial yang mendukung kebudayaan tersebut.
Konsep budaya multikultural merupakan suatu ideologi yang mengkaji perbedaan budaya, mengakui, dan mendorong pluralisme budaya sebagai suatu corak kehidupan masyarakat (Zubaedi, 2005:61). Multikultural akan menjadi pemersatu yang mengakomodasi perbedaan dalam masyarakat yang heterogen. Antar individu hidup berdampingan dalam kesetaran derajat politik, hukum, ekonomi, sosial, dan budaya. Prinsip multikultural dapat dijadikan sebagai strategi dan pendekatan dalam pengembangan kurikulum karena disesuaikan dengan kondisi budaya daerah. Relevansi antara kurikulum dan sosial budaya dijadikan pedoman dalam penyusun kurikulum sehingga pelaksanaannya diharapkan dapat mengembangkan potensi peserta didik dan potensi daerah.
Kebudayan bersifat stabil tetapi dapat berubah, perubahan diukur dari elemen yang relatif stabil dan stabilitas diukur dari elemen budaya yang berubah dengan cepat. Beberapa kebudayaan bersifat fleksibel dari yang lain, menyesuaikan diri terhadap perubahan yang cepat tanpa mengalami disintegrasi. Beberapa aspek kebudayaan relatif lebih reseptif terhadap perubahan dibandingkan dengan aspek yang lain. Teknologi berubah dengan cepat dibandingkan dengan nilai-nilai, namun demikian tidak ada nilai dan ideologi yang secara keseluruhan tetap bersifat statis.

2.        Transmisi Sosial Budaya Pendidikan
Kajian sosial budaya pendidikan dari masa ke masa mengalami perubahan secara terminologis (peristilahan). Istilah tersebut mencakup enkulturasi (pembudayaan), sosialisasi (pemasyarakatan), pendidikan, dan sekolahan. Istilah tersebut sangat penting dikaji dalam pendidikan karena berguna untuk menjelaskan gejala yang terjadi dalam bidang pendidikan. Herskovits (1964) mengemukakan bahwa enkulturasi dan sosialisasi memiliku hakikat yang sama, aspek-aspek dari pengalaman belajar yang memberi ciri khusus atau yang membedakan manusia dari makhluk lain, dan dengan menggunakan pengalaman kehidupan maka manusia memperoleh kompetensi dalam kebudayaannya.
Enkulturasi merupakan proses pembiasaan secara sadar atau tidak sadar yang dilakukan dalam batas yang dijinkan secara norma oleh suatu kebudayaan. Proses enkulturasi bersifat kompleks dan berlangsung seumur hidup dan tiap tahap kehidupan memiliki perbedaan dalam hal objek budaya yang dialami. Fungsi enkulturasi adalah mempengaruhi perubahan respons individu terhadap perilaku budaya yang secara sosial disetujui sehingga menghasilkan tingkah laku kehidupan yang berbudaya. Tiap individu memiliki serangkaian mekanisme perilaku yang diwarisi dan dapat berubah karena pengaruh budaya masyarakat. Perilaku individu dipengaruhi oleh sosial budaya masyarakatnya.
Kesamaan konsep enkulturasi dengan konsep sosial tercermin pada sosialisasi menunjukkan proses pengintegrasian individu ke dalam sebuah kelompok sosial sedangkan enkulturasi adalah proses yang menyebabkan individu memperoleh kompetensi dalam kebudayaan kelompok. Enkulturasi dan sosialisasi mengandung unsur nilai, pola bertingkah laku, dan keterampilan, pengetahuan, dan sikap yang diperlukan oleh individu untuk dapat berfungsi sebagai anggota suatu masyarakat yang mendukung kebudayaan. Hansen (1979:28-29) mengemukakan education is part from enkulturasi that is intentional effort and has systematic to submit know-how and erudition, habit thinks, and comport that demanded must has by students. Pendidikan merupakan bagian dari enkulturasi yaitu usaha yang disengaja dan bersifat sistematis untuk menyampaikan keterampilan dan pengetahuan, kebiasaan berpikir, dan bertingkah laku yang dituntut harus dimiliki oleh para peserta didik.
Pendidikan mengandung unsur pembelajaran dan kebudayaan diwariskan, dipelajari, dan dikembangkan dengan belajar. Lembaga pendidikan merupakan institusi yang secara sengaja dan sistematis melaksanakan kegiatan belajar dengan berusaha mewariskan dan mengembangan individu sebagai peserta didik dengan tujuan memiliki pengetahuan, bermoral, dan berketerampilan. Berbagai saluran pendidikan digunakan dalam proses transmisi budaya mulai dari keluarga, sekolah, teman sepermainan, media massa, dan lingkungan secara efektif dan efisien untuk menyampaikan, melestarikan, dan mengembangkan kebudayaan.

3.        Hubungan Sosial Budaya dengan Pendidikan
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab I pasal 1 ayat 2 menyatakan bahwa pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia, dan tanggap terhadap tuntutan zaman. Sehingga di dalam penentuan tujuan dan proses pelaksanaannya, pendidikan di Indonesia harus selalu berakar pada budaya atau karakter nasional dan disisi lain pendidikan juga harus mampu memenuhi tuntutan jaman, apalagi di era globalisasi yang menuntut high skilled labor (tenaga berketerampilan tinggi) yang bisa diterima oleh pasar global. Oleh karena itu, orientasi pendidikan harus selalu merujuk pada dua hal penting yaitu melestarikan karakter nasional dan menciptakan lulusan yang dapat bersaing secara kompetitif di pasar global atau mencetak manusia yang bertindak lokal dan berpikir global.
Peran sekolah adalah sebagai pewaris, pemelihara, dan pembaharu kebudayaan. Kartono (1977) menyatakan bahwa sekolah hendaknya dapat dijadikan sebagai: (1) sentrum budaya untuk mengoperkan nilai dan benda budaya sendiri agar budaya nasional tidak hilang ditelan masa; (2) arena untuk mengumpulkan ilmu pengetahuan modern, teknik dan pengalaman; dan (3) bengkel latihan untuk mempraktikkan hak asasi manusia selaku warga negara yang bebas ditengah iklim demokrasi. Sekolah memiliki tugas mewariskan, memelihara, dan mengembangkan budaya yang tercermin dalam kurikulum. Archie (2008) berpendapat:
Teachers working with students need increased awareness that different cultures interpret important concepts differently. The teacher trained on concepts of cultural centers is more prepared to stimulate learning among her students; she is aware of another reality and armed with a tool to employ a more multicultural approach to learning. The multicultural movement affirms a need for more culturally consistent models of education.

Guru bekerja sama dengan peserta didik meningkat kesadaran dengan menterjemahkan konsep budaya dengan cara berbeda. Guru mengarahkan ke konsep pusat kebudayaan dengan mempersiapkan dan motivasi belajar diantara peserta didik untuk sadar akan kenyataan dan berbekal belajar sebagai alat mendekati dunia kerja. Pergerakan multikultural meyakinkan bidang pendidikan sebagai suatu kebutuhan dengan model budaya yang konsisten. Mangunwijaya menyatakan bahwa proses pendidikan memiliki dua aspek yang saling mengisi, yaitu sebagai proses hominisasi dan proses humanisasi (Tilaar, 2004).
Pendidikan harus memiliki paradigma baru yang dapat menyajikan model dan strategi pembelajaran sehingga diharapkan dapat menyeimbangkan proses hominisasi dan humanisasi. Proses hominisasi melihat manusia sebagai makhluk hidup dalam konteks lingkungan ekologinya yang memerlukan terasahnya kemampuan intelektual untuk menghadapi tantangan globalisasi. Proses humanisasi menekankan manusia sebagai mahluk sosial yang mempunyai otonomi moral dan sensitivitas (kedaulatan budaya). Terkait dengan hubungan sosial budaya dengan pendidikan, ada dua konsep yang dipahami, yakni proses hominisasi dan proses humanisasi. Berikut ini akan diuraikan kedua konsep tersebut.
a.         Hominisasi
Pendidikan sebagai proses hominisasi melihat manusia sebagai mahluk hidup di dalam dunia dan ekologinya. Proses hominisasi tersebut manusia memerlukan kebutuhan biologis seperti makan, beranak pinak, memerlukan pemukiman, dan pekerjaan untuk menopang kehidupan. Proses hominisasi memenuhi kebutuhan manusia sebagai mahluk biologis. Pendidikan harus mampu menghasilkan output kompetitif yang mampu bersaing untuk mendapatkan pekerjaan dalam menopang kehidupannya yang lebih baik secara ekonomis dan sosial. Pendidikan harus memiliki orientasi intelektual yang dibutuhkan manusia untuk bersaing secara kompetitif sehingga mereka dapat diterima pasar, terlebih dalam era global yang lebih berasaskan knowledge based economy.
b.        Humanisasi
Pendidikan melihat manusia sebagai mahluk yang bermoral (human being). Mahluk yang bermoral berarti bahwa manusia bukan hanya sekedar hidup tetapi hidup untuk mewujudkan eksistensi, yaitu bahwa manusia hidup bersama-sama dengan sesama manusia sebagai ciptaan Yang Maha Kuasa. Proses humanisasi tingkah laku manusia diarahkan kepada nilai-nilai kehidupan yang vertikal di dalam kenyataan hidup bersama dengan manusia lain. Nilai-nilai luhur tersebut, apakah diwahyukan ataupun yang dipelihara di dalam kehidupan bersama manusia karena disepakati, dapat mengikat kehidupan bersama nenuju suatu cita-cita bersama, yaitu kehidupan yang lebih baik, lebih tenteram, dan berkeadilan. Hal-hal tersebut dijalin dan terjalin di dalam nilai-nilai kebudayaan suatu masyarakat atau suatu kelompok hidup bersama manusia. Proses humanisasi mencapai puncaknya pada seseorang yang berpendidikan dan berbudaya (educated and civilized human being).

DAFTAR RUJUKAN

Ahmad, K. I. 2 Juni 2006. Pendidikan Anak. Banjarmasin Post, hlm. 6.

Ahmadi, A. 2014. Sosiologi Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.

Archie, M. 2008. Theories of Cultural Centeredness: Multiculturalism and Realities, (Online), (http://www.carleton.ca), diakses 10 Oktober 2008.

Bellantine, J. H. 2015. The Sociology of Education. New Jersey: Printice Hall, Inc.

Berger, P. L. 2015. Risalah tentang Sosiologi Pengetahuan. Terjemahan oleh Hartono. Jakarta: Penerbit Pustaka LP3ES Indonesia.

Brown, F. J. 2010. Educational Sociology. Tokyo: Modern Asia Education, Charles E. Tutle Company.

Danim, S. 2003. Agenda Pembaharuan Sistem Pendididikan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Dewey, J. 2001. Democracy and Education. Pennsylvania: Pennsylvania State University.

Ellwood, C. A. 2014. Sociology: Principles and Problems. New York: American Book Company.

Hansen, J. F. 1979. Socio Cultural Perspektive on Learning. Englewood Cliffs: Prentice Hall.

Herskovits, M. J. 1964. Cultural Dynamics. New York: Alped A Kopf.

Horton, P. B., dan Hunt, C. L. 1999. Sosiologi. Jakarta: PT Erlangga.

Johnson, H. M. 1967. Sociology: A Systematic Introduction. Bombay: Allied Publishers Private Limited.

Kamus Bahasa Indonesia. 2008. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional.

Karsidi, R. 2015. Sosiologi Pendidikan. Surakarta: UNS Press.

Kartono, K. 1977. Tinjauan Holistik Mengenai Tujuan Pendidikan Nasional. Jakarta: Pradnya Paramita.

Koentjaraningrat. 1974. Kebudayaan Mentalitet dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia.

Koentjaraningrat. 1990. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta.

Langeveld, M. J. 1961. Menuju ke Pemikiran Filsafat. Jakarta: PT Pembangunan.

Manan, I. 1989. Dasar-dasar Sosial Budaya Pendidikan. Jakarta: Dirjen Dikti Depdikbud.

Murdock, G. P. 2015. How Culture Changes. New York: Mc Graw Hill.

Oliva, P. F. 2009. Developing the Curriculum. Boston: Pearson Education, Inc.

Payne, E. G. 2013. Principles of Educational Sociology. New York: New York University Book Store.

Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, (Online), (http://www.kemdikbud), diakses 2 Desember 2015.

Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, (Online), (http://www.kemdikbud), diakses 20 April 2006.

Peraturan Pemerintah Nomor 32 tahun 2013 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, (Online), (http://www.kemdikbud), diakses 23 Oktober 2014.

Pidarta, M. 2009. Landasan Kependidikan: Stimulus Ilmu Pendidikan Bercorak Indonesia. Jakarta: PT Rineka Cipta.

Ramey, D. M. 2015. The Social Structure of Criminalized and Medicalized School Discipline. Sociology of Education, 88(3): 181-201.

Reiss, A. J. Jr. 2016. Personal and Social Controls and Delinquency. Beverly Hills, CA and London: Sage Publications.

Reuter, E. B. 2011. Handbook of Sociology. New York: The Dryden Press.

Sanderson, S. K. 2014. Sosiologi Makro: Sebuah Pendekatan terhadap Realitas Sosial. Terjemahan oleh Farid Wajidi. Jakarta: Rajawali Pers.

Sanjaya, S., dan Sudarwati, L. 2015. Modal Sosial Sistem Bagi Hasil dalam Beternak Sapi pada Masyarakat Desa Purwosari Atas Kecamatan Dolok Batu Nanggar Kabupaten Simalungun: Studi Kasus Sistem Gaduh Sapi pada Masyarakat Desa Purwosari Atas Kecamatan Dolok Batu Nanggar Kabupaten Simalungun. Perspektif Sosiologi, 3(1): 1-32.

Soebahar, A. H. 2002. Pendidikan Islam. Jakarta: Kalam Mulia.

Sorokin, P. A. 1989. Contemporary Sociological Theories. New York: Harper and Row Publisher.

Soemardjan, S., dan Soemardi, S. 1974. Setangkai Bunga Sosiologi. Jakarta: Yayasan Badan Penerbitan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.

Sukardi, J. S., dan Rohman, A. 2009. Sosiologi. Jakarta: Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional.

Suyatno. 2010. Peran Pendidikan sebagai Modal Utama Membangun Karakter Bangsa. Makalah disajikan dalam Sarasehan Nasional Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa, Kopertis Wilayah III DKI Jakarta, Jakarta, 12 Januari.

Taneko, S. B. 2015. Struktur dan Proses Sosial: Suatu Pengantar Sosiologi Pembangunan. Jakarta: Rajawali Pers.

Tilaar, A. R. 2004. Paradigma Baru Pendidikan Nasional. Jakarta: Rineka Cipta.

Tirtarahardja, U., dan Sulo, S. 2005. Pengantar Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.

Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. 2004. Bandung: Citra Umbara.

Veeger, J. K. 2013. Pengantar Sosiologi: Buku Panduan Mahasiswa. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Zubaedi. 2005. Pendidikan Berbasis Sekolah: Upaya Menawarkan Solusi terhadap Berbagai Problem Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.