19 Februari 2009

ILMU DALAM PERSPEKTIF MORAL

A. Konsep Ilmu dan Moral

Istilah ilmu pengetahuan merupakan suatu pleonasme yakni pemakaian lebih dari pada satu perkataan yang sama artinya. Ilmu dalam Bahasa Inggris science tidak sama dengan pengetahuan. Menurut cakupannya ilmu merupakan sebuah istilah umum untuk menyebut segenap pengetahuan ilmiah yang dipandang sebagai satu kebulatan (ilmu mengacu kepada ilmu seumumnya). Ilmu menunjuk kepada masing-masing bidang pengetahuan ilmiah yang mempelajari suatu pokok soal tertentu. Pengertian ilmu dalam hal berarti suatu cabang ilmu khusus seperti misalnya antropologi, sosiologi, biologi, dan geografi.

Istilah science Bahasa Inggris kadang-kadang diberi arti sebagai ilmu khusus yang lebih terbatas lagi, yakni sebagai pengetahuan sistematis mengenai dunia fisik atau material. Padia (2008:41) mengemukakan ilmu adalah suatu pranata kemasyarakatan (social institution), suatu kekuatan kebudayaan (cultural force), dan sebuah permainan (game). Pengetahuan lebih bersifat paling umum, ilmu merupakan kumpulan yang sistematis dari pengetahuan. Pengertian ilmu sebagai pengetahuan sesuai dengan asal-usul istilah science, Bahasa Latin scientia, yang mencerminkan to know dan to learn (Situmorang, 2004).

Pengetahuan pada dasarnya adalah keseluruhan keterangan dan ide yang terkandung dalam pernyataan-pernyataan yang dibuat mengenai sesuatu gejala/peristiwa baik yang bersifat alamiah, sosial maupun perseorangan. Jadi, pengetahuan menunjuk pada sesuatu yang merupakan isi substansi yang terkandung dalam ilmu. Russell (1948:59) membedakan pengetahuan manusia dalam dua jenis yaitu pengetahuan mengenai fakta (knowledge of facts) dan pengetahuan mengenai hubungan umum diantara fakta (knowledge of the general connections between facts).

Sesuatu ilmu membatasi diri pada segi atau permasalahan tertentu dalam penelaahannya terhadap pokok bahasannya, sedang berbagai segi dan permasalahan lainnya dikeluarkan dari titik pusat perhatiannya untuk menjadi sasaran dari ilmu-ilmu khusus lainnya. Sasaran yang ditelaah oleh sesuatu ilmu itu harus diwujudkan dalam konsep yang tak bermakna ganda dan pasti cakupannya. Cabang ilmu khusus lahir dalam jalinan umum dari pemikiran reflektif filsafati dan setelah berkembang mencapai suatu taraf kedewasaan lalu dianggap sebagai berbeda untuk selanjutnya memisahkan diri dari filsafat. Ciri-ciri umum dari ilmu tersebut yang membuatnya berbeda dari filsafat ialah ciri empiris.

Ciri-ciri empiris dari ilmu mengandung pengertian bahwa pengetahuan yang diperoleh itu berdasarkan pengamatan (observation) atau percobaan (experiment). Ciri-ciri sistematis berarti bahwa berbagai keterangan dan data yang tersusun sebagai kumpulan pengetahuan itu mempunyai hubungan ketergantungan dan teratur. Selain ciri-ciri empiris dan sistematis dimuka, masih ada tiga ciri-ciri pokok lainnya dari ilmu, yaitu objektif, analistis, dan verifikatif (dapat diperiksa kebenaran). Ciri objektif dari ilmu berarti bahwa pengetahuan itu bebas dari prasangka perseorangan (personal biasa). Ilmu juga mempunyai ciri analistis, berarti bahwa pengetahuan ilmiah itu berusaha membeda-bedakan pokok bahasannya kedalam bagian yang terperinci untuk memahami berbagai sifat, hubungan, dan peranan dari bagian tersebut. Ciri-ciri pokok yang terakhir dari ilmu itu sekaligus mengandung pengertian bahwa ilmu senantiasa mengarah pada tercapainya kebenaran.

Malaka (2008) mendefinisikan ilmu (scince) sebagai berikut:

1. Scince ialah accurate thought, ilmu empiris, ialah cara berpikir yang jitu, tepat, atau paham yang nyata,

2. Scince ialah organizations of fact, penyusunan bukti,

3. Scince ialah simplification by generalisation, penyederhanaan generalisasi.

Ketiga definisi tersebut satu sama lainnya berhubungan, saling isi mengisi, dan tambah menambah. Ilmu merupakan pola berpikir yang cermat, sistematis, dan berdasarkan pada pendekatan empiris, mempunyai bukti tentang kebenaran suatu konsep sehingga dapat menjadi teori yang teruji kebenarannya. Ilmu dapat digeneralisasikan artinya mengangkat kesimpulan suatu konsep teori dari hasil penelitian sebagai sesuatu yang berlaku bagi keseluruhan ilmu yang serumpun. Ilmu dapat dikembangkan melalui proses berpikir. Sesuai dengan pendapat Hegel dalam Suseno (2003:55-56) yang mengemukakan ilmu pengetahuan adalah proses dimana objek yang diketahui dan subjek yang mengetahui saling mengembangkan sehingga tidak pernah sama atau selesai. Ilmu pengetahuan sekarang akan diverifikasi kembali oleh ilmu pengetahuan yang akan datang dan begitu seterusnya.

Sarkar dan Pfeifer (2006) mengemukakan:

Scientific change occurs in many forms. There are changes in theory, technology, methodology, data, institutional, and social structures, and soon. The focus in the philosophy of science has largely been on theory change and whether such changes are progressive. The primary concern has also been with how scientific theories are justified and or become accepted in the scientific community, rather than how they are discovered or introduced into the community in the first place.

Berdasarkan uraian tersebut disimpulkan ilmu mendorong terjadinya perubahan dalam berbagai bentuk dan bidang, yakni perubahan dalam konsep teori, teknologi, metodologi, data, kelembagaan, dan struktur sosial. Fokus falsafah ilmu pengetahuan sebagian besar pada perubahan teori dan perubahan dilakukan secara terus menerus. Kajian utama sekaligus mengenai verifikasi teori ilmiah dan para ilmuan sebagai kelompok ilmiah dapat menerima teori tersebut. Proses menemukan dan mempublikasikan teori tesebut kepada kelompok ilmuan merupakan kegiatan pokok dalam pengembangan ilmu pengetahuan.

Moralitas merupakan kualitas dalam perbuatan manusia yang menunjukkan bahwa perbuatan itu benar atau salah, baik atau buruk. Moralitas mencakup pengertian baik buruknya perbuatan manusia. Poespoprodjo (1999:118) berpendapat bahwa moralitas dapat berbentuk objektif dan subjektif. Moralitas objektif memandang manusia perbuatan semata sebagai suatu perbuatan yang telah dikerjakan, bebas lepas dari pengaruh sukarela pihak pelaku. Moralitas subjektif memandang perbuatan manusia sebagai perbuatan yang dipengaruhi pengertian dan persetujuan pelaku sebagai individu. Kebiasaan moral muncul dari kebiasaan sosial dan terus berubah bersama perbuatan yang tedapat dalam masyarakat. Moralitas merupakan kebenaran atau kesalahan dari perbuatan manusiawai.

Manusia untuk memenuhi tuntunan kemanusiaannya maka harus membuat perbedaan antara ukuran moral yang berdasarkan manusia dengan patokan yang selalu berubah. Bersama dengan majunya peradaban maka sistem moral semakin disaring untuk menyesuaikan dengan perkembangan. Suriasumantri (2003:233) mengemukakan pertumbuhan ilmu pengetahuan berkaitan dengan masalah moral dalam perspektif yang berbeda. Hal ini keilmuan mempergunakan das sollen (sesuatu yang ideal) dan das sein (kenyataan) yang berbeda dalam praktiknya. Ilmu dalam penafsiran objek bersifat apa adanya. Russell dalam Suriasumantri (2003:234) mengemukakan perkembangan peralihan ilmu memiliki tahap manipulasi. Tahap manipulasi maka moralitas mempengaruhi keilmuan dalam cara penggunaan pengetahuan ilmiah.

Aspek moralitas mencakup segi ontologis, epistimologis, dan aksiologis keilmuan. Ontologis merupakan pengkajian mengenai hakikat realitas dari objek yang ditelaah dalam menghasilkan pengetahuan. Epistimologis membahas cara untuk mendapatkan pengetahuan yang dalam kegiatan keilmuan disebut metodologi ilmiah. Aksiologis sebagai teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang dihasilkan. Moralitas tidak dapat dipisahkan dengan motif manusia untuk menemukan kebenaran, karena mendapatkan kebenaran dan mempertahankan kebenaran memerlukan keberanian moral. Suriasumantri (2003:236) berpendapat tanpa landasan moral maka ilmuan akan mudah melakukan kejahatan intelektual. Ilmuan memiliki tanggung jawab sosial terlibat aktif demi kepentingan kehidupan masyarakat yang lebih bermartabat. Ilmu menitikberatkan penafsiran yang bebas nilai dan otonom dalam melakukan penelitian dalam rangka mempelajari objek kajian.

Syafiie (2004:16) mengemukakan bebas nilai merupakan tuntunan yang ditujukan pada ilmu pengetahuan agar keberadaannya dikembangkan dengan tidak memperhatikan nilai-nilai lain dari luar ilmu pengetahuan, tuntutan dasar agar ilmu dikembangkan hanya demi ilmu itu sendiri. Apabila ilmu pengetahuan tergantung dengan pertimbangan lain maka ilmu menjadi tidak murni sama sekali (Keraf, 2001:150). Sehingga ilmu tidak berkembang secara otonom jika ilmu tunduk pada otoritas di luar ilmu.

Moral (etika) berkembang menjadi studi tentang kebiasaan manusia berdasarkan kesepakatan, menurut ruang dan waktu yang berbeda, yang menggambarkan perangai manusia dalam kehidupan pada umumnya. Etika adalah studi tentang kehendak manusia, yaitu kehendak yang berhubungan dengan keputusan tentang yang benar dan yang salah dalam tindak perbuatannya. Manusia dalam bertingkah laku dalam hal ini tentang keilmuan terdapat etika atau moral yang dengan tujuan untuk meningkatkan kemaslahatan masyarakat.

B. Pendekatan Hubungan Ilmu dan Moral

Ilmu pengetahuan berfungsi sebagai interpretasi tentang hidup manusia, yang tugasnya meneliti dan menentukan semua fakta konkret sampai pada yang paling mendasar. Etika merupakan bagian dari filsafat, yaitu filsafat moral. Etika sebagai filsafat dan ilmu pengetahuan ini, perlu dilakukan pemisahan antara etika dan moral. Etika adalah ilmu pengetahuan, sedangkan moral adalah obyek ilmu pengetahuan tersebut. Pendidikan moral merupakan integrasi berbagai ilmu seperti psikologi, sosiologi, antropologi budaya, filsafat, ilmu pendidikan, bahkan ilmu politik. Unsur tersebut merupakan dasar membangun sebuah etika.

White (1991:14) mengemukakan

Science is a practical subject and most students spend a good part of their course carrying out practical work. Science, like any practical subject, can be hazardous and simple techniques not properly carried out prove dangerous. However, with care and attention to detail, science is no more dangerous than any other practical subject. These include the correct handling and storage of chemicals, the use of protective clothing, the correct use of equipment, electrical hazards, and the prohibition of eating and smoking.

Berdasarkan uraian disimpulkan bahwa subjek ilmu pengetahuan praktis dan peserta didik di lembaga pendidikan nonformal (kursus) mereka diberikan pelatihan sesuai dengan kebutuhan lapangan kerja sehingga setelah lulus diharapkan dapat bekerja atau berwira usaha. Ilmu pengetahuan, seperti umumnya subjek praktis, kegiatan pembelajarannya dapat berbahaya dan hal ini bukan menjadi alasan untuk tidak mengikuti kursus. Akan tetapi, dengan penuh perhatian dan perhatian secara rinci, ilmu pengetahuan tidak berbahaya karena terdapat prosedur operasi standar. Melaksanakan kegiatan pembelajaran secara benar seperti memperhatiakan penyimpanan kimia, menggunakan dari pakaian pelindung, menggunakan perlengkapan, bahaya kelistrikan, larangan makan, dan merokok pada saat praktik dalam kegiatan pembelajaran lembaga kursus tertentu merupakan etika dan aturan peserta didik. Tujuan tersebut bukan dimaksudkan untuk membatasi perilaku pseserta didik melainkan untuk keselamatan bersama.

Kejujuran dan kesadaran untuk mentaati aturan dalam kegiatan pembelajaran merupakan salah satu hal yang penting dimiliki oleh tiap individu peserta didik sebagai akademisi. Moralitas adalah sistem nilai tentang bagaimana kita harus hidup dengan baik sebagai manusia. Nilai-nilai moral mengandung petuah-petuah, nasihat, wejangan, peraturan, perintah turun-temurun melalui suatu budaya tertentu. Sedangkan etika merupakan refleksi kritis dan rasional mengenai nilai dan norma moral yang menentukan dan terwujud dalam sikap dan perilaku hidup manusia. Hal ini sesuai dengan pendapat Suseno (1987) yang mengemukakan etika adalah sebuah ilmu dan bukan sebuah ajaran, sedangkan yang memberi manusia norma tentang bagaimana manusia harus hidup adalah moralitas.

Etika dalam konteks filsafat mengkaji tentang praxis (tindakan) manusia (Arifin, 2008). Etika tidak mengkaji keadaan manusia melainkan mengkaji bagaimana manusia harus bertindak. Tindakan manusia ditentukan oleh norma yang berlaku yang bersifat tidak membatasi tindakan tersebut tetapi menjaga tindakan manusia agar bermanfaat untuk kemaslahaan masyarakat. Etika tidak langsung membuat manusia menjadi lebih baik, melainkan etika merupakan sarana untuk memperoleh orientasi kritis berhadapan dengan moralitas. Etika mengarahkan keterampilan intelektual manusia yaitu keterampilan untuk berargumentasi secara rasional dan kritis. Orientasi etis digunakan dalam mengambil sikap yang wajar dalam suasana pluralisme. Perpedaan ini merupakan buah pikir manusia dari persepsi yang berbeda sehingga memperkaya kajian ilmu.

Pendidikan diharapkan dapat menghasilkan manusia yang cerdas dan mempunyai sikap moral yang baik. Ilmu pada dasarnya berbeda pada kajian ontologis, epistimilogis, dan aksiologis dan dengan membahas perbandingan tersebut dalam kajian ilmiah dengan pengetahuan lain seperti agama, seni, dan moral. Kajian perbandingan diharapkan meminimalkan dan menghilangkan terjadinya kecenderungan mengagungkan ilmu, tidak menggunakan kaidah moral dan meningkatkan sikap pluralistik dalam ilmu yang merupakan daya pendorong bagi perkembangan ilmu.

Aspek moralitas mencakup segi ontologis, epistimologis, dan aksiologis keilmuan. Ontologis merupakan pengkajian mengenai hakikat relitas dari objek yang ditelaah dalam menghasilkan pengetahuan. Epistimologis membahas cara untuk mendapatkan pengetahuan yang dalam kegiatan keilmuan disebut metodologi ilmiah. Aksiologis sebagai teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang dihasilkan. Moralitas tidak dapat dipisahkan dengan motif manusia untuk menemukan kebenaran, karena mendapatkan kebenaran dan mempertahankan kebenaran memerlukan keberanian moral. Mengkaji aspek ontologis, epistimologis, dan aksiologis karena sebagai upaya ilmu untuk bersifat netral dalam keseluruhan keilmuannya.

1. Pendekatan Ontologis

Objek yang ditelaah, bagaimana wujud yang hakiki dari objek tersebut, dan bagaimana hubungan objek tersebut dengan daya pikir dan penangkapan manusia merupakan landasan pendekatan ontologis. Muhadjir (1998) mengemukakan ontologis mengkaji tentang yang ada secara universal, yaitu berusaha mencari inti yang dimuat setiap kenyataan yang meliputi segala realitas dalam semua bentuknya. Kajian batasan merupakan aspek moral dalam pendekatan ontologis. Syafiie (2004:10) mengemukakan keseimbangan tingkat antara kecerdasan logika dan etika faktor penentu tingkat moral ilmuan. Penetapan batas ontologis keilmuan yang bersifat empiris adalah konsistensi asas epistimilogis keilmuan yang mensyaratkan adanya verifikasi secara empiris.

Secara ontologis maka ilmu bersifat netral terhadap nilai, dibimbing oleh kaidah moral, dan tidak merendahkan manusia. Etika merupakan suatu sikap kesediaan jiwa untuk senantiasa taat dan patuh pada seperangkat peraturan kesusilaan. Norma hukum mempunyai peranan yang penting dalam bidang etika. Pendekatan ontologis yang mengkaji tentang objek apa berupaya bersandar pada moralitas yang secara langsung mempengaruhi tingkat moralitas aspek epistimologis dan aksiologis.

2. Pendekatan Epistimologis

Metode ilmiah merupakan cerminan dari pendekatan epsitimologis. Metode ilmiah merupakan cara ilmu memperoleh dan menyusun pengetahuan berdasarkan cara kerangka berpikir logis, mengemukakan hipotesis, dan melakukan verifikasi. Kerangka pemikiran yang logis merupakan argumentasi yang bersifat rasional dalam mengembangkan penjelasan terhadap fenomena. Berpikir logis sebagai kegiatan berpikir memiliki pola tertentu yaitu logika deduktif dan logika induktif. Kegiatan berpikir dalam ini tercermin dalam penelitian sebagai konteks ini dapat dipahami sebagai proses epistemologis untuk mencapai kebenaran.

Stine (2001:199) mengemukakan berpikir logis adalah proses mengajukan pertanyaan tentang segala sesuatu dan berusaha untuk mencapai jawaban yang masuk akal. Bagian berpikir adalah menghubungkan atau membandingkan fakta, objek, dan sifat yang dicakup otak. Penilaian dan penarikan kesimpulan merupakan tahapan selanjutnya dari proses berpikir. Secara epistimologis maka upaya ilmiah tercermin dalam metode keilmuan yang berpedoman pada logika hipotesis verifikasi dengan kaidah moral yang berasaskan tujuan menemukan kebenaran yang dilakukan dengan penuh kejujuran, tanpa kepentingan langsung tertentu dan berdasarkan kekuatan argumentasi.

3. Pendekatan Aksiologis

Konsisten dengan asas moral dalam pemilihan objek penelaahan ilmiah maka penggunaan pengetahuan ilmiah mempunyai asas moral. Ilmu harus digunakan dan dimanfaatkan untuk kemaslahatan manusia. Ilmu digunakan sebagai sarana dalam meningkatkan taraf hidup manusia dengan memperhatikan kodrat manusia, martabat manusia, dan kelestarian alam. Ilmu dikembangkan sesuai dengan kaidah moralitas dan kejujuran sehingga diharapkan ilmu merupakan salah satu faktor yang berperan dalam peningkatan kualitas kehidupan manusia. Kemeny (1969:65) berpendapat untuk kepentingan manusia maka pengetahuan ilmiah dipergunakan secara komunal dan universal.

Komunal berarti bahwa ilmu merupakan pengetahuan menjadi milik bersama, setiap individu berhak memanfaatkan ilmu menurut kebutuhannya sesuai dengan asas moral. Universal berarti bahwa ilmu tidak mempunyai konsep pemetaan ras, agama, dan ideologi. Ilmuan yang memiliki moralitas tinggi diasumsikan memiliki persepsi bahwa proses rasionalitas dan moralitas dalam ilmu seperti keping mata uang antara satu sisi dengan sisi yang lain merupakan satu kesatuan yang bermakna. Bila kesadarannya menyentuh realitas maka diharapkan sekaligus kesadarannya menyentuh aspek moralitas dan begitu sebaliknya. Ilmuan yang mengembangkan ilmu dengan aspek ontologis, epistimologis, dan aksiologis dengan menjunjung tinggi nilai kejujuran dan moralitas maka diasumsikan hasilnya memiliki tingkat kredibilitas yang tinggi.

C. Moralitas

Moralitas merupakan kualitas perbuatan manusia yang menunjukan bahwa perbuatan manusia tersebut benar atau salah dan baik atau buruk. Perbuatan tersebut ditentukan oleh hukum dan adat kebiasaan manusia yang mempunyai kekuatan dalam konteks melarang perbuatan yang tidak baik. Pembahasan moralitas akan terfokus pada kajian norma moralitas dan faktor penentu moralitas.

1. Norma Moralitas

Norma merupakan sesuatu yang pasti digunakan untuk membandingkan sesuatu hal lain yang masih belum pasti hakikat ukuran kualitas nilainya. Norma sebagai kaidah pertimbangan penialaian perilaku manusia yang bersifat mengikat tetapi belum tentu dapat dipaksakan dan dituntut pelanggarnya dan mulai berlakunya tidak dapat dipastikan. Poespoprodjo (1999:134) berpendapat bahwa norma adalah aturan, standar, dan ukuran yang digunakan untuk mengukur kebaikan dan keburukan suatu perbuatan. Sesuatu perbuatan yang secara positif sesuai dengan ukurannya disebut moral baik dan begitu pula sebaliknya.

Cooper dalam Poespoprodjo (1999:135) mengemukakan moral merupakan suatu pola hidup yang indah dan terletak pada perimbangan dari dorangan public importance (kepentingan umum) dan private affections (kesenangan pribadi) sehingga menghasilkan suatu hidup yang harmonis. Masyarakat yang bermoral tinggi diasumsikan akan tercipta kelangsungan hidup yang seimbang dan harmonis karena tiap individu menjunjung tinggi nilai yang berlaku di masyarakat secara sadar dan bertanggung jawab. Keteraturan kelangsungan hidup akan terlaksana dengan sendirinya yang dipengaruhi oleh perilaku individu sebagai anggota masyarakat memiliki sikap yang positif mentaati nilai dan norma masyarakat.

Sifat norma adalah mutlak, objektif, dan universal. Kemutlakan norma tercermin pada pandangan dan praktik etis yang berbeda-beda dalam berbagai kebudayaan yang menimbulkan relativisme moral (moral bersifat relatif). Akan tetapi relativisme ini tidak tahan uji karena beberapa konsekuensi yaitu tidak mengakui perbedaan mutu etis antara berbagai kebudayaan, tolak ukur penilaian etis bagi perilaku suatu masyarakat hanya berdasarkan kaidah-kaidah moral (budaya dan kebiasaan) masyarakat itu, dan tidak mungkin terjadi kemajuan dalam bidang moral. Objektivitas norma moral berkaitan dengan adanya sifat subjektivitas norma moral, nilai dan norma moral tidak ditentukan oleh selera pribadi, dapat dilakukan diskusi atau dialog mengenai norma moral, dan objektivitas norma moral tidak menghapus kebebasan. Universalitas norma moral adalah berlaku selalu dan dimana-mana, mendapat tantangan dari etika situasi, dan etika situasi dalam bentuk ekstrim tidak tahan uji.

Suatu norma moralitas mempunyai karakteristik dapat disimpulkan aturan moralitas yang sama untuk semua manusia, dapat disimpulkan semua aturan moralitas, tidak dapat berubah tetapi flesibel, dan secara kontinyu ada dalam masyarakat (Poespoprodjo, 1999:146). Norma harus sedemikian rupa sehingga dapat disimpulkan aturan moralitas yang sama untuk semua manusia. Hal ini dapat diasumsikan bahwa tidak ada standar perbuatan individu. Kodrat manusia memiliki karakteristik tersebut karena terdapat perbedaan dalam menelah sesuatu objek. Norma harus sedemikian rupa sehingga dapat disimpulkan semua aturan moralitas sehingga moralitas bersifat kompleks dan universal. Norma tidak dapat berubah tetapi bersifat fleksibel untuk memungkinkan penerapan sesuai dengan keadaan. Norma secara terus menerus ada dalam setiap situasi masyarakat, mempengaruhi perilaku individu dengan perbandingan nilai masyarakat.

Pokok kajian norma moralitas ialah tolak ukur objektif pertanggungjawaban moral. Teori yang mengkaji jenis tolak ukur moralitas ialah teori teleologis dan deontologis (Scribd, 2008). Teori teleologis menyatakan bahwa tindakan bersifat netral, baru dinilai benar atau salah setelah melihat akibat atau tujuannya. Sebuah tindakan dinilai benar jika akibatnya baik, salah jika akibatnya tidak baik. Teori deontologis menyatakan bahwa kualitas etis tindakan tidak berhubungan dengan akibat tindakan, tetapi bertumpu pada tindakan itu sendiri, benar atau salah. Misalnya, bahwa dusta adalah tidak benar secara etis, entah baik atau buruk akibatnya.

Teori teleologis mengkaji betul salahnya suatu tindakan tergantung dari akibat-akibatnya. Kelemahan teori teleologis adalah menghilangkan dasar kepastian, kurang tegas dalam memberi jawaban, dan terkadang menghalalkan segala cara. Klasifikasi teori teleologis adalah hedonisme (kenikmatan), eudemonisme (kebahagiaan), dan utilitarisme (kebergunaan).

Hedonisme memandang kesenangan, apa yang memuaskan keinginan, dan ssesuatu yang meningkatkan kuantitas kesenangan dan kenikmatan merupakan hal terbaik bagi manusia. Aristippos dalam Bertens (2008) berpendapat kesenangan adalah hal yang terbaik karena fakta menunjukkan bahwa sejak kecil manusia tertarik akan kesenangan dan menghindari ketidaksenangan. Kesenangan (hedone) adalah tujuan kehidupan manusia. Kesenangan yang dimaksud adalah terbebas dari nyeri (rasa sakit) dan dari keresahan jiwa.

Poespoprodjo (1999:60) mengemukakan hedonisme merupakan etika yang bersifat kebendaan dan kesenangan adalah akhir hidup dan terbaik. Kaum hedonisme hanya memandang kesukaan dan kebahagiaan. Epikuros dalam Bertens (2008) berpendapat ada tiga keinginan yang terkait dengan kesenangan yaitu keinginan alamiah yang perlu (makanan), keinginan alamiah yang tidak perlu (makanan enak), dan keinginan yang sia-sia (kekayaan). Pemuasan akan keinginan macam pertama yang akan melahirkan kesenangan paling besar, namun orang bijak adalah orang yang terlepas dari segala keinginan sehingga seseorang mencapai ataraxia (ketenangan jiwa, tidak membiarkan diri tergangggu oleh hal-hal lain). Ataraxia inilah tujuan hidup disamping kesenangan.

Tiap aktivitasnya manusia adalah mengejar tujuan dan tujuan akhir tertinggi dari manusia adalah kebahagiaan atau eudaimonia (Aristoteles dalam Bertens, 2008). Untuk mencapainya adalah dengan menjalankan fungsinya dengan baik. Keunggulan dan kekhasan manusia ada pada akalnya (rasio), karena itu untuk mencapai kebahagiaannya, seseorang harus menjalankan fungsi rasio dengan melakukan kegiatan rasional. Kegiatan rasional disertai keutamaaan yaitu: keutamaan intelektual (menyempurnakan rasio) dan keutamaan moral (melakukan pilihan dalam kehidupan sehari-hari). Keutamaan intelektual dapat dicapai dengan adanya hasil cipta manusia seperti budaya. Keutamaan moral dapat dicapai dengan sikap tengah yang disebut phronesis (kebijaksanaan praktis). Orang yang mempunyai phronesis mengerti bagaimana harus bertindak secara tepat dan dikembangkan atau dilatih dengan cara dibiasakan. Misalnya kemurahan hati adalah sikap tengah dari kikir dan boros.

Utilitarianisme merupakan hasil dari hedonisme. Bentham dalam Poespoprodjo (1999:61) mengemukakan kesenangan dan kesedihan adalah satu-satunya motif yang memerintah manusia dan bergantung pada kebahagiaan dan kemakmuran dari seluruh masyarakat. Manusia cenderung menjauhi ketidaksenangan dan mencari kesenangan. Kebahagiaan adalah memiliki kesenangan dan bebas dari kesusahan. Suatu perbuatan dinilai baik jika dapat meningkatkan kebahagiaan sebanyak mungkin orang. Inilah the principle of utility (prinsip kegunaaan), yakni the greatest happiness of the greatest number (kebahagiaan terbesar dari jumlah orang terbesar). Penetapan kegunaaan melalui kuantifikasi (the hedonistic number).

Cotoh kuantifikasi kegunaan menurut Bentham seperti Tabel 1.

Tabel 1 Kuantifikasi Kegunaan Mabuk

Ketidaksenangan (debet)

Kesenangan (kredit)

Lamanya : singkat

Intensitas : membawa banyak kesenangan

Akibatnya : kemiskinan, nama buruk, tidak sanggup bekerja

Kepastian : kesenangan pasti terjadi

Kemurnian : dapat diragukan (dalam keadaan mabuk sering tercampur unsur ketidaksenangan seperti pelampiasan)

Jauh/dekat : kesenangan timbul cepat

Sumber: Bertens (2008).

Berdasarkan uraian disimpulkan bahwa utilitarianisme adalah unit kesenangan dan kesedihan yang dapat dihitung secara matematik. Mill dalam Poespoprodjo (1999:62) mengemukakan kesenangan berbeda dalam kualitas dan kuantitasnya, ada tingkat kesenangan yang tinggi dan ada yang rendah. kesenangan yang bermutu rendah dan ada yang bermutu tinggi. Seperti kesenangan ilmuan diasumsikan lebih bermutu dibandingkan kesenangan orang awam. Kesenangan dapat diukur secara empiris dengan suatu instrumen. Prinsip utilitarianisme menurut Mill dalam Bertens (2008) adalah bahwa suatu perbutan dinilai baik jika kebahagiaan melebihi ketidakbahagiaaan, dimana kebahagiaan semua orang yang terlibat diukur dengan cara yang sama.

Deontologis mengkaji baik buruknya suatu tindakan tidak tergantung akibatnya melainkan ada cara bertindak yang begitu saja wajib atau dilarang. Deontologis menurut Kant dalam Bertens (2008) adalah kehendak baik itu sendiri yakni suatu kehendak menjadi baik sebab bertindak karena kewajiban. Bertindak sesuai dengan kewajiban disebut legalitas. Kewajiban diklasifikasikan menjadi dua yaitu imperatif kategoris dan imperatif hipotetis. Imperatif kategoris adalah perintah yang mewajibkan begitu saja tanpa syarat seperti membuang sampah ditempatnya merupakan kewajiban disetiap tempat. Imperatif hipotetis ialah perintah yang mewajibkan tetapi bersyarat seperti dilarang merokok hanya disyaratkan pada tempat tertentu. Imperatif kategoris yang menjadi hukum moral. Hal ini mempengaruhi adanya otonomi kehendak yang berarti kebebasan tidak dalam arti bebas dari segala ikatan, tetapi bebas dengan taat pada hukum dan moral.

2. Faktor Penentu Moralitas

Pendekatan moralitas dapat menentukan suatu perbuatan dapat disebut sebagai perbuatan yang baik, buruk, dan indiferen. Poespoprodjo (1999:153) berpendapat apabila perbuatan sesuai dengan dengan nilai maka perbuatan tersebut baik, apabila perbuatan tidak sesuai dengan dengan nilai maka perbuatan tersebut buruk, dan apabila perbuatan dipandang masih abstrak, tidak termasuk baik dan buruk, dan bersifat netral maka disebut indiferen. Hal tersebut dipengaruhi oleh unsur yang terdapat dalam moralitas. Faktor penentu moralitas mencakup tiga aspek yaitu perbuatan, motif, dan keadaan.

Moralitas terletak pada kehendak untuk melaksanakan sehingga menjadi perbuatan. Manusia mengendalikan kehendak sesuatu apakah perbuatan tersebut dilaksanakan atau tidak. Objek persetujuan kehendak untuk melaksanakan telah dilaksanakan dapat diketahui perbuatan tersebut baik, buruk, atau indiferen dan pada hakikatnya tidak bergantung pada larangan dan perintah. Kehendak perbuatan merupakan aspek pertama dalam moralitas. Apabila kehendak dominan pada kebaikan maka perbuatan akan cenderung baik dan begitu pula sebaliknya. Suatu perbuatan manusia diketahui tingkat moralitasnya dari hakikat perbuatan yang dikehendakinya.

Perbuatan yang tidak mempunyai alasan atau sulit dijelas jika diuraikan alasannya untuk bertindak maka perbuatan tersebut terdapat motif untuk melaksanakan perbuatan tersebut. Seperti manusia mencintai Tuhan, hal ini sulit untuk didefinisikan karena tiap manusia mempunyai motif tertentu dan dipengaruhi tingkat keilmuan dalam agama. Motif merupakan dorongan yang bersifat umum untuk berbuat sesuatu dan belum terarah kepada objek tertentu (tujuan belum pasti). Poespoprodjo (1999:156) berpendapat motif dapat memberikan kualitas moral pada suatu perbuatan dan memberi arti moral khusus.

Keadaan mempengaruhi suatu perbuatan disebut moralis. Keadaan dapat mengubah jenis penentuan moral suatu perbuatan. Suatu perbuatan tidak terlaksana begitu saja tetapi ada yang mempengaruhi. Keadaan dapat menentukan arah kehendak perbuatan manusia. Perbuatan tidak hanya dilaksanakan karena ada kehendak tetapi juga ada kesempatan keadaan yang memungkinkan perbuatan tersebut dilaksanakan.

D. Hati Nurani

Unsur yang utama dalam moralitas adalah hati nurani yang mengkaji perbuatan yang akan dilaksanakan dalam keadaan yang konkrit dan aspek kebenaran perbuatan tersebut. Poespoprodjo (1999:243) membatasi hati nurani sebagai keputusan praktis pikiran yang menentukan bahwa suatu perbuatan apakah baik untuk dikerjakan atau buruk sehingga tidak dikerjakan. Proses pemikiran untuk mencapai suatu keputusan hati nurani sama seperti dalam pemikiran deduktif. Hati nurani dapat menuntut perbuatan yang mendatang, menghalangi atau mendorong untuk mengerjakan perbuatan, dan merupakan keputusan perbuatan.

Hati nurani yang saksama adalah hati nurani yang memutuskan sebagai baik hal yang benar-benar baik dan memutuska sebagai buruk hal yang benar-benar buruk. Kesalahan hati nurani dalam bersikap dapat terjadi, kesalahan tersebut dapat dikoreksi dan ada yang tidak dapat dikoreksi. Kesalahan hati nurani yang dapat dikoreksi berkaitan dengan cara membangun cara pola pikir, dengan mengkaji kembali metode berpikir maka diasumsikan keputusan hati nurani dapat dikoreksi. Kesalahan hati nurani yang tidak dapat dikoreksi berkaitan dengan kesalahan persepsi suatu perbuatan, kebenaran dibenarkan atas persepsi kebenaran individu.

Hati nurani merupakan pembimbing yang dimiliki manusia dalam melaksanakan perbuatan yang konkrit. Aspek moral yang terkandung dalam kegiatan keilmuan merupakan sumbangan positif baik bagi pembentukan manusia secara individu maupun pembentukan karakter bangsa. Aspek moral keilmuan harus mendapat perhatian yang sungguh-sungguh. Suriasumantri (2003:275) berpendapat karakter asas moral bagi kaum ilmuan adalah meninggikan kebenaran dan pengabdian secara universal.

Kriteria kebenaran pada hakikatnya bersifat otonom dan terbebas dari struktur kekuasaan di luar bidang keilmuan. Penetapan suatu pernyatan apakah benar atau tidak ilmuan akan mendasarkan penarikan kesimpulan kepada argumen yang terkandung dalam pernyataan itu dan bukan kepada pengaruh yang berbentuk kekuasaan dari kelembagaan yang mengeluarkan pernyataan itu. Kebenaran bagi ilmuan memiliki kegunaan khusus yakni kegunaan yang universal bagi umat manusia dalam meningkatkan martabat kemanusiaan. Ilmuan tidak mengabdi kepada pembatas manusia seperti golongan, politik, ras, ideologi, dan kelompok tertentu.

Penentuan sikap ini dipangaruhi oleh hati nurani yang merupakan daya penggerak individu seorang ilmuan untuk melakuka sesuatu. Jika hati nurani baik maka diasumsikan perilaku keilmuan seorang ilmuan akan baik pula dan begitu pula sebaliknya. Sikap moral yang baik harus ditanamkan sejak dini sehingga jika sudah dewasa individu akan memiliki moral yang baik. Pendidikan budi pekerti yang diajarkan sejak dini dan dimasukkan secara tidak langsung di setiap pelajaran maka para calon ilmuan akan memiliki bekal moral sehingga diharapkan memiliki sifat dan moral yang baik pula.

DAFTAR RUJUKAN

Arifin, P. S. 2008. Etika Profesi (online). (http://students.ukdw.ac.id, diakses tanggal 18 Oktober 2008).

Bertens, K. 2008. Sistem Filsafat Moral (online). (http://www.scribd.com, diakses tanggal 18 Oktober 2008).

Filsafat Moral Aristoteles (online). (http://www.scribd.com, diakses tanggal 18 Oktober 2008).

Kemeny, J. G. 1969. A Philosopher Lokks at Science. New York: Van Nostrand.

Keraf, S. 2001. Ilmu Pengetahuan. Yogyakarta: Kanisius.

Malaka, T. 2008. Madilog (online). (http://www.marxists.org, diakses tanggal 26 Juli 2008).

Muhadjir, N. 1998. Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Rake Sarasin.

Padia, W. 2008. Filsafat Ilmu. Tanpa Kota: Sekolah Tinggi Theologi Injili Philadelphia.

Poespoprodjo, W. 1999. Filsafat Moral Kesusilaan dalam Teori dan Praktek. Bandung: CV. Pustaka Grafika.

Russell, B. 1948. Human Knowledge Its Scope and Limits. New York: Simon and Schuster.

Sarkar, S., and Pfeifer, J. 2006. The Philosophy of Science an Encyclopedia. New York: Taylor and Francis Group.

Situmorang, J. 2004. Filsafat dalam Terang Iman Kristen. Yogyakarta: Penerbit Andi.

Stine, J. M. 2001. Mengoptimalkan Daya Pikir Meningkatkan Daya Ingat dengan Mengerahkan seluruh Kemampuan Otak. Tanpa Kota: Delapratasa Publising.

Suriasumantri, J. S. 2003. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Suseno, F. M. 1987. Etika Politik Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Suseno, F. M. 2003. Pemikiran Karl Mark dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

White, B. 1991. Studying for Science a Guide to Information, Communication, and Study Techniques. New York: Spon Press.

1 komentar: