21 April 2010

METODE PENELITIAN KUALITATIF

  1. Pendahuluan

Setiap kegiatan penelitian sejak awal sudah harus ditentukan dengan jelas pendekatan/desain penelitian apa yang akan diterapkan, hal ini dimaksudkan agar penelitian tersebut dapat benar-benar mempunyai landasan kokoh dilihat dari sudut metodologi penelitian, disamping pemahaman hasil penelitian yang akan lebih proporsional apabila pembaca mengetahui pendekatan yang diterapkan.

Obyek dan masalah penelitian memang mempengaruhi pertimbangan-pertimbangan mengenai pendekatan, desain ataupun metode penelitian yang akan diterapkan. Tidak semua obyek dan masalah penelitian bisa didekati dengan pendekatan tunggal, sehingga diperlukan pemahaman pendekatan lain yang berbeda agar begitu obyek dan masalah yang akan diteliti tidak pas atau kurang sempurna dengan satu pendekatan maka pendekatan lain dapat digunakan, atau bahkan mungkin menggabungkannya.

Secara umum pendekatan penelitian atau sering juga disebut paradigma penelitian yang cukup dominan adalah paradigma penelitian kuantitatif dan penelitian kualitatif. Dari segi peristilahan para akhli nampak menggunakan istilah atau penamaan yang berbeda-beda meskipun mengacu pada hal yang sama, untuk itu guna menghindari kekaburan dalam memahami kedua pendekatan ini, berikut akan dikemukakan penamaan yang dipakai para akhli dalam penyebutan kedua istilah tersebut seperti terlihat dalam Tabel 1 berikut ini:

Tabel 1 Quantitative and Qualitative Research: Alternative Labels

Quantitative

Qualitative

Authors

Rasionallistic

Naturalistic

Guba &Lincoln (1982)

Inquiry from the Outside

Inquiry from the inside

Evered & Louis (1981)

functionalist

Interpretative

Burrel & Morgan (1979)

Positivist

Constructivist

Guba (1990)

Positivist

Naturalistic-ethnographic

Hoshmand (1989)



Sumber : Julia Brannen (1992:58)

Sementara itu Noeng Muhadjir (1994:12) mengemukakan beberapa nama yang dipergunakan para ahli tentang metodologi penelitian kualitatif yaitu: grounded research, ethnometodologi, paradigma naturalistik, interaksi simbolik, semiotik, heuristik, hermeneutik, atau holistik. Perbedaan tersebut dimungkinkan karena perbedaan titik tekan dalam melihat permasalahan serta latar brlakang disiplin ilmunya, istilah grounded research lebih berkembang dilingkungan sosiologi dengan tokohnya Strauss dan Glaser (untuk di Indonesia istilah ini diperkenalkan/dipopulerkan oleh Stuart A. Schleigel dari Universitas California yang pernah menjadi tenaga ahli pada Pusat Latihan Penelitian Ilmu-ilmu soaial Banda Aceh pada tahun 1970-an), ethnometodologi lebih berkembang di lingkungan antropologi dan ditunjang antara lain oleh Bogdan , interaksi simbolik lebih berpengaruh di pantai barat Amerika Serikat dikembangkan oleh Blumer, Paradigma naturalistik dikembangkan antara lain oleh Guba yang pada awalnya memperoleh pendidikan dalam fisika, matematika dan penelitian kuantitatif.

Secara lebih rinci Patton (1990 : 88) mengemukakan-penamaan- macam-macam penelitian kualitatif (Qualitative inquiry) berdasarkan tradisi teoritisnya yang diuraikan dalam bentuk tabel sebagai berikut:

Tabel 1 Variety In Qualitative Inquiry: Theoritical Traditions

No

Perspektif

Akar Ilmu

Pertanyaan Utama

1

Ethnography

Anthropology

Apa kebudayaan masyarakat ini ?

2

Phenomenology

Philosophy

Apa struktur dan esensi pengalaman atas gejala-gejala ini bagi masyarakat tersebut?

3

Heuristics

Psikologi Humanistik

Apa pengalaman saya mengenai gejala-gejala ini dan apa pengalaman essensial bagi yang lain yang juga mengalami gejala ini secara intens ?

4

Ethnomethodology

Sosiology

Bagaimana orang memahami kegiatan sehari-hari mereka sehingga berprilaku dengan cara yang dapat diterima secara sosial ?

5

Symbolic interactionism

Psikologi sosial

Apa simbul dan pemahaman umum yang telah muncul dan memberikan makna bagi interaksi sosial masyarakat ?

6

Echological Psychology

Psikologi lingkungan

Bagaimana orang-orang mencapai tujuan mereka melalui prilaku tertentu dalam lingkungan yang tertentu ?

7

System theory

interdisipliner

Bagaimana dan kenapa sistem ini berfungsi secara keseluruhan ?

8

Chaos theory: non -linier dynamics

Fisika teoritis : ilmu-ilmu alam

Apa yang mendasari keteraturan gejala-gejala yang tak teratur jika ada ?

9

Hermeneutics

Teologi, filsafat, kritik sastra

Apa kondisi-kondisi yang melahirkan prilaku atau produk yang dihasilkan yang memungkinkan penafsiran makna ?

10

Orientaional, qualitative

Ideologi, ekonomi politik

Bagimana perspektif ideologi seseorang berujud dalam suatu gejala



Dalam perkembangannya, belakangan ini nampaknya istilah penelitian kualitatif telah menjadi istilah yang dominan dan baku, meskipun mengacu pada istilah yang berbeda dengan pemberian karakteristik yang berbeda pula, namun bila dikaji lebih jauh semua itu lebih bersifat saling melengkapi/memperluas dalam suatu bingkai metodologi penelitian kualitatif.

Oleh karena itu dalam wacana metodologi penelitian, umumnya diakui terdapat dua paradigma utama dalam metodologi penelitian yakni paradigma positivist (penelitian kuantitatif) dan paradigma naturalistik (penelitian kualitatif), ada ahli yang memposisikannya secara diametral, namun ada juga yang mencoba menggabungkannya baik dalam makna integratif maupun bersifat komplementer, namun apapun kontroversi yang terjadi kedua jenis penelitian tersebut memiliki perbedaan-perbedaan baik dalam tataran filosofis/teoritis maupun dalam tataran praktis pelaksanaan penelitian, dan justru dengan perbedaan tersebut akan nampak kelebihan dan kekurangan masing-masing, sehingga seorang peneliti akan dapat lebih mudah memilih metode yang akan diterapkan apakah metode kuantitatif atau metode kualitatif dengan memperhatikan obyek penelitian/masalah yang akan diteliti serta mengacu pada tujuan penelitian yang telah ditetapkan.

Meskipun dalam tataran praktis perbedaan antara keduanya seperti nampak sederhana dan hanya bersifat teknis, namun secara esensial keduanya mempunyai landasan epistemologis/filosofis yang sangat berbeda. Penelitian kuantitatif merupakan pendekatan penelitian yang mewakili paham positivisme, sementara itu penelitian kualitatif merupakan pendekatan penelitian yang mewakili paham naturalistik (fenomenologis). Untuk lebih memahami landasan filosofis kedua paham tersebut, berikut ini akan diuraiakan secara ringkas kedua aliran faham tersebut.

1.1. Positivisme

Positivisme merupakan aliran filsafat yang dinisbahkan/ bersumber dari pemikiran Auguste Comte seorang folosof yang lahir di Montpellier Perancis pada tahun 1798, ia seorang yang sangat miskin, hidupnya banyak mengandalkan sumbangan dari murid dan teman-temannya antara lain dari folosof inggeris John Stuart Mill (juga seorang akhli ekonomi), ia meninggal pada tahun 1857. meskipun demikian pemikiran-pemikirannya cukup berpengaruh yang dituangkan dalam tulisan-tulisannya antara lain Cours de Philosophie Positive (Kursus filsafat positif) dan Systeme de Politique Positive (Sistem politik positif).

Salah satu buah pikirannya yang sangat penting dan berpengaruh adalah tentang tiga tahapan/tingkatan cara berpikir manusia dalam berhadapan dengan alam semesta yaitu : tingkatan Teologi, tingkatan Metafisik, dan tingkatan Positif.

Tingkatan Teologi (Etat Theologique). Pada tingkatan ini manusia belum bisa memahami hal-hal yang berkaitan dengan sebab akibat. Segala kejadian dialam semesta merupakan akibat dari suatu perbuatan Tuhan dan manusia hanya bersifat pasrah, dan yang dapat dilakukan adalah memohon pada Tuhan agar dijauhkan dari berbagai bencana. Tahapan ini terdiri dari tiga tahapan lagi yang berevolusi yakni dari tahap animisme, tahap politeisme, sampai dengan tahap monoteisme.

Tingkatan Metafisik (Etat Metaphisique). Pada dasarnya tingkatan ini merupakan suatu variasi dari cara berfikir teologis, dimana Tuhan atau Dewa-dewa diganti dengan kekuatan-kekuatan abstrak misalnya dengan istilah kekuatan alam. Dalam tahapan ini manusia mulai menemukan keberanian dan merasa bahwa kekuatan yang menimbulkan bencana dapat dicegah dengan memberikan berbagai sajian-sajian sebagai penolak bala/bencana.

Tingkatan Positif (Etat Positive). Pada tahapan ini manusia sudah menemukan pengetahuan yang cukup untuk menguasai alam. Jika pada tahapan pertama manusia selalu dihinggapi rasa khawatir berhadapan dengan alam semesta, pada tahap kedua manusia mencoba mempengaruhi kekuatan yang mengatur alam semesta, maka pada tahapan positif manusia lebih percaya diri, dengan ditemukannya hukum-hukum alam, dengan bekal itu manusia mampu menundukan/mengatur (pernyataan ini mengindikasikan adanya pemisahan antara subyek yang mengetahui dengan obyek yang diketahui) alam serta memanfaatkannya untuk kepentingan manusia, tahapan ini merupakan tahapan dimana manusia dalam hidupnya lebih mengandalkan pada ilmu pengetahuan.

Dengan memperhatikan tahapan-tahapan sepertti dikemukakan di atas nampak bahwa istilah positivisme mengacu pada tahapan ketiga (tahapan positif/pengetahuan positif) dari pemikiran Comte. Tahapan positif merupakan tahapan tertinggi, ini berarti dua tahapan sebelumnya merupakan tahapan yang rendah dan primitif, oleh karena itu filsafat Positivisme merupakan filsafat yang anti metafisik, hanya fakta-fakta saja yang dapat diterima. Segala sesuatu yang bukan fakta atau gejala (fenomin) tidak mempunyai arti, oleh karena itu yang penting dan punya arti hanya satu yaitu mengetahui (fakta/gejala) agar siap bertindak (savoir pour prevoir).

Manusia harus menyelidiki dan mengkaji berbagai gejala yang terjadi beserta hubungan-hubungannya diantara gejala-gejala tersebut agar dapat meramalkan apa yang akan terjadi, Comte menyebut hubungan-hubungan tersebut dengan konsep-konsep dan hukum-hukum yang bersifat positif dalam arti berguna untuk diketahui karena benar-benar nyata bukan bersifat spekulasi seperti dalam metafisika.

1.2. Fenomenologi

Edmund Husserl adalah filosof yang mengmbangkan metode Fenomenologi, dia lahir di Prostejov Cekoslowakia dan mengajar di berbagai Universitas besar Eropa, meninggal pada tahun 1938 di Freiburg. Hasil pemikirannya dapat diselamatkan dari kaum Nazi, dengan membawa seluruh buku dan tulisannya ke Universitas Leuven Belgia, sehingga kemudian dapat dikembangkan lebih lanjut oleh murid-muridnya. Diantara tulisan-tulisan pentangnya adalah : Logische Untersuchungen (Penyeliddikan-penyelidikan Logis) dan Ideen zu einer reinen Phanomenologie und Phanomenologischen Philosophie (gagasan-gagasan untuk suatu fenomenologi murni dan filsafat fenomenologi)

Dalam faham fenomenologi sebagaimana diungkapkan oleh Husserl, bahwa kita harus kembali kepada benda-benda itu sendiri (zu den sachen selbst), obyek-obyek harus diberikan kesempatan untuk berbicara melalui deskripsi fenomenologis guna mencari hakekat gejala-gejala (Wessenchau). Husserl berpendapat bahwa kesadaran bukan bagian dari kenyataan melainkan asal kenyataan, dia menolak bipolarisasi antara kesadaran dan alam, antara subyek dan obyek, kesadaran tidak menemukan obyek-obyek, tapi obyek-obyek diciptakan oleh kesadaran.

Kesadaran merupakan sesuatu yang bersifat intensionalitas (bertujuan), artinya kesadaran tidak dapat dibayangkan tanpa sesuatu yang disadari. Supaya kesadaran timbul perlu diandaikan tiga hal yaitu : ada subyek, ada obyek, dan subyek yang terbuka terhadap obyek-obyek. Kesadaran tidak bersifat pasif karena menyadari sesuatu berarti mengubah sesuatu, kesadaran merupakan suatu tindakan, terdapat interaksi antara tindakan kesadaran dan obyek kesadaran, namun yang ada hanyalah kesadaran sedang obyek kesadaran pada dasarnya diciptakan oleh kesadaran.

Berkaitan dengan hakekat obyek-obyek, Husserl berpandapat bahwa untuk menangkap hakekat obyek-obyek diperlukan tiga macam reduksi guna menyingkirkan semua hal yang mengganggu dalam mencapai wessenchau yaitu: Reduksi pertama. Menyingkirkan segala sesuatu yang subyektif, sikap kita harus obyektif, terbuka untuk gejala-gejala yang harus diajak bicara. Reduksi kedua. Menyingkirkan seluruh pengetahuan tentang obyek yang diperoleh dari sumber lain, dan semua teori dan hipotesis yang sudah ada Reduksi ketiga. Menyingkirkan seluruh tradisi pengetahuan. Segala sesuatu yang sudah dikatakan orang lain harus, untuk sementara, dilupakan, kalau reduksi-reduksi ini berhasil, maka gejala-gejala akan memperlihaaaatkan dirinya sendiri/dapat menjadi fenomin.

1.3. Perbandingan tataran Filosofis

Kedua aliran filsafat tersebut terus berkembang dengan dukungan prngikut-pengikutnya, yang dalam wacana metodologi penelitian telah mendorong lahirnya paradigma penelitian kuantitatif (positivisme) dan paradigma penelitian kualitatif (fenomenologi). Kedua paradigma pendekatan penelitian tersebut nampak sekali mempunyai asumsi/aksioma dasar filosofis dan paradigma berbeda yang menurut Lincoln dan Guba perbedaan tersebut terletak dalam asumsi/aksioma tentang kenyataan, hubungan pencari tahu dengan tahu (yang diketahui), generalisasi, kausalitas, dan masalah nilai, untuk lebih rincinya dapat dilihat dalam tabel berikut :

Dalam pandangan positivisme dari sudut ontologi meyakini bahwa realitas merupakan suatu yang tunggal dan dapat dipecah-pecah untuk dipelajari/dipahami secara bebas, obyek yang diteliti bisa dieliminasikan dari obyek-obyek lainnya, sedangkan dalam pandangan fenomenologi kenyataan itu merupakan suatu yang utuh, oleh karena itu obyek harus dilihat dalam suatu konteks natural tidak dalam bentuk yang terfragmentasi.

Dari sudut epistemologi, positivisme mensyaratkan adanya dualisme antara subyek peneliti dengan obyek yang ditelitinya, pemilahan ini dimaksudkan agar dapat diperoleh hasil yang obyektif, sementara itu dalam pandangan Fenomenologis subyek dan obyek tidak dapat dipisahkan dan aktif bersama dalam memahami berbagai gejala. Dari sudut aksiologi, positivisme mensyaratkan agar penelitian itu bebas nilai agar dicapai obyektivitas konsep-konsep dan hukum-hukum sehingga tingkat keberlakuannya bebas tempat dan waktu, sedangkan dalam pandangan fenomenologi penelitian itu terikat oleh nilai sehinggan hasil suatu penelitian harus dilihat sesuai konteks.

Untuk lebih jelasnya berikut ini akan dikemukakan perbandingan antara paradigma positivisme dan paradigma alamiah (fenomenologi) dengan mengacu pada pendapat Lincoln dan Guba, sebagaimana terlihat dalam tabel berikut :

Tabel 2 Perbedaan Aksioma Paradigma Positivisme dan Alamiah

No

Aksioma Tentang

Paradigma

Positivisme

Paradigma Alamiah/Kualitatif

1

Hakikat kenyatan

Kenyataan adalah tunggal, nyata dan fragmentaris

Kenyataan adalah ganda,dibentuk, dan me-rupakan keutuhan

2

Hubungan pencari tahu dan yang tahu

Pencari tahu dengan yang tahu adalah bebas, jadi ada dualisme

Pencari tahu dengan yang tahu aktif bersama, jadi tidak dapat dipisahkan

3

Kemungkinan Generalisasi

Generalisasi atas dasar bebas-waktu dan bebas-konteks (pernyataan nomotetik)

Hanya waktu dan konteks yang mengikat hipotesis kerja (pernyataan idiografis) yang dimungkinkan

4

Kemungkinan hubungan sebab akibat

Terdapat penyebab sebenarnya yang secara temporer terhadap, atau secara simultan terhadap akibatnya

Setiap keutuhan berada dalam keadaan mempe-ngaruhi secara bersama-sama sehingga sukar mem-bedakan mana sebab dan mana akibat

5

Peranan nilai

Inkuirinya bebas nilai

Inkuirinya terikat nilai

Sumber: Lexy J. Moleong (2000:3)

1.4. Perbandingan tataran Metodologis

Memahami landasan filosofis penelitian kualitatif dalam perbandingannya dengan penelitian kuantitatif merupakan hal yang penting sebagai dasar bagi pemahaman yang tepat terhadap penelitian kualitatif, namun demikian bagi seorang peneliti penguasaan dalam tingkatan operasional lebih diperlukan lagi agar dalam pelaksanaan penelitian tidak terjadi kerancuan metodologis, dan penelitian benar-benar dilaksanakan dalam suatu bingkai pendekatan yang jelas dan dapat dipertanggungjawabkan.

Dalam tataran metodologis perbedaan landasan filosofis terrefleksikan dalam perbedaan metode penelitian, dimana positivisme dimanifestasikan dalam metode penelitian kuantitatif sedangkan fenomenologi dimanifestasikan dalam metode penelitian kualitatif. Kedua pendekatan ini sering diposisikan secara diametral, meskipun belakangan ini terdapat upaya untuk menggabungkannya baik dalam bentuk paralelisasi maupun kombinasi, adapun perbedaan antara metode kuantitatif dengan kualitatif adalah sebagai berikut:

Tabel 3 Perbedaan Metode Kuantitatif dengan Kualitatif

No

Metode Kuantitatif

Metode Kualitatif

1

Menggunakan hiopotesis yang ditentukan sejak awal penelitian

Hipotesis dikembangkan sejalan dengan penelitian/saat penelitian

2

Definisi yang jelas dinyatakan sejak awal

Definisi sesuai konteks atau saat penelitian berlangsung

3

Reduksi data menjadi angka-angka

Deskripsi naratif/kata-kata, ungkapan atau pernyataan

4

Lebih memperhatikan reliabilitas skor yang diperoleh melalui instrumen penelitian

Lebih suka menganggap cukup dengan reliabilitas penyimpulan

5

Penilaian validitas menggunakan berbagai prosedur dengan mengandalkan hitungan statistik

Penilaian validitas melalui pengecekan silang atas sumber informasi

6

Mengunakan deskripsi prosedur yang jelas (terinci)

Menggunakan deskripsi prosedur secara naratif

7

sampling random

Sampling purposive

8

Desain/kontrol statistik atas variabel eksternal

Menggunakan analisis logis dalam mengontrol variabel ekstern

9

Menggunakan desain khusus untuk mengontrol bias prosedur

Mengandalkan peneliti dalam mengontrol bias

10

Menyimpulkan hasil menggunakan statistik

Menyimpulkan hasil secara naratif/kata-kata

11

Memecah gejala-gejala menjadi bagian-bagian untuk dianalisis

Gejala-gejala yang terjadi dilihat dalam perspektif keseluruhan

12

Memanipulasi aspek, situasi atau kondisi dalam mempelajari gejala yang kompleks

Tidak merusak gejala-gejala yang terjadi secara alamiah /membiarkan keadaan aslinya

(diadaptasi dari Jack R. Fraenkel & Norman E. Wallen. 1993 : 380)

ANALISA JALUR

IKHTISAR

Analisa Jalur adalah suatu perluasan dari model regresi, yang digunakan untuk menguji cocok matriks korelasi terhadap dua atau lebih yang model-model kausal yang dibandingkan oleh peneliti. Model ini pada umumnya dilukiskan dalam suatu gambar lingkaran dan arah panah (circle-and-arrow) dimana panah tunggal menandai sebagai penyebab. Suatu regresi membuat setiap variabel dalam model sebagai variable dependent yang tergantung pada variable lain. Regresi tertimbang diramalkan oleh model yang dibandingkan dengan matriks korelasi yang diamati untuk variabel, dan suatu penghitungan goodness-of-fit statistic. Dua atau lebih model terbaik dipilih oleh peneliti untuk kemajuan teori.

Analisa Jalur memerlukan asumsi umum dari regresi. Analisa Jalur sensitive untuk spesifikasi model sebab kegagalan untuk memasukkan variable yang relevan atau variabel tambahan yang sering mempengaruhi koefisien jalur, yang digunakan untuk menilai relatif pentingnya jalur kausal langsung atau pun tidak langsung jalur terhadap variabel dependent. Sehingga penafsiran harus dikerjakan dalam konteks model alternatif pembanding, setelah menaksir kecocokan modl-model dibahas pada bagian Model Persamaan Struktural. Ketika variabel didalam model adalah variabel tersembunyi yang terukur oleh berbagai indikator pengamatan, analisa jalur memasukkan model penyamaan struktural, dalam perlakukan yang terpisah. Kita mengikuti istilah yang konvensional dengan mana analisa jalur yang mengacu pada variabel indicator tunggal.

Konsep Utama dan Terminologi

Perkiraan jalur mungkin dihitung oleh regresi OLS atau oleh estimasi kemungkinan maksimum MLE, tergantung pada paket komputer. Two-Stage Least Squares (2SLS) adalah prosedur penilaian jalur lainnya yang dirancang untuk memperluas model regresi OLS ke situasi dimana nonrecursivas diperkenalkan sebab peneliti harus mengasumsikan bahwa kovarians dari beberapa gangguan bukanlah sama dengan nol.

  • Model Jalur. Suatu model jalur adalah suatu diagram yang berhubungan secara independen, adanya perantara, dan variabel dependent. Panah tunggal menandai adanya yang menjadi penyebab antara variabel exogenous atau perantara dengan variable-variabel dependent. Panah juga menghubungkan bentuk kesalahan dengan masing-masing variabel endogenous. Panah ganda menandakan adanya korelasi antara pasangan dari variabel exogenous. Kadang-Kadang lebar panah di dalam model jalur digambarkan dalam suatu lebar yang sebanding terhadap magnitude absolut dari koefisien jalur yang sesuai.

  • Jalur Penyebab ke variabel yang ditentukan meliputi (1) jalur yang langsung dari panah menuju ke variabel, dan (2) jalur yang dari variabel endogenous berhubungan dengan variable lain yang mempunyai panah menuju ke arah variabel yang ditentukan. Cotohnya adalah:

Model ini menghubungkan variabel exogenous A, B, dan C, serta variabel endogenous D dan E. Jalur penyebab relevan ke variabel D adalah jalur dari A ke D, dari B ke D, dan jalur yang mencerminkan penyebab umum anteceding -- Jalur dari B ke A ke D, dari C ke A ke D, dan dari C ke B ke D. jalur yang menyertakan dua korelasi (C ke B ke A ke D) tidaklah relevan. Demikian juga, jalur mundur (E ke B ke D, atau E ke B ke A ke D) mencerminkan efek umum dan tidaklah relevan.

  • Variabel exogenous dan endogin. Variabel exogenous dalam suatu model jalur adalah yang tidak mempunyai penyebab eksplisit (tidak ada panah ke arahnya, selain dari pengukuran bentuk kesalahan). Jika variabel exogenous dihubungkan, hal ini adalah ditandai oleh suatu panah berkepala dua yang menghubungkannya. Variabel endogenous, kemudian, adalah variable yang mempunyai arah panah. Variabel endogenous meliputi variable kausal campuran dan variable-variabel dependent. Variabel endogenous campuran mempunyai baik arah panah datang maupun keluar didalam diagram jalur. Sedangkan variable-variabel dependent hanya mempunyai panah datang.

  • Koefisien Jalur/Bobot Jalur. Suatu koefisien jalur adalah suatu koefisien regresi terstandardisasi (beta) yang menunjukkan efek langsung dari suatu variabel independent dalam suatu variabel dependent di dalam model jalur. Dengan begitu ketika suatu model mempunyai dua atau lebih variabel kausal, koefisien jalur merupakan koefisien parsial regresi yang mengukur tingkat efek dari satu variabel pada varibel yang lain dalam pengontrolan model jalur untuk variabel utama lainnya, penggunaan data yang terstandardisasi atau matriks korelasi sebagai input. Ingatlah bahwa untuk regresi bivariat, bobot beta (koefisien b untuk data terstandardisasi) adalah sama koefisien korelasi, maka untuk kasus suatu jalur model dengan suatu variabel sebagai dependent dari variabel exogenous tunggal (dan bentuk sisa kesalahan), koefisien jalur di dalam kasus khusus ini adalah suatu koefisien korelasi nol (zero-order).

Model ini secara spesifik seperti persamaan jalur berikut:

Persamaan 1. satisfaction = b11 age + b12 autonomy + b13 income + e1

Persamaan 2. income = b21 age+ b22 autonomy + e2

Persamaan 3. autonomy = b31 age + e3

where the b's are the regression coefficients and their subscripts are the equation number and variable number (thus b21 is the coefficient in Equation 2 for variable 1, which is age.

dimana b adalah koefisien regresi dan tulisan di bawah garis mereka adalah nomor persamaan untuk variabel (dengan begitu b21 adalah koefisien di pada persamaan 2 untuk variabel 1, yaitu age).

Catatan : Pada setiap persamaan, hanya (dan semua) variabel endogin utama langsung yang digunakan sebagai dependent yang dipertimbangkan. Koefisien jalur, yang merupakan beta di dalam persamaan ini, adalah koefisien regresi parsial terstandardisasi dari tiap variabel endogin pada variable utama. Beta untuk jalur manapun (koefisien jalur) adalah pengontrol dari bobot parsial untuk variable utama pada variabel dependent yang ada.

Dahulu disebut dengan koefisien p, sekarang koefisien jalur disebut dengan bobot beta, berdasarkan kegunaannya didalam model regresi multiple. Bryman dan Cramer menghitung koefisien jalur = koefisien regresi terstandardisasi = bobot beta, menjadi:

Variabel Exogenous Berkorelasi. Jika variabel exogenous berkorelasi, hal itu adalah umum untuk menggambarkan anak panah berkepala dua panah yang yang bersesuaian antara variable dengan koefisien korelasi nya .

Bentuk Gangguan. Bentuk kesalahan sisa, juga disebut bentuk gangguan, mencerminkan perbedaan yang tidak dapat diterangkan (efek dari variabel yang tidak terukur) dan kesalahan pengukuran. Catatan bahwa dependent pada setiap persamaan adalah suatu variabel endogin (dalam hal ini, semua variabel kecuali age, yang merupakan exogenous). Catat juga bahwa variable independent pada setiap persamaan adalah variabel dengan anak panah ke arah variable dependent.

Ukuran akibat dari bentuk gangguan untuk variabel endogin, yang mencerminkan variabel tidak terukur, adalah ( 1- R2), dan perbedaan nya adalah ( 1- R2) kali keragaman dari variabel endogin itu, dimana R2 berdasar pada regresi di mana variable dependent dan variabel itu dengan panah ke variable tersebut adalah independent. Koefisien jalur merupakan penghitungan dari SQRT(1- R2).

Korelasi antara dua bentuk gangguan adalah korelasi parsial dari keduanya variabel endogin, penggunaan sebagai kontrol semua penyebab umumnya (semua variabel dengan panah dikedua-duanya). Estimasi kovarians adalah kovarians parsial : korelasi yang parsial dikali produk simpangan baku dari kedua variabel endogin.

  • Aturan Jalur Multiplikatif : Nilai dari segala jalur campuran adalah produk dari koefisien jalurnya. Bayangkan suatu jalur campuran sederhana yang memiliki tiga variable dimana education menyebabkan income menyebabkan conservatism. Hitung koefisien regresi dari income terhadap education adalah 1000 : untuk setiap tahun dari education, income naik $ 1,000. Hitung koefisien regresi conservatism terhadap income adalah 0.0002 : Untuk setiap meningkatnya pendapatan satu dolar, conservativism akan naik sebesar 0.0002 poin pada skala 5 point. Dengan begitu jika pendidikan 1 tahun kedepan, pendapatan meningkat $ 1,000, yang berarti conservatism meningkat 0.2 poin. Ini adalah sama halnya mengalikan koefisien : 1000 * 0.0002 = 0.2. Prinsip yang sama akan berlaku jika ada lebih mata rantai didalam jalur tersebut. Jika koefisien jalur terstandardisasi (bobot beta) digunakan, aturan perkalian jalur akan masih berlaku, tetapi penafsirannya dalam bentuk terstandardisasi. Dengan kata lain, produk yang menyangkut koefisien sepanjang jalur mencerminkan bobot jalur tersebut.

  • Efek Dekomposisi. Koefisien jalur mungkin saja digunakan untuk menguraikan korelasi didalam model ke dalam efek langsung atau pun tidak langsung, bersesuaian, dan tentu saja, jalur langsung atau pun tidak langsung yang dicerminkan pada panah didalam model. Hal ini berdasarkan pada aturan bahwa didalam suatu sistem linier, total efek penyebab dari variabel i terhadap variabel j adalah penjumlahan dari nilai-nilai dari semua jalur dari i ke j. Mempertimbangkan "satisfaction" sebagai variable dependent didalam model di atas, dan mempertimbangkan "age" sebagai ariabel independent, efek tidak langsung dihitung dengan mengalikan koefisien jalur untuk masing-masing jalur dari age ke satisfaction:

age -> income -> satisfaction adalah 0.57 * 0.47= 0. 26

age -> autonomy -> satisfaction adalah 0.28 * 0.58= 0. 16

age -> autonomy -> income -> satisfaction adalah 0.28 * 0.22 * 0.47= . 03

total efek tidak langsung = 0.45

Itu adalah, total efek tidak langsung age terhadap satisfaction adalah 0.45. Dalam perbandingan, efek yang langsung hanya -0.08.

Total efek age terhadap satisfaction adalah (-.008 +0.45) = 0.37.

Dekomposisi efek adalah setara dengan mempengaruhi analisa efek dalam regresi dengan satu variabel dependent. Analisa Jalur dapat juga menangani dekomposisi efek untuk kasus dua variabel dependent atau lebih.

ASUMSI

* Linear: hubungan antar variabel adalah linier

* Aditif: tidak ada efek interaksi

10 April 2010

Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Numbered Head Together

  1. Penerapan Metode Mengajar

Metode adalah suatu cara kerja yang sistematika dan umum, yang berfungsi sebagai alat untuk mencapai tujuan. Metode yang baik, makin efektif pula pencapaiannya, tetapi tidak ada satupun metode yang dilakukan paling baik atau dapat dipergunakan bagi semua macam usaha pencapaian tujuan (Rohani, 1991:111). Metode mengajar guru yang kurang baik akan mempengaruhi belajar siswa yang tidak baik pula. Metode mengajar yang kurang baik itu dapat terjadi karena kurang persiapan dan kurang menguasai bahan pelajaran sehingga guru tersebut dalam menyajikannya tidak jelas atau sikap guru atau siswa terhadap mata pelajaran itu sendiri tidak baik, sehingga siswa kurang senang terhadap mata pelajaran atau gurunya. Akibatnya siswa malas untuk belajar (Slamento, 2003:65).

  1. Proses Belajar Mengajar

Keseluruhan proses pendidikan di sekolah kegiatan belajar merupakan kegiatan yang paling pokok. Berarti bahwa berhasil tidaknya pencapaian tujuan pendidikan banyak bergantung kepada bagaimana proses belajar yang dialami oleh siswa sebagai anak didik (Slamento, 2003:1). Jika terjadi proses belajar, maka bersama itu pula terjadi proses mengajar, bila ada yang belajar, maka sudah barang tentu ada yang mengajarinya, dan begitu sebaliknya.

Sudah terjadi suatu proses atau saling berinteraksi, antara yang mengajar dengan yang belajar, sebenarnya berada pada suatu kondisi yang unik, sebab secara sengaja atau tidak sengaja, masing-masing pihak berada dalam suasana belajar. Hasil dari proses belajar mengajar (PBM) disebut hasil pengajaran atau hasil belajar, dan agar memperoleh hasil yang optimal, maka proses belajar mengajar harus dilakukan dengan sadar dan sengaja serta terorganisasi secara baik (Sadirman, 2001:19).

  1. Model Pembelajaran

Arends (1997) menyatakan bahwa model pembelajaran adalah suatu perencanaan atau suatu pola yang digunakan yang digunakan sebagai pedoman dalam merencanakan pembelajaran di kelas atau pembelajaran dalam tutorial. Model pembelajaran mengacu pada pendekatan pembelajaran yang akan digunakan, termasuk didalamnya tujuan-tujuan pengajaran, tahap-tahap dalam kegiatan pembelajaran, lingkungan pembelajaran, dan pengelolaan kelas (Ibrahim et al, 2000:2).

Model pembelajaran adalah kerangka konseptual yang melukiskan prosedur yang sistematis dalam mengoganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar tertentu, dan berfungsi sebagai pedoman bagi para perancang pembelajaran dan para pengajar dalam merencanakan aktivitas belajar mengajar (Trianto, 2007:7). Merujuk pada definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran memberikan kerangka konseptual yang menggambarkan prosedur sistematik dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar.

Fungsi model pembelajaran adalah sebagai pedoman bagi perancang pengajaran dan para guru dalam melaksanakan pembelajaran. Pemilihan model pembelajaran sangat dipengaruhi oleh sifat materi yang akan diajarkan, tujuan yang akan dicapai dalam pembelajaran tersebut, serta tingkat kemampuan peserta didik. Beberapa macam model pembelajaran yang sering digunakan guru dalam mengajar yaitu: pengajaran langsung (direct instruction), pembelajaran kooperatif, pengajaran berdasarkan masalah (problem base instruction), dan diskusi.

  1. Pembelajaran Kooperatif

Pembelajaran kooperatif (Cooperative Learning) merupakan model pembelajaran yang mengutamakan kerjasama siswa untuk mencapai tujuan pembelajaran. Pembelajaran kooperatif dicirikan oleh struktur tugas, tujuan, dan penghargaan kooperatif. Siswa yang belajar dalam kondisi pembelajaran kooperatif didorong dan atau dikehendaki untuk bekerjasama pada suatu tugas bersama, dan mereka harus mengkoordinasikan usahanya untuk menyelesaikan tugasnya.

Penerapan pembelajaran kooperatif, dua atau lebih individu saling tergantung satu sama lain untuk mencapai suatu penghargaan bersama (Ibrahim dkk, 2000:5-6). Ini berarti ada penggeseran peran guru yang sentral menuju peran guru yang mengelola aktivitas belajar siswa melalui kerja sama kelompok di kelas (Ibrahim et all, 2000:6-7). Ciri-ciri pembelajaran kooperatif yaitu:

  1. Siswa bekerja dalam kelompok secara kooperatif untuk menuntaskan materi belajarnya,

  2. Kelompok dibentuk dari siswa yang memiliki kemampuan tinggi, sedang, dan rendah,

  3. Bilamana mungkin, anggota kelompok berasal dari ras budaya, suku, jenis kelamin berbeda-beda,

  4. Penghargaan lebih berorientasi ketimbang individu,

Pembelajaran kooperatif dikembangkan untuk mencapai setidaknya tiga tujuan pembelajaran penting (Ibrahim et all, 2000:7-9), yaitu:

  1. Hasil belajar akademik, pembelajaran kooperatif bertujuan untuk meningkatkan kinerja siswa dalam tugas-tugas akademik,

  2. Penerimaan terhadap perbedaan individu,

  3. Model kooperatif bertujuan agar siswa dapat menerima teman-temannya yang mempunyai berbagai macam perbedaan latar belakang,

  4. Pengembangan keterampilan sosial,

  5. Tujuan penting ketiga dari pembelajaran kooperatif ialah untuk mengajarkan kepada siswa keterampilan kerja sama dan kolaborasi.

Model pembelajaran kooperatif terdapat enam langkah utama yang dimulai dengan langkah guru menyampaikan tujuan pembelajaran dan memotivasi siswa untuk belajar hingga diakhiri dengan langkah memberi penghargaan terhadap usaha-usaha kelompok maupun individu. Langkah-langkah pembelajaran kooperatif dari awal hingga akhir disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Langkah-Langkah Model Pembelajaran Kooperatif

Fase

Aktivitas/Kegitan Guru

Fase 1

Menyampaikan tujuan dan memotivasi siswa

Guru menyampaikan semua tujuan pelajaran yang ingin dicapai pada pelajaran tersebut dan memotivasi siswa belajar.

Fase 2

Menyajikan informasi

Guru menyajikan informasi kepada siswa dengan jalan demonstrasi atau lewat bahan bacaan

Fase 3

Mengorganisasi siswa ke dalam kelompok-kelompok belajar

Guru menjelaskan kepada siswa bagaimana caranya membentuk kelompok belajar dan membantu setiap kelompok agar melakukan transisi secara efisien

Fase 4

Membimbing kelompok bekerja dan belajar

Guru membimbing kelompok-kelompok belajar pada saat mereka mengerjakan tugas mereka

Fase 5

Evaluasi

Guru mengevaluasi hasil belajar siswa tentang materi yang telah dipelajari atau masing-masing kelompok mempresentasikan hasil kerjanya

Fase 6

Memberikan penghargaan

Guru mencari cara-cara untuk menghargai baik upaya maupun hasil belajar individu maupun kelompok

Sumber: Ibrahim et all (2000: 10)

  1. Model Pembelajaran Kooperfatif tipe Numbered Head Together

Numbered Head Together (NHT) merupakan suatu pendekatan yang dikembangkan oleh Kagen (1993) untuk melibatkan banyak siswa dalam memperoleh materi yang tercakup dalam suatu pelajaran dan mengecek pemahaman mereka terhadap isi pelajaran (Ibrahim at all, 2000:28). Struktur yang dikembangkan oleh Kagen ini menghendaki siswa belajar saling membantu dalam kelompok kecil dan lebih dicirikan oleh penghargaan kooperatif dari pada penghargaan individual. Ada struktur yang memiliki tujuan umum untuk meningkatkan penguasaan isi akademik dan ada pula struktur yang tujuannnya untuk mengajarkan keterampilan sosial (Ibrahim at all, 2000:25).

Numbered Head Together dikembangkan oleh Spencer Kagen dengan melibatkan para siswa dalam mereview bahan yang tercakup dalam suatu pelajaran dan mengecek atau memeriksa pemahaman mereka mengenai isi pelajaran tersebut. Sebagai pengganti pertanyaan langsung kepada seluruh kelas, guru menggunakan struktur empat langkah sebagai berikut:

  1. Langkah 1, penomoran (numbering): guru membagi para siswa menjadi beberapa kelompok atau tim yang beranggotakan 3 hingga 5 orang dan memberi mereka nomor, sehingga tiap siswa dalam tim tersebut memiliki nomor yang berbeda,

  2. Langkah 2, pengajuan pertanyaan: guru mengajukan suatu pertanyaan kepada siswa. Pertanyaan dapat bervariasi dari yang bersifat spesifik hingga yang bersifat umum,

  3. Langkah 3, berpikir bersama (Head Together): para siswa berpikir bersama untuk menggambarkan dan meyakinkan bahwa tiap orang mengetahui jawaban tersebut,

  4. Langkah 4, pemberian jawaban: guru menyebutkan suatu nomor dan para siswa dari tiap kelompok dengan nomor yang sama mengangkat tangan dan menyiapkan jawaban untuk seluruh kelas (Ibrahim et all, 2000: 28).

  1. Manfaat Pembejaran Kooperatif

Pembelajaran kooperatif sebagai sebuah pola atau rancangan yang disebut strategi pembelajaran, maka model pembelajaran kooperatif dalam pelaksanaannya dikelas memiliki manfaat sebagaimana dijelaskan oleh Ibrahim at all. (2000:18-19), yakni:

  1. Meningkatkan pencurahan waktu pada tugas,

  2. Rasa harga diri menjadi lebih tinggi,

  3. Angka putus sekolah menjuadi rendah,

  4. Penerimaan terhadap perbedaan individu menjadi lebih besar,

  5. Memperbaiki kehadiran,

  6. Perilaku mengganggu menjadi lebih kecil,

  7. Konflik antar pribadi berkurang,

  8. Sikap apatis berkurang,

  9. Pemahaman yang lebih mendalam,

  10. Motivasi lebih besar,

  11. Hasil belajar lebih tinggi, dan

  12. Meningkatkan kebaikan budi, kepekaan, dan toleransi.

  1. Pemberian Nilai dalam Pembelajaran Kooperatif

Pembelajaran kooperatif guru harus berhati-hati dalam cara menilai yang ditetapkan diluar sistem penilaian. Konsisten dengan konsep struktur penghargaan kooperatif penting bagi guru untuk menghargai hasil kelompok. Tugas penilaian ganda ini dapat menyulitkan nilai individu untuk suatu nilai kelompok (Ibrahim et all, 2000:58).

  1. Hasil Belajar

Taksonomi Bloom membagi hasil belajar atas tiga ranah, yaitu kognitif, afektif dan psikomotor. Ranah kognitif berhubungan dengan berpikir, ranah afektif berhubungan dengan kemampuan perasaan, sikap dan kepribadian, sedangkan ranah psikomotor berhubungan dengan persoalan keterampilan motorik yang dikendalikan oleh kematangan psikologis (Hasan et all, 1991:23-27).

  1. Ranah Kognitif

Ranah kognitif berhubungan dengan kemampuan berpikir dikenal ada 5 jenjang ranah kognitif. Berdasarkan urutan dari yang terendah ke yang tertinggi, kelima jenjang tersebut, adalah:

  1. Pengetahuan

Pengetahuan adalah kemampuan manusia dalam mengingat semua jenis informasi yang diterimanya. Informasi tersebut dapat saja berbentuk data, istilah, definisi, fakta, teori, pendapat, prosedur kerja, tata tertib, hukum, generalisasi, klasifikasi, kriteria, metodologi, abstraksi, dan penjelasan.

  1. Pemahaman

Pemahaman adalah jenjang kognitif kedua. Tingkat pemahaman ada tiga kemampuan pokok yang merupakan indikator pemahaman terhadap informasi yang diterima. Ketiga kemampuan tersebut dianggap sebagai subkategori pemahaman. Ketiganya adalah kemampuan, menerjemahkan, menafsirkan, dan ekstrapolasi berdasarkan urutan tingkatannya.

  1. Aplikasi

Aplikasi adalah kemampuan menggunakan sesuatu dalam situasi tertentu yang bukan merupakan pengulangan. Analisis adalah kemampuan untuk melakukan pengolahan informasi lebih lanjut. Pengetahuan analisis yang tertinggi adalah kemampuan menemukan prinsip atau dasar organisasi dengan informasi yang dikaji.

  1. Sintesis

Kemampuan sintesis secara umum dapat dikatakan bahwa kemampuan ini baru terjadi apabila kita menghadapi informasi yang berbeda-beda.

  1. Evaluasi

Evaluasi adalah kemampuan tertinggi dalam ranah kognitif, untuk sampai kepada kemampuan evaluasi semua kemampuan yang ada di bawahnya harus dikuasai. Orang tak mungkin melakukan evaluasi apabila tidak memiliki pengetahuan dan pemahaman tentang apa yang akan dievaluasi serta bagaimana melakukan evaluasi, tentang prosedur yang harus dilakukan, melihat keunggulan dan kelemahan suatu program berdasarkan informasi yang ada, juga melihat orisinalitas sesuatu yang akan dievaluasi.

  1. Analisis

Analisis adalah kemampuan untuk melakukan pengolahan informasimlebih lanjut. Pegetahuan analisis yang tertinggi merupakan kemampuan melakukan prinsip atau dasar organisasi dengan informasi yang dikaji.

  1. Ranah Afektif

Ranah afektif berhubungan dengan minat, perhatian, sikap, emosi, penghargaan, proses, internalisasi, dan pembentukan karakteristik diri. Krathwohl, dkk. (1964) membagi ranah afektif dalam 5 jenjang. Kelima jenjang tersebut, adalah:

  1. Penerimaan (receiving)

Jenjang ini adalah pembuka alat indera seseorang terhadap dunia luar. Ada tiga proses untuk jenjang penerimaan ini, pertama adanya kesadaran tentang apa yang sedang terjadi kita sadar adanya sejawat yang datang, orang berbicara, acara televisi, dan sebagainya. Kedua adalah kesediaan menerima apa yang terjadi tersebut sebagai stimulus. Ketiga adalah kemauan kita untuk mengontrol atau memilih stimulus mana yang akan kita perhatikan lebih lanjut.

  1. Penanggapan (responding)

Penanggapan adalah jenjang kedua dan lebih tinggi dari jenjang penerimaan. Penanggapan ini yang ditekankan adalah keinginan yang bersangkutan dan bukan sesuatu yang dirasakan sebagai suatu kewajiban yang harus dilakukan.

  1. Penghargaan (valuing)

Penghargaan adalah jenjang ketiga. Jenjang ini aktivitas efektif lebih tinggi dari jenjang pemberian penanggapan. Kalau dalam jenjang penanggapan orang yang melakukannya baru menunjukkan rasa senang dan gembira dapat memberikan penanggapan, dalam jenjang penghargaan ini sudah sampai pada rasa keterikatan atau memiliki terhadap suatu stimulus. Jenjang penghargaan terbagi atas tiga kategori pula yaitu penerimaan suatu nilai, kecenderungan (preferensi) akan suatu nilai, dan keterikatan (commitment) akan suatu nilai tertentu.

  1. Pengorganisasian (organization)

Pengorganisasian adalah jenjang keempat. Pengorganisasian terjadi apabila seseorang berada dalam situasi dimana terdapat lebih dari satu nilai atau sikap. Kesamaan antara pengorganisasian dengan sintetis dalam kognitif. Keduanya berhubungan dengan berbagai jenis dan kelompok stimulus. Perbedaannya, dalam sintetis hasil dari proses yang diperhatikan dan dianggap sebagai hasil kemampuan intelektua, afektif hal yang diutamakan adalah proses dan kecenderungan yang diperhatikan dalam berhubungan dengan stimulus.

  1. Penjatidirian (characterization)

Penjatidirian adalah jenjang tertinggi afektif. Jenjang ini nilai dan sikap sudah menjadi milik seseorang. Jadi, nilai dan sikap bukan saja diterima, disenangi, dihargai, digunakan dalam kehidupan, serta diorganisasikan dengan nilai dan sikap lainnya, tetapi sudah mendarah daging pada dirinya.

  1. Ranah Psikomotor

Ranah psikomotor berhubungan dengan kemampuan gerak atau manipulasi yang bukan disebabkan oleh kematangan biologis. Pengembangan ranah ini justru kemudian dilanjutkan oleh orang yang bukan masuk dalam kelompok kerja Bloom. Pertama mengembangkan ranah ini adalah Simpson (1966) memberikan tujuh jenjang psikomotor yang bersifat hierarkis yaitu persepsi, kesiapan, penanggapan terpimpin, mekanistik, penanggapan yang bersifat kompleks, adaptasi, dan originalitas.

Harrow (1972) mengembangkan pula ranah psikomotor ini dengan enam jenjang. Jenjang yang juga telah dikemukakan oleh Simpson. Keenam jenjang Simpson ialah gerakan refleks, gerakan badan yang mendasar, kemampuan persepsi, kemampuan fisik, keterampilan gerakan dan komunikasi yang beraturan (nondiscursive). Kelemahan utama dari klasifikasi Harrow, terutama mengenai jenjang pertama dan kedua. Kedua jenjang ini jelas menunjukkan adanya pengaruh kematangan biologis dan fisik sebagai faktor utama yang menyebabkan perubahan.

  1. Evaluasi Hasil Belajar

Evaluasi artinya penilaian terhadap tingkat keberhasilan siswa mencapai tujuan yang telah ditetapkan dalam sebuah program. Padanan kata evaluasi adalah asssment yang menurut Tardif et al (1989), berarti proses penilaian untuk menggambarkan prestasi yang dicapai seorang siswa sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan. Selain kata evaluasi dan asssment ada pula kata lain yang searti dan relatif lebih masyur dalam dunia pendidikan kita yakni tes, ujian, dan ulangan (Syah, 2008:197).

Roestiyah dalam Djamarah dan Zain (2006:20) berpendapat bahwa evaluasi adalah kegiatan mengumpilkan seluas-seluasnya, sedalam-dalamnya yang berhubungan dengan kapabilitas siswa yang dapat mendorong dan mengembangkan kemampuan belajar. Undang-Undang Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003 Pasal 58 ayat 1 menyatakan evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar pesrta didik secara berkesinambungan. Dengan demikian, maka evaluasi belajar harus dilakukan guru secara kontinyu, bukan hanya pada musim-musim ulangan terjadal atau ujian semata. Syah (2008:198-199) mengemukakan bahwa tujuan evaluasi adalah sebagai berikut:

  1. Untuk mengetahui tingkat kemajuan yang telah dicapai oleh siswa dalam suatu kurun waktu proses belajar tertentu,

  2. Untuk mengetahui tingkat usaha yang dilakukan sisa dalam belajar,

  3. Untuk mengetahui tingkat usaha yang dilakukan siswa dalam belajar,

  4. Untuk mengetahui hingga sejauh mana siswa telah mendayagunakan kapasitas kognitifnya untuk keperluan belajar,

  5. Untuk mengetahui tingkat daya guna dan hasil guna metode yang digunakan guru dalam proses belajar mengajar (PBM).

Evaluasi hasil belajar berfungsi melaksanakan ketentuan konstitusional yang termaktub dalam Undang-Undang Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003 Pasal 57 ayat 1 menyatakan evaluasi pendidikan dilakukan dalam rangka pengendalian mutu pendidikan secara nasional sebagai bentuk akuntabilitas penyelenggara pendidikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Syah (2008:200) menyebutkan fungsi evaluasi ada lima, yaitu:

  1. Fungsi administratif untuk penyusunan daftar nilai dan pengisian buku rapor,

  2. Fungsi promosi untuk menetapkan kenaikan atau kelulusan,

  3. Fungsi diagnostik untuk mengidentifikasi kesulitan belajar siswa dan merencanakan remedial teaching (pengajaran perbaikan),

  4. Sebagai sumber data bimbingan dan penyuluhan (BP) yang dapat memasok data siswa tertentu yang memerlukan bimbingan dan penyuluhan (BP),

  5. Sebagai bahan pertimbangan pengembangan pada masa yang akan datang yang meliputi pengembangan kurikulum, metode, dan alat-alat untuk proses belajar mengajar.

Evaluasi hasil belajar merupakan kegiatan berencana dan berkesinambungan, oleh karena itu ragamnya pun banyak mulai dari sederhana sampai yang paling kompleks (Syah, 2008:200).

  1. Pre-test dan Post- test

Kegiatan pre-test dilakukan guru secara rutin pada setiap akan memulai penyajian materi baru. Tujuannya adalah untuk mengidentifikasi taraf pengetahuan siswa mengenai bahan yang akan disajikan (Syah, 2008:201). Fungsi pre-test (Mulyasa, 2004:100) adalah sebagai berikut:

        1. Menyiapkan siswa dalam proses pembelajaran, karena dengan pre-test maka pikiran mereka akan terfokus pada soal-soal yang harus dikerjakan,

        2. Mengetahui tingkat kemajuan siswa sehubungan dengan proses pembelajaran yang dilakukan. Hal ini dapat dilakukan dengan membandingkan hasil pre-test dan post-test,

        3. Mengetahui kemampuan awal yang telah dimiliki siswa mengenai materi yang akan dijadikan topik dalam proses pembelajaran,

        4. Mengetahui dari mana seharusnya proses pembelajaran dimulai, tujuan-tujuan mana yang telah dikuasai siswa dan tujuan-tujuan mana yang perlu mendapat penekanan dan perhatian khusus.

Post-test adalah kegiatan evaluasi yang dilakukan guru pada setiap akhir penyajian materi. Tujuan adalah untuk mengetahui taraf penguasaan siswa atas materi yang telah diajarkan (Syah, 2008:201-202). Fungsinya adalah untuk mengetahui taraf penguasaan siswa atas materi yang telah diajarkan, jika hasil post-test dibandingkan dengan hasil pre-test, akan dapat diketahui seberapa jauh pengaruh dari pembelajaran yang telah diberikan dan dapat pula diketahui bagian-bagian mana dari penyajian materi yang belum dipahami siswa (Ibrahim dan Syaodih, 1996:131)

  1. Evaluasi Prasyarat

Evaluasi jenis ini sangat mirip dengan pre-test. Evaluasi yang bertujuan untuk mengidentifikasi penguasaan sisa atas materi lama yang mendasari materi baru yang akan diajarkan (Syah, 2008:202).

  1. Evaluasi Diagnostik

Evaluasi ini dilakukan setelah penyajian sebuah satuan pelajaran dengan tujuan mengidentifikasi bagian-bagian tertentu yang belum dikuasai siswa. Instrumen evaluasi jenis ini dititik beratkan pada bahasan tertentu yang dipandang telah membuat siswa mendapatkan kesulitan (Syah, 2008:202).

  1. Evaluasi Formatif

Syah (2008:202) mengemukakan bahwa evaluasi jenis ini dapat dipandang sebagai “ulangan” yang dilakukan pada setiap penyajian satuan pelajaran atau modul. Tujuannya adalah memperoleh umpan balik yang mirip dengan evaluasi diagnostik, yakni untuk mendiagnosisi (mengetahui penyakit/kesulitan) kesulitan belajar siswa. Hasil diagnosis tersebut digunakan sebagai bahan pertimbangan rekayasa pengajaran remedial (perbaikan).

  1. Evaluasi Sumatif

Ragam penilaian sumatif dapat dianggap sebagai “ulangan umum” yang dilakukan untuk mengukur kinerja akademik atau prestasi belajar siswa pada akhir periode pelaksanaan program pengajaran (Syah, 2008:203). Ragam alat evaluasi terdiri atas dua macam bentuk (Syah, 2008:203-209) yaitu:

    1. Bentuk Objektif

Bentuk ini merupakan tes yang dapat diberi skor nilai secara lugas (seadanya) menurut pedoman yang ditentukan sebelumnya. Evaluasi bentuk obyektif ini ada lima macam tes, yaitu:

    • Tes benar salah, yaitu tes yang paling sederhana. Soal-soal dalam tes ini berbentuk pernyataan yang pilihan jawabannya hanya dua macam, yakni “B” jika pernyataan tersebut benar dan “S” jika pernyataan tersebut salah,

    • Tes pilihan berganda, yaitu item-item dalam tes pilihan berganda (multiple choice) biasanya berupa pertanyaan atau pernyataan yang dapat dijawab dengan memilih salah satu dari empat atau lima alternatif jawaban yang mengiringi tiap soal,

    • Tes pencocokan (menjodohkan), disusun dalam dalam daftar yang masing-masing memuat kata, istilah, atau kalimat yang diletakkan bersebelahan. Tugas siswa dalam menjawab item-item soal ialah mencari pasangan yang selaras antara kalimat atau istilah yang ada pada daftar,

    • Tes isian, biasanya berbentuk cerita atau karangan pendek, yang pada bagian-bagian yang memuat istilah atau nama tertentu dikosongkan. Siswa berpikir untuk menemukan kata-kata yang relevan dengan karangan tersebut,

    • Tes pelengkapan (melengkapi), carapenyelesaiannya sama dengan tes isian. Perbedaannya terletak pada kalimat-kalimat yang digunakan sebagai instrumen.

    1. Bentuk Subjektif

Alat evaluasi yang berbentuk subyektif adalah alat pengukur prestasi belajar yang jawabannya tidak dinilai dengan skor atau angka yang pasti. Hal ini disebabkan banyaknya ragam gaya jawaban yang diberikan oleh siswa.instrumen evaluasi mengambil bentuk essay examination, yaitu soal ujian yang mengharuskan siswa menjaab setiap pertanyaan dengan cara menguraikan atau dalam bentuk karangan bebas.

Keunggulan tes esai adalah sebagai berikut:

    • tes esai tidak hanya mampu mengungkapkan materi hasil jaaban siswa tetapi juga cara atau jalan yang ditempuh untuk memperoleh jawaban tersebut,

    • tes esai mendorong siswaberpikir kreatif, kritis, bebas, mandiri, tetapi tanpa melupakan tanggung jawab.

  1. Penilaian Hasil Belajar

Penilaian belajar siswa bermakna bagi semua komponen pengajaran, terutama bagi siswa, guru dan sekolah (Arikunto, 1987:5-7).

  1. Makna bagi siswa

Diadakannya evaluasi, maka siswa dapat mengetahui sejauh mana ia telah berhasil mengikuti pelajaran yang diberikan oleh guru. Hasil yang diperoleh siswa dari pekerjaan menilai ada 2 kemungkinan, yaitu:

    1. Memuaskan

Siswa memperoleh hasil yang memuaskan, dan hal itu menyenangkan, tentu kepuasan itu ingin diperolehnya pada kesempatan lain waktu sehingga siswa akan mempunyai motivasi yang cukup besar untuk belajar lebih giat, agar lain kali mendapat hasil yang lebih baik lagi. Keadaan sebaliknya dapat terjadi, yakni siswa sudah merasa puas dengan hasil yang diperolehnya dan usahanya kurang gigih untuk lain kali.

    1. Tidak memuaskan

Siswa tidak puas dengan hasil yang diperolehnya ia akan berusaha agar lain kali keadaan itu tidak terulang lagi, yaitu belajar dengan lebih giat lagi. Namun demikian, keadaan sebaliknya dapat terjadi, ada beberapa siswa yang lemah kemauannya, akan menjadi putus asa dengan hasil yang kurang memuaskan yang telah diterimanya.

  1. Makna bagi guru

Hasil penilaian yang diperoleh, guru akan dapat mengetahui siswa-siswa mana yang sudah berhasil melanjutkan pelajarannya, karena siswa tersebut telah berhasil menguasai bahan, maupun mengetahui siswa-siswa yang belum berhasil menguasai bahan. Petunjuk ini guru dapat lebih memusatkan perhatiannya kepada siswa yang belum berhasil. Apabila guru tahu akan sebab-sebabnya, memberikan perhatian yang memusat dan memberikan perlakuan yang lebih teliti sehingga keberhasilan selanjutnya dapat diharapkan. Guru akan mengetahui apakah materi yang diajarkan sudah tepat bagi siswa sehingga untuk memberikan pengajaran di waktu yang akan datang tidak perlu diadakan perubahan.

Guru akan mengetahui apakah metode yang digunakan sudah tepat atau belum, jika sebagian besar dari siswa memperoleh angka jelek pada penilaian yang diadakan, mungkin hal ini disebabkan oleh pendekatan atau metode yang kurang tepat. Apabila demikian halnya, maka guru harus mawas diri dan mencoba mencari metode lain dalam mengajar.

  1. Makna bagi sekolah

Guru-guru mengadakan penilaian dan diketahui bagaimana hasil belajar siswa-siswanya, dapat diketahui pula apakah kondisi belajar yang diciptakan oleh sekolah sesuai dengan apa yang diharapkan atau belum. Karena hasil belajar mencerminkan kualitas suatu sekolah. Informasi dari guru tentang dapat tidaknya kurikulum untuk sekolah itu dapat merupakan bahan pertimbangan bagi perencanaan sekolah untuk masa-masa yang akan datang. Informasi hasil penilaian yang diperoleh dari tahun ke tahun, dapat digunakan sebagai pedoman bagi sekolah, apakah yang dilakukan oleh sekolah sudah memenuhi standar atau belum. Pemenuhan standar akan terlihat dari bagusnya nilai-nilai yang diperoleh siswa.

DAFTAR RUJUKAN

Afandi, I. 2006. KTSP dan Penguatan Otonomi Sekolah, (Online), (http//www.pikiran rakyat.com, diakses 28 Agustus 2006).

Arikunto, S. 1997. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta.

Arikunto, S. 2006. Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.

Dimyati, dan Mudjiono, 2006. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta.

Hasan. 1991. Evaluasi Hasil Belajar. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Ibrahim et all. 2000. Pembelajaran Kooperatif. Surabaya: Surabaya University Press.

Ibrahim, R., dan Syaodih, N. 1996. Perencanaan Pengajaran. Jakarta: Rineka Cipta.

Margono, S. 2005. Metodologi Penelitian Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.

Rohani, et all, 1991. Pengelolaan Pengajaran. Jakarta: Rineka Cipta.

Sardiman. 2001. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Slamento. 2003. Belajar dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya. Jakarta: Rineka Cipta.

Sodijono, A. 2005. Pengantar Statiska Pendidikan. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Sugiyono. 2007. Statistika untuk Penelitian. Bandung: CV Alfabeta.

Syah, M. 2008. Psikolologi Belajar. Jakarta: Raja Grafido Persada.

Trianto. 2007. Model-Model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivistik Konsep, Landasan Teoritik Praktis dan Implementasinya. Jakarta : Prestasi Pustaka.