29 Juni 2010

METODE KOOPERATIF MODEL THINK PAIR SHARE

  1. Pembelajaran Kooperatif

Pembelajaran kooperatif (Cooperative learning) merupakan pendekatan pembelajaran melalui penggunaan kelompok kecil siswa untuk bekerja sama dalam memaksimalkan kondisi belajar dalam mencapai tujuan belajar (Holubec dalam Nurhadi dkk., 2004:60). Usaha kerja sama masing-masing anggota kelompok mengakibatkan manfaat timbal balik sedemikian rupa sehingga semua anggota kelompok memperoleh prestasi, kegagalan maupun keberhasilan ditanggung bersama. Siswa mengetahui bahwa prestasi yang dicapai disebabkan oleh dirinya dan anggota kelompoknya, siswa merasakan kebanggaan atas prestasinya bersama anggota kelompoknya.

Situasi pembelajaran kooperatif didorong dan atau dituntut untuk bekerja sama dalam suatu tugas bersama, siswa harus mengoordinasikan usaha-usahanya untuk menyelesaikan tugas. Pada pembelajaran kooperatif dua atau lebih individu saling tergantung untuk suatu penghargaan apabila mereka berhasil sebagai suatu kelompok.

Menurut Holubec dalam Nurhadi dkk. (2004:60) pembelajaran kooperatif memerlukan pendekatan pembelajaran melalui penggunaan kelompok kecil siswa yang bekerja sama dalam memaksimalkan kondisi belajar guna mencapai tujuan bersama. Tiap kelompok terdiri dari 4-5 anggota yang heterogen berdasarkan kemampuan akademik, jenis kelamin dan ras. Ada 5 unsur pembelajaran kooperatif yaitu saling ketergantungan akuntabilitas individu, keterampilan antarpersonal, peningkatan interaksi tatap maka dan pemrosesan.

Pembelajaran kooperatif mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:

  1. Siswa bekerja dalam tim (team) untuk menuntaskan tujuan belajar,

  2. Tim terdiri dari siswa-siswa yang mempunyai tingkat keberhasilan tinggi, sedang, dan rendah,

  3. Bila memungkinkan tim merupakan campuran suku, budaya dan jenis kelamin

  4. Sistem penghargaan diorientasikan baik pada kelompok maupun individu (Estiti, 2006:8),

Pembelajaran kooperatif memberikan peluang kepada siswa yang memiliki latar belakang dan kondisi yang berbeda untuk bekerja saling bergantung satu sama lain atas tugas-tugas bersama sehingga mereka belajar untuk menghargai satu sama lain meskipun mereka berbeda ras, budaya, kelas sosial maupun kemampuan.

  1. Model Think Pair Share

Model Think Pair Share dikembangkan oleh Frank Lyman dan rekan-rekannya dari Universitas Maryland. Think Pair Share memiliki prosedur secara eksplisit dapat memberi siswa waktu lebih banyak untuk berpikir, menjawab, saling membantu satu sama lain (Ibrahim dalam Estiti, 2007:10) dengan cara ini diharapkan siswa mampu bekerja sama, saling membutuhkan dan saling bergantung pada kelompok-kelompok kecil secara kooperatif.

Metode TPS merupakan salah satu strategi dalam pembelajaran kooperatif yang dapat memberikan waktu kepada siswa untuk berpikir sehingga strategi ini punya potensi kuat untuk memberdayakan kemampuan berpikir siswa. Peningkatan kemampuan berpikir siswa akan meningkatkan hasil belajar atau prestasi belajar siswa dan kecakapan akademiknya.

Siswa dilatih bernalar dan dapat berpikir kritis untuk memecahkan masalah yang diberikan oleh guru. Guru juga memberikan kesempatan siswa untuk menjawab dengan asumsi pemikirannya sendiri, kemudian berpasangan untuk mendiskusikan hasil jawabannya kepada teman sekelas untuk dapat didiskusikan dan dicari pemecahannya bersama-sama sehingga terbentuk suatu konsep.

  1. Pola Pemberdayaan Berpikir melalui Pertanyaan

Pola pemberdayaan berpikir melalui pertanyaan (PBMP) merupakan suatu pola pemberdayaan pertanyaan penalaran. Tampilan PBMP sepintas terlihat sebagai suatu macam LKS yang dikenal saat ini, perbedaan substansialnya justru sangat mencolok, perbedaan substansial itu bersangkut paut dengan karakteristiknya yang sangat memberdayakan penalaran siswa, dari hal ini dapat diketahui bahwa pola PBMP merupakan salah satu alat yang sangat berpotensi dalam mengembangkan penalaran siswa (Vivilia, 2006:14).

Penalaran secara terprogram diyakini dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa. Apabila upaya tersebut dilaksanakan terus menerus maka dapat menghasilkan Sumber Daya Manusia berkualitas yang mempunyai daya saing di tengah-tengah percaturan global.

Struktur umum lembar siswa bercirikan PBMP adalah: Sediakan, Lakukan, Ringkasan (Pikirkan), Evaluasi dan Arahan. Lakukan meliputi kegiatan, penulisan hasil pengamatan, dan renungkan. Struktur tersebut digunakan untuk kegiatan pembelajaran yang didukung oleh kerja kelompok dan kerja demonstratif. Sedangkan struktur lembar siswa yang tidak didukung oleh kerja kelompok dan kerja demonstratif adalah Pendahuluan, Sediakan, Lakukan, Ringkasan (Pikirkan), Evaluasi dan Arahan. Renungkan sebenarnya berisi kaitan antara data pengamatan dan aneka hal lain yang ada hubungannya dengan masyarakat, dalam hubungan ini dapat dinyatakan substansi pada bagian renungkan merupakan perluasan pikiran pada bagian amatan.

Pada bagian Pikirkan berisi kesimpulan dari konsep dan subkonsep (kesimpulan dapat pula diambil atas dasar data amatan maupun butir-butir pikirkan pada bagian renungkan). Evaluasi berisi tentang pertanyaan-pertanyaan dengan tujuan untuk memantapkan konsep yang diperoleh siswa. Sedangkan pada bagian Arahan berisi poin-poin apa yang dapat dilakukan siswa untuk dapat menyelesaikan kegiatan ataupun pertanyaan-pertanyaan yang ada pada lembar PBMP tersebut (Habibah, 2008:16)

Siswa dilatih menalar dan dapat berpikir kritis untuk memecahkan masalah yang telah diberikan oleh guru. Guru juga memberikan kesempatan siswa untuk menjawab dengan asumsi pemikirannya sendiri, kemudian berpasangan untuk mendiskusikan hasil jawaban mereka, kemudian pasangan-pasangan yang telah dibentuk tersebut melaporkan hasil jawabannya kepada teman sekelas untuk dapat didiskusikan dan dicari pemecahannya bersama-sama sehingga terbentuk suatu konsep. Pembelajaran PBMP sejatinya siswa diminta membaca atau mencari informasi dari berbagai sumber.

  1. Sintaks Gabungan PBMP dan TPS

Adapun sintaks gabungan PBMP dan TPS (Corebima dalam Vivilia, 2006:27) dapat diamati dalam Gambar 1.

Gambar 1 Sintaks gabungan PBMP dan TPS

  1. Hasil belajar

Hasil belajar merupakan hal kompleks yang terjadi sehari-hari dan merupakan suatu proses perubahan bagi siswa dalam menghadapi bahan ajar. Bahan ajar dapat berupa keadaan alam, belajar tumbuhan dan manusia. Penilaian hasil belajar adalah proses pemberian nilai terhadap hasil-hasil belajar yang di capai oleh siswa dengan kriteria tertentu. Hasil belajar siswa pada hakikatnya adalah perubahan tingkah laku. Tingkah laku sebagai hasil belajar dalam pengertian yang cukup luas mencakup bidang kognitif, afektif dan psikomotor sehingga dengan belajar seseorang akan mengalami perubahan berpikir, sikap dan alam kehidupan sehari-hari.

Hasil belajar menurut taksonomi Bloom terdiri dari tiga ranah: 1) ranah kognitif, berkenaan dengan hasil belajar intelektual yang terdiri dari enam aspek, yakni pengetahuan atau ingatan, pemahaman, aplikasi, analisis, sintesis dan evaluasi. Kedua aspek pertama disebut kognitif tingkat rendah dan keempat aspek berikut disebut kognitif tingkat tinggi; 2) ranah afektif berkenaan dengan partisipasi siswa dalam pembelajaran, sikap khusus siswa, maupun respons siswa dalam kegiatan membaca, menyimak, berbicara, maupun menulis, perkembangan siswa dalam menguasai isi pembelajaran, sikap/kemampuan siswa bekerja sama, partisipasi siswa, kemampuan bertanya, atau minat siswa terhadap pembelajaran (Susanto, 2006:7); dan 3) ranah psikomotoris berkenaan dengan hasil belajar keterampilan dan kemampuan bertindak. Menurut Arikunto (2003: 182) pengukuran ranah psikomotorik dilakukan terhadap hasil-hasil belajar yang berupa penampilan, hal-hal yang diamati dalam ranah psikomotoris ini berupa keterampilan dalam menyiapkan alat, memperhatikan kebersihan serta mampu bekerja sama.

Menurut Susanto (2006:1) belajar merupakan proses di mana otak atau pikiran mengadakan reaksi terhadap kondisi luar dan reaksi itu dapat dimodifikasi dengan pengalaman-pengalaman yang dialami sebelumnya. Belajar dapat berlangsung secara efektif apabila hasil belajar yang dicapai mendekati atau sama dengan tujuan belajar yang diharapkan.

Hasil belajar yang demikian dapat dicapai antara lain apabila kegiatan mengajar atau menyampaikan mata pelajaran sesuai dengan gaya belajar siswa, keefektifan belajar akan semakin tinggi bila kegiatan mengajar sesuai dengan faktor intern (intelegen, kemampuan, motivasi, emosional, kebutuhan, dan gaya belajar), maupun faktor ekstern (lingkungan, keluarga) sehingga dapat dikatakan bahwa mengajar yang efektif adalah mengajar yang sesuai bagi setiap siswa. Terciptanya proses belajar yang efektif dan efisien akan menjadikan hasil belajar lebih berarti, lebih bermakna serta berdaya guna pada diri individu yang belajar.

  1. Proses Belajar

Proses belajar adalah suatu proses interaksi mengajar antara guru dan siswa yang di dalamnya terdapat aktivitas siswa selama pembelajaran berlangsung. Aktivitas yang berarti kegiatan yang dilakukan oleh yang bersangkutan. Aktivitas siswa merupakan bentuk kegiatan yang dilakukan oleh siswa selama proses pembelajaran untuk memperoleh konsep aktivitas siswa dalam proses pembelajaran.

Proses belajar mengajar (PBM) merupakan suatu proses yang mengandung serangkaian perbuatan guru dan siswa atas dasar hubungan timbal balik yang berlangsung dalam situasi edukatif untuk mencapai tujuan tertentu. Proses belajar mengajar memiliki 4 komponen, yaitu tujuan, bahan, metode dan alat penilaian (Rusyan, 1989:28). Keempat komponen tersebut tidak dapat berdiri sendiri, tetapi saling berpengaruh satu sama lainnya.

Diedrich dalam Nasution (2000) membuat suatu daftar yang berisi macam-macam aktivitas siswa antara lain:

  1. Visual activities, misalnya membaca, memperhatikan: gambar, demonstrasi, percobaan, dan pekerjaan orang lain,

  2. Oral activities, misalnya menyatakan, merumuskan, bertanya, memberi saran, mengemukakan pendapat, mengadakan wawancara, diskusi, dan interupsi,

  3. Listening activities, misalnya mendengarkan uraian, percakapan, diskusi, musik, dan pidato,

  4. Writing activities, misalnya menulis cerita, karangan, laporan, tes, angket, dan menyalin,

  5. Drawing activities, misalnya menggambar, membuat grafik, peta, diagram, dan pola,

  6. Motor activities, misalnya melakukan percobaan, membuat konstruksi model, mereparasi, bermain, berkebun, dan memelihara binatang,

  7. Mental activities, misalnya menanggapi, mengingat, memecahkan soal, menganalisis, melihat hubungan, dan mengambil keputusan,

  8. Emotional activities, misalnya menarik minat, merasa bosan, gembira, bersemangat, bergairah, berani, tenang, dan gugup.

Penilaian Proses Belajar adalah upaya memberikan nilai terhadap kegiatan belajar mengajar yang dilakukan oleh siswa dan guru dalam mencapai tujuan-tujuan pengajaran. Penilaian ini dapat dilihat sejauh mana keefektifan dan efisiennya dalam mencapai tujuan pengajaran atau perubahan tingkah laku siswa. Penilaian hasil dan proses belajar saling berkaitan satu sama lain, sebab hasil merupakan akibat dari proses.

DAFTAR RUJUKAN

Arikunto, S. 2003. Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.

Chaliyah, C. 2003. Pengaruh Pembelajaran dengan Pendekatan Problem Posing terhadap Motivasi Berprestasi dan Hasil Belajar Fluida Diam Siswa Kelas 1 MAN 2 Batu. Skripsi tidak diterbitkan. Malang: UM.

Chapsah, U. 2004. Peningkatan Kemampuan Berpikir dan Hasil Beajar Siswa melalui Metode TPS dengan Pola PBMP pada Matapelajaran Kelas III SLTP Negeri I Tumpang Kabupaten Malang. Malang: Lemlit UM.

Corebima. 2004. Pengembangan Lembar PBMP (TEQ) dalam Pembelajaran IPA-Biologi. Makalah disajikan dalam rangka Upaya Peningkatan Pembelajaran di National School Buin Batu Town Site NTT, Desember.

Depdiknas. 2004. Kurikulum Sekolah Menengah Pertama (SMP) Pedoman Khusus Pengembangan Silabus Berbasis Kompetensi Mata Pelajaran Pendidikan Jasmani. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.

Dimyati dan Mujiono. 1994. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Depdikbud.

Estiti, M. 2007. Penerapan Pembelajaran Kooperatif Model TPS pada Mata Pelajaran Biologi untuk Meningkatkan Prestasi dan Belajar Siswa Kelas XII IPA SMAN I Gondangwetan Pasuruan. Skripsi tidak diterbitkan. Malang: UM.

Habibah, K. N. 2008. Pengaruh Strategi Pembelajaran PBMP (Pemberdayaan Berpikir Melalui Pertanyaan) dan TPS (Think Pair Share) terhadap Kemampuan Berpikir Keterampilan Metakognitif dan Pemahaman Konsep Siswa Kelas VII Di SMPN 4 Malang Pada Kemampuan Akademik Berbeda. Skripsi tidak diterbitkan. Malang: UM.

Ibrohim. 2000. Pembelajaran Kooperatif. Surabaya: Universitas Negeri Surabaya.

Islamiyah, M. 2007. Penerapan Pendekatan Salingtemas (Sains, Lingkungan, Teknologi, Dan Masyarakat) melalui TPS (Think-Pair-Share) untuk Meningkatkan Proses dan Hasil Belajar Siswa Kelas X-3 SMA Negeri 1 Paciran Lamongan. Skripsi tidak diterbitkan. Malang: UM.

Kuntari, D. 2005. Penerapan Pola PBMP dengan Metode TPS untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir dan Hasil belajar Siswa Kelas X SMU 2 Batu. Skripsi tidak diterbitkan. Malang. UM.

Mbulu. 2003. Pengajaran Individual. Malang: Yayasan Elang.

Ni’matul janah, Iis. 2006. Pengaruh Penerapan Pola PBMP dengan Metode TPS terhadap Kemampuan Berpikir dan Hasil Belajar Siswa Berkemampuan Tinggi dan Rendah pada Pembelajaran Biologi Kelas VII SMP 1 Tumpang Malang. Skripsi tidak diterbitkan. Malang: UM.

Nurhadi, dkk. 2004. Pembelajaran Contextual (Contectal Teaching and Learning/CTL) dan Penerapannya dalam KBK. Malang: UM.

Palisoa, N. 2006. Penerapan Metode Praktikum untuk Meningkatkan Proses dan Hasil Belajar Biologi Siswa Kelas 1 SMP Wahid Hasym Malang. Skripsi tidak diterbitkan. Malang: UM.

Pitaloka, P. 2006. Hubungan antara Akademik Life Skill dan Hasil Belajar pada Pembelajaran Biologi dengan Pola PBMP dan Metode TPS di kelas 3-D SMPN I Kepanjen Kabupaten Malang. Skripsi tidak diterbitkan. Malang: UM.

Poerwadarminta. 1985. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka

Rusyan, A.T. 1989. Pendekatan dalam Proses Belajar Mengajar. Bandung: Remaja Karya CV.

Robinson, A. 1988. Azas-azas Praktek Mengajar.Jakarta: Bhrata CV.

Sirait, B. 1981. Menyusun Hasil Tes Belajar. Semarang: IKIP Semarang Press.

Suliyatin. 2003. Penerapan Kegiatan Praktikum Pembelajaran Biologi untuk Meningkatkan Motivasi dan Prestasi Belajar Siswa Kelas II SMUN 1 Sidayu Gresik. Skripsi tidak diterbitkan Malang: UM.

Sudjana, N. 1995. Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Sudrajat, A. 2008. Penilaian Hasil Belajar (Online) http://let’s talk about edication.html diakses tanggal 2 januari 2010.

Suparmi. 2007. Penerapan Pola Pemberdayaan Berpikir Melalui Pertanyaan (PBMP) dengan Metode Kooperatif Think Pair Share (TPS) untuk Meningkatkan Kemampuan Siswa Kelas XI IPS I SMA Laboratorium Universitas Negeri Malang pada Mata Pelajaran Akuntansi. Skripsi tidak diterbitkan. Malang: UM.

Sunarsih. 2006. Penerapan TPS dalam Pembelajaran Konstruktivis untuk Meningkatkan Proses Belajar Biologi Siswa Kelas X SMAN 2 Malang. Skripsi tidak diterbitkan. Malang: UM.

Susanti, A. 2009. Penerapan Pola PBMP dengan Metode TSTS (Two Stay Two Stray) untuk Meningkatkan Aktivitas dan Hasil Belajar Biologi Siswa Kelas X-2 SMAN 3 Malang. Skripsi tidak diterbitkan. Malang: UM.

Susanto, P. 2002. Keterampilan Dasar Mengajar IPA Berbasis Konstruktivisme. Malang: UM.

Susanto, P. 2006. Pengajaran Mikro Berbasis Kompetensi. Malang: UPT PPL UM.

Susilo, H. 2005. Pembelajaran Kooperatif Think Pair Share. Makalah Disampaikan pada Pelatihan PBMP pada Pembelajaran dengan Tema Pemberdayaan Kemampuan Berpikir Selama Pembelajaran sebagai Langkah Strategis Implementasi Kurikulum 2004 bagi Para Guru dan Mahasiswa Sains Biologi dalam Rangka RUKK, Malang 25 Juni.

Vivilia, N. 2006. Pengaruh Penerapan Pemberdayaan Berpikir Melalui Pertanyaan (PBMP) dengan Metode TPS terhadap Pencapaian Kecakapan Akademik dan Hasil Belajar Biologi Siswa Kelas VII SMP 11 Malang. Skripsi tidak diterbitkan. Malang: UM.

Yanis, M. 2007. Profesionalisme Guru dan Implementasi KTSP. Jakarta: Gaung Persada Press.

Zulkifli. 2001. Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Think Pair Share (TPS) untuk Meningkatkan Prestasi Belajar Fisika pada Materi Usaha Kelas 2 SLTP 2 Sidoarjo. Skripsi tidak diterbitkan. Malang: UM

19 Juni 2010

Kepemimpinan Kepala Sekolah, Partisipasi Komite Sekolah, dan Prestasi Kerja Guru

Memasuki era global, kompetisi menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam kehidupan. Oleh karena itu agar kita mampu hidup di era tersebut bahkan mampu bersaing dengan baik, diperlukan modal yang kuat dan strategi yang memadai. Dalam hal ini sumber daya alam, dan sumber daya manusia yang berkualitas menjadi sesuatu yang penting keberadaannya. Meskipun demikian sumber daya alam yang melimpah bukan merupakan jaminan dalam memenangkan kompetisi global, akan tetapi sumber daya manusia yang berkualitas sebagai pemegang kunci kemenangannya. Oleh karena itu sumber daya manusia yang berkualitas menjadi faktor penting dan sekaligus penentu dalam mengantisipasi kehidupan global.

Sumber daya manusia yang berkualitas merupakan modal dasar yang keberadaannya tidak bisa lepas dari peran lembaga pendidikan. Artinya kualitas sumber daya manusia yang baik tidak lepas dari peran serta pendidikan yang baik. Pendidikan dikatakan baik apabila dalam perencanaan, pelaksanaan dan hasilnya mampu mengantisipasi terhadap tuntutan perubahan zaman dan bahkan mampu mempelopori terjadinya perubahan.

Selama ini mutu pendidikan masih menjadi persoalan mendasar bagi bangsa Indonesia. Bahkan berbagai upaya telah dilakukan guna mencari solusi jalan keluarnya seperti halnya pengembangan kurikulum nasional, peningkatan kompetensi guru melalui pelatihan, pengadaan buku dan alat pelajaran, pengadaan dan perbaikan sarana dan prasarana pendidikan dan peningkatan mutu manajemen sekolah, namun demikian hingga kini hasilnya masih belum menggembirakan.

Sejalan dengan keadaan yang demikian, muncullah desakan yang sangat kuat yang mengarah pada adanya tuntutan perubahan sesuai dengan situasi yang sedang berkembang. Selanjutnya desakan tersebut mendapatkan respon yakni dengan ditetapkannya UU Nomor 20 Tahun 2003 dimana dalam implikasi khususnya dibidang pendidikan lahir suatu model manajemen yang disebut “Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah.”

Secara umum, manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah dapat diartikan sebagai model manajemen yang memberikan otonomi lebih besar kepada sekolah, dan mendorong partisipasi secara langsung warga sekolah (guru, siswa, kepala sekolah, karyawan) dan masyarakat (orangtua siswa, tokoh masyarakat, ilmuwan, pengusaha, dan sebagainya) untuk meningkatkan mutu sekolah berdasarkan kebijakan pendidikan nasional serta peraturan perundang-undangan yang berlaku (Depdiknas, 2002:3). Manajemen ini bertujuan untuk memandirikan atau memberdayakan sekolah melalui pemberian kewenangan (otonomi) kepada sekolah, pemberian fleksibelitas yang lebih besar kepada sekolah untuk mengelola sumber daya sekolah, dan mendorong partisipasi warga sekolah dan masyarakat untuk meningkatkan mutu pendidikan. Peningkatan mutu pendidikan melalui manajemen ini tidak hanya pada sisi output atau hasilnya saja, melainkan menyeluruh yakni mencakup input, proses dan outputnya. Peningkatan kualitas input mencakup beberapa hal, antara lain: (a) peningkatan kualitas personil, seperti kepala sekolah, guru, konselor, karyawan dan peserta didik, (b) peningkatan fisik, misalnya gedung dan perlengkapan sekolah lainnya (c) peningkatan operasional, seperti kurikulum, peraturan dan sebagainya dan (d) peningkatan harapan sekolah seperti, visi, misi, tujuan dan sasaran sekolah. Peningkatan kualitas proses mencakup beberapa hal antara lain : proses pembuatan keputusan, proses pengelolaan lembaga, proses monitoring dan sebagainya. Sedangkan peningkatan mutu output, sebagai parameternya adalah adanya lulusan yang berprestasi dan berkualitas, baik prestasi yang bersifat akademis dan nonakademis. Output yang berprestasi dan berkualitas tentunya tidak lepas dari peran aktif guru yang berprestasi.

Manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah merupakan paradigma baru dalam pendidikan, dalam prakteknya menuntut adanya : (a) kepemimpinan sekolah yang kuat, (b) partisipasi warga sekolah dan warga masyarakat yang tinggi, (c) pengelolaan tenaga kependidikan yang efektif, (d) proses belajar mengajar yang efektif, (e) keterbukaan dan kemauan untuk berubah, (f) responsive dan antisipatif, (g) akuntabilitas, (h) teamwork yang cerdas, kompak dan dinamis, dan sebagainya. Sejalan dengan tuntutan tersebut, maka kepala sekolah dan komite sekolah memiliki peranan yang sangat strategis dalam meningkatkan kinerja sekolah termasuk dalam hal ini meningkatkan prestasi kerja guru.

Beberapa faktor penting dalam implementasi manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah adalah adanya kepemimpinan yang baik, serta adanya partisipasi masyarakat yang tinggi di setiap sekolah. Peran kepala sekolah dalam lingkungan sekolah adalah sebagai pemimpin, pendidik, supervisor, inovator, dan motivator. Pada kenyataannya Kepala-kepala SMA Negeri di Kabupaten Banjar belum menjalankan peran dan fungsinya secara maksimal, sehingga berpengaruh pada prestasi guru.

Implementasi pelaksanaan manajemen berbasis sekolah, dalam hal ini keterlibatan masyarakat dan stake holder lainnya adalah dibentuknya komite sekolah disemua jenjang pendidikan, baik tingkat sekolah dasar maupun sekolah menengah. Di tingkat pendidikan dasar (SD,MI, SMP dan MTs), keberadaan komite memang sudah berkurang peranannya sejalan dengan adanya kebijakan pemerintah meluncurkan program BOS, dimana hampir semua pembiayaan pendidikan pada pendidikan dasar sudah terakomodir melalui dana BOS.

Berbeda dengan jenjang pendidikan menengah (SMA, MA, SMK) keberadaan komite sebagai mitra sekolah justru memegang peran yang sangat penting dan strategis dalam menopang aktifitas sekolah, khususnya yang berkaitan dengan pendanaan. Tidak dapat dipungkiri bahwa pada jenjang pendidikan menengah (SMA, SMK dan MA) peran serta komite sekolah masih sangat diperlukan dalam kegiatan aktifitas sekolah; termasuk membantu meningkatkan kesejahteraan para guru.

A. Kepemimpinan Kepala Sekolah

1. Kepemimpinan

Kepemimpinan berasal dari kata memimpin mengandung makna sebagai suatu kemampuan untuk menggerakkan semua sumber yang ada pada suatu organisasi sehingga dapat didayagunakan secara maksimal untuk mencapai tujuan yang ditetapkan. Menurut Wahjosumidjo, dalam praktek organisasi, kata “memimpin” mengandung konotasi menggerakkan, mengarahkan, membimbing, melindungi, membina, memberikan teladan, memberikan dorongan, memberikan bantuan, dan sebagainya (Wahjosumidjo, 2002 : 82).

Banyak ahli yang memberikan definisi kepemimpinan menurut pandangan pribadi mereka, serta aspek-aspek fenomena dari kepentingan yang paling baik bagi pakar yang bersangkutan. Yulk mendefinisikan kepemimpinan sebagai suatu sifat, perilaku pribadi, pengaruh terhadap orang lain, pola-pola interaksi, hubungan kerjasama antar peran, kedudukan dari suatu jabatan administratif, dan persepsi dari lain-lain tentang legitimasi pengaruh (Yulk, 1989 :3).

Sementara itu, Goerge Terry mendefinisikan “Kepemimpinan adalah aktivitas mempengaruhi orang-orang untuk berusaha mencapai tujuan kelompok secara sukarela” (Hersey dan Blanchard, 2002:98), kepemimpinan sebagai kemampuan menggerakkan, memberikan motivasi, dan mempengaruhi orang-orang agar bersedia melakukan tindakan-tindakan yang terarah pada pencapaian tujuan melalui keberanian mengambil keputusan tentang kegiatan yang harus dilakukan (Nawawi, 2003 : 20).

Soekarto (1984:7) memberikan definisi kepemimpinan sebagai kemampuan dan kesiapan yang dimiliki oleh seseorang untuk dapat mempengaruhi, mendorong, mengajak, menuntut, menggunakan dan kalau perlu memaksa orang lain agar menerima pengaruh itu dan selanjutnya berbuat sesuatu yang dapat membantu pencapaian tujuan-tujuan tertentu. Sutarto (1995:23-24) merangkum berbagai definisi kepemimpinan menurut pendapat para ahli, sebagai berikut :

  1. Aktivitas mempengaruhi (Tead)

  2. Kemampuan Mengajar (Ronter dan Devis)

  3. Kemampuan mengarahkan (Reuter)

  4. Kemampuan menciptakan (Freeman dan Taylor)

  5. Proses mempengaruhi (Stogdil, Tosi, Scoot, Chung, Megginson, Sharma, Hersey, Blanchard, Hallander)

  6. Usaha Mengarahkan (Haiman)

  7. Menggunakan wewenang dan membuat keputusan (Dubin)

  8. Awal dari tindakan (Hemphill)

  9. Mengarahkan (Hemphill dan Coons)

  10. Kemampuan membuat orang bertindak (Moore)

  11. Hubungan kekuasaan (Janda)

  12. Kemampuan meyakinkan (Black)

  13. Saling mempengaruhi antar pribadi (Tennenbaum, Irving, dan Fred)

  14. Hubungan dan pemeliharaan struktur (Sherif)

  15. Mempengaruhi (Negro, Terry dan Stoner)

  16. Seni mengkoordinasikan dan memotivasi (Piffner dan Presthus).

Kepemimpinan adalah suatu usaha mempengaruhi orang antar perseorangan (interpersonal), lewat proses komunikasi, untuk mencapai sesuatu atau beberapa tujuan (Gibson, Ivancevich, Donnely, 1997:264). Definisi tersebut mengandung arti bahwa (1) kepemimpinan mencakup penggunaan pengaruh dan semua hubungan antar perseorangan, (2) pentingnya komunikasi dalam kepemimpinan, (3) memusatkan perhatian pada pencapaian tujuan,

Dari sekian banyak definisi kepemimpinan yang berbeda-beda pada dasarnya mengandung kesamaan asumsi yang bersifat umum seperti: (1) di dalam satu fenomena kelompok melibatkan interaksi antara dua orang atau lebih, (2) didalam melibatkan proses mempengaruhi, dimana pengaruh yang sengaja (intentional influence) digunakan oleh pemimpin terhadap bawahan. Disamping kesamaan asumsi terdapat juga perbedaan yang bersifat umum pula seperti: (1) siapa yang mempergunakan pengaruh, (2) tujuan dari pada usaha untuk mempengaruhi dan (3) cara pengaruh itu dipergunakan.

Berdasarkan uraian tentang definisi kepemimpinan di atas, terlihat bahwa unsur kunci kepemimpinan adalah pengaruh yang dimiliki seseorang dan pada gilirannya akibat pengaruh itu bagi orang yang hendak dipengaruhi. Peranan penting dalam kepemimpinan adalah upaya seseorang yang memainkan peran sebagai pemimpin guna mempengaruhi orang lain dalam organisasi/lembaga tertentu untuk mencapai tujuan. Menurut Wirawan, (2002:135) “mempengaruhi” adalah proses dimana orang yang mempengaruhi berusaha merubah sikap, perilaku, nilai-nilai, norma-norma, kepercayaan, pikiran, dan tujuan orang yang dipengaruhi secara sistematis.

Bertolak dari pengertian kepemimpinan, terdapat tiga unsur yang saling berkaitan, yaitu unsur manusia, sarana, dan tujuan. Untuk dapat memperlakukan ketiga unsur tersebut secara seimbang, seorang pemimpin harus memiliki pengetahuan, kecakapan dan keterampilan yang diperlukan dalam melaksanakan kepemimpinannya. Pengetahuan dan keterampilan ini dapat diperoleh dari pengalaman belajar secara teori ataupun dari pengalamannya dalam praktek selama menjadi pemimpin. Namun secara tidak disadari seorang pemimpin dalam memperlakukan kepemimpinannya menurut caranya sendiri, dan cara-cara yang digunakan itu merupakan pencerminan dari sifat-sifat dasar kepemimpinannya.

2. Kepemimpinan Kepala Sekolah

Dalam dunia pendidikan kepemimpinan dapat diartikan sebagai usaha kepala sekolah dalam memimpin, mempengaruhi, dan memberikan bimbingan kepada para personil pendidikan sebagai bawahan agar tujuan pendidikan dan pengajaran dapat tercapai melalui serangkaian kegiatan yang telah ditetapkan (Anwar, 2003:70).

Fungsi kepemimpinan pendidikan menunjuk kepada berbagai aktivitas atau tindakan yang dilakukan kepala sekolah sebagai pemimpin berupaya menggerakkan guru-guru, karyawan, siswa dan anggota masyarakat agar berbuat sesuatu guna melaksanakan program-program pendidikan di sekolah. Lebih lanjut Anwar (2003:70) mengatakan bahwa untuk mencapai tujuan kepemimpinan pendidikan di sekolah pada intinya kepemimpinan pendidikan memiliki tiga fungsi yaitu :

  1. Membantu kelompok merumuskan tujuan pendidikan yang akan dicapai sebagai untuk menentukan kegiatan yang akan dilakukan.

  2. Menggerakkan guru-guru, karyawan, siswa dan anggota masyarakat untuk mensukseskan program pendidikan di sekolah.

  3. Menciptakan sekolah sebagai suatu lingkungan kerja yang harmonis, sehat, dinamis dan nyaman, sehingga segenap anggota dapat bekerja dengan produktivitas tinggi dan memperoleh kepuasan dalam bekerja.

Kemampuan pemimpin mempengaruhi orang lain melalui kelebihan yang dimilikinya baik yang berkaitan dengan sifat kepribadian, maupun dengan keluasan pengetahuan dan pengalamannya yang mendapat pengakuan dari orang-orang yang dipimpin. Menurut Lozetto sekolah yang efektif tercipta karena kepemimpinan yang telah diterapkan sekolah diarahkan pada proses pemberdayaan guru sehingga kinerja guru lebih berdasarkan pada prinsip dan konsep bersama bukan karena instruksi dari pimpinan.

Kepala sekolah harus memahami bahwa sekolah sebagai suatu sistem organik sehingga sebagai pemimpin (leader), kepala sekolah harus lebih mampu mengarahkan dari pada mendorong atau memaksa, lebih bersandar pada kerjasama dalam menjalankan tugas dibandingkan pada kekuasaan, menanamkan kepercayaan pada diri guru dan staf administrasi bukannya menciptakan rasa takut, menunjukkan bagaimana cara melakukan sesuatu bukan bagaimana ia tahu sesuatu, mengembangkan suasana kerja yang menyenangkan bukan yang membosankan, senantiasa berusaha memperbaiki kesalahan yang ada dari pada menyalahkan kesalahan pada orang lain, bekerja dengan kesungguhan.

Gaya kepemimpinan kepala sekolah agar efektif dalam membina hubungan baik dengan orang-orang yang dipimpinnya yaitu bagaimana kepala sekolah memberi contoh, mengutamakan kualitas, bekerja dengan dasar hubungan kemanusiaan yang baik, memahami masyarakat sekitarnya, memiliki sikap mental yang baik, berkepentingan dengan staf dan sekolah, melakukan kompromi untuk mencapai kesepakatan. Mempertahankan stabilitas, mampu mengatasi stress, menciptakan struktur agar pembagian kerja dapat dilaksanakan, mentolerir adanya kesalahan, tidak menciptakan konflik pribadi, memimpin melalui pendekatan positif, tidak mendahului orang-orang yang dipimpinnya, mudah dihubungi orang lain, memiliki keluarga yang serasi (Atmodiwirio dan Totosiswanto, 1991:73).

Kepala Sekolah merupakan sosok “yang dituakan” sehingga yang diharapkan darinya adalah contoh dan teladan yang baik. Kedudukannya sebagai pimpinan membawa dampak bahwa kepala sekolah berkewajiban melaksanakan bimbingan dan teguran terhadap anak yang melakukan kesalahan dengan sikap kebapakan dan tidak dilandasi dengan sikap kecurigaan. Sekolah dianggap sebagai keluarga besar yang memerlukan kerjasama warganya dan kerjasama inilah merupakan landasan keberhasilan sekolah.

Oleh karena itu dalam persepsi guru, seorang kepala sekolah harus memiliki karakteristik sebagai kepala keluarga di sekolah. Sifat-sifat atau karakteristik seorang kepala sekolah sebagai kepala keluarga disekolah yaitu:

  1. memiliki integritas, yaitu bersikap tegas dan jujur, baik yang tercermindari sifat-sifat pribadinya maupun dalam pelaksanaan prinsip-prinsip moralnya;

  2. adil, yaitu harus bersikap adil terhadap kebenaran dan tidak ada perbedaan perlakuan kepada siapapun;

  3. berkemampuan, yaitu mampu melaksanakan tugasnya dan mampu melaksanakan hubungan kemanusiaan dengan baik

  4. reliabilitas, yaitu memiliki kemampuan untuk bekerja sama dengan orang lain dalam melaksanakan komitmennya.

3. Kualitas Kepemimpinan Kepala Sekolah

Kepala sekolah adalah pimpinan (leader) tertinggi di sekolah. Pada sekolah yang menerapkan manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah, kepala sekolah memiliki peran yang kuat dalam mengkoordinasikan, menggerakan, dan menselaraskan semua sumber daya pendidikan yang tersedia. Kepemimpinan kepala sekolah merupakan salah satu faktor yang dapat mendorong sekolah untuk dapat mewujudkan visi, misi, tujuan dan sasaran sekolahnya melalui program-program yang dilaksanakan secara terencana dan bertahap. Oleh karena itu kepala sekolah dituntut memiliki kemampuan manajemen dan kepemimpinan yang berkualitas agar mampu mengambil keputusan dan prakarsa untuk meningkatkan mutu sekolah. Sejalan dengan hal tersebut, Dharma (2003 : 2) menegaskan bahwa : “ Kepemimpinan pendidikan mengacu pada kualitas tertentu yang harus dimiliki kepala sekolah untuk dapat mengemban tanggung jawabnya secara berhasil.” Kualitas yang dimaksud antara lain; (a) kepala sekolah harus tahu persis apa yang ingin dicapainya (visi) dan bagaimana mencapainya (misi). (b) kepala sekolah harus memiliki sejumlah kompetensi untuk melaksanakan misi guna mewujudkan visi itu. (c) kepala sekolah harus memiliki karakter tertentu yang menunjukkan integritasnya.

Dalam paradigma baru manajemen pendidikan, kepala sekolah sedikitnya harus mampu berfungsi sebagai educator, manajer, administrator, supervisor, leader, innovator, motivator (EMASLIM) (Mulyasa, 2003 : 98).

Kepemimpinan kepala sekolah yang berkualitas paling tidak harus memiliki kepribadian yang kuat, memahami tujuan dengan baik, memiliki pengetahuan yang luas dan memiliki ketrampilan professional yang terkait dengan bidang tugasnya. Kepribadian yang kuat dapat dilihat dari sifat-sifat seperti, keberanian, kejujuran, semangat, kepekaan sosial dan sebagainya.

Wahjosumidjo (2002:110), menegaskan bahwa kepala sekolah sebagai pemimpin yang baik adalah seorang kepala sekolah yang memiliki karakter atau ciri-ciri khusus yang mencakup : kepribadian, keahlian dasar, pengalaman dan pengetahuan professional, diklat dan ketrampilan professional, pengetahuan administrasi dan pengawasan.

Sedangkan Mulyasa (2003:115) menjelaskan bahwa kemampuan yang harus diwujudkan kepala sekolah sebagai leader dapat dianalisa dari kepribadian, pengetahuan terhadap tenaga kependidikan, visi dan misi sekolah, kemampuan mengambil keputusan dan kemampuan berkomunikasi.

Dengan demikian kualitas kepemimpinan kepala sekolah adalah mutu kepemimpinan yang dapat dijabarkan melalui aspek-aspek berikut :

a ) Kepribadian kepala sekolah

Kepribadian kepala sekolah sebagai leader akan tercermin dalam sifat-sifat: (1) jujur, (2) percaya diri, (3) tanggung jawab, (4) berani mengambil resiko dan keputusan, (5) berjiwa besar, (6) emosi yang stabil, (7) teladan. Kepribadian yang kuat mengindikasikan adanya kepemimpinan yang berkualitas.

b) Pemahaman terhadap visi dan misi

Sedangkan pemahaman terhadap tujuan dapat dilihat dari kesesuaian kemampuan konsep dengan aksi dan sasaran-sasaran yang ditetapkan. Pemahaman yang baik akan tujuan lembaga yang dipimpinnya merupakan bekal utama kepala sekolah dalam menentukan strategi serta upaya mempengaruhi, mengarahkan, menggerakan, dan membimbing para guru dan staf, siswa dan fihak lain untuk melakukan tugas dan kewajiban mengarah pada tujuan yang ditetapkan. Pemahaman terhadap visi dan misi sekolahakan tercermin dalam kemampuannya untuk mengembangkan visi sekolah, mengembangkan misi sekolah, serta melaksanakan program untuk mewujudkan visi dan misi sekolah.

c) Pengetahuan (knowledge)

Kepala sekolah juga harus memiliki pengetahuan yang luas, agar persoalan-persoalan yang muncul dapat dihadapi dengan arif dan bijaksana. Pengetahuan kepala sekolah terhadap tenaga kependidikan akan tercermin dalam kemampuan: memahami kondisi tenaga kependidikan baik guru maupun non guru, memahami kondisi peserta didik, memahami karakteristik peserta didik, menyusun program pengembangan tenaga kependidikan, menerima masukan dan saran-saran serta kritikan dari berbagai pihak untuk meningkatkan kepemimpinannya.

d). Ketrampilan mengambil keputusan

Kualitas kepemimpinan kepala sekolah dapat dilihat dari kecerdasan, kreativitas, serta kearifan kepala sekolah dalam menemukan solusi terhadap setiap persoalan yang dihadapinya. Kemampuan ini dapat terbangun dari pengalaman dan luasnya pengetahuan kepala sekolah. Kemampuan mengambil keputusan akan tercermin dari kemampuan dalam mengambil keputusan bersama tenaga kependidikan di sekolah, mengambil keputusan untuk kepentingan internal sekolah, dan mengambil keputusan untuk kepentingan eksternal sekolah.

e) Kemampuan berkomunikasi

Kemampuan berkomunikasi akan tercermin dari kemampuannya untuk : berkomunikasi secara lisan dengan tenaga kependidikan disekolah, menuangkan gagasan dalam bentuk tulisan, berkomunikasi secara lisan dengan orang tua siswa dan masyarakat sekitar lingkungan sekolah.

Kualitas kepemimpinan kepala sekolah juga dapat dilihat dari ketrampilan professional, ketrampilan professional yang terkait dengan tugasnya sebagai kepala sekolah, meliputi: 1) Ketrampilan teknis, misalnya menyusun jadwal pelajaran, mensupervisi pengajaran, memimpin rapat dan seterusnya. 2) Ketrampilan hubungan kemanusiaan, misalnya bekerjasama dengan orang lain, memotivasi, dan mendorong guru dan staf dan seterusnya. 3) Ketrampilan konseptual, misalnya mengembangkan konsep pengembangan sekolah, memperkirakan masalah yang akan muncul dan mencari pemecahannya (Depdikbud, 1998 : 11).

Pada uraian di atas telah dijelaskan bahwa kualitas kepemimpinan dapat dilihat dari aspek-aspek kepribadian, kemampuan konsep, dan kemampuan skilnya. Kaitannya dengan kualitas kepemimpinan kepala sekolah, Burhanuddin (1994 : 78), menegaskan bahwa : dibidang kekepalasekolahan, kualitas kepemimpinan yang penting dapat diklasifikasikan menjadi empat kategori pokok yang saling berhubungan dan interdependen, yakni 1) personality, 2) pusposes, 3) knowledge, 4) professional skills.

4. Pendekatan Studi Kepemimpinan

Masalah yang utama dalam kepemimpinan menurut Fiedler dan Charmer (1974: 29-30) yaitu: “(1) bagaimana seseorang dapat menjadi seorang pemimpin, (2) bagaimana para pemimpin itu berperilaku, dan (3) apa yang membuat pemimpin itu berhasil. Untuk memberikan pemecahan persoalan yang terkandung di dalam ketiga permasalahan tersebut ada beberapa pendekatan studi kepemimpinan yaitu pendekatan pengaruh kewibawaan, sifat, perilaku dan situasional”.

Berikut uraian ke empat macam pendekatan tersebut :

        1. Pendekatan pengaruh kewibawaan (power influence approach)

Pendekatan ini memandang bahwa pemimpin yang berhasil adalah pemimpin yang mempunyai sejumlah kewibawaan yang menekankan proses saling mempengaruhi, sifat timbal balik dan pentingnya pertukaran hubungan kerjasama antara para pemimpin dengan bawahan.

French dan Raven dalam Wahjosumidjo (2002:31) mengemukakan “Bahwa berdasarkan hasil penelitian terdapat pengelompokan sumber kewibawaan tersebut, yaitu: (1) Legitimate power: artinya bawahan melakukan sesuatu karena pemimpin memiliki kekuasaan untuk meminta bawahan dan bawahan mempunyai kewajiban untuk mematuhinya, (2) Coersive power yaitu bawahan mengerjakan sesuatu agar terhindar dari hukuman pemimpin, (3) Reward power yaitu bawahan mengerjakan sesuatu agar memperoleh penghargaan dari pemimpin, (4) Referent power yaitu bawahan melakukan sesuatu karena bawahan merasa kagum terhadap pemimpin, bawahan merasa kagum atau membutuhkan untuk menerima restu pemimpin, dan mau berperilaku pula seperti pemimpin, dan (5) Expert power yaitu bawahan mengerjakan sesuatu karena bawahan percaya pemimpin memiliki pengetahuan khusus dan keahlian serta mengetahui apa yang diperlukan”.

Kewibawaan merupakan keunggulan, kelebihan atau pengaruh yang dimiliki oleh kepala sekolah. Kewibawaan kepala sekolah dapat mempengaruhi bawahan, bahkan menggerakkan, memberdayakan segala sumber daya sekolah untuk mencapai tujuan sekolah sesuai dengan keinginan kepala sekolah. Berdasarkan pendekatan pengaruh kewibawaan, seorang kepala sekolah dimungkinkan untuk menggunakan pengaruh yang dimilikinya dalam membina, memberdayakan, dan memberi teladan terhadap guru sebagai bawahan. Legitimate dan coersive power memungkinkan kepala sekolah dapat melakukan pembinaan terhadap guru, sebab dengan kekuasaan dalam memerintah dan memberi hukuman, pembinaan terhadap guru akan lebih mudah dilakukan.

Sementara itu dengan reward power memungkinkan kepala sekolah memberdayakan guru secara optimal, sebab penghargaan yang layak dari kepala sekolah merupakan motivasi berharga bagi guru untuk menampilkan performan terbaiknya. Selanjutnya dengan referent dan expert power, keahlian dan perilaku kepala sekolah yang diimplementasikan dalam bentuk rutinitas kerja, diharapkan mampu meningkatkan motivasi kerja para guru.

2. Pendekatan sifat (the trait approach)

Pendekatan ini menekankan ciri-ciri individual pemimpin yang efektif. Kebanyakan dirancang untuk mengidentifikasikan ciri khas yang bersifat intelektual, emosional, fisik, dan ciri khas personal lain dari pemimpin yang berhasil. Keberhasilan pemimpin dipandang karena daya kecakapan luar biasa yang dimiliki oleh pemimpin, seperti tidak kenal lelah, intuisi yang tajam, wawasan masa depan yang luas, dan kecakapan meyakinkan yang sangat menarik.

Stogdill, mengemukakan bahwa seseorang tidak menjadi pemimpin karena memiliki suatu kombinasi sifat-sifat kepribadian, tapi pola sifat-sifat pribadi pemimpin itu mesti menunjukan hubungan tertentu dengan sifat, kegiatan, dan tujuan dari pada pengikutnya. (Sutisana, 1985:258).

Keberhasilan seorang pemimpin tidak hanya dipengaruhi oleh sifat-sifat pribadi, melainkan ditentukan pula oleh keterampilan (skill) pribadi pemimpin. Hal ini sejalan dengan pendapat Yukl (1981:34) yang menyatakan bahwa sifat-sifat pribadi dan keterampilan seseorang pimpinan berperan dalam keberhasilan seorang pemimpin.

3. Pendekatan perilaku (the behavior approach)

Pendekatan yang berdasarkan pemikiran bahwa keberhasilan atau kegagalan pemimpin ditentukan oleh sikap dan gaya kepemimpinan pemimpin dalam kegiatannya sehari-hari dalam hal bagaimana cara memberi perintah, membagi tugas dan wewenang, cara berkomunikasi, cara memberi semangat kerja, cara memberi bimbingan dan pengawasan, cara membina disiplin kerja bawahan, dan cara mengambil keputusan (Purwanto:32).

Perilaku seorang pemimpin yang efektif menurut pendekatan perilaku pemimpin yaitu Kepemimpinan memiliki paling tidak dua dimensi yang lebih kompleks dibanding teori pendahulunya yaitu genetik dan trait (sifat), Gaya kepemimpinan lebih fleksibel; yang dapat dipelajari, pemimpin dapat mengganti atau memodifikasi orientasi tugas atau pada manusianya sesuai kebutuhan, efektivitas kepemimpinan tergantung pada kebutuhan dan situasi yang dihadapi.

Pendekatan perilaku menekankan pentingnya perilaku yang dapat diamati yang dilakukan pemimpin dari sifat pribadi atau kewibawaan yang dimilikinya. Oleh sebab itu pendekatan perilaku itu mempergunakan acuan sifat pribadi dan kewibawaan. Kemampuan perilaku secara konsepsional telah berkembang kedalam berbagai macam cara dan berbagai macam tingkatan abstraksi.

4. Pendekatan situasional (situational approach)

Pendekatan situasional mengasumsikan bahwa kepemimpinan yang efektif tergantung dari situasi yang menyatakan bahwa efektivitas kepemimpinan dari penyesuaian antara kepribadian, tugas, kekuasaan, sikap dan persepsi (Gibson, Ivancevich, Donnely, 1997:285). Pendekatan situasional atau pendekatan kontingensi merupakan suatu teori yang berusaha mencari jalan tengah antara pandangan yang mengatakan organisasi dan manajemen yang bersifat universal, dan pandangan yang berpendapat bahwa tiap organisasi adalah unik dan memiliki situasi yang berbeda-beda sehingga harus dihadapi dengan gaya kepemimpinan tertentu.

Pendekatan situasional bukan hanya merupakan hal yang penting bagi kompleksitas yang bersifat interaktif dan fenomena kepemimpinan, tetapi membantu pula cara pemimpin yang potensial dengan konsep-konsep yang berguna untuk menilai situasi yang bermacam-macam dan untuk menunjukkan perilaku kepemimpinan yang tepat berdasarkan situasi. Peranan pemimpin harus dipertimbangkan dalam hubungan dengan situasi dimana peranan itu dilaksanakan. Pendekatan situasional menekankan pada pentingnya faktor-faktor kontekstual seperti sifat pekerjaan yang dilaksanakan oleh unit pimpinan, sifat lingkungan eksternal, dan karakteristik para pengikut. (Yukl, 1981:38)

B. Partisipasi Komite Sekolah

Berdasarkan prinsip desentralisasi pendidikan, sekolah mendapat kewenangan untuk menyusun program yang akan diterapkan. Disamping itu sekolah juga memperoleh kewenangan untuk mengelola segala sarana dan prasarana yang tersedia, mengelola sumber daya manusia yang dimiliki, serta melibatkan kepedulian stakeholders dalam pelaksanaan pendidikan. Untuk merealisasikan pasal 31 UUD 1945, setiap warga Negara berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran yang bermutu, dan juga untuk mencapai tujuan, maka diserahkan pengelolaan pendidikan dasar dan menengah kepada pemerintah daerah seperti yang tertuang dalam konsideran Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003, model pengelolaan sekolah yang bernuansa Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah perlu diterapkan.

Mulyasa (2003 : 31) menjelaskan bahwa : Manajemen Berbasis Sekolah merupakan konsep pemberdayaan sekolah dalam rangka peningkatan mutu dan kemandirian sekolah. Dengan manajemen berbasis sekolah diharapkan warga sekolah dan warga masyarakat setempat dapat melaksanakan pendidikan sesuai dengan kebutuhan, perkembangan zaman dan tuntutan global. Salah satu rasionalitas penerapan Manajemen Peningkatan Berbasis Sekolah adalah untuk membuat kebijakan atau keputusan menjadi lebih dekat dengan semua fihak yang berkepentingan dengan pendidikan (stakeholders), sehingga hasilnya benar-benar merupakan aspirasi stakeholders. Untuk itu, Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah mensyaratkan adanya partisipasi dari semua pihak yang terkait dengan penyelenggaraan pendidikan di sekolah, baik warga sekolah seperti guru, kepala sekolah, siswa, dan tenaga-tenaga kependidikan lainnya, maupun warga diluar sekolah seperti misalnya orang tua siswa, akademisi, tokoh masyarakat dan pihak lain yang mewakili masyarakat. Partisipasi sangat diperlukan agar setiap kebijakan dan keputusan sekolah benar-benar mencerminkan aspirasi stakeholders sekolah. Saat ini, komite sekolah merupakan wadah bagi stakeholders untuk berpartisipasi secara langsung maupun tidak langsung dalam kerangka pengembangan sekolah.

1. Pengertian Partisipasi Komite Sekolah

Komite sekolah adalah badan mandiri yang mewadahi peran serta masyarakat dalam rangka meningkatkan mutu, pemerataan, dan efisien pengelolaan pendidikan di satuan pendidikan, baik pada pendidikan pra sekolah, jalur pendidikan sekolah maupun jalur pendidikan luar sekolah (Depdiknas, 2002 : 17). Komite sekolah merupakan suatu lembaga nonprofit dan nonpolitis, dibentuk berdasarkan musyawarah yang demokratis oleh para stakeholders pendidikan pada tingkat satuan pendidikan sebagai representasi dari berbagai unsur yang bertanggung jawab terhadap peningkatan proses dan hasil pendidikan. Komite sekolah merupakan badan yang bersifat mandiri, tidak mempunyai hubungan hierarkis dengan sekolah manapun lembaga pemerintah lainnya. Komite sekolah dan memiliki kemandirian masing-masing tetapi tetap sebagai mitra yang harus saling bekerja sama sejalan dengan konsep manajemen berbasis sekolah. Menurut Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (2003 : 24) pada pasal 36 ayat 3 ditegaskan bahwa : “Komite sekolah/madrasah, sebagai lembaga mandiri, dibentuk dan berperan dalam peningkatan mutu pelayanan dengan memberikan pertimbangan, arahan dan dukungan tenaga, sarana dan prasarana, serta pengawasan pendidikan pada tingkat satu sekolah.

Komite sekolah merupakan suatu wadah yang memiliki fungsi dan peran untuk menyerap, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat dalam meningkatkan mutu pendidikan. Oleh karena itu partisipasi komite sekolah dapat dikatakan sebagai suatu proses penyaluran aspirasi masyarakat baik yang bersifat dukungan material maupun non material dari seluruh anggota dan kepengurusannya, baik secara individual maupun kolektif, secara langsung maupun tidak langsung dalam perencanaan, pengambilan keputusan dan pembuatan kebijakan, pelaksanaan, serta pengawasan/pengevaluasian pendidikan demi kemajuan mutu sekolah

2. Tujuan Komite Sekolah

Dibentuknya komite sekolah dimaksudkan sebagai wadah pemberdayaan peran serta masyarakat (Suryadi, 2003). Komite sekolah merupakan mitra sekolah dalam upaya membangun komitmen dan loyalitas serta kepedulian masyarakat terhadap peningkatan kualitas sekolah. Adapun tujuan dibentuknya komite sekolah sebagai organisasi masyarakat sekolah adalah sebagai berikut :

  1. Mewakili dan menyalurkan aspirasi dan prakarsa masyarakat dalam melahirkan kebijakan operasional dan program pendidikan di satuan pendidikan.

  2. Meningkatkan tanggung jawab dan peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan di satuan pendidikan.

  3. Menciptakan suasana dan kondisi transparan, akuntabel dan demokratis dalam penyelenggaraan dan pelayanan pendiidkan yang bermutu di satuan pendidikan.

3. Peran dan Fungsi Komite Sekolah

Keberadaan komite sekolah senantiasa bertumpu pada landasan partisipasi masyarakat dalam meningkatkan kualitas pelayanan dan hasil pendidikan di sekolah. Oleh karena itu, pembentukannya harus memperhatikan pembagian peran sesuai dengan posisi dan otonomi yang ada. Adapun peran yang dijalankan komite sekolah adalah sebabai berikut :

  1. Pemberi pertimbangan (advisory agency) dalam penentuan dan pelaksanaan kebijakan pendidikan di satuan pendidikan.

  2. Pendukung (supporting agency), baik yang berjuwujud finansial, pemikiran, maupun tenaga dalam penyelenggaraan pendidikan di satuan pendidikan.

  3. Pengontrol (controlling agency) dalam rangka transparansi dan akuntabilitas penyelenggaraan dan keluaran pendidikan di satuan pendidikan.

  4. Mediator antara pemerintah (eksekutif) dengan masyarakat di satuan pendidikan (Mulyasa, 2003 : 189)

Untuk menjalankan perannya itu, komite sekolah memiliki fungsi sebagai berikut

  1. Mendorong tumbuhnya perhatian dan komitmen masyarakat terhadap penyelenggaraan pendidikan yang bermutu.

  2. Melakukan kerja sama dengan masyarakat (perorangan/organisasi/dunia usaha/dunia industri) dan pemerintah berkenaan dengan penyelenggaraan pendidikan yang bermutu.

  3. Menampung dan menganalisis aspirasi, ide, tuntutan, dan berbagai kebutuhan pendidikan yang ditujukan oleh masyarakat.

  4. Memberikan masukan, pertimbangan, dan rekomendasi kepada satuan pendidikan mengenai : a. kebijakan dan program pendidikan; b. rencana anggaran pendidikan dan belanja sekolah; c. kriteria kinerja satuan pendidikan; d. kriteria tenaga kependidikan; e. kriteria fasilitas pendidikan dan hal-hal lain yang terkait dengan pendidikan.

  5. mendorong orang tua dan masyarakat berpartisipasi dalam pendidikan guna mendukung peningkatan mutu dan pemerataan pendidikan.

  6. Menggalang dana masyarakat dalam rangka pembiayaan penyelenggaraan pendidikan di satuan pendidikan.

  7. Melakukan evaluasi dan pengawasan terhadap kebijakan, program, penyelenggaraan, dan keluaran pendidikan di satuan pendidikan (Mulyasa, 2003 : 190).

Peran komite di sekolah menengah atas cukup besar, utamanya dalam mendukung pembiayaan kegiatan-kegiatan yang pendanaannya tidak terakomodir dalam anggaran rutin sekolah, seperti membayar honor kelebihan jam mengajar, pengawas ulangan umum, honor wali-wali kelas, honor kegiatan-kegiatan ekstra kurikuler dan lain-lain.

4. Kepengurusan dan Keanggotaan Komite Sekolah

Pengurus komite sekolah ditetapkan berdasarkan AD/ART yang sekurang-kurangnya terdiri atas seorang ketua, sekretaris, bendahara, dan bidang-bidang tertentu sesuai dengan kebutuhan. Pengurus komite sekolah dipilih dari dan oleh anggota secara demokratis. Khusus jabatan ketua komite sekolah bukan berasal dari kepala sekolah.

Pengurus komite sekolah adalah personal yang ditetapkan berdasarkan kriteria sebagai berikut : (a) Dipilih dari dan oleh anggota secara demokratis dan terbuka dalam musyawarah komite sekolah. (b) Masa kerja ditetapkan oleh musyawarah anggota komite sekolah. (c) Jika diperlukan pengurus komite sekolah dapat menunjuk atau dibantu oleh tim ahli sebagai konsultan sesuai dengan bidang keahliannya (Depdiknas, 2002 : 25). Adapun keanggotaan komite sekolah berasal dari unsur-unsur yang ada dalam masyarakat. Disamping itu unsur dewan guru, yayasan/lembaga penyelenggara pendidikan, badan pertimbangan desa dapat juga dilibatkan sebagai anggota. Anggota komite sekolah dari unsur masyarakat dapat berasal dari komponen-komponen sebagai berikut : (a) Perwakilan orang tua/wali peserta didik berdasarkan jenjang kelas yang dipilih secara demokratis. (b) Tokoh masyarakat (ketua RT/RW/RK, kepala dusun, ulama, budayawan, pemuka adapt). (c) Anggota masyarakat yang mempunyai perhatian terhadap peningkatan mutu pendidikan. (d) Pejabat pemerintah setempat seperti, Lurah, Camat, Kepolisian dan sebagainya. (e) Dunia industri atau dunia usaha. (f) Pakar pendidikan yang mempunyai perhatian terhadap peningkatan mutu pendidikan. (g) Organisasi profesi tenaga kependidikan. (h) Perwakilan siswa bagi tingkat SLTP/SMU/SMK yang dipilih secara demokratis berdasarkan jenjang kelas, dan perwakilan forum alumni (SD/SLP/SLA) yang telah dewasa dan mandiri.

C. Prestasi Kerja Guru

1. Pengertian Prestasi Kerja

Ada beberapa pendapat mengenai pengertian prestasi kerja Banyak pakar atau peneliti memberi pengertian yang berbeda tentang prestasi kerja. Namun demikian secara umum pengertian yang dikemukakan masih mempunyai persamaan.

Dalam kamus besar Bahasa Indonesia kinerja diartikan sebagai prestasi yang diperlihatkan, kemampuan kerja (Depdikbud, 1995). Suyadi P (1997 : 2) memberi batasan mengenai prestasi kerja adalah hasil kerja yang dapat di capai oleh seseorang atau kelompok orang dalam suatu organisasi, sesuai dengan wewenang dan tanggung jawab masing-masing dalam rangka upaya mencapai tujuan organisasi bersangkutan secara legal, tidak melanggar hukum dan sesuai dengan moral maupun etika.

Nawawi (2000:34) mengemukakan bahwa prestasi kerja juga berarti karya, yang dimaksud dengan karya adalah hasil pelaksanaan suatu pekerjaan baik yang bersifat fisik/material maupun non fisik/non mterial.

John. S (1988:33) memberi batasan bahwa prestasi kerja adalah hasil kerja seseorang karyawan selama pereode tertentu dibandingkan dengan berbagai kemungkinan, misalnya standart, target/sasaran, atau kriteria yang telah ditentukan terlebih dahulu dan telah disepakati bersama.

Kinerja senantiasa berhubungan dengan prestasi yang dimiliki seseorang dalam menyelesaikan tugas-tugas individunya, kinerja juga merupakan persyaratan yang harus dimiliki setiap individu dalam menyelesaikan tugas-tugasnya. Sejalan dengan itu Lioyd. L. Brags (1991:23) mengatakan bahwa prestasi dapat didefinisikan kemampuan melaksanakan tugas guru dalam mengajar yang berkaitan dengan merencanakan, melaksanakan dan menilai proses pembelajaran di kelas.

Dari beberapapendapat diatas dapat dikemukakan bahwa prestasi kerja mengandung pengertian (1) sebagai sesuatu yang ingin dicapai, (2) kemampuan yang diperlihatkan dan (3) kemampuan kerja seseorang.

Selanjutnya Oscar (1980:51) mengemukakan beberapa karakteristik seseorang yang memiliki prestasi kerja yang tinggi adalah :

1. Memiliki rasa percaya diri,

2. Selalu berorientasi pada prestasi,

3. Control diri yang tinggi,

4. Memiliki kemampuan dan,

5. Berusaha terus untuk mencapai sasaran organisasi yang yang lebih baik.

2. Prestasi Kerja Tenaga Kependidikan

Prestasi kerja atau kinerja adalah sumbangan secara kualitatif dan kuantitatif yang terukur dalam rangka membantu tercapainya tujuan kelompok dalam suatu unit kerja.

Kinerja sekolah bukan semata-mata ditujukan untuk mendapatkan hasil kerja sebanyak-banyaknya, melainkan kualitas unjuk kerja juga penting diperhatikan, seperti diungkapkan Laeham dan Wexley seperti yang dikutip Mulyasa, bahwa :

“ … performance appraisals are crucial to the efectifit, management of an organization’s human resources and the proper management of human resources it is a critical variable affecting an organization’s productivity”,

Kinerja individu dapat dinilai dari apa yang dikerjakan individu tersebut dalam kerjanya, yakni bagaimana ia melakukan pekerjaan atau unjuk kerja . Dalam hal ini produktivitas dapat ditinjau berdasarkan tingkatannya dengan tolok ukur masing-masing, yang dapat dilihat dari kinerja tenaga kependidikan. Kinerja atau performansi dapat diartikan sebagai prestasi kerja, pelaksanaan kerja, pencapaian kerja, hasil kerja atau unjuk kerja.

Teori Atribusi yang pertama kali dikemukakan oleh Heider, yang dikutip As’ad dalam Kabul (2003:13) merumuskan bahwaprestasi = Motivation X Ability” berpijak pada teori ini prestasi kerja seseorang merupakan hasil interaksi antara motivasi dan kemampuan. Jadi seorang guru yang mempunyai motivasi dan kemampuan yang tinggi maka akan lebih mudah mencapai prestasi kerja yang diharapkan. Oleh karena seorang guru yang professional dengan motivasi yang tinggi akan lebih mudah untuk mencapai prestasi yang lebih tinggi.

Imam Barnadib (1996) menyatakan bahwa tugas seorang guru adalah sebagai fasilitator, mediator dan motivator. Guru berusaha untuk menumbuhkan motivasi pada subyek didiknya agar berfikir,berusaha ,berbuat dan tidak pasif. Agar guru-guru dapat benar-benar memadai maka perlu dipersiapkan dalam arti kepribadian dasar (Basic schooling), belajar secara komprehensif menurut pendidikan umum, akademik dan profesional. Sehingga guru tersebut tahan dalam menghadapi situasi pendidikan yang bagaimanapun. Guru yang terdidik secara profesional akan mempunyai keyakinan bahwa subjek didik akan kreatif dan dinamis.

Dalam “Bekerja dengan Guru”oleh Depdiknas (2000) guru adalah seorang individu yang diberi tanggung jawab menyelenggarakan proses pembelajaran mata pelajaran yang dipegangnya secara baik. Tanggungjawab ini meliputi penelahaan kurikulum, penyusunan program tahunan, program semester,program satuan pelajaran,rencana pengajaran dan pelaksanaan mengajar. Prestasi kerja adalah suatu hasil dari kemampuan seseorang dalam melakukan pekerjaannya menurut ukuran yang berlaku untuk pekerjaan yang bersangkutan dalam periode tertentu.

3. Indikator Prestasi Kerja

John. S (1998:47) mengemukakan bahwa aspek-aspek penilaian terhadap pelaksanaan pekerjaan yaitu prestasi kerja, tanggung jawab, kesetiaan dan pengabdian, prakarsa, kejujuran, disiplin kerja, kerjasama, loyalitas dan kepemimpinan. Sedangkan aspek prestasi kerja dapat dirinci menjadi kualitas pekerjaan, kuantitas pekerjaan, kemampuan bekerja sendiri, pemahaman dan pengenalan pekerjaan serta kemampuan memecahkan persoalan.

Berry dan Houston (1993, menyatakan bahwa kinerja adalah kombinasi antara kemampuan dan usaha. Kemampuan dan usaha ini dilakukan untuk menghasilkan apa yang dikerjakan. Prestasi kerja merupakan hasil suatu fungsi jabatan atau kegiatan tertentu dalam suatu periode.

Prestasi kerja sebagai suatu hasil yang diperoleh setelah pelaku kerja melakukan aktifitas kerja dengan baik. Pelaku kerja ini akan merasa senang sehingga membuatnya mendapatkan kepuasan.

Byars dan Roe (2000:417) menjelaskan mengenai format penilaian prestasi kerja pegawai, dengan unsur-unsur yang dinilai meliputi : (1) Kualitas dari pekerjaan yaitu mutu hasil pekerjaan dengan mempertimbangkan keakuratan, ketelitian, dan dapat dipercaya, (2) Kuantitas dari pekerjaan yaitu jumlah dari pekerjaan yang bermanfaat, pada periode waktu sejak penilaian terakhir, dibandingkan dengan standar kerja yang telah dibuat, (3) Kerja sama yaitu sikap pegawai terhadap pekerjaan, terhadap teman kerja, dan pimpinannya, (4) Pengetahuan terhadap pekerjaan yaitu tingkat dimana pegawai mengerti bermacam prosedur dari pekerjaan dan tujuan-tujuannya, (5) Kehandalan dari pekerjaan, yang ditandai dengan keakuratan tugas dan pembagian waktu yang berkaitan dengan catatan pegawai dan kemampuan perilaku dalam peraturan unit kerja.

Faustino C.G (1995:136) menyatakan diperlukan dua syarat utama untuk melakukan penilaian performansi yang efektif, (1) adanya kriteria kinerja yang dapat diukur secara obyektif dan (2) adanya objektifitas dalam proses evaluasi. Dalam hal ini terdapat tiga tipe kriteria penilaian yang saling berbeda: (1) penilaian prestasi kerja berdasarkan hasil (2) penilaian prestasi kerja berdasarkan perilaku), (3) penilaian kinerja berdasarkan judgment.

Penilaian prestasi kerja berdasarkan hasil yaitu merumuskan kinerja berdasarkan pencapaian tujuan organisasi, atau mengukur hasil-hasil akhir (end reult). Sasaran kinerja biasa ditetapkan manajemen atau kelompok kerja. Penilaian prestasi kerja berdasarkan perilaku yaitu mengukur cara pencapaian sasaran (gaols), dan bukannya hasil akhir (end reult). Sedangkan penilaian kinerja berdasarkan judgment, menilai dan atau mengevaluasi hasil kerja berdasarkan deskripsi perilaku yang spesifik yaitu quantity of work (jumlah kerja yang dilakukan dalam suatu periode waktu yang ditentukan), quanlity of work (kualitas kerja yang dicapai berdasarkan syarat-syarat kesesuaian dan kesiapan). Job knowledge (luasnya pengetahuan mengenai pekerjaan dan ketrampilannya), cooperation (kesediaan untuk bekerja sama dengan orang lain/sesama anggota organisasi). Creativity ( keaslian gagasan-gagasan yang dimunculkan dan tindakan-tindakan menyelesaikan persoalan yang timbul). Initiative (semangat untuk melaksanakan).

Banyak faktor yang dapat mempengaruhi prestasi kerja seseorang pegawai dalam suatu organisasi, antara lain pendapatan atau gaji, motivasi kerja, sikap terhadap profesinya, pengetahuan, perhatian pimpinan dan tanggung jawab, kesempatan memperoleh pendidikan yang lebih tinggi, kepuasan kerja, lingkungan kerja dan sebagainya. Berdasarkan uraian di atas disimpulkan berkenaan dengan aspek-aspek/indikator yang dinilai terhadap prestasi kerja karyawan meliputi : (1) kerjasama, (2) tanggung jawab, (3) komunikasi, (4) kerajinan, (5) inisiatif dan (6) keputusan. Kesediaan untuk bekerja sama dengan orang lain (sesama anggota organisasi) dapat menimbulkan hubungan kerja yang harmonis, selanjutnya akan menumbuhkan rasa saling percaya dan kekompakan kerja sehingga akhirnya dapat melancarkan tugas yang sedang berjalan. Kebersamaan dalam bekerja, kesetia kawanan sesama pekerja dan saling pengertian dapat ditimbulkan oleh para karyawan tanpa harus selalu diperintah oleh atasannya.

Tanggung jawab, meliputi rasa tanggung jawab terhadap tugas yang diberikan kepada seorang karyawan sesuai dengan jabatanya. Tanggung jawab adalah kesanggupan seseorang pegawai dalam menyelesaikan pekerjaan yang diserahkan kepadanya dengan sebaik-baiknya dan tepat pada waktunya serta berani memikul resiko atau keputusan yang diambilnya atau tindakan yang dilakukanya.

Kemampuan seorang guru dalam melakukan komunikasi mutlak diperlukan. Baik komunikasi antar pendidik maupun komunikasi antara guru dengan muridnya. Inisiatif adalah keaslian gagasan-gagasan yang dimunculkan dan tindakan-tindakan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang timbul, dan semangat untuk melaksanakan/memprakarsai tugas-tugas baru dalam memperbesar tanggung jawab. Inisiatif/kreatifitas memegang peran yang penting dalam memecahkan persoalan-persoalan yang ditemukan dalam melaksanakan pekerjaan karyawan yang memiliki kreatifitas tinggi menunjukkan bahwa kemampuan kerjanya juga tinggi, sebaliknya karyawan yang kurang kreatif menunjukkan kemampuan kerjanya rendah atau kurang. Kepemimpinan kepala sekolah merupakan salah satu faktor yang dapat mendorong sekolah untuk dapat mewujudkan visi, misi, tujuan, dan sasaran sekolahnya melalui program-program yang dilaksanakan secara terencana dan bertahap. Oleh karena itu kepala sekolah dituntut untuk memiliki kemampuan kepemimpinan yang baik agar mampu mengambil keputusan dan prakarsa untuk meningkatkan mutu sekolah.

Kepemimpinan kepala sekolah yang berkualitas tentunya akan dapat memotivasi dan mendorong segenap potensi yang ada disekolah tersebut untuk berfungsi dan berperan secara maksimal. Komite sekolah merupakan wadah yang berperan menyerap dan menyalurkan aspirasi berbagai pihak yang berkepentingan terhadap pendidikan (stakeholders) kepada pengelola sekolah dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan. Keterlibatan stakeholders bukan hanya dalam bentuk dukungan finansial saja, melainkan juga ide-ide atau gagasan-gagasan serta tindakan-tindakan nyata yang memungkinkan sekolah dapat dikelola secara mandiri, transparan, terkontrol dan berkembang secara berkelanjutan.

Kepala sekolah adalah seorang pemimpin disuatu sekolah. Kepala sekolah merupakan motor penggerak, penentu arah kebijakan sekolah, yang akan menentukan bagaimana tujuan-tujuan sekolah dan pendidikan pada umumnya direalisasikan. Kemampuan kepala sekolah dalam menggerakan dan menentukan arah kebijakan sekolah sangat tergantung dari kualitas kepala sekolah tersebut. Kepemimpinan kepala sekolah yang berkualitas mendorong aktifnya semua komponen yang ada di sekolah tersebut untuk bekerja dan berkreatifitas secara maksimal.

Partisipasi komite sekolah sebagai wujud partisipasi stakeholder akan menimbulkan suasana yang kondusif dilingkungan sekolah. Partisipasi komite sekolah dalam proses pendidikan ditandai dengan adanya dukungan bagi semua pihak yang berkepentingan terhadap pendidikan, baik yang bersifat dana maupun gagasan-gagasan dalam meningkatkan mutu pendidikan. Semakin baik partisipasi komite sekolah pada gilirannya akan berpengaruh secara signifikan pada kinerja dan prestasi kerja semua pihak yang berperan di sekolah tersebut.

DAFTAR RUJUKAN

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. (1998). Panduan Manajemen Sekolah,

Jakarta : Direktorat Jendral Pendidikan Dasar dan Menengah.

Departemen PendidikanNasional. (2002) Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah, buku I, Jakarta ; Direktorat Jendral Pendidikan Dasar dan Menengah.

Departemen Pendidikan Nasional (2000) Bekerja dengan Guru, Buku Utama. Dirjen Dikdasmen. Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama, Proyek Perluasan dan Peningkatan Mutu SLTP Jakarta

Departemen Pendidikan Nasional (2003) Undang Undang RI. No: 20 Tahun 2003. Tentang Sistim Pendidikan Nasional.

Depdiknas, 2003, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga, Balai Pustaka, Jakarta.

Fiedler, Fred E. and Charmers, Martin M.1974. Leadership and EffectiveManagement. Glenview Illionis: Scott, Foresman and Company.

Hersey dan Blanchard,1989. Management of Organizational Behavior Utilizing Human Resources. New Jersey : Prentice Hall Inc.

Soekarto, I. (1994) Mengantar Bagaimana Memimpin Sekolah yang Baik. Jakarta : Gahlia Indonesia

Johnson, Lois V. and Mary A. Bany (1970) Classoom Management. London : The Macmilan Company.

Johns, Gary.1988, Organizational Behavior; Understanding Life at Work . Dallas: Scott.

Adib Wahid, 2007, tesis, Pengaruh Kepemimpinan Kepala Madrasah dan Iklim

Kerja Terhadap Prestasi Kerja Guru Aliyah Negeri Purwokerto..

Mulyasa, 2003 : Menjadi Kepala Sekolah Profesional, Bandung : ROSDA

Mulyasa, 2007. Standar Kompetensi dan Sertifikasi Guru, PT Remaja Rosdakarya Bandung

Nawawi, H Hadari,2000, Manajemen Sumber Daya Manusia Untuk Bisnis Yang Kompetitif, Yogyakarta : Gajahmada University Press.

Robbins, Stephen P. 1996. Perilaku Organisasi. Terjemahan Oleh Pujaatmaka. 1996. Jakarta: PT Prenhallindo.

Sugiyono. 2002. Metode Penelitian Administrasi. Bandung: Alfabeta.

Suryadi, Ace dan Mulyana, Wiana. 1993. Kerangka Konseptual Mutu Pendidikan dan Pembinaan Kemampuan Profesional Guru. Jakarta: Cardimas Metropole.

Sutrisno Hadi. (2000). Metodologi Research, Jilit 1,2,3,dan 4 Yogyakarta : Penerbit Andi.

Wahjosumidjo. 2002. Kepemimpinan Kepala Sekolah, Tinjauan Teoritik dan Permasalahannya. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Yukl, Gary A.. 1981. Leadership In Organization. New York: Prentice-Hall Inc.

Usman, Uzer (1990). Menjadi Guru yang Professional. Bandung : PT Remaja Rosdakarya.

Undang Undang RI. No: 20 Tahun 2003. Tentang Sistim Pendidikan Nasional. Depdiknas. Jakarta.

Undang Undang RI. No: 14 Tahun 2005. Tentang Guru dan Dosen. Depdiknas. Jakarta.

Usman, Uzer dan Setiawati, (2003). Upaya Obtimalisasi Kegiatan Belajar Mengajar. PT Remaja Rosdakarya.