07 April 2016

MEREKONSTRUKSI KARAKTER GURU

Dewasa ini topik pendidikan karakter sering diperbincangkan oleh para pegiat pendidikan, mulai dari ruang kuliah sampai seminar ilmiah. Pendidikan karakter yang dibahas umumnya mengarah kepada tuntutan karakter yang harus dimiliki oleh peserta didik. Bagaimana dengan karakter guru? Nyaris kajian tentang karakter guru tidak tersentuh, jika membahas tentang pendidikan karakter.
 
Urgensi Karakter Guru
Jika gurunya baik, pasti peserta didiknya baik. Namun jika gurunya tidak baik, maka peserta didiknya “tidak mau” baik. Hal ini bukan berarti peserta didiknya tidak baik, tetapi “tidak mau” bersikap baik, karena melihat gurunya tidak baik juga. Guru adalah “artis” bagi peserta didiknya. Jika ingin peserta didik berkarakter, gurunya dahulu yang harus berkarakter. Di sinilah urgensi karakter guru, untuk dapat memengaruhi, menggerakkan, dan mengajak peserta didik agar terus menjadi pribadi yang baik dan selalu berusaha untuk terus menjadi lebih baik, dalam aspek apa pun.
Karakter merupakan ketertentuan sesuatu, who are you? Walaupun hujan, panas, atau dingin, dia tetap “dia”! Bertahan menjadi sesuatu yang berkarakter itu sulit. Guru, “bertahan” menjadi guru itu sulit, guru merupakan profesi yang paling berat di dunia! Kalau sudah jadi guru, berarti “tujuan utama” bukan uang, melainkan ialah mendidik, pendidikan, dan berbagi “ilmu pengetahuan”. Sehingga sebelum menjadi guru, seseorang harus menata hati untuk itu.

Bagaimana menjadi Guru yang Berkarakter?
Kalau sudah yakin menjadi guru, mau mendidik, berbagi ilmu pengetahuan, maka guru harus ikhlas membimbing peserta didiknya. Sebuah pedoman dalam merekonstruksi karakter guru, yang merujuk pada Al Quran, merupakan sebuah upaya yang nyata. Al Quran surat Al Baqarah ayat 31 merupakan prototipe karakter guru. Al Baqarah ayat 31 artinya: Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para Malaikat lalu berfirman: Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu memang benar orang-orang yang benar!
Tuhan yang mengajari Adam dan keturunannya, dengan demikian manusia tidak berkedudukan “mengajari” manusia lain. Guru hanya “memberitahu”, “menerangkan”, “menjelaskan”, “memberi cakrawala” kepada peserta didiknya, sehingga dapat membedakan: salah ya salah, benar ya benar. Guru berfungsi sebagai “malaikat”. Malaikat tidak mencari uang, namun uang yang mencari “malaikat”. Konsep tersebut merupakan upaya penyadaran, bahwa sebenarnya, manusia tidak dapat “mengajar” kepada manusia lain. Tuhan-lah yang mengajari manusia, yang membentuk manusia. Guru hanya sebagai “perantara”, pewaris ilmu dan diwariskan lagi kepada manusia lainnya. Ilmu itu ada dimana-mana dan milik siapa saja. Asal manusia mau berpikir dan mau berkontemplasi, ia akan mendapatkan ilmu, untuk mencapai cahaya. Ilmu adalah cahaya. Guru adalah cahaya kehidupan.
Guru jangan mengkapitalisasi sebisa-bisanya dalam pembelajaran agar mendapatkan uang banyak. Tetapi diperjuangkan (oleh guru, persatuan guru, perguruan tinggi, dan aktivis) secara nasional bahwa gaji guru harus diutamakan oleh APBN (negara). Guru merupakan profesi yang mulia, mulia dunia dan akhirat. Guru harus “berani miskin”. Mulai sekarang seseorang jika ingin menjadi guru, harus menghitung, menata niat, dan menata hati, tujuan jadi guru apa? Guru dituntut dapat memainkan “peran” yang tepat dalam masyarakat, sebagai layaknya guru (hal ideal, das sollen). Dengan demikian menjadi guru tidak hanya bergelar sarjana saja, melainkan guru yang dapat digugu petuahnya, ditiru perbuatannya. Sehingga “semua orang bisa menjadi guru”. Guru juga merupakan “artis” bagi masyarakat.
Guru harus membuka cakrawala kepada siswanya, sehingga tidak mudah memvonis sesuatu. Guru harus memahami terlebih dahulu dan kaya wawasan. Guru harus menjadi teladan, kaya cakrawala, dan kaya bahasa, agar peserta didik dapat berinteraksi dengan manusia lain secara santun. Guru akan tetap menjadi guru yang disegani, dirindu, bermartabat, jika guru tidak “menjelekkan”, “menghina” orang lain tanpa patrap (harus memerhatikan aturan akademik). Guru menciptakan “guru baru” yang lebih baik dari dirinya sendiri. Kebahagiaan guru adalah jika siswanya jauh lebih pandai, lebih pintar, lebih kritis, lebih sukses, lebih dalam hal positif, dari diri guru itu sendiri.
Guru tidak boleh “meragukan” kemampuan peserta didiknya, karena jika guru meragukan kemampuan peserta didiknya, guru tersebut sebenarnya secara batiniah “meragukan kemampuannya sendiri” dalam mendidik. Ke mana saja guru saat mendidik, sehingga peserta didik dikatakan “tidak mampu? Gurunya sendiri saja meragukan kemampuan peserta didiknya, apalagi orang lain? Guru harus bertanya kepada dalam hatinya: apa yang salah dalam diri saya, sehingga peserta didik saya kurang mampu? Jangan sampai karena alasan kontrol mutu, peserta didik yang dikatakan “tidak mampu”, lalu diseleksi keluar dan “dibuang” dari kelas! Guru yang hebat adalah menguatkan hati. Jika ingin melihat guru, lihatlah peserta didiknya!

Doa untuk Guru
Terima kasih Bapak dan Ibu guru kami. Karena engkaulah, kami dapat membaca, tahu luasnya dunia! Ya Tuhan, beliau berlomba untuk-Mu. Ya Tuhan, beliau berlomba untuk menjadi pewaris kekasih-Mu Muhammad SAW. Maka Engkau akan memudahkan hidup guru kami, Engkau akan memberi solusi kepada masalah guru kami, Engkau akan membikin hati guru kami tenteram, rumah tangga guru kami teduh setiap hari, dan kalau ada apa-apa Engkau melindunginya. Amin.