29 Desember 2013

Tingkatan Orang Berpikir

Ketika kita belajar tentang ilmu pengetahuan, maka kita dapat dikategorikan ke dalam tiga tingkatan pencari ilmu, mulai dari paling rendah sampai dengan paling tinggi, yakni: taklik, iktiba', dan ijtihad. Taklik merupakan orang yang ikut-ikut, melu-melu, tetapi tidak mengerti apa yang diikuti, tidak mengerti apa yang di-eloni. Orang yang diikuti berbicara A, dia juga berbicara A, tetapi dia tidak tahu A itu apa. Iktiba' merupakan orang yang ikut-ikut, melu-melu, tetapi mengerti apa yang diikuti, mengerti apa yang di-eloni. Orang yang diikuti berbicara A, dia juga berbicara A, tetapi dia tahu A itu apa. Mudah-mudahan kita iktiba' kepada Kanjeng Nabi. Itjihad merupakan berpikir sendiri secara mendalam (deep thingking), berpikir sendiri, hasil pemikiran orisinalitas sendiri. Jika mengetahui orang lain berpendapat A, dia memikirkan secara mendalam tentang A dan pemikirannya sendiri. Walaupun berpikir sendiri, tetapi tetap memerhatikan pemikiran orang lain.

Ketiga tingkatan tersebut berproses dan "bergantian" periode waktunya. Untuk menuju tingkatan ijtihad tentunya harus mahir dalam berpikir. Ini yang menjadi pertanyaan dan renungan saya selama ini: Unsur Akademik.

Kalau kita berpendapat, terutama teman-teman kita yang kuliah, pasti ditanya: Itu teorinya siapa? Apa dasar teorinya? Kamu tidak bisa berpendapat tanpa dasar teori yang kuat! Kapasitas kamu belum cukup! Kamu harus pakai teori! Ini teorinya profesor siapa?

Hal itu karena si Z belum bergelar sarjana! Jadi tidak boleh berpendapat! Kalau berpendapat harus pakai dasar teori yang sudah sarjana!

Lagi-lagi sarjana jadi alasan. Yang jadi pertanyaan saya: Siapa ya sarjana pertama di dunia ini? Siapa yang "melantik" sarjana pertama di dunia ini?

Saya jadi ingat tulisan Cak Nun, beliau menulis buku Markesot Bertutur, salah satu uraian beliau membahas sekilas tentang itu.

Mudah-mudahan bermanfaat.

05 September 2013

BERDIKARI

Berdaulat di bidang politik.
Berdikari di bidang ekonomi.
Berkepribadian di bidang kebudayaan.

By Soekarno.

24 Februari 2013

Supervisi Pendidikan



1.        Pengertian Supervisi
Supervisi berasal dari kata supervision yang terdiri dari dua kata yaitu super yang berarti lebih; dan vision yang berarti melihat atau meninjau. Secara terminologi supervisi diartikan sebagai serangkaian usaha bantuan pada guru. Sehingga supervisi secara etimologis mempunyai konsekuensi disamakannya pengertian supervisi dengan pengawasan dalam pengertian lama, berupa inspeksi sebagai kegiatan kontrol yang otoriter. Supervisi diartikan sebagai pelayanan yang disediakan oleh pemimpin untuk membawa guru (orang yang dipimpin) agar menjadi guru atau personil yang semakin cakap sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan pada umumnya dan ilmu pendidikan khususnya agar dapat meningkatkan keefektifan proses pembelajaran di sekolah.
Supervisi sering disamaartikan dengan istilah-istilah seperti inspeksi, pengawasan, maupun pemeriksaan. Padahal masing-masing istilah tersebut memiliki makna yang berbeda, sehingga dalam konteks penggunaannya agar tidak ada penyimpangan perlu dipahami maknanya. Inspeksi mengandung arti sebagai suatu usaha mengetahui kekurangan-kekurangan atau kesalahan-kesalahan yang perlu diperbaiki dalam suatu pekerjaan. Sedangkan pengawasan mengandung arti melakukan pengamatan agar pekerjaan dilakukan sesuai dengan ketentuan. Adapun pemeriksaan dapat melihat bagaimana kegiatan yang dilaksanakan telah mencapai tujuan. Dalam hal ini supervisi memiliki makna dan pengertian yang lebih luas dari pada itu.
Supervisi terutama sebagai bantuan yang berwujud layanan profesional yang dilakukan oleh kepala sekolah, penilik sekolah, dan pengawas serta supervisor lainnya untuk meningkatkan proses dan hasil belajar. Jika yang dimaksudkan supervisi adalah layanan profesional untuk meningkatkan proses dan hasil belajar, maka banyak pakar yang memberikan batasan supervisi sebagai bantuan kepada staf untuk mengembangkan situasi pengajaran yang lebih baik. Adams dan Dickey (1999) mendefinisikan supervisi adalah program berencana untuk memperbaiki pengajaran. Program itu pada hakikatnya adalah perbaikan kegiatan belajar-mengajar.
Sedangkan Dictionary of Education memberi pengertian bahwa supervisi adalah usaha dari petugas-petugas sekolah dalam memimpin guru-guru dan petugas-petugas lainnya dalam memperbaiki pengajaran (Sahertian, 2000). Sementara itu Nemey melihat supervisi itu sebagai suatu prosedur memberi arah serta mengadakan penilaian secara kritis terhadap proses pengajaran (Pidarta, 1992). Hal senada dikemukakan oleh Wiles (1997) yang menjelaskan bahwa supervisi adalah bantuan yang diberikan untuk memperbaiki situasi belajar-mengajar di sekolah dan lebih bergantung kepada keterampilan supervisor sebagai pemimpin.
Lebih lanjut Wiles (1997) memberikan batasan supervisi yaitu: supervision is service activity that exits to help teacher do their job better. Berdasarkan pengertian tersebut disimpulkan supervisi adalah: (1) serangkaian bantuan yang berwujud layanan profesional; (2) layanan profesional tersebut diberikan oleh orang yang lebih ahli (kepala sekolah, penilik sekolah, pengawas, dan ahli lainnya) kepada guru; dan (3) maksud layanan profesional tersebut adalah agar dapat meningkatkan kualitas proses dan hasil belajar sehingga tujuan pendidikan yang direncanakan dapat dicapai.
Batasan supervisi yang demikian ini sekaligus mereduksikan supervisi model lama. Supervisi model lama lebih mencerminkan pengertian supervisi dari segi etimologis. Dimana super diartikan sebagai atas, sedangkan vision diartikan melihat. Dengan demikian supervisi berarti melihat dari atas. Oleh karena itu secara etimologis supervisi diartikan melihat dari atas. Maka praktik-praktik supervisi lebih banyak mengarah ke inspeksi, kepenilikan, dan kepengawasan. Apa yang disebut sebagai supervisi, pada kenyataannya adalah inspeksi (Nawawi, 1988). Gwynn (1991) mengemukakan supervision oroginated inspection of school and continued with that its major emphasis to about 1920.
Supervisi dengan model lama (inspeksi) dapat menyebabkan guru merasa takut, tidak bebas dalam melaksanakan tugas, dan merasa terancam keamanannya bila bertemu dengan supervisor, tidak memberikan dorongan bagi kemajuan guru. Oleh karena itu, semua kegiatan pembaharuan pendidikan, termasuk pembaharuan kurikulumnya, yang dilakukan dengan pengerahan waktu, biaya, dan tenaga bisa menjadi sia-sia. Hal dipertegas oleh Sahertian (2000) yang berpendapat bahwa seorang supervisor yang baik harus memiliki lima keterampilan dasar, yaitu: (1) keterampilan dalam hubungan-hubungan kemanusiaan; (2) keterampilan dalam proses kelompok; (3) keterampilan dalam kepemimpinan pendidikan; (4) keterampilan dalam mengatur personalia sekolah; dan (5) keterampilan evaluasi. Semua definisi di atas bersifat umum.
Perkembangan konsep supervisi pendidikan selanjutnya menuju kepada sasaran khusus. Oliva (1984) menitikberatkan pada supervisi pengajaran, mengemukakan beberapa pandangan bahwa supervisi pengajaran ialah segala sesuatu yang dilakukan oleh personalia sekolah untuk memelihara atau mengubah apa yang dilakukan sekolah dengan cara langsung mempengaruhi proses belajar-mengajar dalam usaha meningkatkan proses belajar siswa. Wiles (1997) berpendapat bahwa supervisi pengajaran dianggap sebagai sistem tingkah laku formal yang dipersiapkan oleh lembaga untuk mencapai interaksi dengan sistem perilaku mengajar dengan cara memelihara mengubah dan memperbaiki rencana serta aktualisasi kesempatan belajar siswa.
Supervisi pengajaran berfokus pada perilaku supervisor dalam membantu guru-guru dan akan berdampak pada hasil belajar siswa. Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat dirumuskan bahwa supervisi tidak lain adalah usaha memberi layanan kepada guru-guru baik secara individual maupun secara kelompok dalam usaha memperbaiki pengajaran. Lazarus (1992) menyatakan bahwa supervisi merupakan rangsangan, bimbingan atau bantuan yang diberikan kepada guru-guru agar kemampuan profesional mereka makin berkembang sehingga situasi belajar-mengajar makin efektif dan efisien. Sahertian (2000) menegaskan bahwa supervisi tidak lain dari usaha memberi layanan kepada guru-guru baik secara individual maupun secara kelompok dalam usaha memperbaiki pengajaran.
Sedangkan Mulyasa (2003) menjelaskan bahwa pada hakikatnya supervisi mengandung beberapa kegiatan pokok yaitu pembinaan yang kontinu, pengembangan kemampuan profesional personil, perbaikan situasi belajar, dengan sasaran akhir pencapaian tujuan pendidikan dan pertumbuhan pribadi peserta didik. Burhanuddin (1995) menyatakan bahwa supervisi pada hakikatnya merupakan segenap bantuan yang ditujukan pada perbaikan-perbaikan dan pembinaan aspek pengajaran. Sementara itu Wiles (1997) menegaskan bahwa:
Instructional supervisory behavior is assumed to be an additional behavior system formally provided by the organization for the purpose of interacting with the teaching behavior system in such a way as to maintain, change, and improve the design and actualization of learning opportunities for students.

Supervisi pengajaran dianggap sebagai sistem tingkah laku formal, yang dipersiapkan oleh lembaga untuk mencapai interaksi dengan sistem perilaku mengajar dengan cara memelihara, mengubah dan memperbaiki rencana serta aktualisasi kesempatan belajar siswa. Pendapat dari beberapa ahli tersebut memberikan pengertian bahwa supervisi merupakan bantuan dalam rangka perbaikan dan pengembangan situasi belajar-mengajar agar proses belajar berlangsung efektif dan efisien. Supervisi pengajaran lebih menekankan dalam usaha memberikan bantuan kepada guru dalam memperbaiki pengajaran.
Carter mengemukakan bahwa supervisi adalah segala usaha dari petugas sekolah dalam memimpin guru dan petugas lainnya dalam memperbaiki pembelajaran yang mencakup menstimulir, menyeleksi pertumbuhan jabatan dan perkembangan guru, merevisi tujuan pendidikan lembaga pendidikan, bahan, metode, dan evaluasi pembelajaran (Soetopo dan Soemanto, 1984). Program supervisi bertumpu pada satu prinsip yang mengakui bahwa setiap manusia mempunyai potensi untuk berkembang.
Supervisi merupakan suatu teknik pelayanan yang tujuan utamanya mempelajari dan memperbaiki secara bersama faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan peserta didik. Supervisi lahir dari fungsi actuating (menggerakkan) yang di dalamnya terdapat unsur membina, membantu, membimbing, dan memotivasi. Sedangkan pengawasan lahir dari fungsi controlling yang di dalamnya terdapat unsur evaluasi hasil kerja bawahan oleh atasan. Sehingga supervisi dengan pengawasan sangatlah berbeda.
Kepala sekolah sebagai pimpinan sekolah memiliki kewajiban membina kemampuan para guru. Dengan kata lain kepala sekolah hendaknya dapat melaksanakan supervisi secara efektif. Sementara ini pelaksanaan supervisi di sekolah seringkali masih bersifat umum. Aspek-aspek yang menjadi perhatian kurang jelas, sehingga pemberian umpan balik terlalu umum dan kurang mengarah ke aspek yang dibutuhkan guru. Sementara guru sendiri pun kadang kurang memahami manfaat supervisi. Hal ini disebabkan tidak dilibatkannya guru dalam perencanaan pelaksanaan supervisi. Padahal proses pelaksanaan supervisi yang melibatkan guru sejak tahap perencanaan memungkinkan guru mengetahui manfaat supervisi bagi dirinya. Supervisi merupakan pendekatan yang melibatkan guru sejak tahap perencanaan. Supervisi merupakan jawaban yang tepat untuk mengatasi kekurangtepatan permasalahan yang berhubungan dengan guru pada umumnya.
Kepala sekolah diharapkan memahami dan mampu melaksanakan supervisi karena keterlibatan guru sangat besar mulai dari tahap perencanaan sampai dengan analisis keberhasilannya. Salah satu usaha untuk meningkatkan kualitas guru ialah melalui proses pembelajaran dan guru merupakan komponen sumber daya manusia yang harus dibina dan dikembangkan secara terus menerus agar dapat melaksanakan fungsinya secara profesional (Sahertian, 2000). Pelaksanaan supervisi yang diasumsikan merupakan pelayanan pembinaan guru diharapkan dapat memajukan dan mengembangkan pengajaran agar guru dapat mengajar dengan baik dan berdampak pada belajar siswa. Supervisi berfungsi membantu guru dalam mempersiapkan pelajaran dengan mengkoordinasi teori dengan praktik.
Pandangan guru terhadap supervisi cenderung negatif yang mengasumsikan bahwa supervisi merupakan model pengawasan terhadap guru dengan menekan kebebasan guru untuk menyampaikan pendapat. Hal ini dapat dipengaruhi sikap supervisor seperti bersikap otoriter, hanya mencari kesalahan guru, dan menganggap lebih dari guru karena jabatannya. Guru pada dasarnya tidak membenci supervisi, tetapi tidak suka terhadap gaya supervisor (Gunawan, 2011). Kasus guru senior cenderung menganggap supervisi merupakan kegiatan yang tidak perlu karena menganggap bahwa telah memiliki kemampuan dan pengalaman yang lebih. Self evaluation merupakan salah satu kunci pelayanan supervisi karena dengan self evaluation supervisor dan guru dapat mengetahui kelebihan dan kelemahan masing-masing sehingga dimungkinkan akan memperbaiki kekurangan dan meningkatkan kelebihan tersebut secara kontinu.

2.        Tujuan dan Fungsi Supervisi Pendidikan
Seperti telah dijelaskan bahwa supervisi ialah memberikan layanan dan bantuan kepada guru, maka tujuan supervisi adalah memberikan layanan dan bantuan untuk mengembangkan situasi belajar-mengajar yang dilakukan guru di kelas. Dengan demikian jelas bahwa tujuan supervisi ialah memberikan layanan dan bantuan untuk meningkatkan kualitas mengajar guru di kelas yang pada gilirannya untuk meningkatkan kualitas belajar siswa. Bukan hanya memperbaiki kemampuan mengajar guru tetapi juga untuk pengembangan potensi kualitas guru. Hal ini sesuai dengan pendapat Oliva (1984) yang mengemukakan bahwa sasaran supervisi pendidikan ialah: (1) mengembangkan kurikulum yang sedang dilaksanakan di sekolah; (2) meningkatkan proses belajar-mengajar di sekolah; dan (3) mengembangkan seluruh staf di sekolah.
Lazarus (1992) menjelaskan bahwa tujuan supervisi yaitu mengembangkan situasi belajar menjadi lebih efektif. Secara rinci dapat disimpulkan bahwa tujuan supervisi ialah membantu guru-guru agar: (1) dapat melihat dengan jelas tujuan-tujuan pendidikan; (2) dapat membimbing siswa dalam proses belajar-mengajar; (3) dapat mengefektifkan penggunaan sumber-sumber belajar; dan (4) dapat mengevaluasi kemajuan belajar murid-murid, teman-temannya dan masyarakat; dapat mencintai tugas dengan penuh tanggung jawab. Hal senada dikemukakan oleh Usman (2009) yang menyatakan bahwa tujuan supervisi adalah untuk memberikan pelayanan profesional bagi guru-guru agar mampu mengembangkan sikap profesionalnya.
Jadi fungsi supervisi adalah memperbaiki dan mengembangkan situasi belajar-mengajar. Sementara itu Swearingen mengemukakan bahwa fungsi supervisi yakni: (1) mengkoordinasi semua usaha sekolah; (2) melengkapi kepemimpinan kepala sekolah; (3) memperluas pengalaman guru-guru; (4) menstimulasi usaha-usaha kreatif; (5) memberi fasilitas dan penilaian yang terus menerus; (6) menganalisis situasi belajar-mengajar; (7) memberikan pengetahuan dan keterampilan kepada setiap anggota staf; dan (8) memberi wawasan yang lebih luas dan terintegrasi dalam merumuskan tujuan pendidikan dan meningkatkan kemampuan mengajar guru (Sahertian, 2000).
Supervisi berfungsi untuk pengawasan kualitas, pengembangan profesional, dan untuk memotivasi guru dalam bekerja. Supervisi pendidikan yang berfungsi untuk pengawasan kualitas dilakukan oleh kepala sekolah melalui monitoring proses belajar-mengajar, melakukan kunjungan kelas, melakukan percakapan pribadi dengan guru, teman sejawatnya maupun dengan sebagian siswa. Pengembangan profesional guru adalah melalui supervisi dapat membantu guru mengembangkan kemampuannya dalam memahami pengajaran, kehidupan kelas, mengembangkan keterampilan dasar mengajar, dan memperluas pengetahuan guru serta menggunakan persiapan mengajar. Memotivasi guru melalui supervisi bisa mendorong untuk menerapkan kemampuan dalam melaksanakan tugas mengajarnya, mendorong guru untuk mengembangkan kemampuannya sendiri, serta mendorong agar guru memiliki perhatian yang sungguh-sungguh terhadap tugas.
Fungsi utama supervisi adalah perbaikan dan peningkatan kualitas pembelajaran serta pembinaan pembelajaran sehingga terus dilakukan perbaikan pembelajaran (Sahertian, 2000). Supervisi bertujuan mengembangkan situasi kegiatan pembelajaran yang lebih baik ditujukan pada pencapaian tujuan pendidikan sekolah, membimbing pengalaman mengajar guru, menggunakan alat pembelajaran yang modern, dan membantu guru dalam menilai kemajuan peserta didik. Hal ini dipertegas oleh Purwanto (2003) yang mengemukakan bahwa fungsi supervisi menyangkut dalam bidang kepemimpinan, hubungan kemanusiaan, pembinaan proses kelompok, administrasi personil, dan bidang evaluasi.

3.        Peranan Supervisi Pendidikan
Supervisi berfungsi membantu (assisting), memberikan support (supporting), dan mengajak mengikutsertakan (sharing). Peranan supervisi tampak dengan jelas dalam kinerja supervisor yang melaksanakan tugasnya. Seorang supervisor berperan sebagai: (1) koordinator; (2) konsultan; (3) pemimpin kelompok; dan (4) evaluator (Oliva, 1984).
Sebagai koordinator supervisor dapat mengkoordinasikan program belajar-mengajar, tugas-tugas anggota staf berbagai kegiatan yang berbeda-beda di antara guru-guru. Sebagai konsultan supervisor dapat memberi bantuan, bersama mengkonsultasikan masalah yang dialami guru baik secara individual maupun kelompok. Sebagai pemimpin kelompok supervisor memimpin sejumlah staf guru dalam mengembangkan potensi kelompok, pada saat mengembangkan kurikulum, materi pelajaraan, dan kebutuhan profesional guru-guru secara bersama-sama. Sebagai evaluator supervisor dapat membantu guru-guru dalam menilai hasil dan proses belajar-mengajar, dapat menilai kurikulum yang sedang dikembangkan.
Hal yang harus diubah ialah pola lama supervisor yaitu mencari-cari kesalahan dan kebiasaan memberi pengarahan. Supervisi dalam iklim demokrasi harus ada reformasi unjuk kerja para pembina pendidikan seperti yang diungkapkan Wiles (1997) yang menegaskan peranan seorang supervisor ialah membantu, memberi dukungan, dan mengikutsertakan guru, bukan mengarahkan terus menerus. Kalau terus menerus mengarahkan, selain tidak demokratis, juga tidak memberi kesempatan untuk guru-guru belajar sendiri (otonom) dalam arti profesional. Guru tidak diberi kesempatan untuk berdiri sendiri atas tanggung jawab sendiri. Pada ciri guru yang profesional ialah guru-guru memiliki otonomi dalam arti bebas mengembangkan diri sendiri atas kesadaran diri sendiri.

4.        Sasaran Supervisi Pendidikan
Sudah dijelaskan di muka bahwa obyek pengkajian supervisi ialah situasi belajar-mengajar dalam arti yang luas. Sedangkan Oliva (1984) menggunakan istilah domain. Lebih lanjut Oliva (1984) mengemukakan sasaran supervisi pendidikan meliputi tiga domain, yaitu: (1) memperbaiki pengajaran; (2) pengembangan kurikulum; (3) pengembangan staf. Sedangkan menurut Sahertian (2000) obyek supervisi mencakup: (1) pembinaan kurikulum; (2) perbaikan proses belajar-mengajar; (3) pengembangan staf; dan (4) pemeliharaan dan perawatan moral serta semangat kerja guru-guru.
a.         Pembinaan dan Pengembangan Kurikulum
Pengalaman menunjukkan bahwa telah beberapa kali pembaharuan kurikulum sejak tahun 1975 sampai sekarang. Ada kurikulum yang disusun berorientasi pada materi pelajaran. Sesuatu hal yang diutamakan ialah sejumlah bahan yang harus dikuasai oleh peserta didik. Ada kurikulum yang berorientasi pada tujuan-tujuan yang hendak dicapai. Biasanya yang berorientasi pada tujuan selalu mengacu pada taksonomi Bloom yang mencakup: domain kognitif, psikomotorik, dan afektif. Ada juga kurikulum yang berorientasi pada kebutuhan siswa.
Selain pendekatan kurikulum yang berorientasi pada berbagai aspek kepribadian peserta didik, guru-guru harus mampu membaca pokok-pokok bahasan, konsep, dan tema-tema yang dirumuskan dalam kurikulum itu. Kemudian tugas guru ialah merancang berbagai pengalaman belajar dan kegiatan belajar. Menurut pendapat Sahertian (2000) guru adalah perancang berbagai model pembelajaran. Guru yang profesional harus memiliki kemampuan untuk merancang berbagai model pembelajaran.

b.        Peningkatan Proses Pembelajaran
Sasaran kedua adalah memperbaiki proses pembelajaran. Proses pembelajaran adalah seperangkat kegiatan belajar yang dilakukan oleh siswa di bawah bimbingan guru. Guru bertugas merumuskan tujuan-tujuan yang ingin dicapai pada saat mengajar. Untuk mencapai tujuan guru merancang sejumlah pengalaman belajar. Belajar ditandai dengan perubahan tingkah laku, karena memperoleh pengalaman baru. Melalui pengalaman belajar, peserta didik memperoleh pengertian, sikap, penghargaan, kebiasaan, dan kecakapan. Agar memperoleh pengalaman belajar, maka mereka harus melakukan sejumlah kegiatan belajar. Kegiatan belajar yang dimaksud yaitu aktivitas jiwa yang diperoleh dalam proses belajar seperti mengamati, mendengarkan, dan menanggapi.
Selain tujuan, kegiatan dan pengalaman belajar juga ditingkatkan keterampilan mengajar seperti keterampilan menjelaskan, keterampilan memberi motivasi, keterampilan memberi penguatan, dan keterampilan dalam mengelola kelas. Bagaimana cara menciptakan suasana belajar yang menyenangkan adalah salah satu usaha perbaikan proses belajar-mengajar. Selain itu perlu dikembangkan kemampuan dan menilai hasil belajar dan proses belajar. Supervisor dapat mendorong guru-guru untuk mengembangkan berbagai model rancangan pembelajaran.

c.         Pengembangan Sumber Daya Guru
Seperti yang dikemukakan di atas perlunya supervisi, bahwa guru-guru itu perlu bertumbuh dalam jabatannya, maka setiap guru harus berusaha untuk mengembangkan dirinya. Ada beda antara pengembangan staf dan inservice education. Pengembangan staf dapat dipandang usaha yang datang dari guru itu sendiri untuk meningkatkan kualitas profesi mengajarnya. Sedangkan inservice education seperti lembaga pendidikan guru berusaha mendorong guru-guru agar mau belajar lagi.

12 Januari 2013

Moral Leadership

Educational leaders are working in an increasingly diverse society with a number of competing values. It is difficult to be effective in this environment and it requires leaders to rely on a number of different styles and to take context into account. Moral leadership is a style that recognizes the importance of values and attitudes in decision-making. This style of leadership requires administrators to become reflective practitioners using their values and attitudes to govern their decision-making.  According to Sergiovanni (1992) when administrators are acting as moral leaders they are compelled to do the right thing not just what is right.
This style of leadership is particularly challenging for principals in the current educational context. Governments, Ministries of Education and School Districts have become dictatorial about how educational policies and practices will be implemented. In spite of these changes, administrators coming from a moral leadership perspective will keep the big picture in mind while relying on their values and ethics to modify decisions to do what is best for children and schools.
Begley states (1999) “it is not enough for school leaders to merely emulate the values of other principals currently viewed as experts. Leaders of future schools must become reflective practitioners.” School Leaders must be aware of the personal values that they bring to a decision and the competing values of those around them. Principals who are moral leaders must take into account the relational norms operating within their building.  For example, a teacher who disagrees with standardized testing at all grade levels and appears to be undermining the decision confronts a Principal. The Principal respects the position of the teacher and recognizes that the teacher is feeling undervalued and unappreciated. Instead of becoming confrontational with the teacher, the Principal looks for ways to make him a part of the decision making process. The Principal and teacher are then in a position to openly discuss their points of view and arrive at a compromise. “In essence, the compromise was more important to maintaining good adult relationships than to deciding the educational soundness of the principal’s proposal.” (Bogotch & Miron, 1998) This example demonstrates the importance of relational norms and is one of the strengths of moral leadership.
Sergiovanni (1992) talks about moral leadership as being the process of having the head, heart and mind working together to make good decisions. The head is the systems piece made up of the rules, the regulations and the theories of practice. The heart is what the leader believes, values and is committed to. “If the head and the heart are separated from the hand, then the leader’s actions, decisions, and behaviours cannot be understood.” (Sergiovanni 1992)
In contrast, “greater knowledge of the values of others and their central role in decisions may be used in manipulative ways. There is a literature which addresses the darker side of charismatic leadership, for example, a form of leadership directed to the values of followers.” (Begley, 1999) An example of this is the Ontario “Common Sense Revolution”. The current government presented the “Common Sense Revolution” as morally the right thing to do. They pointed to government overspending and the increasing debt as morally indefensible. They talked about borrowing against the future of the province’s youth and maintained that the only morally responsible decision was to make cuts to government programs like education and health care. Many members of the public bought their arguments without giving consideration to the consequences. Moral leadership, if used improperly can be manipulative and destructive within a school setting. However, there are many components of moral leadership that are important to effective school management. School leaders need to be reflective practitioners in touch with the values and attitudes that they bring to the role. Through moral leadership they can create a “climate for risk taking, student centered learning, open communications, new relational norms, and aesthetics.” (Bogotch & Miron, 1998)