23 Mei 2010

SISTEM POLITIK PENDIDIKAN

Pendidikan merupakan sarana utama untuk menyukseskan pembangunan nasional, karena dengan pendidikan diharapkan dapat menyetak sumber daya manusia berkualitas yang dibutuhkan dalam pembangunan. Titik berat pembangunan pendidikan diletakkan pada peningkatan mutu setiap jenjang dan jenis pendidikan serta perluasan kesempatan belajar pada jenjang pendidikan dasar. Pendidikan juga merupakan hal mutlak yang harus dipenuhi dalam upaya meningkatkan taraf hidup bangsa agar tidak sampai menjadi bangsa yang terbelakang dan tertinggal dengan bangsa lain.

Freire berpendapat masalah pendidikan tidak mungkin dilepaskan dari masalah politik, karena bagaimanapun kebijakan politik sangat menentukan arah pembinaan dan pengembangan pendidikan. Hal senada juga dikemukakan oleh Imber dan Geel (2004) bahwasanya antara pemerintah yang demokratis, politik pendidikan, pilihan institusi, dan antipolitik berkorelasi dengan tercapainya tujuan pendidikan yang selaras dengan kepentingan publik. Berdasarkan analisis itu, kita bisa belajar bahwa masyarakat modern, institusi pendidikan diharapkan menyelaraskan dengan tujuan dan kepentingan publik, melalui peran serta para pakar pendidikan.

Landasan politik pendidikan mencakup kekuatan sosial masyarakat yang selalu berkembang dan berubah sesuai dengan perkembangan jaman. Kekuatan tersebut dapat berupa kekuatan nyata dan potensial yang berpengaruh dalam perkembangan pendidikan dan sosial budaya seiring dengan dinamika masyarakat. Sehingga kondisi politik diasumsikan mempengaruhi terhadap program pendidikan yang tercermin dalam produk hukum dan kebijakan bidang pendidikan.

Pemerintah menyelenggarakan sistem politik pendidikan secara demokratis dan berkeadilan. Pendidikan yang demokratis berpandangan bahwa fungsi pendidikan digunakan untuk semua masyarakat, mengakui persamaan hak warga negara dalam memperoleh pendidikan, dan warga negara mengembangkan sikap berpolitik yang baik sesuai dengan kaidah yang berlaku di negara tertentu. Politik pendidikan berfungsi sebagai alat komunikasi kepentingan warga negara dalam rangka membangun cita-cita bangsa. Hal ini sesuai dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas pasal 4 yang menyatakan pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa.

Karena itu dalam menyelenggarakan pendidikan sebagai fungsi pelayanan publik, maka pada diri setiap administrator publik harus tertanam kuat komitmen mereka terhadap kebutuhan nyata publik (public felt needs) dan keadilan sosial, baik itu sebagai landasan etik, tujuan, dan sumber acuan pemikiran. Sebagai konsekuensinya, perlu dilakukan upaya reformasi yang fundamental dalam sistem politik pendidikan, meninggalkan paradigma, konsep-konsep, dan orientasi lama yang tidak berpihak pada kepentingan masyarakat.

Gelombang tekanan untuk mengubah wajah pemerintahan dan substansi politik pendidikan juga datang dari pengaruh internasional. Globalisasi menuntut politik pendidikan negara-negara sedang berkembang untuk mendevolusikan sistem pemerintahan yang sentralistik mengarah kepada kebijakan pemerkuatan otonomi daerah dan pemberian kesempatan luas pada sektor di luar birokrasi pemerintah. Tuntunan tersebut merupakan bentuk dinamika dalam kehidupan masyarakat sehingga berpengaruh juga terhadap penyelenggaraan pendidikan.

Fungsi Sistem Politik Pendidikan

Sistem politik pendidikan yang demokrasi merupakan fungsi utama pemerintah dalam membangun bangsa. Sementara itu Freire mengemukakan sistem politik pendidikan berfungsi menentukan kinerja pendidikan suatu negara. Pendidikan sebagai civilisasi yaitu proses menjadi warga negara yang diharapkan. Pemerintah perlu mengembangkan politik pendidikan yang konsisten dan berkomitmen mewujudkan penyelenggaraan yang diamanatkan oleh undang-undang, berupaya mewujudkan tiap-tiap warga negara mendapat pengajaran.

Sistem politik pendidikan dikembangkan untuk menyelesaikan permasalahan pendidikan yang mencakup permasalahan: (1) peningkatan mutu; (2) efisiensi keuangan; (3) relevansi pendidikan; dan (4) pemerataan pendidikan. Keempat permasalahan tersebut merupakan permasalahan pokok dalam bidang pendidikan. Sistem politik pendidikan merupakan alokasi daripada nilai-nilai, pengalokasian dari pada nilai-nilai tersebut bersifat paksaan atau dengan kewenangan, dan pengalokasian yang bersifat paksaan tersebut mengikat masyarakat sebagai suatu keseluruhan. Sistem politik merupakan sebagai seperangkat interaksi yang diabstraksikan dari seluruh tingkah laku sosial dan nilai-nilai tersebut dialokasikan secara otoritatif kepada masyarakat.

Sistem politik pendidikan mengarah kepada alokasi nilai-nilai pendidikan yang mengikat stakeholders sehingga menimbulkan interaksi dalam kebijakan pendidikan. Politik pendidikan sebagai education policy, misalnya yang berkait dengan ideologi dan paradigma pendidikan nasional dan global. Sistem politik pendidikan tercermin pada kebijakan dalam bidang pendidikan seperti sekolah gratis, peran pendidikan publik dalam membangun demokrasi, pendidikan dan lapangan kerja dengan kebijakan link and match, dan reformasi pendidikan berbasis standar. Politik pendidikan yang prospektif dan menjanjikan kemajuan masa depan bangsa sehingga cita-cita untuk menjadi bangsa besar yang berperadaban dapat terwujud.

ARAH POLITIK PENDIDIKAN INDONESIA

Bidang pendidikan tidak dapat terlepas dari sosio-politik, karena bagaimanapun kebijakan politik menentukan arah pengembangan pendidikan. Namun apa jadinya bila pendidikan banyak terkontaminasi politik? Tentu saja tergantung bagaimana para pelaku politik itu menyikapi pendidikan. Apakah mereka benar-benar menginginkan negara ini maju dengan memiliki sumber daya manusia yang cerdas, mandiri, kreatif, serta penuh inisiatif? Atau justru penuh pretensi yang muaranya adalah pada vested interest, pementingan diri sendiri dan kelompok? Jawaban atas pertanyaan tersebut dapat ditemukan bila mencermati politik pendidikan yang berlangsung dalam kurun waktu tertentu.

Masa perjuangan kemerdekaan, dapat dilihat atau mendengarkan kesaksian dari para sesepuh kita bagaimana proses pendidikan dijalankan oleh pemerintah. Periode 1908-1945 ditandai kehadiran pemimpin politik yang penuh dedikasi dalam perjuangan merebut bangsa dari penjajah. Dokter Wahidin Sudirohusodo yakin bahwa pendidikan merupakan resep mujarab mengentaskan bangsa dari keterbelakangan. Demikian pula Ki Hajar Dewantara mengemas pemikirannya tentang pendidikan dalam sebuah konsep sederhana namun dalam filosofinya, yakni Ing Ngarso sung Tulodho, Ing Madyo Mangun Karso, Tut Wuri Handayani. Di depan memberi contoh, di tengah membangun semangat, dan di belakang mengawasi.

Sebaliknya pada periode 1959-1998 muncul pelaku politik yang tidak lagi berjalan dengan idealisme yang nasionalistik dan patriotik. Mereka lebih banyak berasyik dengan kepentingan kelompok, karena bagi mereka kekuasaan bukan lagi amanah namun kesempatan untuk memakmurkan diri, keluarga, dan teman-teman dekat. Mereka beranggapan pendidikan tidak menjanjikan finansial apapun, nonissue, sesuatu hal yang mudah, yang dapat ditangani siapa saja, sehingga wajar bila kemudian ditepikan. Hal ini dilihat dari animo politisi terhadap posisi politis. Pada umumnya kementerian ekonomi, keuangan, perdagangan, dan BUMN yang selalu diperebutkan dengan sengit, sedangkan kementerian pendidikan dianggap posisi kering.

Maka tidak mengherankan bila dalam periode tersebut bahkan hingga sekarang pendidikan mengalami krisis. “Salah urus”, begitu kata-kata yang tepat terhadap pendidikan kita. Bagaimana tidak, selama lebih dari 32 tahun orde baru plus 10 tahun reformasi, persoalan pendidikan tak beranjak dari soal kurikulum, materi pendidikan, guru, biaya pendidikan, sarana prasarana, dan evaluasi akhir, yang sejak awal telah menjadi permasalahan yang berlarut-larut, tanpa pernah menyentuh substansi yang sebenarnya.

Imber dan Geel (2004) menyatakan bahwa antara pemerintah yang demokratis, politik pendidikan, pilihan institusi, serta antipolitik berkorelasi dengan tercapainya tujuan pendidikan yang selaras dengan kepentingan publik. Melalui analisis itu, kita bisa belajar bahwa dalam masyarakat modern, pendidikan diharapkan menyelaraskan dengan tujuan dan kepentingan publik, melalui pemikiran dan peran serta para pakar pendidikan. Namun realitanya berbicara lain, justru yang sering terjadi adalah konflik berkepanjangan karena kepentingan politik yang dominan bermain, baik itu dari para politisi, pengendali pemerintahan, maupun ahli politik.

Jelas sudah bila pendidikan telah terkooptasi sedemikian rupa dengan kebijakan politik, maka secara umum tidaklah menguntungkan, karena dimungkinkan terjadinya “pembusukan” dari dalam sebagai akibat penjinakan (domestikasi) dinamika pendidikan. Kondisi ini semakin diperparah dengan tidak memadainya kualifikasi orang-orang yang mengambil kebijakan, dalam arti mereka minim pemahaman tentang pendidikan, sehingga tak mampu menyelami hakikat dan masalah pendidikan.

Meskipun begitu kita tetap percaya di bawah kabinet pemerintahan sekarang masih akan dapat ditemukan politisi, yang mengutamakan hati nuraninya dalam berpikir, berbicara, dan memutuskan segala sesuatu. Hanya saja kita jangan over expectation bila mereka harus berhadapan dengan sistem. Sebaliknya dari kalangan pendidik saatnya untuk menyelami dunia politik. Maksudnya, masyarakat pendidikan aktif memengaruhi para pengambil keputusan di bidang pendidikan. Sehingga kaum pendidik tidak lagi terkungkung dalam dunianya, melainkan memiliki ruang gerak yang lebih leluasa dan signifikan. Jangan sampai ada apriori berlebihan yang menganggap politik itu selalu bermuka dua, sehingga dengan memolitikkan pendidikan berarti melakukan perbuatan tercela.

Kaum pendidik harus berani memberikan pencerahan kepada para politisi bahwasanya pendidikan bersifat antisipatoris dan prepatoris, yang selalu mengacu ke masa depan dan menyiapkan generasi muda untuk menghadapi kehidupan mendatang. Kalau kemudian ada kesan bahwa pendidikan tak dapat berbuat apa-apa saat ini, harus dimaklumi, namun ke depan, ia akan punya andil yang sangat besar dalam membentuk tata kehidupan ekonomi dan politik. Keberanian kaum pendidik meluruskan arah pemikiran politisi tentang pendidikan sudah barang tentu merupakan terobosan besar, yang pada saatnya nanti diharapkan akan mampu melahirkan budaya politik baru, yakni budaya politik yang mendorong pelaku politik bertindak jujur dan cerdas, bersedia meredusir unsur hedonistis dan mengoptimalkan watak humanistik-patriotik.

14 Mei 2010

PERENCANAAN PENDIDIKAN BERBASIS SEKOLAH

A. Pendahuluan

Segala sesuatu dalam kehidupan ini mesti direncanakan. Apa lagi kelembagaan seperti sekolah, haruslah direncanakan sebelum melakukan aktivitasnya. Sebagai sebuah institusi, lembaga atau organisasi, sekolah haruslah direncanakan oleh manajernya, dalam hal ini adalah kepala sekolah. Dengan demikian, segala kegiatan yang dilaksanakan di sekolah tersebut, tidak bisa lepas dan perencanaan. Di era otonomi daerah, desentralisasi pengelolaan pendidikan dan school based management seperti sekarang, manajer pendidikan harus bahu membahu dengan komite sekolah dan stake holders guna merumuskan rencana pendidikan di sekolah.

Perencanaan sekolah adalah proses merumuskan terlebih dahulu terhadap segala sesuatu yang dilakukan sekolah di masa yang akan datang. Perencanaan menduduki posisi strategis dan senantiasa ditanyakan oleh seseorang kepada orang lain sebelum yang bersangkutan menjabat sebagai pemimpin atau manajer. Visi ke depan seorang calon pemimpin atau manajer, antara lain dapat dilihat dari program yang telah dipunyai.

Maka sekolah yang baik haruslah mempunyai program yang baik. Tingkatan kualitas dan keunggulan suatu sekolah, antara lain dapat dilihat dari seberapa baik perencanaan yang dimilikinya. Pada era otonomi daerah seperti sekarang, perencanaan pendidikan yang patut dipilih adalah perencanaan pendidikan berbasis sekolah.

B. Syarat-syarat Perencanaan Sekolah

Agar perencanaan sekolah dapat dilakukan dengan baik, ada bebarapa persyaratan yang harus dipenuhi. Perencanaan sekolah tersbut harus:

1. Terarah pada pencapian tujuan sekolah.

2. Berdasarkan dari data yang obyektif tentang kondisi sekolah.

3. Dilakukan oleh orang yang mampu membuat rencana.

4. Melibatkan seluruh komponen sekolah.

5. Jelas atau operasional, sehingga benar-benar dapat dilaksanakan.

6. Akomodatif terhadap perkembangan dan permasalahan mendesak.

7. Berorientasi kepada masalah yang seobyektif mungkin.

C. Proses Perencanaan Pendidikan Berbasis Sekolah

Kepala sekolah adalah orang yang bertanggung jawab dalam perencanaan pendidikan di sekolah. Sebagai manajer pendidikan di sekolah, ia harus melaksanakan fungsi manajemen yang pertama, ialah merencanakan sekolah. Oleh karena itu, baik atau kurang baiknya perencanaan di sekolah, banyak ditentukan oleh kapabilitas Kepala Sekolah. Meskipun guru, komite sekolah dan stake holder turut serta dalam proses perumusan, tetapi benar-benar bisa menjadi rumusan yang baik atau tidak tetap bergantung kepada kepala sekolahnya.

Ada sejumlah langkah perencanaan pendidikan berbasis sekolah yang harus dilakukan oleh Kepala Sekolah. Langkah-langkah tersebut meliputi: forcasting, objectives, policy, procedure, programming, schedule dan budgeting.

1. Forcasting

Forcasting adalah membuat prakiraan dengan mengantisipasi ke depan. Prakiraan tersebut didasarkan atas faktor-faktor organisasi pendidikan baik yang bersifat kondisional maupun situasional. Dimensi waktu yang harus dilibatkan ialah dimensi kelampauan, dimensi kekinian dan dimensi keakanan.

Berarti, masa lampau dan masa kini organisasi pendidikan, dengan segala faktor kondisional dan situasionalnya, dikaji terlebih dahulu sebelum hal-hal yang akan dilakukan tersebut dirumuskan. Dengan demikian, apa yang pada masa lampau dan masa kini berhasil dapat diulangi dan bahkan ditingkatkan, sedangkan yang gagal dapat dijadikan sebagai pelajaran. Dengan mengkaji masa lampau dan masa kini organisasi pendidikan, hal-hal yang akan dilakukan tersebut dapat dirumuskan secermat mungkin, dan ada kesinambungannya dengan apa yang dilakukan pada masa lampau.

Faktor kondisional dan situasional organisasi pendidikan harus juga dipertimbangkan dalam forcasting, karena apa-apa yang akan dilakukan tersebut, tidak sekadar untuk kepentingan perumusan saja, melainkan nantinya untuk dilaksanakan. Data tentang masa lampau sekolah (baik mengenai guru/pendidik, peserta didik, sarana dan prasarana, dana, partisipasi masyarakat serta substansi manajemen sekolah yang lain) haruslah digali. Demikian juga potensi-potensi sekolah di masa sekarang, haruslah diketahui dengan jelas.

Sedangkan prakiraan ke depan dapat dipergunakan analisis regresi dan analisis kecenderungan. Analisis regresi dan kecenderungan sangat bermanfaat untuk melakukan ramalan (estimasi, prediksi) ke depan, berdasarkan data masa lalu dan data yang ada pada masa sekarang ini.

Di era informasi seperti sekarang ini, beberapa data tentang faktor kondisional dan situasional sekolah akan dengan mudah diakses oleh pihak-pihak yang berkepentingan dengan pembesaran kelembagaan sekolah, manakala sekolah tersebut mau memasukkan ke dalam sebuah Website. Dengan demikian, para calon pelanggan pun akan dengan mudah mengetahui tentang keadaaan sekolah yang sebenamya, yang diharapkan juga bisa memberikan kontribusi bagi kebesaran kelembagaan sekolah.

2. Objectives

Objectives adalah perumusan tujuan. Berdasarkan perkiraan dengan antisipasi ke depan sebagaimana pada langkah forcasting, barulah dapat dirumuskan tujuan-tujuan yang hendak dicapai. Penggolongan tujuan tersebut bermacam-macam sesuai dengan sudut kepentingan, lingkup/ cakupan dan tingkatan lembaga pendidikan. Tujuan ini snatiasa harus dirumuskan, agar segala kegiatan yang akan dilakukan tersebut betul-betul mengarah pada tujuan yang sama atau mengarah ke arah yang sama

Dalam skala nasional, penggolongan tujuan tersebut menjadi: tujuan jangka panjang dan tujuan jangka pendek. Di antara kedua tujuan tersebut dijembatani dengan tujuan jangka menengah. Ada juga yang menggolongkan menjadi tujuan akhir dan tujuan sernentara. Ada yang menggolongkan menjadi tujuan umum dan tujuan khusus. Penggolongan tujuan ini terus berkembang, karena sekarang ini juga muncul istilah tujuan utama dan tujuan sampingan, tujuan strategis dan tujuan operasional atau taktis. Mana yang dipilih, tentu bergantung kepada sudut kepentingan sekolah masing-masing. Yang jelas, di era otonomi sekolah dan desentralisasi seperti sekarang, masing-masing sekolah makin mempunyai kebebasan untuk mengekspresikan kekhasannya masing-masing, termasuk dalam hal perumusan tujuannya.

3. Policy

Policy berarti kebijakan. Kebijakan di sini berarti mengidentifikasi berbagai macam jenis kegiatan yang diperhitungkan dapat mencapai tujuan. Bisa terjadi, satu tujuan mencakup satu kegiatan atau lebih. Oleh karena itu, kegiatan-kegiatan yang diidentifikasi pada langkah ini diakumulasi sebanyak mungkin, dengan maksud mendapatkan gambaran yang luas mengenai kegiatan yang dapat dilaksanakan. Pelaku kegiatan tersebut bisa terdiri atas ketua yayasan, kepala sekolah, guru, staf, peserta didik, pengurus dewan sekolah/majelis madrasah atau komite sekolah. Yang pasti, kegiatan tersebut diperhitungkan dapat mencapai tujuan sekolah.

Perlunya mengoleksi jenis kegiatan ini, selain akan memberikan banyak pilihan pada langkah-langkah perencanaan berikutnya, juga sekaligus memberikan peluang bagi cermatnya pilihan atas kegiatan yang diperhitungkan dapat mencapai tujuan tersebut. Banyaknya kegiatan yang diidentifikasi, juga sekaligus akan dapat mengakomodasi sebanyak mungkin para pelaksana kegiatan di sekolah tersebut. lni sangat penting karena, jangan sampai di suatu sekolah terjadi vakum kegiatan.

4. Programming

Programming adalah seleksi atas kegiatan-kegiatan yang sudah dirumuskan pada langkah policy. Kegiatan-kegiatan yang telah diidentifikasi perlu diseleksi, agar dapat dicarikan jawaban atas pertanyaan berikut: (1) mengapa kegiatan-kegiatan tersebut perlu dilakukan?, (2) apakah kegiatan tersebut memang benar-benar perlu dilakukan, berdasarkan faktor kondisional dan situasional organisasi atau lembaga pendidikan?

Suatu kegiatan, yang meskipun ideal serta berdampak positif bagi lembaga pendidikan, bisa tidak dilaksanakan manakala faktor kondisional dan situasional lembaga pendidikan tidak mendukung. Dengan perkataan lain, aktivitas programming sesungguhnya bersubstansikan pemrograman terhadap berbagai jenis kegiatan yang dinilai feasible. Feasibelitas di sini, selain dari aspek ketenagaan, prasarana dan sarana, ketersediaan dana, dan bahkan dukungan seluruh stoke holders sekolah. Ada semacam rationale choice, ketika menentukan pilihan terhadap berbagai jenis kegiatan tersebut.

Selain itu aspek sustainabelitas (kebersambungan) juga perlu diperhitungkan. Sebab, aktivitas pendidikan termasuk berjangka panjang. Kegiatan yang bersinambung relatif lebih mempunyai makna dibandingkan dengan kegiatan yang tidak ada kesinambungannya.

5. Procedure

Procedure adalah merumuskan langkah-langkah secara berurut. Oleh karena itu, procedure juga bisa diartikan sebagai penentuan sekuen. Yang berarti bahwa kegiatan-kegiatan yang telah diseleksi pada langkah programming tersebut diurutkan, mana yang harus didahulukan dan mana yang harus dikemudiankan. Dengan perkataan lain, seorang perencana direkomendasikan untuk menentukan mana jenis kegiatan yang menjadi skala prioritas dan mana yang tidak menjadi skala prioritas.

Ada beberapa sekuen yang dapat dipilih baik secara sendiri-sendiri maupun secara kombinasi, ialah sekuen kronologis, sekuen kausal, sekuen struktural dan sekuen logis. Yang dimaksud dengan sekuen kronologis adalah urutan kegiatan yang memang secara kronologis tidak bisa dibolak-balik, karena berkenaan dengan suatu peristiwa. Sekuen kausal adalah urutan yang menunjuk kepada hubungan yang bersifat sebab akibat. Sekuen struktural adalah urutan yang didasarkan atas struktur kegiatan. Di mana pun, termasuk di lembaga pendidikan, pasti terdapat kegiatan yang mempunyai struktur atas banyak kegiatan. Dengan demikian, ada kegiatan yang menjadi payungnya, dan ada kegiatan yang menjadi sub atau elemennya. Sekuen logis adalah urutan kegiatan yang didasarkan atas nalar. Bahwa satu kegiatan mesti harus diprioritaskan sementara kegiatan lain tidak, bisa dengan menggunakan pertimbangan nalar.

Pertimbangan membuat skala prioritas antara lembaga pendidikan satu dengan lembaga pendidikan lain tentulah tidak sama. Sebab, masing-masing lembaga pendidikan tersebut, mempunyai karakteristik, kepentingan, faktor kondisional dan situasional yang berbeda. Pertimbangan dalam menentukan prioritas dilihat dari: tingkat kemendesakan kegiatan tersebut, kemungkinan dampaknya bagi anggota organisasi pendidikan, ada tidaknya pendukung baik berupa infra struktur maupun supra struktur lembaga pendidikan.

Jika langkah ini diimplementasikan pada sekolah-sekolah kita, maka rumusan-rumusan kegiatan sekolah yang sudah terseleksi pada langkah programming tadi diurutkan dari yang paling lebih dapat dilaksanakan sampai yang paling kurang bisa dilaksanakan. Kegiatan yang lebih mendapatkan prioritas, dirumuskan dulu; sementara kegiatan yang mendapatkan prioritas lebih kemudian, dikemudiankan rumusannya.

6. Schedule

Schedule adalah penjadwalan terhadap kegiatan-kegiatan yang sudah diprioritaskan sebagaimana pada langkah programming. Jadwal tersebut perlu dibuat, agar kegiatan-kegiatan yang telah diurutkan pelaksanaannya menjadi konkret kapan dilaksanakan dan siapa saja yang bertanggung jawab dan terlibat di dalamnya. Ini sangat penting agar jauh hari sebelum kegiatan tersebut benar-benar dilaksanakan, telah diambil ancang-ancangnya oleh mereka yang bertanggung jawab untuk melaksanakan. Pihak yang bertanggung jawab untuk melaksanakan ini bisa berupa perorangan, unit kerja, bagian atau seseorang yang sedang memikul kapasitas atau jabatan tertentu dalam organisasi pendidikan.

Dalam membuat jadwal kegiatan pada sekolah, haruslah jelas jenis kegiatannya, kapan waktu pelaksanaannya, dan siapa saja yang menjadi pelaksananya. Dengan demikian, sejak berada dalam rumusan jadwal tersebut, pelaksana nanti akan jelas deskripsi masing-masing tugas, wewenang dan tanggungjawabnya; tanpa banyak lagi bertanya.

7. Budgeting

Budgeting adalah pembiayaan. Dalam kegiatan ini, ada dua kegiatan yang dilaksanakan. Pertama, mengalokasikan anggaran dan kedua, penentuan sumber anggaran. Alokasi anggaran dibuat berdasarkan kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan dan disusun serealistis mungkin. Sumber anggaran yang dapat digali harus disebutkan dalam membuat rumusan. Jika langkah ini diimplementasikan di sekolah, maka pertama hal yang harus dilakukan adalah mengalokasikan anggaran berdasarkan rumusan-rumusan kegiatan yang ada pada langkah penjadwalan. Alokasi anggaran ini hendaknya dibuat serealistik mungkin.

Aspek pemerataan juga harus dipertimbangkan dalam merencanakan anggaran. Jangan sampai, ada kegiatan yang sama sekali tidak mendapatkan anggaran, sementara yang lainnya banyak menyedot anggaran. Terkecuali jika memang kegiatan tersebut sarna sekali tidak membutuhkan anggaran. Ketidakmerataan dalam merumuskan anggaran dapat dibenarkan, selama tetap ditempatkan dalam koridor skala prioritas dan atau terhadap kegiatan yang sengaja diunggulkan oleh sekolah tersebut, serta telah mendapatkan kesepakatan dari komponen sekolah, komite sekolah dan stake holders yang lainnya. Setelah anggaran dialokasikan, sumber-sumber anggaran juga perlu ditetapkan.

D. Langkah-Langkah Perumusan Operasional Rencana Sekolah

Untuk mengoperasionalkan langkah-langkah perumusan rencana sekolah, kita dapat menggunakan pendekatan pemecahan masalah (problem solving). Perencanaan sekolah sekaligus juga akan memecahkan masalah-masalah yang mungkin akan dihadapi oleh sekolah. Adapun langkah-langkah operasional perencanaan sekolah yang menggunakan pendekatan pemecahan masalah adalah:

1. Identifikasi Masalah

Identifikasi masalah dilakukan oleh suatu tim yang dibentuk oleh yayasan atau kepala sekolah, yang menyangkut substansi manajemen sekolah yaitu:

(a) Kegiatan belajar mengajar, (b) Kegiatan peserta didik, (c) Kegiatan tenaga kependidikan sekolah, (d) Prasarana dan sarana sekolah, (e) Pendanaan sekolah, (f) Partisipasi masyarakat, (g) Layanan khusus, dan (h) Ketatausahaan sekolah.

Identifikasi masalah ini dilakukan dengan cara mengeksplorasi dan mengkonfirmasikan permasalahan yang dihadapi oleh sekolah kepada: pengurus yayasan, kepala sekolah, tenaga kependidikan (guru dan staf), anak didik, orang tua, masyarakat, dewan sekolah, kepala sekolah yang menjadi kelanjutan sekolah tersebut, dan sebagainya.

Masalah-masalah yang diidentifikasi hendaknya yang seobjektif mungkin dan seriil mungkin, dan bukan terkaan sumber data. Masalah-masalah tersebut dapat digali dengan penyebaran angket, pengamatan, penggalian data dokumenter dan wawancara. Dari kegiatan identifikasi masalah ini akan didapatkan banyak masalah yang dapat diangkat guna dicarikan alternatif pemecahannya.

2. Identifikasi Alternatif Penyebab

Berdasarkan permasalahan yang diidentifikasi di atas, kemudian digali juga alternatif penyebab munculnya masalah. Satu permasalahan dimungkinkan oleh lebih dari satu alternatif penyebab. Alternatif penyebab masing-masing masalah tersebut, hendaknya yang seriil mungkin, ialah yang dialami oleh sekolah tersebut beserta komponen-komponennya. Sebab, jika alternatif penyebab dan yang dikemukakan di sini bukan yang rill, maka alternatif pemecahan yang akan dipecahkan juga menjadi tidak rill.

3. Identifikasi Alternatif Pemecahan Masalah

Dalam mengidentifikasi alternatif pemecahan masalah, haruslah dipertimbangkan masalah dan alternatif pemecahannya. Suatu masalah yang sama, dengan alternatif penyebab yang berbeda, bisa membutuhkan alternatif pemecahan masalah yang berbeda, dan bisa juga membutuhkan alternatif pemecahan masalah yang sama. Suatu masalah yang berbeda, dengan alternatif penyebab yang sama, bisa membutuhkan alternatif pemecahan masalah yang sama atau berbeda. Semakin banyak alternatif pemecahan masalah yang diajukan, akan semakin mudah didapatkan alternatif pemecahan masalah yang lebih tepat.

4. Identifikasi Faktor Pendukung

Guna menentukan alternatif pemecahan masalah yang tertepat, diperlukan faktor pendukung yang berupa sumber-sumber potensial di sekolah tersebut. Sehingga faktor-faktor pendukung bagi altematif pemecahan masalah yang ada patut diidentifikasi. Ada kalanya faktor pendukung ini berasal dari dalam sekolah sendiri, dan ada kalanya berasal dan luar. Keduanya perlu diidentifikasi.

5. Identifikasi Faktor Penghambat

Selain faktor-faktor pendukung bagi altematif pemecahan masalah, diidentifikasi juga faktor-faktor yang diduga sebagai penghambatnya agar dapat dijadikan sebagai pertimbangan dalam menentukan altematif yang paling tepat. Faktor-faktor penghambat demikian ini, ada kalanya bersumber dari dalam sekolah sendiri, tetapi tidak jarang juga berasal dari luar. Baik yang berasal dari dalam maupun yang berasal dari luar, patut diidentifikasi.

6. Penentuan Altematif Terpilih

Setelah diperhatikan dengan seksama, serta berdasarkan banyaknya faktor pendukung dan faktor penghambat, alternatif-alternatif pemecahan masalah yang telah diajukan, dapat dipilih. Alternatif pemecahan yang dipilih inilah yang dikenal dengan alternatif terpilih.

Setelah pendekatan pemecahan masalah ini ditempuh, perencana sekolah perlu membahasakan alternatif pemecahan masalah yang telah diambil ke dalam bahasa perencanaan/program. Alternatif pemecahan masalah yang telah dipilih (altematif terpilih), ini dibahasakan dengan bahasa program. Dan bahasa program ini, kemudian ditentukan kapan waktu pelaksanaannya, berapa biayanya, dan siapa pelaksananya.

E. Rapat Kerja Perumusan Rencana Berbasis Sekolah

Salah satu karakteristik perencanaan pendidikan berbasis sekolah adalah selain tinggi muatan bottom-up-nya, juga banyak melibatkan guru/karyawan, wakil orang tua, komite sekolah, masyarakat dan stake holders yang lainnya.Agar tingkat keterlibatan mereka sangat tinggi, maka perlu disediakan arenanya. Salah satu arena yang tepat adalah rapat kerja (raker) dengan agenda tunggal perumusan rencana. Beberapa langkah operasional yang harus ditempuh adalah:

1. Bentuklah tim penyusun rencana. Tim ini bertugas untuk mengidentifikasi masalah, alternatif penyebab dan alternatif pemecahannya. Sebagai sumber datanya adalah: pengurus yayasan jika sekolah swasta), kepala sekolah, guru/ karyawan, siswa, orang tua, tokoh masyarakat, sekolah lanjutannya (untuk SMP adalah SMU/SMK)/ komite sekolah/dewan sekolah/majelis madarasah dan stake holders lainnya. Dari kegiatan ini telah tersedia data mentah awal yang berisi masalah, alternatif penyebab dan alternatif pemecahannya.

2. Bentuklah panitia rapat kerja yang bertugas melaksanakan kegiatan rapat kerja mulai dari awal sampai dengan selesai.

3. Lakukan rapat kerja dengan agenda penyusunan rencana kerja sekolah.

4. Setelah rencana tersebut berhasil disusun dan dihaluskan, maka untuk selanjutnya kepala sekolah, ketua yayasan, dan komite sekolah/ dewan sekolah/ majelis madarasah mengesahkannya.

F. Penutup

Pada era otonomi daerah dengan seiring berkembangnya wacana desentralisasi pemerintahan dan school based management ini, perencanaan pendidikan di sekolah sepatutnya menggunakan pendekatan yang bersifat bottom up, atau perencanaan pendidikan berbasis sekolah. Proses perencanaan pendidikan berbasis sekolah mengggunakan langkah-langkah perencanaan pendidikan yang selama ini ditempuh. Hanya saja dalam setiap proses tersebut, hendaknya melibatkan seluruh komponen sekolah, komite sekolah/dewan sekolah/majelis madarasah dan stake holders sekolah yang lainnya.

Langkah-langkah perencanaan sekolah adalah: forecasting, objective, policy, programming, procedure, schedule dan budgeting. Sedangkan langkah- langkah operasionalnya dengan menggunakan pendekatan pemecahan masalah, yaitu: identifikasi masalah, identifikasi alternatif pemecahan masalah, identifikasi faktor pendukung dan faktor penghambat, dan penentuan alternatif terbaik. Setelah pendekatan pemecahan masalah ini ditempuh, dilanjutkan dengan pembahasaan alternatif terpilih ke dalam bahasa program. Selanjutnya, ditentukan kapan waktu pelaksanaannya, berapa anggarannya, dan siapa yang menjadi pelaksanaannya.

Agar seluruh komponen sekolah, komite sekolah/ dewan sekolah/ majelis madarasah dan stake holders lainnya terlibat secara aktif, patut disediakan arena yang bernama rapat kerja dengan agenda tunggal penyusunan rencana sekolah. Agar data yang digali tersebut memberikan nuansa bottom up, desentralisasi, maka teknik eksploratory hendaknya dipilih; dan jangan sampai menggunakan teknik konfirmatory. Begitu juga pengesahan akhirnya bukanlah hanya oleh kepala sekolah melainkan yang lebih utama adalah oleh komite sekolah/ dewan sekolah/ majelis madarasah.

DAFTAR RUJUKAN

Coombs, P.H. 1984. Apakah Perencanaan Pendidikan itu? (Terjemahan A.R. Effendi). Malang: FIP IKIP Malang.

Depdiknas. 2002. Manajemen Pendidikan Berbasis Sekolah. Jakarta: Depdiknas.

Gorton, R.A., and Schneider, G.T. 1991. School Based Leadership: Challenges and Opportunities. Third Edition. New York: WCB Publishers.

Hoy, W.K. and Miskel. C.G. 1987. Educational Administration: Theory, Research and Practice. New York: Random House.

Indar, M.D. 1995. Perencanaan Pendidikan: Strategi dan Implementasinya. Surabaya: Karya Abditama.

Imron, A. 2002. Perencanaan Sekolah. Dalam Burhanuddin, Imron, A., dan Maisyaroh (Eds.), Manajemen Pendidikan: Wacana, Proses, dan Aplikasinya di Sekolah (hlm. 35-48). Malang: Penerbit UM.

Nawawi, H. 1988. Administrasi Pendidikan. Jakarta: CV Haji Mas Agung.

Sergiovanni, T. J. 1991. The Principalship: A Reflective Practice Perspective. Boston: Allyn and Bacon Inc.

Siagian, S.P. 1990. Filsafat Aministrasi. Jakarta: PT Toko Gunung Agung.

Stoops, E. et. al. 1981. Handbook of Educational Administration: A Guide for The Practitioner. Second Edition. Boston: Allyn and Bacon, Inc.

Vembrianto, St. 1982. Pengantar Perencanaan Pendidikan (Educational Planning). Yogyakarta: Yayasan Pendidikan Paramita.