08 Februari 2010

Resume Pengembangan Program dan Evaluasi Supervisi Pengajaran

SUPERVISION AND PROGRAM EVALUATION

Evaluasi terhadap supervisi pengajaran perlu dilakukan agar diketahui supervisi pengajaran yang dilaksanakan telah mencapai target yang ditetapkan sebelumnya. Evaluasi menekankan pada aspek 1) apa yang salah dengan sekolah? 2) mengapa nilai tes menurun? 3) mengapa sekolah tidak efektif dalam mengendalikan kenakalan siswa? 4) pertanggungjawaban sekolah kepada donatur atas uang yang dibelanjakan, 5) informasi yang lebih banyak tentang program dan strategi pengajaran yang efektif,dan 6) mengembangkan instrumen evaluasi dan prosedur yang efektif untuk menghasilkan informasi yang bermanfaat.

Adapun pihak yang dapat melakukan evaluasi adalah 1) para profesional pendidikan, 2) personil internal badan pemerintah, 3) ahli evaluasi dari perguruan tinggi, 4) guru dan administrator, 5) evaluator dari internal atau pun eksternal sekolah, dan 6) supervisor. Kriteria untuk mengevaluasi kualitas kegiatan evaluasi adalah 1) kualitas 1 holisme, evaluasi harus menghindari distorsi realita yang sedang dievaluasi, 2) kualitas 2 bantuan yang mengarah pada perbaikan program, 3) kualitas 3, penerimaan data lunak (software) dan keras (hardware), 4) kualitas 4 kerentanan evaluasi, terdapat diskusi saling bertukar pendapat (hearing) dan diskusi antara evaluator dan yang dievaluasi, dan 5) kualitas 5 visi ke depan, tujuan evaluasi perbaikan sehingga evaluator harus mampu membuka pandangan atas konteks yang berorientasi masa depan.

Bidang evaluasi di sini berkaitan dengan 1) evaluasi terhadap pelaksanaan supervisi pengajaran, 2) evaluasi terhadap guru yang disupervisi, dan 3) evaluasi terhadap prestasi belajar siswa setelah gurunya mendapatkan supervisi. Secara umum evaluasi terhadap pelaksanaan supervisi pengajaran berhubungan dengan pelaksanaan teori supervisi yang mencakup perencanaan supervisi, pendekatan dan pandangan yang digunakan, pelaksanaan supervisi terhadap kemampuan mengajar guru, dan pelaksanaan supervisi terhadap kepuasan dan disiplin kerja guru.

Evaluasi terhadap guru yang disupervisi dimaksudkan untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan antara kemampuan, keterampilan, kepuasan, dan disiplin kerja guru sebelum dan sesudah mendapatkan supervisi. Perilaku belajar siswa juga dipengaruhi oleh perilaku mengajar guru, sedangkan perilaku mengajar guru dipengaruhi perilaku supervisor. Disimpulkan supervisi pengajaran memberikan kontribusi bagi kemampuan mengajar guru dan hasil belajar siswa.

THEORY OF PRACTICE IN THE SUPERVISION

AND EVALUATION OF TEACHING

Praktik supervisi esensialnya pemberian bantuan dan meningkatkan kualitas pengajaran guru agar dapat memenuhi atau melampaui standar. Mengajar dan supervisi merupakan karakter yang tidak terpisahkan dalam ilmu pendidikan. Hal ini memiliki konsekuensi dilakukannya kegiatan pengukuran, penilaian, dan evaluasi secara komprehensif terhadap guru, dengan pandangan bahwa tujuan penting evaluasi adalah bukan membuktikan tetapi untuk memperbaiki.

Supervisi dan evaluasi pengajaran memiliki makna bahwa pengajaran yang dilakukan guru memiliki kontribusi terhadap pemahaman outcome (siswa), format pengembangan kurikulum, dan merupakan rangkaian keseluruhan dari pengajaran. Kelas sebagai sistem sosial, terdapat komponen yang bersifat independen, berdasarkan aspek kajian teori sosial, struktur, dan teknologi. Komponen sistem tersebut saling berinteraksi yang memiliki multimakna dan domain. Bidang penyelidikan (domain of inquiry) dalam supervisi dan evaluasi pengajaran diilustrasikan pada Gambar 1.

Intended meanings

Observed events

Common meanings

Interobjective meanings

Educational platform

Stated intents

Intents observed

Culturally interpreted intents

Subjectively interpreted intents

Social structure

Relationships desired

Actual relationships

Culturally interpreted relationships

Subjectively interpreted relationships

Educational activity

Developed plans

Activity observed

Culturally interpreted activity

Subjectively interpreted activity

What ought to be? (espoused theories)

What is? (brute data)

What do “is” and “ought” mean? (sense data)

Gambar 1 Bidang Penyelidikan dalam Supervisi dan Evaluasi Pengajaran

Penerapan cara penyelidikan (modes of inquiry) memiliki tujuan, yakni 1) discovery, adanya masalah, dianalisa, dan identifikasi model pengajaran, sehingga dapat menemukan hal baru, 2) verification, metode penelitian mendukung untuk mencari derajat kebenaran kegiatan, 3) explanation, memberikan penjelasan masalah dan mengenai hubungan kausal antarvariabel, 4) interpretation, dilakukan untuk mencari makna dalam setiap kegiatan pengajaran, dan 5) evaluation, secara normatif mencari nilai dan pernyataan tentang kegiatan, keefektifan, dan kontribusi dalam penyelesaian masalah.

SYSTEMS FOR OPERATIONALIZING SUPERVISION PROGRAMS

Proses pelaksanaan kerja supervisi di sekolah menyangkut kegiatan pengembangan kurikulum, pengembangan bahan ajar, pembinaan staf sekolah, pelayanan pendidikan, dan evaluasi. Sistem pelaksanaan supervisi sekolah memiliki dimensi, yakni input, proses, dan output (produk). Input mencakup tujuan, klien, staf, waktu, dan bahan. Proses mencakup kegiatan pelatihan, penjadwalan ulang, dan bahan. Produk mencakup meningkat frekuensi praktik dalam menetapkan sasaran hasil, meningkat kualitas praktik, dan meningkat jenis praktik.

Secara sederhana sistem diilustrasikan seperti pada Gambar 2.

Gambar 2 Ilustrasi Sistem

Strategi secara umum dapat di adaptasi dari berbagai jenis pengarahan masalah sekolah dalam menyesuaikan dengan perubahan yang terjadi. Terdapat tiga macam strategi yang dapat diterapkan, yakni 1) memproses informasi dan melakukan umpan balik, 2) sosialisasi inovasi, dan 3) pengembangan organisasi. Prinsip dari pengembangan organisasi yang diterpakan di sekolah adalah 1) unit perubahan adalah sebuah organisasi yang mempunyai dasar dan bertanggung jawab untuk organisasi, unit pengembangan organisasi menyusun struktur dan tujuan organisasi, 2) puncak manajemen secara aktif terlibat dalam pembuatan keputusan sebagai upaya melakukan perubahan kinerja guru dan staf, 3) menggerakkan dan melibatkan seluruh personalia sekolah, dan 4) melakukan pelatihan agar personil dapat melakukan tugas dan tanggung jawabnya.

PROGRAM IMPLEMENTATION STRATEGIES

Strategi digunakan untuk meningkatkan kualitas pengajaran. Kemampuan untuk memikirkan dan merencanakan strategi dengan tujuan meningkatkan daya pikir secara praktik. Secara umum terdapat empat pendekatan strategi dalam program sekolah, yakni 1) individual change (perubahan individu), 2) techno-structure change (perubahan struktur dan teknologi), 3) survey feedback (survei dampak timbal baik), dan 4) organizational development (pengembangan organisasi).

Desain pelatihan dikembangkan, diuji, dan dipublikasikan sehingga dapat menjadi standar dalam kegiatan. Desain pelatihan memiliki potensi dalam meningkatkan pengajaran, sehingga desain program harus sesuai dengan tujuan, implementasi, dan sumber daya yang ada. Desain program yang dirancang guru bertujuan untuk: 1) menginformasikan perkembangan kegiatan pengajaran, 2) agar guru dapat nyaman melakukan tugas pengajaran, dan 3) meningkatkan keterampilan dalam menyusun rencana pembelajaran. Praktik yang ideal dalam strategi mengimplementasikan program, yakni 1) observing and analizing teaching (pengamatan dan analisa mengajar), 2) demonstration (demonstrasi), dan 3) classroom experiences (pengalaman di kelas).

Pengamatan dan analisa mengajar dilaksanakan dengan guru secara langsung mengajar dengan menggunakan media, diskusi kelompok, dan konseling klinis. Alur strategi yang dikembangkan adalah teach-observe-analize-discuss-interpretate (mengajar, mengamati, menganalisa, berdiskusi, dan interpretasi). Demonstrasi mengajar guru di dalam kelas merupakan konsekuensi dari tujuan pelayanan pengajaran. Demonstrasi memiliki makna bahwa perencanaan pengajaran bertujuan fokus pada aktivitas pengembangan secara maksimal bagi siswa. Pengalaman di kelas berhubungan dengan perilaku siswa dan guru dalam kegiatan pengajaran. Perilaku ini dijadikan dasar dalam menggunakan pendekatan metode pengajaran bagi guru.

Strategi pengembangan organisasi (organizational development) menekankan pada pengembangan posisi, peran, dan tanggung jawab setiap personil yang ada di sekolah. Pengembangan organisasi terfokus pada perilaku, nilai, dan praktik yang dapat diterima oleh semua anggota organisasi. Quality control circle (kelompok kendali mutu) menggunakan pendekatan manajemen partisipatif dengan memperhatikan motivasi personil, analisa data, dan penyelesaian masalah (problem solving).

EVALUATION OF INSTRUCTIONAL PROGRAMS

Evaluasi program pengajaran adalah serangkaian proses daripada satu tindakan dan pemberian estimasi terhadap pelaksanaan pengajaran untuk menentukan keefektifan dan kemajuan dalam rangka mencapai tujuan pengajaran yang telah ditetapkan. Tujuh proses evaluasi yakni 1) specifying criteria (menetapkan kriteria), 2) instrumentation (instrumentasi), 3) data gathering (pengumpulan data), 4) analysis data (analisis data), 5) interpretation of findings (interpretasi temuan), 6) valuing (penilaian), dan 7) decision making (pengambilan keputusan).

Model evaluasi yang populer dan banyak dipakai sebagai strategi atau pedoman kerja dalam pelaksanaan evaluasi program pengajaran adalah Model CIPP (Context, Input, Prosess, and Product) yang dikemukakan oleh Stufflebeam. Konsep tersebut ditawarkan Stufflebeam dengan pandangan bahwa tujuan penting evaluasi adalah bukan membuktikan tetapi untuk memperbaiki.

Dimensi CIPP tersebut memiliki makna: 1) context, situasi atau latar belakang yang mempengaruhi jenis-jenis tujuan dan strategi pendidikan yang akan dikembangkan dalam sistem yang bersangkutan, situasi ini merupakan faktor eksternal, seperti misalnya masalah pendidikan yang dirasakan, keadaan ekonomi negara, dan pandangan hidup masyarakat, 2) input, sarana dan rencana strategi yang ditetapkan untuk mencapai tujuan pendidikan, komponen input meliputi siswa, guru, desain, saran, dan fasilitas, 3) process, pelaksanaan strategi dan penggunaan sarana di dalam kegiatan nyata di lapangan, komponen proses meliputi kegiatan pengajaran, pembimbingan, dan pelatihan, dan 4) product, hasil yang dicapai baik selama maupun pada akhir pengembangan sistem pendidikan yang bersangkutan, komponen produk meliputi pengetahuan, kemampuan, dan sikap (siswa dan lulusan).

Memperoleh gambaran yang komprehensif tentang efektivitas program pengajaran, terdapat tiga komponen yang perlu dijadikan obyek evaluasi, yaitu 1) desain program pengajaran, 2) implementasi program pengajaran, dan 3) hasil program pengajaran yang dicapai. Mengevaluasi keberhasilan program pengajaran tidak cukup hanya dengan mengadakan penilaian terhadap hasil belajar siswa sebagai produk dari sebuah proses pengajaran. Kualitas suatu produk pengajaran tidak terlepas dari kualitas proses pengajaran itu sendiri. Evaluasi difokuskan pada proses perbaikan daripada pertanggungjawaban untuk produk akhir.

EVALUATION PROGRAM AND PERSONIL

Efektivitas supervisi dapat dicapai dengan menggunakan perencanaan prosedur evaluasi yang baik. Evaluasi program pendidikan sekolah dilakukan secara komprehensif yang memiliki kegiatan pengembangan kurikulum, pemilihan buku teks dan bahan pengajaran, dan pengukuran kemajuan belajar siswa. Evaluasi proses pengembangan kurikulum yang berbasis kompetensi menekankan pada pengembangan diri.

Evaluasi program kurikulum terfokus pada empat aspek, yakni 1) tujuan program, 2) pemilihan alternatif program yang dilaksanakan, 3) pemilihan alternatif perencanaan dalam mengimplementasikan program, dan 4) pemilihan program. Evaluasi terhadap program berkaitan dengan 1) evaluasi buku teks, 2) evaluasi kemajuan belajar siswa, dan 3) ujian kompetensi.

Evaluasi kinerja (performance) personil sekolah merupakan komponen dalam evaluasi supervisi. Evaluasi kinerja guru menekankan pada aspek pengelolaan pengajaran dan implementasi strategi pengajaran. Kriteria mengajar bagi guru yang unggul yakni 1) dinamis, energik, dan tegas, 2) kreatif bertanya, agar siswa dapat merespons, 3) memiliki keterampilan berkomunikasi, 4) sebagai contoh dalam berperilaku dan nilai sosial, dan 5) sebagai model pemikir rasional, pengambil keputusan, dan penyelesai masalah baik saat di dalam dan di luar kegiatan pengajaran.

Evaluasi kinerja supervisor dapat dilakukan dengan metode, yakni self evaluation (evaluasi diri sendiri) dan management by ojectives/MBO (manajemen berdasarkan sasaran). Komponen yang dipertanyakan dalam self evaluation adalah 1) penjadwalan kegiatan setiap minggu, 2) fleksibelitas, 3) sikap dari hasil perencanaan dalam membina guru, 4) pemeriksaan kegiatan, 5) sikap terhadap kritik, 6) dapat menempatkan posisi pada posisi orang lain, 7) usaha mempelajari riwayat permasalahan guru, 8) intensitas berkonsultasi dengan kolega, dan 9) tingkat komitmen dalam bekerja.

MBO yang baik memiliki karakteristik yaitu 1) jelas, ringkas, dan dapat dipahami, 2) berorientasi pada kinerja, 3) hasil dan outcomes dapat diukur, 4) adanya kemungkinan tantangan dan motivasi, dan 5) realistis dan dapat menghasilkan. Idealnya MBO diwacanakan bertahap dari tiap individu supervisor, didiskusikan, dan dijadikan keputusan (disetujui) sebagai budaya mutu. Disimpulkan evaluasi program dan personil bertujuan mengembangkan kinerja guru dan supervisor sebaya upaya peningkatan mutu pendidikan.

ORGANIZATIONAL ARRANGEMENTS

EMPLOYED IN SUPERVISORY PROGRAMS

Pengembangan supervisi pada hakikatnya berpusat untuk perbaikan pengajaran. Sistem desentralisasi memungkinkan supervisor dapat leluasa dan bertanggung jawab dalam perbaikan situasi pengajaran di sekolah. Supervisor berperan sebagai motivator, pemimpin yang bijaksana, dan dapat membantu peran kepala sekolah. Tipe organisasi supervisor merupakan sistem jaringan kerja sama supervisor dan asisten supervisor dengan guru bidang studi. Elemen tersebut saling pengaruh-memengaruhi satu sama lainnya, sehingga situasi pengajaran secara tidak langsung juga dipengaruhi.

Organisasi supervisor dikembangkan dengan memperhatikan para pejabat (gubernur), departemen pendidikan, departemen keuangan, masyarakat, kepala sekolah, dewan pendidikan, komite sekolah, guru, dan siswa. Sistem pelaksanaan supervisi memperhatikan aspek, yakni 1) kebijakan dari lembaga pengembang kurikulum, 2) layanan supervisi yang diberikan oleh supervisor, dan 3) menekankan pada pelatihan dan pertumbuhan staf sekolah. Pola hubungan (sirkulasi) antara staf, guru, kepala sekolah, supervisor, asisten supervisor, dan dewan sekolah digambarkan secara jelas.

Pengembang bidang studi memiliki tugas dalam pengembangan kurikulum sekolah, evaluasi bahan dan materi pengajaran, dan perkembangan jabatan, penelitian dan pengembangan sekolah. Bagian pelayanan sekolah memuliki tugas pemeliharaan sarana dan prasarana, pengadaan transportasi, kafetaria, dan pengembangan gedung baru. Bagian kesiswaan memiliki tugas melaksanakan konsensus siswa, pengontrol kehadiran dan ketidakhadiran siswa, pelayanan siswa berkebutuhan khusus, dan menyiapkan siswa memasuki dunia kerja.

Organisasi supervisor (kepengawasan) dirancang untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi sekolah khususnya dalam bidang pengajaran. Sekolah berupaya mengombinasikan supervisi, pelayanan supervisor, pengembang kurikulum. Pengembang kurikulum harus profesional, ahli kurikulum, terlatih, dilatih, berpengalaman, dan menyadari akan perlunya sumber daya dan bahan yang harus digunakan secara efektif dalam pelaksanaan pengajaran secara modern. Sekolah memiliki tanggung jawab mengembangkan kurikulumnya sendiri. Organisasi supervisor (kepengawasan) menekankan pada fungsi dalam membina dan membantu staf dan guru dalam menyelesaikan masalah.

HOW TO ORGANIZE AND IMPLEMENT

A SUPERVISORY PROGRAMS

Sejak penyelenggaraan supervisi, faktor situasi merupakan unsur yang memengaruhi program supervisi. Peran supervisor sebagai pengarah dalam pelaksanaan pengajaran. Formula agar program supervisi dapat dilaksanakan dengan sukses, perlu adanya perencanaan yang matang oleh supervisor. Formula dan menyampaikan formula tersebut kepada guru, dalam bentuk ringkasan, sehingga guru dapat membaca maksud program yang akan dilaksanakan.

Sebelum merencanakan program, supervisor melakukan pengkajian terhadap masalah pengajaran agar program akurat membantu guru, hal ini mencakup: 1) mengidentifikasi pekerjaan dan masalah, 2) mendengarkan dan menyambut terbuka saran aktivitas program, 3) mengkaji fakta dan perhatian terhadap guru, 4) melakukan dengan prinsip kooperatif, 5) kooperatif dengan senior, dan 6) menghadiri semua pertemuan (meetings) kelompok baru.

Supervisor dalam suatu waktu akan berkomunikasi dengan masyarakat. Masyarakat menanyakan kinerja, kebutuhan, dan kegiatan sekolah. Informasi dari supervisor tersebut dapat dijadikan acuan masyarakat yang memiliki keinginan membantu penyelenggaraan pendidikan sekolah. Program supervisor yang disusun memiliki landasan, yakni 1) pemahaman yang benar terhadap situasi sekolah, 2) pengetahuan tentang pengembangan dan memahami masalah tiap personalia sekolah, 3) penguasaan teks dan bahan pengajaran yang diperlukan sekolah, dan 4) dapat memperoleh pengetahuan pekerjaan yang baik dalam masyarakat, personalia, dan sumber daya lain dalam pengajaran.

Indikator yang signifikan dalam mengkaji mengenai kepemimpinan supervisor adalah 1) efektivitas kepemimpinan dalam membantu menyelesaikan masalah pengajaran guru, 2) memahami situasi/lingkungan kerja kelompok guru, 3) teknik komunikasi, 4) penerapan sikap dan nilai, dan 5) menampilkan faktor intelegensi. Supervisi bukan tanggung jawab mutlak pribadi supervisor, melainkan merupakan karya dan tanggung jawab bersama, sehingga implementasi program supervisi dilaksanakan dengan prinsip kooperatif. Langkah-langkah dalam implementasi program supervisi yaitu merumuskan tujuan, menentukan instrumen evaluasi, menyusun instrumen evaluasi, menggunakan instrumen, mengolah data hasil pengumpulan, menyimpulkan hasil evaluasi, dan terakhir adalah follow up.

EVALUATION FOR EFFECTIVENESS

Evaluasi adalah keterampilan bidang utama dalam supervisi sekolah. Secara umum supervisor terlibat dalam empat kegiatan, yakni: 1) programs, mengkaji kembali desain program sekolah mencakup pemenuhan program, konseptual dan struktur, dan sasaran perencanaan, 2) processes, mengkaji teknik operasional dengan memprediksi keefektifan dan efisiensi organisasi, 3) products, meringkas kinerja program sekolah ke dalam terminologi harapan dan kontribusi, dan 4) personnel, menganalisa kontribusi tiap orang dalam implementasi perencanaan program sekolah.

Adanya evaluasi program sekolah memberikan kontribusi bagi proses pengambilan keputusan. Penelitian merupakan dasar evaluasi yang memiliki kemampuan memvalidasi, terkait dengan prinsip dasar proses penemuan (discovery) dalam pendidikan. Perbedaan efektif dan inefektif pengajaran guru seperti pada Tabel 1.

Tabel 1 Karakter Perilaku Efektif dan Inefektif Guru

Guru Efektif

Guru Inefektif

  1. Perbaikan pengajaran

Lingkungan

Sedikit penyimpangan

Sedikit guru yang suka marah

Sedikit kecaman

Sedikit waktu yang terbuang dalam pengelolaan kelas

Banyak pujian, motivasi positif

Banyak penyimpangan

Banyak guru yang suka marah

Banyak kecaman

Banyak waktu yang terbuang dalam pengelolaan kelas

Sedikit pujian, interaksi (memengaruhi) positif

  1. Penggunaan waktu oleh personalia

Banyak waktu yang digunakan untuk aktivitas akademik

Banyak waktu bekerja dengan kelompok atau seluruh kelas

Sedikit waktu bekerja dengan kelompok kecil

Tiap orang dalam kelompok kecil dapat bekerja independen

Sedikit duduk dalam ruang kerja

Sedikit waktu yang digunakan untuk aktivitas akademik

Sedikit waktu bekerja dengan kelompok atau seluruh kelas

Banyak waktu bekerja dengan kelompok kecil

Tiap orang dalam kelompok kecil tidak dapat bekerja independen

Banyak duduk dalam ruang kerja

  1. Kualitas pengajaran

Banyak pertanyaan pada level bawah

Sedikit pertanyaan pada level tinggi/puncak

Sedikit orang yang memprakarsai bertanya dan berpendapat

Sedikit balikan atas pertanyaan orang

Banyak perhatian kepada orang ketika bekerja secara independen

Sedikit pertanyaan pada level bawah

Banyak pertanyaan pada level tinggi/puncak

Banyak orang yang memprakarsai bertanya dan berpendapat

Banyak balikan atas pertanyaan orang

Sedikit perhatian kepada orang ketika bekerja secara independen

ORGANIZING THE SUPERVISORY PROGRAM

Supervisi sekolah dalam organisasi modern bertujuan memperbaiki proses pengajaran guru secara total. Fokus dari supervisi adalah situasi pengajaran, dengan memperhatikan keadaan kelompok dan individu siswa secara bagian dari proses supervisi yang kompleks. Pendekatan dalam pengorganisasi program supervisi adalah mencakup alur perencanaan, koordinasi, dan stimulus.

Organisasi supervisi dapat juga menggunakan paradigma vertikal dan horizontal. Organisasi vertikal, supervisor bertindak sebagai pengamat situasi pengajaran, dan memungkinkan terjadinya kesatuan persepsi, koordinasi, integrasi, dan artikulasi terhadap bahan dan metode. Organisasi horizontal, terdapat level dalam berkoordinasi dan integrasi. Model dualistik lini organisasi supervisi digambar pada Gambar 3.

Gambar 3 Model Dualistik Lini Organisasi Supervisi

Sistem komunikasi organisasi dibangun untuk menghubungkan (interface) antarkomponen organisasi. Hal ini bertujuan agar tidak terjadi salah persepsi yang dapat mengakibatkan terjadinya konflik organisasi yang tidak sehat. Supervisi berdasarkan pandangan hubungan interaksionis cenderung mendorong terjadinya konflik. Konflik merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindari, karena itu keberadaan konflik harus diterima dan dirasionalisasikan sedemikian rupa sehingga bermanfaat bagi peningkatan kinerja organisasi.

HOW TO MAKE EFFECTIVE DECISIONS

AND EVALUATE A SUPERVISORY PROGRAM

Supervisi efektif adalah yang dilakukan secara kontinu dalam mengurangi perbedaan (kesenjangan) antara program supervisi dan pelaksanaan kegiatan supervisi yang bersifat bias. Prinsip evaluasi program supervisi yaitu 1) sebagai aktivitas kooperatif, 2) supervisi sebagai upaya menyelesaikan masalah guru, 3) bersifat fundamental, 4) kontinu, 5) memperbaiki proses pengajaran, 6) evaluasi sasaran (perbaikan pengajaran), 7) mendukung perbaikan program sekolah, 8) membentuk hubungan yang harmonis, 9) menggunakan data dan interpretasi data, 10) mempertimbangkan situasi belajar, dan 11) balikan tindak lanjut obyek evaluasi.

Terdapat tiga unsur agar pembuatan keputusan bersifat lengkap dan menyeluruh, yakni 1) masalah dapat dirasakan dan dianalisa, 2) mengidentifikasi permasalahan, menemukan masalah yang sebenarnya, identifikasi alternatif penyelesaian, dan menentukan sumber informasi, dan 3) menentukan alternatif untuk menyelesaikan masalah. Sehingga dalam setiap pembuatan keputusan harus memperhatikan efektivitas, efisiensi, dan dapat dikerjakan dengan mudah (feasibility).

Proses menganalisa data dapat dilakukan dengan bantuan program komputer, sehingga lebih cepat dapat dijadikan acuan dalam penarikan kesimpulan. Sekolah dapat mengembangkan sebuah network untuk mendukung penggunaan program komputer. Berkaitan dengan evaluasi program supervisi, secara normatif terdapat sepuluh unsur survei, yakni 1) penyiapan pernyataan dari obyek supervisi, 2) menentukan sampel, 3) menentukan sifat dan jenis data yang akan dikumpulkan, 4) menentukan teknik pengumpulan data, 5) membuat batasan masalah, 6) menentukan metode, 7) membuat perlakuan (treatment) bagi sampel, 8) melakukan studi lapangan, 9) menganalisa data dan menarik kesimpulan, dan 10) membuat laporan survei.

Kriteria supervisi efektif adalah 1) meningkatkan pemahaman siswa dalam pengajaran, 2) meningkatkan pengetahuan, penilaian, perbaikan, pertumbuhan intelektual, dan nilai sosial siswa, 3) meningkatkan kemampuan perencanaan pengajaran, materi, dan kemampuan berpikir guru, 4) meningkatkan pemahaman guru tentang metode baru dan dapat mengembangkannya, 5) meningkatkan pelayanan konseling siswa, dan 6) dapat menyeimbangkan kurikulum nasional dan lokal dengan kebutuhan siswa.

IMPROVING INSTRUCTIONAL SUPERVISION

Supervisor memiliki tanggung jawab membantu guru dengan proses perencanaan, memilih strategi dan sumber daya, dan mengevaluasi. Tanggung jawab supervisor menyangkut peran yang mencakup: ahli pengajaran, ahli kurikulum, komunikator, organisator, tuan guru (master teacher), pemimpin kelompok, evaluator, simulator, koordinator, konsultan, public relation person, peneliti, dan agen perubahan.

Supervisor dapat melakukan tiga langkah dalam membantu perbaikan pengajaran, yakni 1) mengevaluasi bidang administratif, 2) mengevaluasi kinerja (performance) guru, dan 3) melakukan survei berkaitan dengan persepsi guru tentang pekerjaannya. Secara terminologi evaluasi program supervisi dapat dilakukan dengan cara: 1) evaluation by objectives dan 2) evaluative questioning. Evaluasi berdasarkan sasaran (evaluation by objectives) menekankan pada spesifikasi pengajaran dengan tujuan pada peningkatan prestasi siswa. Evaluasi dengan menggunakan pertanyaan (evaluative questioning) dikembangkan dari hasil peningkatan prestasi siswa. Evaluasi ini bermanfaat dalam mengidentifikasi kebutuhan siswa yang sebenarnya dalam pengajaran.

Upaya peningkatan kualitas pengajaran guru di kelas dilakukan secara kontinu. Langkah-langkah yang direkomendasikan mencakup: 1) menetapkan cara identifikasi dan pengembangannya, 2) melakukan pengukuran, dan 3) melakukan pengamatan dan menguji kompetensi guru. Ketiga hal tersebut dirancang untuk membantu guru dalam mencapai sasaran pengajaran dengan sukses. Peningkatan kualitas pengajaran guru mutlak dilakukan secara kontinu.

Konsistensi supervisor dalam melakukan self evaluation berkenaan dengan upaya membantu guru, merupakan hal yang perlu dilakukan. Program supervisi dikembangkan dengan mengkaji kebutuhan guru yang sebenarnya. Tujuan pengajaran bukan sekedar rumusan kalimat tetapi dapat menjawab permasalahan pokok yang terkait dengan konsep ideal yang menjadi tujuan dan pandangan hidup masyarakat.

Guru terkadang dalam proses pengajaran tidak memiliki tujuan yang jelas, mengajar berdasarkan buku paket, dan mungkin tujuan hanya satu domain (kognitif). Dihadapkan pada guru yang demikian, jelas mereka memerlukan bantuan supervisor dalam memperbaiki kualitas pengajarannya. Sehingga esensi kegiatan supervisi akan tercapai manakala terjadi peningkatan kualitas pengajaran yang dilakukan secara kontinu (berkelanjutan).

14 Januari 2010

DOLAN NENG AMUNTAI TABALONG KALSEL

Ini adalah hasil rekaman video amatir dengan kameramen ZQ PADEWA (orangnya tak nampak, cuma suara aja). Lokasi pembuatan di Amuntai Tabalong Kalsel, saat touring bersama konco2 geng SEMPROL, alami banget ..... lingkungane

MODEL PENGEMBANGAN KURIKULUM DAN STRATEGI PEMBELAJARAN BERBASIS SOSIOLOGI KRITIS, KREATIVITAS, DAN MENTALITAS

  1. Pendahuluan

Pengembangan kurikulum adalah istilah yang komprehensif, di dalamnya mencakup perencanaan, penerapan, dan evaluasi (Sudrajat, 2009). Perencanaan kurikulum adalah langkah awal membangun kurikulum ketika pekerja kurikulum membuat keputusan dan mengambil tindakan untuk menghasilkan perencanaan yang akan digunakan oleh guru dan peserta didik. Penerapan Kurikulum atau biasa disebut juga implementasi kurikulum berusaha mentransfer perencanaan kurikulum ke dalam tindakan operasional. Evaluasi kurikulum merupakan tahap akhir dari pengembangan kurikulum untuk menentukan seberapa besar hasil-hasil pembelajaran, tingkat ketercapaian program-program yang telah direncanakan, dan hasil-hasil kurikulum itu sendiri.

Pengembangan kurikulum tidak hanya melibatkan orang yang terkait langsung dengan dunia pendidikan saja, namun di dalamnya melibatkan banyak orang, seperti politikus, pengusaha, orangtua peserta didik, serta unsur-unsur masyarakat lainnya yang merasa berkepentingan dengan pendidikan. Prinsip-prinsip yang akan digunakan dalam kegiatan pengembangan kurikulum pada dasarnya merupakan kaidah-kaidah atau hukum yang akan menjiwai suatu kurikulum.

Kurikulum yang ada pada pendidikan sekolah menurut Hamzah (2008) mengalami stagnasi, statis, dan berorientasi pada materialitas. Stagnasi terlihat dari adopsi dan replikasi kurikulum pendidikan sekolah. Nuansa hegemoni pada dunia pendidikan sekolah terasa mengental, bahkan menuju ke arah status quo kurikulum sekolah. Kurikulum sekolah telah mengalami perubahan, pengurangan, dan penambahan muatan materi, akan tetapi sekolah tidak melakukan perubahan kurikulum atau mengalami stagnasi kurikulum yang berkelanjutan.

Lebih lanjut Hamzah (2008) berpendapat kenyamanan karena adanya hegemoni tersebut membuat pola pikir dan arah nalar para pendidik dan peserta didik terpasung dalam pendidikan yang menjerumuskan bukannya pendidikan yang membebaskan. Untuk itu, internalisasi sikap, perilaku, dan tindakan kritis pada kurikulum pendidikan sekolah perlu dilakukan. Hal ini ditunjukkan dengan melakukan kajian kritis pada setiap adopsi dan replikasi kurikulum yang digunakan oleh sekolah.

Kestatisan pada kurikulum pendidikan sekolah terlihat dari tidak adanya kreativitas dalam kurikulum tersebut. Kalau terdapat kreativitas, itu pun mengarah pada materialitas yang selama ini sudah didoktrinkan oleh beberapa pendidik kepada peserta didik. Ketiadaan kreativitas ini terbelenggu dengan adanya pembatasan kurikulum yang semata-mata mengacu pada hal-hal yang bernuansa ekonomi dan hitungan saja. Pengembangan intuisi, imajinasi, dan inspirasi yang mengarah pada inovasi tidak atau kurang diinternalisasi pada kurikulum. Begitu pula keterkaitan pendidikan sekolah dengan ilmu-ilmu sosial lainnya kurang begitu diperhatikan.

Adanya pemasungan kreativitas pada kurikulum tersebut mengakibatkan terhambatnya daya inovasi, inspirasi, dan imajinasi sekaligus menumpulkan intuisi dalam pengembangan pendidikan sekolah. Keterjebakan kurikulum pendidikan sekolah pada stagnasi dan statis menurut Hamzah (2008) menjadi dilematis dengan mengarahkannya kepada materialitas. Nilai mentalitas, seperti kejujuran, keadilan, kasih, dan sayang masih belum nampak di dalam kurikulum pendidikan sekolah.

Hal ini dipertegas oleh Topatimasang dan Fakih (2007) yang menyatakan kurikulum pendidikan sekolah cenderung menafikan nilai mentalitas, tetapi mengutamakan nilai materialitas. Keseimbangan muatan kurikulum pada nilai materialitas dan mentalitas berjalan berat sebelah. Strategi balanced scorecard yang diajarkan pada intinya dimuarakan pada kepentingan materialitas bukan pada keseimbangan antara materialitas dan mentalitas. Hal ini dapat mengakibatkan keluaran dari pendidikan sekolah adalah insan-insan yang materilitas dan distigma.

Oleh karena itu strategi pembelajaran pada pendidikan sekolah harus diberi fondasi terlebih dahulu dengan internalisasi sosiologi kritis, inovasi, kreativitas, dan mentalitas (Agger, 2006). Hal ini tidak berhenti pada fondasi saja, tetapi juga diupayakan merasuki kurikulum yang ada pendidikan sekolah. Selain itu, juga mengubah strategi pembelajaran yang selama ini berdasarkan pada konsep reproductive view of learning menjadi constructive view of learning. Konsep ini pada dasarnya membangun tanpa merusak fondasi yang sudah baik pada proses belajar mengajar selama ini.

Konsep reproductive view of learning yang selama ini dihasilkan hanya menghasilkan keluaran yang bersifat mengikut saja tanpa mampu bersikap kritis, kreatif, dan mempunyai nilai-nilai mental. Ini berbeda dengan konsep constructive view of learning yang berpegang pada nilai-nilai kritis, kreatif, dan nuansa mentalitas. Dalam konsep ini agar dihasilkan mutu pendidikan tinggi akuntansi yang berkualitas, maka anak didik diinternalisasi dengan sikap kritis. Salah satu diantaranya adalah dengan paradigma dekonstruksi, keluar dari kotak awal pengetahuan yang membelenggu, serta dijiwai nilai-nilai mentalitas berupa kejujuran, keadilan, kasih, dan sayang.

  1. Landasan Pengembangan Kurikulum

Pengembangan kurikulum adalah suatu proses yang menentukan bagaimana kurikulum akan dapat dilaksanakan. Bondi dan Wiles (1989:87) berpendapat pengembangan kurikulum yang terbaik adalah proses yang meliputi banyak hal, yakni 1) kemudahan suatu analisis tujuan, 2) rancangan suatu program, 3) penerapan serangkaian pengalaman yang berhubungan, dan 4) peralatan dalam evaluasi proses.

Pengembangan kurikulum agar dapat berhasil sesuai dengan yang diinginkan, maka dalam pengembangan kurikulum diperlukan landasan-landasan pengembangan kurikulum. Pengembangan kurikulum menurut Dimyati dan Mudjiono (2006:268) mengacu pada tiga unsur, yaitu 1) nilai dasar yang merupakan falsafah dalam pendidikan manusia seutuhnya, 2) fakta empirik yang tercermin dari pelaksanaan kurikulum, baik berdasarkan penilaian kurikulum, studi, maupun survei lainnya, dan 3) landasan teori yang menjadi arahan pengembangan dan kerangka penyorotnya.

Lebih lanjut Dimyati dan Mudjiono (2006:269-272) mengemukakan landasan pengembangan kurikulum mencakup:

    1. Landasan Filosofis

Pendidikan ada dan berada dalam kehidupan masyarakat sehingga apa yang dikehendaki oleh masyarakat untuk dilestarikan diselenggarakan melalui pendidikan. Segala kehendak yang dimiliki oleh masyarakat merupakan sumber nilai yang memberikan arah pada pendidikan. Dengan demikian pandangan dan wawasan yang ada dalam masyarakat merupakan pandangan dan wawasan dalam pendidikan atau dapat dikatakan bahwa filsafat yang hidup dalam masyarakat merupakan landasan filosofis penyelenggaraan pendidikan.

Filsafat menurut Winecoff (1988:13) sebagai suatu studi tentang hakikat realitas, hakikat ilmu pengetahuan, hakikat sistem nilai, hakikat nilai kebaikan, hakikat keindahan, dan hakikat pikiran. Oleh karena itu landasan filosofis pengembangan kurikulum adalah hakikat realitas, ilmu pengetahuan, sistem nilai, nilai kebaikan, keindahan, dan hakikat pikiran yang ada dalam masyarakat.

    1. Landasan Sosial, Budaya, dan Agama

Realitas sosial, budaya, dan agama yang ada dalam masyarakat merupakan bahan kajian pengembangan kurikulum untuk digunakan sebagai landasan pengembangan kurikulum. Kebersamaan individu dalam masyarakat diikat dan terikat oleh nilai yang menjadi pegangan hidup dalam interaksi di antara mereka. Nilai-nilai yang perlu dipertahankan dan dihormati dalam masyarakat mencakup nilai keagamaan dan sosial budaya. Nilai keagamaan berhubungan dengan kepercayaan masyarakat terhadap ajaran agama, oleh karena itu umumnya bersifat langgeng (Joni, 1983:5).

Nilai sosial dan budaya masyarakat bersumber pada hasil karya akal budi manusia, sehingga dalam menerima, menyebarluaskan, melestarikan, dan melepaskannya manusia menggunakan akalnya. Dengan demikian apabila terdapat nilai sosial budaya yang tidak diterima/tidak sesuai dengan akalnya akan dilepas. Oleh karena itu nilai sosial dan budaya lebih bersifat sementara jika dibandingkan dengan agama. Untuk melaksanakan penerimaan, penyebarluasan, pelestarian, atau penolakan dan pelepasan nilai sosial-budaya-agama, maka masyarakat menggunakan pendidikan yang dirancang melalui kurikulum.

    1. Landasan Ilmu Pengetahuan, Teknologi, dan Seni

Pendidikan merupakan upaya penyiapan peserta didik menghadapi perubahan yang semaki pesat, termasuk di dalamnya perubahan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni (ipteks). Sukmadinata (1997) mengemukakan pengembangan ipteks secara langsung akan menjadi isi/materi pendidikan, sedangkan secara tidak langsung memberikan tugas kepada pendidikan untuk membekali masyarakat dengan kemampuan penyelesaian masalah yang dihadapi sebagai pengaruh perkembangan ipteks. Selain itu perkembangan ipteks juga dimanfaatkan untuk menyelesaikan masalah pendidikan.

    1. Landasan Kebutuhan Masyarakat

Adanya falsafah hidup, perubahan sosial-budaya-agama, dan perubahan ipteks dalam suatu masyarakat akan merubah pula kebutuhan masyarakat. Kebutuhan masyarakat dipengaruhi oleh kondisi dari masyarakat itu sendiri. Adanya perbedaan antara masyarakat satu dengan yang lainnya sebagian besar disebabkan oleh kualitas dan kuantitas individu yang menjadi anggota masyarakat. Pengembangan kurikulum menurut Sumantri (1988:77) juga harus ditekankan pada pengembangan individual yang mencakup keterkaitannya dengan lingkungan sosial setempat. Sehingga disimpulkan landasan pengembangan kurikulum adalah kebutuhan masyarakat yang dilayani melalui kurikulum yang dikembangkan.

    1. Landasan Perkembangan Masyarakat

Perkembangan masyarakat dipengaruhi oleh falsafah hidup, nilai, ipteks, dan kebutuhan yang ada dalam masyarakat. Falsafah hidup akan mengarahkan perkembangan masyarakat, nilai-nilai sosial-budaya-agama akan merupakan penyaringan nilai-nilai lain yang menghambat perkembangan masyarakat. Ipteks mendukung perkembangan masyarakat dan kebutuhan masyarakat akan membantu menetapkan perkembangan yang akan dilaksanakan. Perkembangan masyarakat akan menuntut tersedianya proses pendidikan yang sesuai. Untuk menciptakan proses pendidikan yang sesuai dengan perkembangan masyarakat maka diperlukan rancangannya berupa kurikulum yang landasan pengembangannya berupa perkembangan masyarakat itu sendiri.

  1. Prinsip Pengembangan Kurikulum

Pengembangan kurikulum menggunakan prinsip yang telah berkembang dalam kehidupan sehari-hari atau justru menciptakan sendiri prinsip baru. Oleh karena itu, dalam implementasi kurikulum di suatu lembaga pendidikan sangat mungkin terjadi penggunaan prinsip-prinsip yang berbeda dengan kurikulum yang digunakan di lembaga pendidikan lainnya, sehingga akan ditemukan banyak sekali prinsip-prinsip yang digunakan dalam suatu pengembangan kurikulum.

Sukmadinata (1997) mengemukakan prinsip-prinsip pengembangan kurikulum yang dibagi ke dalam dua macam yaitu prinsip umum dan prinsip khusus. Prinsip umum pengembangan kurikulum adalah relevansi, fleksibilitas, kontinuitas, praktis, dan efektivitas. Prinsip khusus pengembangan kurikulum adalah berkenaan dengan tujuan pendidikan, prinsip berkenaan dengan pemilihan isi pendidikan, prinsip berkenaan dengan pemilihan proses belajar mengajar, prinsip berkenaan dengan pemilihan media dan alat pelajaran, dan prinsip berkenaan dengan pemilihan kegiatan penilaian.

Hal senada dikemukakan oleh Hernawan dalam Sudrajat (2009) mengemukakan lima prinsip dalam pengembangan kurikulum, yaitu:

  1. Prinsip relevansi, secara internal bahwa kurikulum memiliki relevansi di antara komponen kurikulum (tujuan, bahan, strategi, organisasi, dan evaluasi). Sedangkan secara eksternal bahwa komponen tersebut memiliki relevansi dengan tuntutan ilmu pengetahuan dan teknologi (relevansi epistemologis), tuntutan dan potensi peserta didik (relevansi psikologis), serta tuntutan dan kebutuhan perkembangan masyarakat (relevansi sosiologis),

  2. Prinsip fleksibilitas, pengembangan kurikulum mengusahakan agar yang dihasilkan memiliki sifat luwes, lentur, dan fleksibel dalam pelaksanaannya, memungkinkan terjadinya penyesuaian-penyesuaian berdasarkan situasi dan kondisi tempat dan waktu yang selalu berkembang, serta kemampuan dan latar belakang peserta didik,

  3. Prinsip kontinuitas, yakni adanya kesinambungan dalam kurikulum, baik secara vertikal, maupun secara horizontal. Pengalaman belajar yang disediakan kurikulum harus memperhatikan kesinambungan, baik yang di dalam tingkat kelas, antarjenjang pendidikan, maupun antara jenjang pendidikan dan jenis pekerjaan,

  4. Prinsip efisiensi, yakni mengusahakan agar dalam pengembangan kurikulum dapat mendayagunakan sumber daya pendidikan yang ada secara optimal, cermat, dan tepat sehingga hasilnya memadai,

  5. Prinsip efektivitas, yakni mengusahakan agar kegiatan pengembangan kurikulum mencapai tujuan tanpa kegiatan yang mubazir, baik secara kualitas maupun kuantitas.

Terkait dengan pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) menurut Sudrajat (2009) terdapat sejumlah prinsip-prinsip yang harus dipenuhi, yaitu:

  1. Berpusat pada potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan peserta didik dan lingkungannya. Kurikulum dikembangkan berdasarkan prinsip bahwa peserta didik memiliki posisi sentral untuk mengembangkan kompetensinya agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Untuk mendukung pencapaian tujuan tersebut pengembangan kompetensi peserta didik disesuaikan dengan potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan peserta didik serta tuntutan lingkungan,

  2. Kurikulum dikembangkan dengan memperhatikan keragaman karakteristik peserta didik, kondisi daerah, dan jenjang serta jenis pendidikan, tanpa membedakan agama, suku, budaya dan adat istiadat, serta status sosial ekonomi dan gender. Kurikulum meliputi substansi komponen muatan wajib kurikulum, muatan lokal, dan pengembangan diri secara terpadu, serta disusun dalam keterkaitan dan kesinambungan yang bermakna dan tepat antarsubstansi,

  3. Tanggap terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni. Kurikulum dikembangkan atas dasar kesadaran bahwa ilmu pengetahuan, teknologi dan seni berkembang secara dinamis, dan oleh karena itu semangat dan isi kurikulum mendorong peserta didik untuk mengikuti dan memanfaatkan secara tepat perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni,

  4. Relevan dengan kebutuhan kehidupan. Pengembangan kurikulum dilakukan dengan melibatkan pemangku kepentingan (stakeholders) untuk menjamin relevansi pendidikan dengan kebutuhan kehidupan, termasuk di dalamnya kehidupan kemasyarakatan, dunia usaha dan dunia kerja. Oleh karena itu, pengembangan keterampilan pribadi, keterampilan berpikir, keterampilan sosial, keterampilan akademik, dan keterampilan vokasional merupakan keniscayaan,

  5. Menyeluruh dan berkesinambungan. Substansi kurikulum mencakup keseluruhan dimensi kompetensi, bidang kajian keilmuan dan mata pelajaran yang direncanakan dan disajikan secara berkesinambungan antarsemua jenjang pendidikan,

  6. Belajar sepanjang hayat. Kurikulum diarahkan kepada proses pengembangan, pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat. Kurikulum mencerminkan keterkaitan antara unsur-unsur pendidikan formal, nonformal dan informal, dengan memperhatikan kondisi dan tuntutan lingkungan yang selalu berkembang serta arah pengembangan manusia seutuhnya,

  7. Seimbang antara kepentingan nasional dan kepentingan daerah. Kurikulum dikembangkan dengan memperhatikan kepentingan nasional dan kepentingan daerah untuk membangun kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Kepentingan nasional dan kepentingan daerah harus saling mengisi dan memberdayakan sejalan dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Pemenuhan prinsip-prinsip di atas itulah yang membedakan antara penerapan satu Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan dengan kurikulum sebelumnya, yang justru tampaknya sering kali terabaikan. Karena prinsip-prinsip itu dapat dikatakan sebagai ruh atau jiwanya kurikulum. Dalam menyikapi suatu perubahan kurikulum, banyak lebih terfokus hanya pada pemenuhan struktur kurikulum sebagai jasad dari kurikulum. Padahal jauh lebih penting adalah perubahan kultural (perilaku) guna memenuhi prinsip-prinsip khusus yang terkandung dalam pengembangan kurikulum.

  1. Inovasi dan Pengembangan Kurikulum

Inovasi dan pengembangan kurikulum dilakukan karena melaksanakan pengembangan kurikulum bersifat dinamis, selalu berubah, menyesuaikan diri dengan kebutuhan mereka yang belajar (peserta didik). Hal ini dipertegas oleh Audrey dan Nicholls (1982: 21-30) mengemukakan bahwa karena masyarakat dan mereka yang belajar mengalami perubahan maka langkah awal dalam perumusan kurikulum ialah penyelidikan mengenai situasi (situation analysis) yang dihadapi masyarakat, termasuk situasi lingkungan belajar dalam arti menyeluruh, situasi peserta didik, dan para calon pengajar yang diharapkan melaksanakan kegiatan.

Istilah inovasi mengandung arti tindakan menciptakan sesuatu yang baru yang membawa perubahan dengan menghasilkan gagasan dan pendekatan atau metode baru (Sidjabat, 2009). Untuk menghasilkan sesuatu yang baru, yang diharapkan lebih berdaya guna, harus bertolak dari apa yang ada. Sulit sekali memulai dan meningkatkan sesuatu dari sesuatu yang belum ada (ex nihilo). Inilah juga yang dimaksud dengan pengembangan. Oleh karena itu inovasi dan pengembangan selalu terkait erat.

Dinamika globalisasi mengharuskan pendidikan untuk senantiasa memikirkan pembaruan dalam banyak aspek termasuk kurikulum. Ferris (1990:34-35) mengemukakan aspek yang dibutuhkan dalam upaya pembaruan dan mengembangkan kualitas pendidikan. Aspek mendasar yang harus dijadikan pedoman, yakni: 1) kepekaan terhadap nilai budaya lokal (cultural appropirateness), 2) kepedulian terhadap pergumulan dan kebutuhan siswa, (attentiveness to the church), 3) merumuskan strategi yang fleksibel, peka terhadap kebutuhan setempat (flexible strategizing), 4) menilai keberhasilan dari hasil belajar peserta didik (outcomes assessment), 5) menekankan pembentukan dan pertumbuhan iman (spiritual formation), 6) mengembangkan kurikulum yang holistik mencakup sisi akademis, praktis, dan pelatihan spiritualitas (holistic curricularizing), 7) melengkapi peserta didik untuk melayani (service orientation), 8) mengembangkan kreativitas guru dalam mengajar, memilih metode yang tepat (creativity in teaching), 9) membentuk wawasan berpikir atas kehidupan (worldview), 10) mempertimbangkan dimensi perkembangan peserta didik (developmental focus), dan 11) memfasilitasi terbentuknya kerja sama (a cooperative spirit).

Inovasi dan pengembangan kurikulum dalam pendidikan merupakan kebutuhan yang terus harus diperhatikan. Diperlukan riset lapangan dan refleksi pengalaman untuk mengembangkannya. Strategi yang lebih baik lagi dalam pengembangan ini ialah kebersamaan para guru dan siswa untuk mengevaluasi kurikulum dan pembelajaran yang sudah ditempuh, kemudian bersama-sama berunding mengusulkan pendapat bagaimana melakukan pembaruan. Hal ini dipertegas oleh Kohl (2002:29-41) berdasarkan hasil risetnya dengan mengusulkan tema-tema perubahan yang perlu dipikirkan oleh pendidikan di masa depan mencakup: 1) isi yang diajarkan (kurikulum), tekanan misinya pada bidang layanan para lulusan, 2) struktur organisasi yang mendukung pembelajaran, dan 3) sumber finansial demi kemandirian lembaga pendidikan sekolah itu sendiri.

Sistem inovasi pada dasarnya merupakan suatu kesatuan dari sehimpunan aktor, kelembagaan, jaringan, hubungan, interaksi dan proses produktif yang mempengaruhi arah perkembangan dan kecepatan inovasi dan difusinya (termasuk teknologi dan praktik baik/terbaik), serta proses pembelajaran. Sistem inovasi sangat penting karena bukan semata menyangkut kemajuan ipteks (termasuk misalnya melalui pendidikan, penelitian, pengembangan dan kerekayasaan) tetapi juga bagaimana iptek dapat didayagunakan secara maksimal bagi kepentingan nasional dalam pembangunan pendidikan, ekonomi, sosial, dan budaya. Demikian sebaliknya, perkembangan pendidikan, ekonomi, sosial, dan budaya menjadi bagian yang tidak dapat diabaikan dan merupakan faktor yang sangat mempengaruhi arah dan kecepatan pemajuan ipteks.

Arnold dan Kuhlmann dalam Sukmayadi (2004) yang menggambarkan skema tentang sistem inovasi seperti pada Gambar 1.

Gambar 1 Elemen Sistem Inovasi

Sistem inovasi memiliki peran dan hubungan timbal balik sangat penting dengan pendidikan. Beberapa aktivitas penting dalam sistem inovasi pendidikan menurut Liu dan White dalam Sukmayadi (2004) adalah:

  1. Riset (dasar, pengembangan, dan rekayasa),

  2. Implementasi, misalnya manufaktur),

  3. Penggunaan akhir (end-use), pelanggan dari produk atau output proses,

  4. Keterkaitan (linkage), menyatukan pengetahuan yang saling komplementatif,

  5. Pendidikan.

Disimpulkan bahwa sistem merupakan elemen/pilar sangat penting bagi berkembangnya sistem inovasi pendidikan, khususnya pengembangan kurikulum. Sistem inovasi yang kuat akan mendukung perkembangan pendidikan yang semakin baik pula.

  1. Model Pengembangan Kurikulum dan Strategi Pembelajaran Berbasis Sosiologi Kritis, Kreativitas, dan Mentalitas

Ilmu pengetahuan diawali dengan sarat nilai dan sarat tujuan yang mulia. Ilmu pengetahuan adalah perjuangan terhadap kebohongan, pembebasan dari belenggu kebodohan dan ketidaktahuan, keangkuhan dan keacuhan yang semuanya merupakan kejahatan terhadap hati nurani manusia sendiri. Begitu pula, pengembangan kurikulum menurut Hamzah (2007:4) juga penuh dengan daya kritis, muatan kreatif, dan nuansa mentalitas. Banyaknya ketidakjujuran dalam melakukan pengembangan, keterpasungan dalam melakukan pekerjaan sesuai dengan pesanan, sengaja membiarkan kesalahan pada suatu sistem, serta pola manajemen yang bertentangan dengan hati nurani bukan salah pada ilmu pendidikan. Kesalahan awal terletak pada kurikulum dan strategi pembelajaran yang selama digunakan dalam penyelenggaraan pendidikan pada pendidikan.

Kurikulum pendidikan sekolah merupakan pertautan pengetahuan dan kepentingan berbagai pihak terkait dengan proses pembelajaran. Adanya kepentingan menunjukkan adanya politik, dalam hal ini politik adalah sistem irasional dengan variabel-variabel yang kompleks dan sulit dimengerti oleh siswa terkadang oleh para guru sehingga sangat sulit ditebak akan ke mana arah pendidikan sekolah yang ada saat ini. Untuk itu menurut Sindhunata (2004) diperlukan kritik menuju pembebasan para guru dan siswa dari irasionalitas menjadi rasional serta dari ketidaksadaran menjadi kesadaran.

Hal ini dikarenakan institusi pendidikan beserta para civitas akademik terjebak dan terbuai pada rasionalitas serta ketidaksadaran yang berkelanjutan. Hal ini terlihat dari pengetahuan yang didapat oleh siswa lebih banyak dari proses pembelajaran yang lebih banyak satu arah bukan partisipasi yang bersifat dialektis yang diutamakan. Para guru masih menganggap dirinya adalah dewa yang mengetahui segala persoalan dan permasalahan dalam proses pembelajaran. Hal ini yang memadamkan dan menumpulkan daya kritis siswa sehingga proses penalaran dan pengasahan dalam perenungan menjadi terabaikan. Padahal pengetahuan yang diperoleh tidak semata-mata dari proses pembelajaran saja, tetapi juga dari perenungan ide-ide, pengalaman, dan pengamatan indra.

Bagi para guru yang kurang atau tidak melakukan perenungan ide-ide, pengalaman, dan pengamatan indra, maka strategi pembelajarannya hanya bersifat satu arah dan pasif. Proses penajaman dari materi yang ada tidak tergali secara optimal. Materi yang diajarkan dianggap sebagai sesuatu yang given (pemberian), untuk itu tidak perlu sikap kritis terhadap materi tersebut. Akibatnya, kurikulum yang dibuat dan dijadikan kontrak belajar antara para guru dan siswa juga dianggap sebagai sesuatu yang given (pemberian). Tumpulnya perenungan ide-ide akan mematikan daya imajinasi, inspirasi, dan inovasi terhadap sesuatu untuk menciptakan sesuatu yang baru. Apalagi proses pembelajaran selama ini juga lebih banyak menggunakan rasio sebagai alat analisis.

Proses tersebut akan memunculkan replikator-replikator baru bukan kreator-kreator yang handal dan mumpuni. Hal ini dikarenakan rasio yang digunakan dalam berpikir dan menganalisis sebetulnya tidak netral dan historis atau tidak terkait dengan masa lalu. Untuk membebaskan diri dari akal rasional dengan mengikatkan diri pada hati nurani. Hal ini dikarenakan suara hati nurani adalah suara kejujuran yang paling terdalam. Apa yang tidak sesuai dengan hati nurani akan mengalami gejolak atau penolakan di diri. Dengan adanya hal itu, maka dalam pembuatan kurikulum serta pelaksanaan dalam proses belajar mengajar tidak semata-mata bertumpu pada rasionalitas semata, tetapi juga pada perenungan ide-ide dengan imajinasi dan inspirasi untuk menciptakan sesuatu yang inovasi dengan berpegang pada kata hati nurani.

Kritis berkaitan dengan memiliki ketajaman dalam menganalisis suatu hal atau persoalan dan pengambilan keputusan. Semakin tajam seseorang menganalisis suatu permasalahan maka akan semakin tajam pula keputusan yang dibuat oleh orang tersebut. Ennis dalam Hassoubah (2007:87) menjelaskan bahwa berpikir kritis adalah berpikir secara beralasan dan reflektif dengan menekankan pada pembuatan keputusan tentang apa yang harus dipercayai atau dilakukan.

Hal senada dikemukakan oleh Johnson dan Lamb (2000) yang menyatakan bahwa critical thinking involves logical thinking and reasoning including skills such as comparison, classification, sequencing, cause/effect, patterning, webbing, analogies, deductive, and inductive reasoning, forecasting, planning, hypothesizing, and critiquing. Berpikir kritis meliputi berpikir logis dan beralasan berkaitan dengan keterampilan seperti membandingkan, menggolongkan, mengurutkan, sebab akibat, menyusun, mengaitkan, analogi, proses berpikir deduktif, dan penyebab induktif, ramalan, rencana, membuat hipotesis, dan tinjauan kritis.

Resnick dan Gokhale dalam Sudaryanto (2007) menyarankan bahwa pembelajaran yang dilakukan dengan model diskusi kelompok kecil juga dapat dilakukan untuk mengembangkan kemampuan berpikir kritis. Siswa yang tergabung dalam kelompok kecil akan mendapat kesempatan mengklarifikasi pemahamannya dan mengevaluasi pemahaman siswa lain, mengobservasi strategi berpikir dari orang lain untuk dijadikan panutan, membantu siswa lain yang kurang untuk membangun pemahaman, meningkatkan motivasi, serta membentuk sikap yang diperlukan seperti menerima kritik dan menyampaikan kritik dengan cara yang santun.

Kurikulum pendidikan sekolah terjebak pada kestatisan yang berkelanjutan. Kestatisan tersebut tidak dilandasi dengan pikiran, sikap, dan tindakan yang positif. Untuk keluar dari pikiran, sikap, dan tindakan yang negatif menuju positif seakan-akan terasa sulit. Hal ini dikarenakan ketidakpercayaan terhadap orang dan sistem yang ada. Hal ini juga dikarenakan risiko yang ada terkait dengan perubahan pikiran, sikap, dan tindakan yang dialami para guru dan keluaran dari institusi sekolah. Kreativitas menurut Buzan dan Buzan (2003) adalah proses perubahan yang lebih baik dengan memberi nilai tambah pada sesuatu dengan kemungkinan adanya risiko. Tanpa adanya nilai tambah tersebut sesuatu akan berjalan statis.

Salim dan Salim (2002:776) menyatakan bahwa kemampuan berpikir kreatif adalah kemampuan mencipta, sedangkan kreativitas menurut Campbell dalam ADVY (2007) adalah suatu ide atau pemikiran manusia yang bersifat inovatif, berdaya guna (useful), dan dapat dimengerti (understandable). Aplikasi dari konsep tersebut adalah seorang siswa harus banyak bertanya, banyak belajar, dan berdedikasi tinggi untuk memperoleh kemampuan berpikir kreatif yang tinggi.

Melakukan kreativitas dalam pendidikan sekolah terkadang berbenturan dengan pelanggaran aturan yang ada. Aturan yang selama ini dibuat dan disimpan dalam kotak tidak boleh dilanggar atau dilakukan perubahan. Untuk itu, perlu mendesakralisasi aturan tersebut dengan melakukan perubahan. Lebih lanjut Buzan dan Buzan (2003) mengemukakan untuk merubah aturan tersebut menjadi lebih baik, maka harus berpegang pada filosofi aturan tersebut serta berpikir di luar kotak (out of the box).

Proses berpikir di luar kotak yang belum banyak diasah oleh para guru dan siswa. Bahkan tidak hanya berpikir di luar kotak, tetapi juga merangsang untuk menciptakan kotak baru dengan berpijak pada proses berpikir di luar kotak. Jika hanya berpikir di luar kotak yang selalu digunakan dan dihandalkan, maka akan terjadi proses konstruksi yang destruksi. Proses kreativitas dalam pendidikan sekolah juga dapat dibuat dengan berpijak pada asumsi yang ada maupun yang diciptakan. Pendidikan bersandar pada asumsi yang ada, dengan menghilangkan, mengurangi, atau menambah asumsi-asumsi yang ada akan tumbuh kreativitas yang berkelanjutan.

Kebuntuan kreativitas terkadang terjebak pada penggunaan logika, karena logika berpola secara sistematis, teratur, dan mekanis. Padahal kreativitas identik dengan pola pemikiran yang lateral, acak, dan dinamis. Hambatan penumbuhan kreativitas pada pendidikan tinggi akuntansi dikarenakan dominannya penggunaan logika dibandingkan dengan intuisi dan imajinasi. Tanpa adanya pelatihan dan penumbuhan intuisi dan imajinasi dalam pendidikan tinggi akuntansi, maka kreativitas akan berjalan di tempat. Kreativitas juga dapat ditumbuhkan dengan melakukan kaitan sesuatu dengan sesuatu hal yang lain yang mampu membuat nilai tambah dan berdaya guna.

Munandar (2002) mengemukakan untuk melakukan kaitan dalam proses kreativitas dapat dilakukan dengan kaitan yang tak berkaitan. Dengan kata lain, melampaui dari sesuatu yang dijadikan pijakan untuk mengaitkan dengan sesuatu yang lain. Dalam proses mengaitkan tersebut, kreativitas akan semakin tumbuh dengan kemampuan untuk memilah dan memilih bagian dari sesuatu yang berdaya guna dan bernilai tambah. Pada pendidikan sekolah proses untuk menjadi kreativitas kurang diperkenalkan/diajarkan, akibatnya keluaran dari institusi pendidikan sekolah adalah insan-insan yang statis tanpa mampu melakukan perubahan yang berarti dengan memberi nilai tambah, daya guna, dan daya hasil bagi masyarakat.

Kemampuan berpikir kreatif dapat memudahkan siswa dalam memperdalam ilmu pengetahuan yang dimiliki dan mempertajam kemampuan siswa untuk menganalisis permasalahan yang timbul dalam usahanya mempelajari materi tertentu, sehingga siswa dapat mempelajari materi yang disajikan di sekolah dengan baik, dan mampu menerapkan ilmu pengetahuan yang telah didapatkannya. Kemampuan berpikir kreatif dapat diketahui oleh orang lain di sekitar. Guru hendaknya mengetahui kemampuan berpikir kreatif dari siswanya sehingga dapat mengenali karakteristik siswanya dan pada akhirnya dapat menerapkan metode pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik siswa.

Setiap sistem terkandung nilai-nilai tersendiri. Pendidikan sekolah merupakan sistem maupun subsistem pendidikan tergantung dari sudut pandang mana melihatnya. Dalam hal ini, pendidikan sekolah sebagai suatu sistem, semua upaya boleh dilakukan agar sistem dapat berjalan seoptimal mungkin, yang ditekankan adalah bahwa ada tujuan utama proses pembelajaran yang paling mulia dengan nilai yang luhur pula yang merupakan nilai universal yaitu nilai kemanusiaan. Nilai yang menjadikan para pendidik dan anak didik mempunyai ketangguhan pribadi, ketangguhan sosial, dan ketangguhan antar manusia dengan dijiwai oleh nilai-nilai kejujuran, keadilan, kasih, dan sayang.

Nilai yang menyeimbangkan antara kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional, dan kecerdasan spiritual dalam diri para pendidik dan anak didik. Nilai tersebut dikerahkan sebagai keseluruhan usaha dalam sistem pendidikan sekolah. Masalahnya dengan pendidikan tinggi akuntansi yang dituangkan dalam kurikulum selama ini merupakan sistem yang memiliki tata nilai sendiri yang telah berulang-ulang kali terjadi dalam sejarah, yaitu nilai-nilai sempit sistem yang menggantikan nilai luhur pendidikan tinggi akuntansi sehingga tujuannya menjadi tujuan egois sistem itu sendiri yang mengarah pada materialitas.

Nilai sempit ini terlihat dari ketangguhan pribadi yang mengungguli ketangguhan sosial dan ketangguhan antar manusia serta kecerdasan intelektual yang mendominasi kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual. Sistem tersebut akhirnya hidup dan sadar bahwa ia mempunyai keinginan sendiri sehingga mengeksploitasi para guru dan siswa yang merupakan pembuatnya untuk mencapai tujuan-tujuan egoisnya sendiri, yaitu materialitas (Hamzah, 2007:8). Ketika para guru dan siswa mulai sadar akan hal ini dan mencoba menggantikan sistem tersebut oleh sistem yang baru yang menawarkan pada pendidikan yang membebaskan, maka banyak mengalami permasalahan, baik dari sistem yang sudah ada maupun para pemakai dan pembuat sistem tersebut.

Permasalahan terbesar khususnya dari pemakai dan pembuat sistem tersebut, yaitu ketakutan akan berkurangnya atau hilangnya nilai-nilai yang bersifat materialitas. Bahaya terbesar suatu sistem adalah dogmatisasi nilai-nilai sempit keyakinan yang seharusnya bersifat sementara dan elastis bahkan plastis terhadap perkembangan jaman. Plato dalam Hamzah (2007:8) dengan teorinya falsification menyatakan bahwa suatu teori atau nilai-nilai pada pengetahuan yang dianut saat ini bukan suatu kebenaran yang hakiki.

Kurikulum pendidikan sekolah yang merupakan turunan dari teori serta nilai-nilai dari suatu ilmu pengetahuan. Dalam perjalanannya, pendidikan yang dituangkan dalam kurikulum telah tumbuh begitu kuatnya sehingga hegemoni telah mencakup segala sisi dari para guru, siswa, dan sekolah sebagai institusi pendidikan. Bahayanya terletak dari dogmatisasi nilai-nilai pendidikan yang diajarkan pada sekolah. Kurikulum pendidikan sekolah telah terstruktur sedemikian rupa sehingga telah mempunyai arogansi dan egoistis untuk menyatakan dirinya sebagai satu-satunya yang berhak dalam menyatakan kebenaran. Hal ini menurut Hamzah (2007:9) menurun dalam penyelenggaraan pendidikan sekolah yang didominasi perspektif positivistik.

Perspektif ini merupakan proses fabrikasi dan mekanisasi pendidikan untuk menghasilkan keluaran pendidikan yang harus sesuai dengan pasar kerja. Para guru dan siswa tidak sadar dibuat seolah-olah sebagai robot yang menjalankan sistem penyelenggaraan pendidikan. Dengan kata lain, para guru dan siswa seakan-akan tidak mempunyai hati, nurani, dan jiwa didiri. Proses pendidikan diarahkan pada pendidikan yang menjerumuskan bukan pendidikan yang membebaskan, seakan-akan pasar kerja mempunyai kekuatan dan kekuasaan yang mendominasi para guru dan siswa. Untuk itu, perspektif ini harus diubah dengan meletakkan manusia yang mengontrol dan mengendalikan pasar kerja.

Pendidikan yang membebaskan merupakan upaya untuk menempatkan para pendidik dan anak didik membuat pasar kerja yang penuh dengan nilai-nilai kemanusiaan. Nilai-nilai ini tercermin dari kejujuran, keadilan, kasih, dan sayang, baik antara para guru dan siswa, antara institusi sekolah dan para civitas akademik, serta antara manusia satu dan manusia satunya. Hal ini dipertegas oleh Agger (2006) bahwa untuk mengembangkan kurikulum yang berbasis pada sosiologi kritis, kreativitas, dan mentalitas harus didukung dengan strategi pembelajaran yang inovatif atau berbeda dengan strategi-strategi yang selama ini dilakukan dalam proses pembelajaran.

Strategi pembelajaran yang bertumpu pada teori harus diimbangi dengan praktik yang ada. Banyak guru pada pendidikan sekolah hanya berpijak pada teori semata, sehingga setelah selesai teori tersebut diajarkan, maka perlahan-lahan pudar materi yang selama ini tertanam di benak siswa. Strategi pembelajaran yang inovatif adalah menciptakan aktivitas agar anak didik dapat terlibat langsung dalam proses pendidikan sekaligus terlibat dalam keseluruhan proses.

Strategi pembelajaran tersebut tidak hanya bersifat ceramah semata saja, tetapi juga dengan adanya simulasi, studi kasus, tanya jawab, curah pendapat, diskusi kelompok, penugasan, demonstrasi, peragaan, dan studi lapangan. Penggunaan media belajar yang bervariasi dan menggunakan hasil teknologi dapat meningkatkan siswa untuk ingin lebih mengetahui. Siswa yang memiliki rasa ingin lebih tahu mempunyai kecenderungan untuk bertanya tentang suatu materi pelajaran yang dipelajarinya.

  1. Penutup

Pengembangan kurikulum adalah istilah yang komprehensif, di dalamnya mencakup perencanaan, penerapan, dan evaluasi. Perencanaan kurikulum adalah langkah awal membangun kurikulum ketika pekerja kurikulum membuat keputusan dan mengambil tindakan untuk menghasilkan perencanaan yang akan digunakan oleh guru dan peserta didik. Penerapan Kurikulum atau biasa disebut juga implementasi kurikulum berusaha mentransfer perencanaan kurikulum ke dalam tindakan operasional.

Oleh karena itu strategi pembelajaran pada pendidikan sekolah harus diberi fondasi terlebih dahulu dengan internalisasi sosiologi kritis, inovasi, kreativitas, dan mentalitas. Hal ini tidak berhenti pada fondasi saja, tetapi juga diupayakan merasuki kurikulum yang ada pendidikan sekolah. Selain itu, juga mengubah strategi pembelajaran yang selama ini berdasarkan pada konsep reproductive view of learning menjadi constructive view of learning. Konsep ini pada dasarnya membangun tanpa merusak fondasi yang sudah baik pada proses belajar mengajar selama ini.

Pengembangan kurikulum agar dapat berhasil sesuai dengan yang diinginkan, maka dalam pengembangan kurikulum diperlukan landasan-landasan pengembangan kurikulum. landasan pengembangan kurikulum mencakup: 1) landasan filosofis, 2) landasan sosial, budaya, dan agama, 3) landasan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni, 4) landasan kebutuhan masyarakat, dan 5) landasan perkembangan masyarakat

Prinsip umum pengembangan kurikulum adalah relevansi, fleksibilitas, kontinuitas, praktis, dan efektivitas. Prinsip khusus pengembangan kurikulum adalah berkenaan dengan tujuan pendidikan, prinsip berkenaan dengan pemilihan isi pendidikan, prinsip berkenaan dengan pemilihan proses belajar mengajar, prinsip berkenaan dengan pemilihan media dan alat pelajaran, dan prinsip berkenaan dengan pemilihan kegiatan penilaian.

Inovasi dan pengembangan kurikulum dilakukan karena melaksanakan pengembangan kurikulum bersifat dinamis, selalu berubah, menyesuaikan diri dengan kebutuhan mereka yang belajar (peserta didik). Masyarakat dan mereka yang belajar mengalami perubahan maka langkah awal dalam perumusan kurikulum ialah penyelidikan mengenai situasi (situation analysis) yang dihadapi masyarakat, termasuk situasi lingkungan belajar dalam arti menyeluruh, situasi peserta didik, dan para calon pengajar yang diharapkan melaksanakan kegiatan.

Inovasi dan pengembangan kurikulum dalam pendidikan merupakan kebutuhan yang terus harus diperhatikan. Diperlukan riset lapangan dan refleksi pengalaman untuk mengembangkannya. Strategi yang lebih baik lagi dalam pengembangan ini ialah kebersamaan para guru dan siswa untuk mengevaluasi kurikulum dan pembelajaran yang sudah ditempuh, kemudian bersama-sama berunding mengusulkan pendapat bagaimana melakukan pembaruan.

Mengembangkan kurikulum yang berbasis pada sosiologi kritis, kreativitas, dan mentalitas harus didukung dengan strategi pembelajaran yang inovatif atau berbeda dengan strategi-strategi yang selama ini dilakukan dalam proses pembelajaran. Pendidikan yang membebaskan merupakan upaya untuk menempatkan para pendidik dan anak didik membuat pasar kerja yang penuh dengan nilai-nilai kemanusiaan. Nilai-nilai ini tercermin dari kejujuran, keadilan, kasih, dan sayang, baik antara para guru dan siswa, antara institusi sekolah dan para civitas akademik, serta antara manusia satu dan manusia satunya.

DAFTAR RUJUKAN

ADVY. 2007. Kreativitas (online). (http://www.advy.ac.id, diakses 4 April 2007).

Agger, B. 2006. Teori Sosial Kritis: Kritik, Penerapan, dan Implikasinya. Yogyakarta: Kreasi Wacana.

Audrey, dan Nicholls, S. H. 1982. Developing a Curriculum: A Practical Guide. London: George Allen & Unwin.

Bondi, J., dan Wiles, J. 1989. Curriculum Development: A Guide to Practice. Columbus: Merril Publishing Company, A Bell & Howel Information Company.

Buzan, T., dan Buzan, B. 2003. The Mind Map Book. London: BBC Worldwide Limited.

Dimyati, dan Mudjiono. 2006. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta.

Ferris, R. W. 1990. Renewal in Theological Education: Stragies for Change. New York: Billy Graham Center.

Hamzah, A. 2007. Model Pengembangan Kurikulum dan Strategi Pembelajaran Berbasis Mentalitas. Bangkalan: Universitas Trunojoyo.

Hassoubah, Z. I. 2007. Mengasah Pikiran Kreatif dan Kritis: Disertai Ilustrasi dan Latihan. Bandung: Nuansa.

Johnson, L. dan Lamb, A. 2000. Critical and Creative Thinking-Bloom’s Taxonomy (online). (http://eduscape.com, diakses 5 Agustus 2007).

Joni, T. R. Wawasan Kependidikan Guru. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Kohl, M. W. 2002. Theological Education: What Needs to Be Changed. Dalam Kohl, M. W. (Eds.), Educating for Tomorrow: Theological Leadership for the Asian Context. Bangalore: Saiacs Press.

Munandar, S. C. U. 2002. Kreativitas dan Keberbakatan Strategi Mewujudkan Potensi Kreatif dan Bakat. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Salim, P, dan Salim, Y. 2002. Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer. Jakarta: Modern English Press.

Sidjabat, B. S. 2009. Pentingnya Inovasi dan Pengembangan Kurikulum dalam Pendidikan (online). (http://www.tiranus.net, diakses 26 Desember 2009).

Sindhunata. 2004. Dilema Usaha Manusia Rasional. Jakarta: Rajawali Press.

Sudaryanto. 2007. Pembelajaran Kemampuan Berpikir Kritis (online). (http://www.fk.undip.ac.id, diakses 9 Juli 2008).

Sudrajat, A. 2009. Prinsip Pengembangan Kurikulum (online). (http://akhmadsudrajat.wordpress.com, diakses 26 Desember 2009).

Sukmadinata, N. S. 1997. Pengembangan Kurikulum: Teori dan Praktek. Bandung: Remaja Rosda Karya.

Sukmayadi, D. 2004. Cakrawala Inovasi Pendidikan: Upaya Mencari Model Inovasi. Bandung: Program Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia.

Sumantri, M. 1988. Kurikulum dan Pengajaran. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Topatimasang, R., dan Fakih, M. 2007. Pendidikan Popular: Membangun Kesadaran Kritis. Yogyakarta: Insist Press.

Winecoff, H. L. 1989. Curriculum Development and Instructional Planning. Sydney: Prentice Hall of Australia Limited.