19 Februari 2009

LANDASAN SOSIAL BUDAYA PENDIDIKAN

A. Hakikat Pendidikan

Pendidikan merupakan sarana utama untuk mensukseskan pembangunan nasional, karena dengan pendidikan diharapkan dapat mencetak sumber daya manusia berkualitas yang dibutuhkan dalam pembangunan. Titik berat pembangunan pendidikan diletakkan pada peningkatan mutu setiap jenjang dan jenis pendidikan serta perluasan kesempatan belajar pada jenjang pendidikan dasar. Pendidikan juga merupakan hal mutlak yang harus dipenuhi dalam upaya meningkatkan taraf hidup suatu bangsa agar tidak sampai menjadi bangsa yang terbelakang dan tertinggal dengan bangsa lain.

Pendidikan saat ini telah direduksikan sebagai pembentukan intelektual semata, sehingga menyebabkan terjadinya kedangkalan budaya dan hilangnya identitas lokal dan nasional (Tilaar, 2004). Perubahan yang global dengan liberalisasi pendidikan sehingga menuntut lembaga pendidikan untuk mampu menghasilkan kualitas peserta didik yang dapat bersaing secara kompetitif agar dapat diterima pasar. Tuntutan untuk memenuhi kebutuhan pasar ini pada akhirnya akan mendorong lembaga pendidikan kita menjadi lebih bercirikan knowledge based economy institution. Pendidikan yang hanya berorientasi untuk mencetak generasi yang bisa diterima pasar secara ekonomis hanya akan mampu mencetak peserta didik yang berpikir dan bertindak global sehingga mereka tidak memiliki kecerdasan emosional yang akhirnya bermuara pada terjadinya krisis moral dari peserta didik.

Dewey (2001:6) mengemukakan:

Education, in its broadest sense, is the means of this social continuity of life. Every one of the constituent elements of a social group, in a modern city as in a savage tribe, is born immature, helpless, with out language, beliefs, ideas, or social standards. Each individual, each unit who is the carrier of the life experience of his group, in time passes away. Yet the life of the group goes on.

Pengertian pendidikan secara luas berarti kelanjutan kehidupan sosial. Masing-masing dari unsur memilih kelompok sosial, kota modern seperti di suku yang kejam kehidupannya, lahir belum matang, tidak berdaya, dengan keluar bahasa, kepercayaan, ide, atau standar sosial. Tiap individu dan setiap satuan yang membawa pengalaman hidup kelompok masing-masing dan pada waktu tertentu melampaui batas pengalaman sehingga individu terus dapat hidup dengan kelompoknya.

Berdasarkan uraian tersebut pendidikan berfungsi membekali pengalaman dan keterampilan kepada peserta didik untuk dapat mengembangkan kemampuannya untuk mempertahankan hidupnya. Keadaan masyarakat yang majemuk akibat perubahan jaman menuntut peserta didik dapat aktif dalam meningkatkan taraf hidup masyarakat sekitarnya. Hal ini sesuai dengan pendapat Oliva (1992:6) yang mengemukakan bahwa curriculum can be conceived in a narrow way (as subjects taught) or in a broad way as all the experiences of learners, both in school and out, directed by the school. Disimpulkan bahwa kurikulum dalam artian sempit merupakan sebagai pokok mengajar dan arti luas sebagai semua pengalaman belajar, baik dalam dan keluar sekolah, di bawah pengawasan sekolah sehingga pelajaran berupaya menciptakan pengalaman belajar bagi siswa perlu mendapat prioritas yang utama dalam kegiatan pembelajaran.

Landasan sosial budaya pendidikan mencakup kekuatan sosial masyarakat yang selalu berkembang dan berubah sesuai dengan perkembangan jaman. Kekuatan tersebut dapat berupa kekuatan nyata dan potensial yang berpengaruh dalam perkembangan pendidikan dan sosial budaya seiring dengan dinamika masyarakat. Sehingga kondisi sosial budaya diasumsikan mempengaruhi terhadap program pendidikan yang tercermin dalam kurikulum. Hunt (1975) mengemukakan:

Study hits base social and culture from education aims to supply teacher with erudition that deepen about society and where they alive and to help student teacher to detect that explanation hits society and culture of vital importance mean to realize about education problem.

Berdasarkan uraian tersebut disimpulkan bahwa kajian mengenai dasar sosial dan budaya dari pendidikan bertujuan untuk membekali guru dengan pengetahuan yang mendalam tentang masyarakat dan kebudayaan di mana mereka hidup dan untuk membantu calon guru untuk mengetahui bahwa pengertian mengenai masyarakat dan kebudayaan sangat penting artinya guna memahami tentang masalah pendidikan.

Krisis multidimensi yang belum mampu teratasi saat ini merupakan bentuk dari shock culture atau keterkejutan budaya yang dialami karena selama ini tidak disiapkan untuk menghadapi perubahan jaman yang merupakan sebuah keniscayaan. Pendidikan selama ini hanya berorientasi pada usaha untuk mewariskan budaya lokal dan nasional atau hanya melihat fungsi pendidikan sebagai lembaga pentransmisi kebudayaan, bukan sebagai lembaga yang berusaha mempersiapkan peserta didik untuk mengkonstruksi kebudayaan sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan jaman.

Pendidikan sebagai proses transformasi budaya merupakan kegiatan pewarisan budaya dari satu generasi ke generasi yang lain (Tirtarahardja dan Sulo, 2005:33). Pendidikan merupakan proses pemanusiaan untuk menjadikan manusia memiliki rasa kemanusiaan, menjadi manusia dewasa, dan manusia seutuhnya agar mampu menjalankan tugas pokok dan fungsi secara penuh dan mengembangkan budaya. Koentjaraningrat (1974) mengemukakan bahwa kebudayaan dalam arti luas dapat berwujud (1) ideal, seperti ide, gagasan, dan nilai, (2) kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakatnya, dan (3) fisik, yakni benda hasil karya manusia.

Kebudayaan adalah keseluruhan dari hasil manusia hidup bermasyarakat yang berisi aksi-aksi terhadap dan oleh sesama anggota manusia sebagai anggota masyarakat yang merupakan kepandaian, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, dan adat istiadat. Salah satu fungsi dari sekolah mencakup fungsi sosial. Sekolah dalam menjalankan fungsi sosial harus mampu mensosialisasikan peserta didik, sehingga mereka nantinya bisa merubah diri mereka dan merubah masyarakatnya. Masyarakat merupakan sebuah tempat yang menjadi tempat hidup, tumbuh, berkembang dan berubah bagi manusia. Sehingga sekolah tidak bisa dipisahkan dengan manusia, karena manusia merupakan anggota masyarakat dan menjadi pendukung dari kebudayaan yang ada di dalamnya.

Kebudayaan dan pendidikan memiliki hubungan timbal balik sebab kebudayaan dapat dilestarikan dan dikembangkan dengan jalan mewariskan kebudayaan dari generasi ke generasi penerus dengan jalan pendidikan, baik secara formal, nonformal, dan informal. Sebaliknya bentuk, ciri-ciri, dan pelaksanaan pendidikan ikut ditentukan oleh kebudayaan masyarakat di mana proses pendidikan itu berlangsung (Tirtarahardja dan Sulo, 2005). Pendidikan jika diabaikan dapat diasumsikan sosial budaya suatu bangsa akan mengalami kepunahan karena tidak ada proses transfer budaya sehingga tidak ada yang melestarikan dan mengembangkan budaya.

Berdasarkan uraian diatas disimpulkan bahwa pendidikan merupakan proses penyampaian kebudayaan (process of transmiting culture) mencakup segi keterampilan, pengetahuan, sikap, dan pola perilaku yang terencana dalam suatu program pembelajaran yang berfungsi membentuk pengalaman belajar peserta.

B. Konsep Sosial Budaya Pendidikan

Dasar sosial pendidikan mengkaji kondisi sosial dan pendidikan berdasarkan prinsip pemecahan masalah secara ilmiah dan berdasarkan nilai demokrasi. Kajian sosial pendidikan mengkombinasikan konsep, instrumen, dan metode dari ilmu sosial dan filsafat untuk membentuk kajian terpadu tentang asal usul, tujuan, dan fungsi lembaga pendidikan dalam suatu masyarakat. Manan (1989:5) mengemukakan sebuah program pendidikan mencerminkan kehidupan dan kondisi suatu masyarakat dan tidak dapat dipisahkan dari aspek sosial budaya, sejarah, dan filosofi yang semuanya memberi arah dalam bidang pendidikan.

Kajian sosial budaya menghubungkan pengetahuan tentang masyarakat dan kebudayaan dengan pendidikan sebagai institusi untuk memelihara kesinambungan dan pengembangan masyarakat dan kebudayaan. Sekolah harus memahami isu dan masalah sosial budaya dalam masyarakat terutama yang berkaitan dengan perubahan sosial budaya yakni modernisasi. Pemahaman tentang sosial budaya dan proses perubahan sosial budaya diharapkan sekolah dapat mempertahankan dan meningkatkan fungsinya sebagai agent of change dan membentuk generasi yang berkualitas. Herskovits (1964:14) berpendapat:

Society is formed by persons, their way comport to be their culture. because society concept and culture has interdependent, so in culture social concept is used in discussed education position in society. Connection between education and culture social life a society and rumorss that appear in education development and development a society.

Berdasarkan uraian tersebut disimpulkan bahwa suatu masyarakat dibentuk oleh orang-orang, cara-cara mereka bertingkah laku merupakan kebudayaan mereka. Karena konsep masyarakat dan kebudayaan tersebut bersifat interdependen, maka dalam konsep sosial budaya digunakan dalam mengkaji kedudukan pendidikan dalam masyarakat. Hubungan antara pendidikan dan kehidupan sosial budaya suatu masyarakat dan isu-isu yang muncul dalam perkembangan pendidikan dan pembangunan suatu masyarakat.

Kajian konsep sosial budaya akan terfokus pada pembahasan karakteristik sosial budaya, transmisi sosial budaya, dan hubungan sosial budaya dengan pendidikan.

1. Karakteristik Sosial Budaya Pendidikan

Potensi yang dimiliki manusia yaitu otak mampu menghasilkan kebudayaan, hasil dari potensi yang tercermin dari berbagai hasil manusia merupakan sumber pembentukan kebudayaan. Kebudayaan merupakan pengalaman universal manusia, manifestasi lokal dan regionalnya bersifat unik. Sosial budaya bersifat dinamis tetapi juga bersifat dinamis, dengan adanya perubahan terus menerus dan tetap. Koentjaraningrat (1974) mengemukakan bahwa kebudayaan memiliki unsur-unsur yang universal yaitu bahasa, sistem teknologi, sistem ekonomi, organisasi sosial, sistem pengetahuan, sistem religi, dan sistem kesenian.

Bentuk manifestasi dari unsur-unsur sosial budaya berbagai masyarakat bersifat unik. Semua masyarakat memiliki unsur budaya bahasa tetapi tidak ada dua bahasa yang identik sama. Masing-masing kebudayaan memiliki kekerabatan dan persamaan tetapi tidak identik. Keragaman atau keunikan dari unsur-unsur sosial budaya terbentuk karena adanya keragaman lingkungan dan sejarah perkembangan suatu masyarakat. Kebudayaan bersifat stabil dan dinamis. Unsur-unsur sosial budaya biasanya bertahan dan stabil untuk suatu periode waktu tertentu, tetapi kontak budaya dan perubahan lingkungan mempengaruhi terjadinya perubahan budaya (enkulturasi dan akulturasi).

Suzuki dan Ponterotto (2008:56) mengemukakan karakter proses budaya yang harus dipertimbangkan adalah pre-encounter assimilation (sebelum mengalami asimilasi), pre-encounter miseducation (sebelum mengalami salah persepsi pendidikan), pre-encounter self hatred (sebelum membenci diri sendiri), internalization nationalist (internasionalisasi nasional), dan internalization multiculturalist (internasionalisasi multikultural). Kajian tentang karakter proses budaya mengkaji tentang diskriminasi yang pernah terjadi di Amerika Serikat terhadap warga kulit hitam.

Proses sebelum mengalami asimilasi adalah adanya pemberian identitas warga kulit hitam dalam bentuk diskriminasi. Hal ini merupakan bentuk diskriminasi ras yang salah satu bentuknya menyangkut bidang pendidikan. Identitas ini diwariskan secara turun temurun sehingga diskriminasi tetap ada. Proses sebelum mengalami salah persepsi pendidikan yaitu persepsi tentang konsep pendidikan dipengaruhi oleh tingkat informasi yang dipahami dan hal ini membentuk sikap individu dalam menghargai martabat manusia, diskriminasi kulit hitam membentuk persepsi secara individu dan komunitas untuk memberlakukan hal tersebut secara kontinyu. Sehingga secara tidak langsung pendidikan berperan membentuk persepsi tersebut dalam kegiatan pembelajaran yaitu konsep diskriminasi ditransfer dan dibudayakan dalam bidang pendidikan.

Proses sebelum membenci diri sendiri tercermin dengan adanya proses pewarisan budaya diskriminasi terhadap kulit hitam menimbulkan kebencian tersendiri dengan memandang rendah budaya kulit. Individu memiliki sikap yang negatif terhadap budaya kulit hitam sehingga kajian tentang budaya kulit hitam kurang mendapat perhatian. Proses internasionalisasi nasional yaitu kasus diskriminasi kulit hitam akhirnya menjadi kajian dunia internasional sehingga proses selanjutnya adalah internasionalisasi nasional yaitu dengan adanya perlawanan dan kecaman terhadap praktik diskriminasi tersebut. Proses internasionalisasi multikultural yaitu berasumsi bahwa budaya merupakan hal kompleks dan terdapat beragam budaya. Antara budaya yang satu dengan yang lain tidak diperkenankan saling menjatuhkan melainkan saling membangun sehingga manusia menjadi berbudaya yang tinggi.

Pendidikan memegang peranan penting dalam perubahan sosial budaya manusia. Sosial budaya membentuk karakter suatu masyarakat. Berdasarkan kajian tentang sosial budaya Murdock (1965) mengidentifikasi karakteristik kebudayaan yang bersifat universal, yaitu:

a) Kebudayaan dipelajari dan bukan bersifat insting, karena itu kebudayaan tidak dapat diselidiki asal usulnya dari gen atau kromosom,

b) Kebudayaan ditanamkan, generasi baru tidak memiliki pilhan tentang kurikulum kebudayaan. Hanya manusia yang dapat menyampaikan warisan sosialnya dan generasi berikutnya dapat menyerap dan mengembangkan,

c) Kebudayaan bersifat sosial dan dimiliki bersama oleh manusia dalam berbagai masyarakat yang terorganisir,

d) Kebudayaan bersifat gagasan, kebiasaan-kebiasaan kelompok dikonsepsikan atau diungkapkan sebagai norma-norma ideal atau pola perilaku,

e) Kebudayaan sampai pada satu tingkat memuaskan individu dan kebutuhan kelompok sosial secara budaya dapat didefinisikan,

f) Kebudayaan bersifat integratif, selalu ada tekanan ke arah konsistensi dalam setiap kebudayaan, jika tidak maka konflik akan cepat menghancurkannya. Kebudayaan yang terintegrasi dengan baik memiliki kepaduan sosial (social cohesion) diantara institusi dan kelompok sosial yang mendukung kebudayaan tersebut.

Konsep budaya multikultural merupakan suatu ideologi yang mengkaji perbedaan budaya, mengakui, dan mendorong pluralisme budaya sebagai suatu corak kehidupan masyarakat (Zubaedi, 2005:61). Multikultural akan menjadi pemersatu yang mengakomodasi perbedaan dalam masyarakat yang heterogen. Antar individu hidup berdampingan dalam kesetaran derajat politik, hukum, ekonomi, sosial, dan budaya. Prinsip multikultural dapat dijadikan sebagai strategi dan pendekatan dalam pengembangan kurikulum karena disesuaikan dengan kondisi budaya daerah. Relevansi antara kurikulum dan sosial budaya dijadikan pedoman dalam penyusun kurikulum sehingga pelaksanaannya diharapkan dapat mengembangkan potensi peserta didik dan potensi daerah.

Kebudayan bersifat stabil tetapi dapat berubah, perubahan diukur dari elemen yang relatif stabil dan stabilitas diukur dari elemen budaya yang berubah dengan cepat. Beberapa kebudayaan bersifat fleksibel dari yang lain, menyesuaikan diri terhadap perubahan yang cepat tanpa mengalami disintegrasi. Beberapa aspek kebudayaan relatif lebih reseptif terhadap perubahan dibandingkan dengan aspek yang lain. Teknologi berubah dengan cepat dibandingkan dengan nilai-nilai, namun demikian tidak ada nilai dan ideologi yang secara keseluruhan tetap bersifat statis.

2. Transmisi Sosial Budaya Pendidikan

Kajian sosial budaya pendidikan dari masa ke masa mengalami perubahan secara terminologis (peristilahan). Istilah tersebut mencakup enkulturasi (pembudayaan), sosialisasi (pemasyarakatan), pendidikan, dan sekolahan. Istilah tersebut sangat penting dikaji dalam pendidikan karena berguna untuk menjelaskan gejala yang terjadi dalam bidang pendidikan. Herskovits (1964) mengemukakan bahwa enkulturasi dan sosialisasi memiliku hakikat yang sama, aspek-aspek dari pengalaman belajar yang memberi ciri khusus atau yang membedakan manusia dari makhluk lain, dan dengan menggunakan pengalaman kehidupan maka manusia memperoleh kompetensi dalam kebudayaannya.

Enkulturasi merupakan proses pembiasaan secara sadar atau tidak sadar yang dilakukan dalam batas yang dijinkan secara norma oleh suatu kebudayaan. Proses enkulturasi bersifat kompleks dan berlangsung seumur hidup dan tiap tahap kehidupan memiliki perbedaan dalam hal objek budaya yang dialami. Fungsi enkulturasi adalah mempengaruhi perubahan respons individu terhadap perilaku budaya yang secara sosial disetujui sehingga mengahasilkan tingkah laku kehidupan yang berbudaya. Tiap individu memiliki serangkaian mekanisme perilaku yang diwarisi dan dapat berubah karena pengaruh budaya masyarakat.

Kesamaan konsep enkulturasi dengan konsep sosial tercermin pada sosialisasi menunjukkan proses pengintegrasian individu ke dalam sebuah kelompok sosial sedangkan enkulturasi adalah proses yang menyebabkan individu memperoleh kompetensi dalam kebudayaan kelompok. Enkulturasi dan sosialisasi mengandung unsur nilai, pola bertingkah laku, dan keterampilan, pengetahuan, dan sikap yang diperlukan oleh individu untuk dapat berfungsi sebagai anggota suatu masyarakat yang mendukung kebudayaan. Hansen (1979:28-29) mengemukakan education is part from enkulturasi that is intentional effort and has systematic to submit know-how and erudition, habit thinks, and comport that demanded must has by students. Pendidikan merupakan bagian dari enkulturasi yaitu usaha yang disengaja dan bersifat sistematis untuk menyampaikan keterampilan dan pengetahuan, kebiasaan berpikir, dan bertingkah laku yang dituntut harus dimiliki oleh para peserta didik.

Pendidikan mengandung unsur pembelajaran dan kebudayaan diwariskan, dipelajari, dan dikembangkan dengan belajar. Lembaga pendidikan merupakan institusi yang secara sengaja dan sistematis melaksanakan kegiatan belajar dengan berusaha mewariskan dan mengembangan individu sebagai peserta didik dengan tujuan memiliki pengetahuan, bermoral, dan berketerampilan. Berbagai saluran pendidikan digunakan dalam proses transmisi budaya mulai dari keluarga, sekolah, teman sepermainan, media massa, dan lingkungan secara efektif dan efisien untuk menyampaikan, melestarikan, dan mengembangkan kebudayaan.

3. Hubungan Sosial Budaya dengan Pendidikan

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab I pasal 1 ayat 2 menyatakan bahwa pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia, dan tanggap terhadap tuntutan zaman. Sehingga di dalam penentuan tujuan dan proses pelaksanaannya, pendidikan di Indonesia harus selalu berakar pada budaya atau karakter nasional dan disisi lain pendidikan juga harus mampu memenuhi tuntutan jaman, apalagi di era globalisasi yang menuntut high skilled labor (tenaga berketerampilan tinggi) yang bisa diterima oleh pasar global. Oleh karena itu orientasi pendidikan harus selalu merujuk pada dua hal penting yaitu melestarikan karakter nasional dan menciptakan lulusan yang dapat bersaing secara kompetitif di pasar global atau mencetak manusia yang bertindak lokal dan berpikir global.

Peran sekolah adalah sebagai pewaris, pemelihara, dan pembaharu kebudayaan. Kartono (1977) menyatakan bahwa sekolah hendaknya dapat dijadikan sebagai (1) sentrum budaya untuk mengoperkan nilai dan benda budaya sendiri agar budaya nasional tidak hilang ditelan masa, (2) arena untuk mengumpulkan ilmu pengetahuan modern, teknik dan pengalaman, dan (3) bengkel latihan untuk mempraktikkan hak asasi manusia selaku warga negara yang bebas ditengah iklim demokrasi. Sekolah memiliki tugas mewariskan, memelihara, dan mengembangkan budaya yang tercermin dalam kurikulum.

Archie (2008) berpendapat:

Teachers working with students need increased awareness that different cultures interpret important concepts differently. The teacher trained on concepts of cultural centers is more prepared to stimulate learning among her students; she is aware of another reality and armed with a tool to employ a more multicultural approach to learning. The multicultural movement affirms a need for more culturally consistent models of education.

Guru bekerja sama dengan peserta didik meningkat kesadaran dengan menterjemahkan konsep budaya dengan cara berbeda. Guru mengarahkan ke konsep pusat kebudayaan dengan mempersiapkan dan motivasi belajar diantara peserta didik untuk sadar akan kenyataan dan berbekal belajar sebagai alat mendekati dunia kerja. Pergerakan multikultural meyakinkan bidang pendidikan sebagai suatu kebutuhan dengan model budaya yang konsisten.

Mangungwijaya dalam Tilaar (2004) menyatakan bahwa proses pendidikan memiliki dua aspek yang saling mengisi, yaitu sebagai proses hominisasi dan proses humanisasi. Pendidikan harus memiliki paradigma baru yang dapat menyajikan model dan strategi pembelajaran sehingga diharapkan dapat menyeimbangkan proses hominisasi dan humanisasi. Proses hominisasi melihat manusia sebagai makhluk hidup dalam konteks lingkungan ekologinya yang memerlukan terasahnya kemampuan intelektual untuk menghadapi tantangan globalisasi. Proses humanisasi menekankan manusia sebagai mahluk sosial yang mempunyai otonomi moral dan sensitivitas (kedaulatan budaya).

a) Hominisasi

Pendidikan sebagai proses hominisasi melihat manusia sebagai mahluk hidup di dalam dunia dan ekologinya. Proses hominisasi tersebut manusia memerlukan kebutuhan biologis seperti makan, beranak pinak, memerlukan pemukiman, dan pekerjaan untuk menopang kehidupan. Proses hominisasi memenuhi kebutuhan manusia sebagai mahluk biologis. Pendidikan harus mampu menghasilkan output kompetitif yang mampu bersaing untuk mendapatkan pekerjaan dalam menopang kehidupannya yang lebih baik secara ekonomis dan sosial. Pendidikan harus memiliki orientasi intelektual yang dibutuhkan manusia untuk bersaing secara kompetitif sehingga mereka dapat diterima pasar, terlebih dalam era global yang lebih berasaskan knowledge based economy.

b) Humanisasi

Pendidikan melihat manusia sebagai mahluk yang bermoral (human being). Mahluk yang bermoral berarti bahwa manusia bukan hanya sekedar hidup tetapi hidup untuk mewujudkan eksistensi, yaitu bahwa manusia hidup bersama-sama dengan sesama manusia sebagai ciptaan Yang Maha Kuasa. Proses humanisasi tingkah laku manusia diarahkan kepada nilai-nilai kehidupan yang vertikal di dalam kenyataan hidup bersama dengan manusia lain. Nilai-nilai luhur tersebut, apakah diwahyukan ataupun yang dipelihara di dalam kehidupan bersama manusia karena disepakati, dapat mengikat kehidupan bersama nenuju suatu cita-cita bersama, yaitu kehidupan yang lebih baik, lebih tenteram, dan berkeadilan. Hal-hal tersebut dijalin dan terjalin di dalam nilai-nilai kebudayaan suatu masyarakat atau suatu kelompok hidup bersama manusia. Proses humanisasi mencapai puncaknya pada seseorang yang berpendidikan dan berbudaya (educated and civilized human being).

Kebudayaan dan pendidikan memiliki hubungan timbal balik sebab kebudayaan dapat dilestarikan dan dikembangkan dengan jalan mewariskan kebudayaan dari generasi ke generasi penerus dengan jalan pendidikan, baik secara informal maupun formal. Sebaliknya bentuk, ciri-ciri, dan pelaksanaan pendidikan ikut ditentukan oleh kebudayaan masyarakat di mana proses pendidikan itu berlangsung (Tirtarahardja dan Sulo, 2005). Salah satu fungsi dari sekolah mencakup fungsi sosial. Sekolah dalam menjalankan fungsi sosial harus mampu mensosialisasikan peserta didik, sehingga mereka nantinya bisa merubah diri mereka dan merubah masyarakatnya. Masyarakat merupakan sebuah tempat yang menjadi tempat hidup, tumbuh, berkembang dan berubah bagi manusia. Sehingga sekolah tidak bisa dipisahkan dengan manusia, karena manusia merupakan anggota masyarakat dan menjadi pendukung dari kebudayaan yang ada di dalamnya.

Danim (2003) berpendapat pendidikan merupakan proses pemanusiaan untuk menjadikan manusia memiliki rasa kemanusiaan, menjadi manusia dewasa dan manusia seutuhnya agar mampu menjalankan tugas pokok dan fungsi secara penuh sebagai pemegang mandat Ilahiah dan kultural. Menetapkan tujuan-tujuan pendidikan, kita bisa mendapatkannya melalui analisis kebutuhan dari siswa, analisis budaya dan kebutuhan masyarakat. Sesuai dengan pendapat Oliva (1992) yang mengemukakan:

Education purposes is got from research towards child need at our society, culture analysis or our culture and from research towards various our society need. Education character in society develop erudition, interest, idea, habit, and strength from every body where will he find the place and use place to form th and the society aims to end better.

Tujuan pendidikan didapatkan dari penelitian terhadap kebutuhan peserta di masyarakat, analisis kultur atau budaya dan dari penelitian terhadap berbagai kebutuhan masyarakat. Peran pendidikan dalam masyarakat adalah untuk mengembangkan pengetahuan, minat, ide, kebiasaan, dan kekuatan dari tiap orang dimana ia akan menemukan tempatnya dan menggunakan tempat tersebut untuk membentuk dirinya sendiri dan masyarakatnya menuju akhir yang lebih baik. Sekolah dalam menjalankan perannya sebagai pewaris dan pemelihara kebudayaan, harus mewariskan budaya kepada generasi berikutnya melalui transmisi pendidikan dan kegiatan pembelajaran dengan penekanan pada faktor rasio dan wawasan, dan bukan merupakan kegiatan adaptasi secara pasif, kodrati, dan otomatis terhadap alam.

Kebudayaan merupakan cara hidup atau way of life dan cara hidup ini merupakan totalitas kualitas kultural yang meliputi sistem nilai dan ideal dari hidup yang memberi isi dan makna bagi kehidupan. Kartono (1977) berpendapat unsur budaya yang harus diikutsertakan dalam kebijakan pendidikan nasional (1) asas pandangan hidup secara regional dan lokal, (2) dasar operasionalisasi bagi kegiatan mendidik, (3) dasar materialisasi bagi penentuan kurikulum (muatan lokal), (4) landasan afeksi bagi motivasi belajar dan hidup, dan (5) landasan ideal bagi upaya pembangunan lebih maju. Pendidikan diharapkan dapat menjadi salah satu perwujudan aspirasi dan perwujudan kebudayaan bangsa, sehingga ketekunan mengkaji dan menemukan kembali nilai budaya bangsa asli adalah identik dengan mengkaji asas dinamik yang ada pada bangsa dan bersumber pada budaya daerah.

Sekolah dalam menjalankan perannya sebagai agen pembaharuan dalam budaya globalisasi, pendidikan dihadapkan pada dua fungsi yaitu mempersiapkan sumber daya manusia yang bisa bersaing secara global dan berusaha tetap melindungi budaya-budaya yang telah menjadi karakter nasional. Oleh sebab itu menurut Pidarta (1997) berpendapat pendidikan perlu (1) memasukkan materi pelajaran yang diambil dari keadaan nyata di masyarakat atau keluarga, (2) metode belajar yang mengaktifkan peserta didik, (3) mengadakan survey di masyarakat tentang berbagai kebudayaan, (4) ikut memecahkan masalah masyarakat, dan (5) memberi kesempatan berinovasi atau kreatif menciptakan sesuatu yang baru yang lebih baik tentang hidup dan kehidupan. Akibat dari kebudayaan masa kini terdapat kemungkinan pergeseran paradigma pendidikan yaitu dari sekolah ke masyarakat luas dengan berbagai pengalaman luas. Sehingga sekolah tidak dapat dipisahkan dengan masyarakat sekitarnya, keduanya saling menunjang. Sekolah merupakan agen pembangunan dan perubahan ke arah yang lebih baik bagi masyarakat.

C. Perkembangan Sosial Budaya dalam Pembangunan

Dinamika masyarakat mencerminkan proses perubahan yang bersifat evolusioner dan revolusioner. Perubahan perubahan sosial, budaya, politik, dan ekonomi diharapkan meningkatkan kemaslahatan mansusia dan berlangsung secara damai. Perubahan sosial terjadi karena adanya dorongan perkembangan masyarakat secara sadar atau tidak. Adanya perubahan sosial budaya menciptakan inovasi penciptaan sehingga masyarakat lebih berkembang dalam kehidupannya. Kajian perkembangan sosial budaya dalam pembangunan terfokus pada aspek enkulturasi dan akulturasi pendidika, moderninasi dan pembangunan, dan perubahan sosial budaya.

1. Enkulturasi dan Akulturasi Pendidikan

Landasan kultural dalam aktivitas pendidikan sangat penting untuk dilakukan, sebab pendidikan memang merupakan proses transformasi kebudayaan dari satu generasi ke generasi lain. Sekolah sebagai lembaga pendidikan secara historis dibentuk atau didirikan oleh dan untuk masyarakat tertentu. Sistem sosial sekolah sebagai pelaksana pendidikan mempunyai struktur proses kegiatan dan pola-pola interaksi yang akan menentukan program sekolah. Struktur dari sistem sekolah adalah peranan serta fungsi-fungsi yang harus dilaksanakan oleh pemegang peranan tersebut. Guru adalah pemegang peranan yang harus mengetahui fungsinya dalam keseluruhan sistem pendidikan.

Penananam budaya dan nilai-nilainya oleh sekolah akan mendorong terjadinya proses enkulturasi. Manan (1989) menyatakan bahwa pendidikan adalah enkulturasi. Pendidikan adalah suatu proses membuat orang menerima budaya, membuat orang berperilaku mengikuti budaya yang diterima dirinya. Enkulturasi terjadi di mana-mana, di setiap tempat hidup seseorang dan di setiap waktu. Berdasarkan hal tersebut muncul pengertian kurikulum yang sangat luas, yaitu semua lingkungan tempat hidup manusia. Sebab dimanapun orang berada maka ditempat itu juga terjadi proses pendidikan dan enkulturasi. Sekolah adalah salah satu dari tempat enkulturasi, tempat-tempat lainnya adalah keluarga, perkumpulan pemuda, perkumpulan olah raga, keagamaan, dan di tempat-tempat kursus dan latihan.

Proses enkulturasi ini peranan sekolah adalah sebagai (1) pewaris kebudayaan, guru-guru di sekolah harus dapat berperan sebagai model kebudayaan yang dapat dipedomani dan ditiru oleh peserta didik, agar peserta didik memahami dan mengadopsi nilai-nilai budaya masyarakatnya maka guru harus dapat mengajarkan nilai-nilai yang diyakini masyarakat tempat sekolah itu. Contohnya, mengenai kedisiplinan, rasa hormat dan patuh, bekerja keras, dan kehidupan bernegara, sekolahlah yang berkompeten untuk tugas-tugas pewarisan budaya seperti itu; (2) sebagai pemelihara kebudayaan, artinya sekolah harus berusaha melestarikan nilai-nilai budaya daerah tempat sekolah. Misalnya, pengguna bahasa daerah, kesenian daerah dan budi pekerti, selain itu juga berupaya mempersatukan nilai-nilai budaya yang beragam demi kepentingan budaya bangsa (nasional).

Pembangunan pendidikan nasional juga harus dikaitkan dengan kerangka kebudayaan bangsa sendiri. Oleh karena itu, wawasan kultural mengenai gejala pendidikan dan tujuan pendidikan nasional kita tetap diperlukan, demi pengayaan wawasan-wawasan lainnya. Fungsi lembaga pendidikan ialah memelihara, mengembangkan, dan mewujudkan nilai-nilai budaya yang dimiliki oleh masyarakat pemiliknya (mentransformasikan nilai-nilai budaya). Hasan (2004:52) menyatakan bahwa pendidikan tidak hanya merupakan prakarsa bagi terjadinya pengalihan pengetahuan dan ketrampilan (transfer of knowledge and skill) tetapi juga meliputi pengalihan nilai-nilai budaya dan norma-norma sosial (transmission of cultural values and social norms). Tiap masyarakat sebagai pengemban budaya (culture bearer) berkepentingan untuk memelihara keterjalinan antara berbagai upaya pendidikan dengan usaha pengembangan kebudayaannya.

Selain proses enkulturasi dalam pendidikan, terjadi pula proses akulturasi dalam pendidikan. Akulturasi (acculturation) adalah proses yang perubahan-perubahan dalam budaya dan bahasa sebuah kelompok terjadi melalui interaksi dengan kelompok yang berbeda bahasa dan kebudayaannya. Kebudayaan merupakan produk pendidikan. Produk ini dapat dihasilkan salah satunya melalui akulturasi dari berbagai macam budaya yang ada dalam lingkungan pendidikan, baik itu melalui berbagai literatur yang digunakan, penyampaian dari guru maupun dari siswa dengan berbagai latar belakang sosial, budaya dan ekonomi yang berbeda.

Peursen dalam Kartono (1977) menyatakan bahwa seluruh kebudayaan manusia itu adalah produk dari kegiatan pembelajaran yang berlangsung terus-menerus sepanjang sejarah manusia. Setiap peserta didik, pendidik, dan lingkungannya memiliki potensi yang dapat dikembangkan secara lebih jauh. Berbagai potensi ini dalam lingkup pendidikan dapat membentuk suatu produk budaya baru yang tidak ada sebelumnya. Sekolah memiliki peran sebagai agen pembaharuan kebudayaan dengan cara melakukan reproduksi budaya (nilai-nilai dan kebiasaan baru diberikan secara langsung melalui mata pelajaran yang relevan atau dengan kegiatan ekstrakurikuler), difusi kebudayaan (murid dibimbing, dibantu menyebarkan hasil kebudayaan yang diperoleh di sekolahnya kepada keluarga atau masyarakat), dan peningkatan kemampuan murid berpikir kritis.

Proses kegiatan pendidikan dapat berupa kegiatan pembelajaran dan sistem komunikasi antara guru dengan peserta didik. Pola interaksi sosial dalam sistem pendidikan di sekolah yaitu berupa interaksi guru dengan peserta didik dan dinamika kelompok. Akulturasi memiliki nilai keluwesan dan kedinamisan sehingga bisa menutup kelemahan yang ditinggalkan oleh enkulturasi. Oleh karena itu, akan sangat tidak memadai jika sekolah hanya menunjukkan perannya sebagai lembaga tempat berlangsungnya proses enkulturasi, karena proses enkulturasi saja tanpa diikuti oleh proses akulturasi hanya akan menciptakan orang yang kaku dalam budaya sendiri. Orang yang seperti ini hanya akan mampu berpikir, berkata, dan bertindak sesuai dengan budaya yang dipelajarinya. Pendidikan tidak didirikan untuk menciptakan robot-robot budaya, oleh karena itu pendidikan harus mampu mendorong siswa untuk berpikir kritis sehingga mereka tidak hanya menerima, tapi juga secara dinamis mampu mengembangkan, memperbaharui dan menciptakan hal-hal baru.

Pidarta (1997) menyatakan bahwa sejak dini manusia perlu dididik berpikir kritis. Kemampuan untuk mempertimbangkan secara bebas dikembangkan. Hal ini dapat dilakukan dengan cara memberi kesempatan mengamati, melaksanakan, menghayati, dan menilai kebudayaan. Cara ini membuat individu tidak menerima begitu saja suatu kebudayaan melainkan melalui pemahaman dan perasaan dikala berada dalam kandungan budaya, yang akhirnya menimbulkan penilaian menerima, merevisi, atau menolak budaya itu. Pendidikan seperti ini membuat individu terbiasa dengan pemikiran terbuka dan lentur.

2. Modernisasi dan Pembangunan

Konsep perubahan sosial budaya yang mendominasi ilmu-ilmu sosial adalah konsep modernisasi (modernization) dan konsep pembangunan (development). Pengembangan intelektual merupakan pengembangan dalam bidang gagasan yang mencerminkan pola pertumbuhan dan interaksi antara eksperimen empiris, pemikiran politik, seni, dan sastra, dan spekulasi tentang hakikat manusia, Tuhan, dan alam semesta. Pengembangan intelektual berdampak pada aspek kehidupan seperti ilmu pengetahuan, sosial, budaya, politik, dan industri. Hal tersebut meningkatkan kemajuan ke arah modernisasi pembangunan segala bidang.

Schood dalam Manan (1989:56) mengemukakan modernisasi merupakan penerapan pengetahuan ilmiah yang ada dalam aktivitas atau aspek kehidupan masyarakat. Modernisasi masyarakat mencakup segala aspek kehidupan secara komprehensif seperti bidang pendidikan, hubungan sosial, sistem hukum, adminisrasi negara, pertanian, dan informasi. Pembangunan merupakan proses peningkatan kesejahteraan suatu masyarakat yang merupakan hasil transformasi masyarakat dari tradisional menjadi masyarakat modern dan aspek intelektual menjadi peran penting.

Dinamika kehidupan modern menghasilkan berbagai tantangan yang mempengaruhi kondisi psikologis masayarakat modern yang secara simultan memerlukan daya penyesuaian, daya inovasi, dan kreasi individu sebagai anggota masyarakat. Individu yang tidak dapat menyesuaikan dengan perkembangan teknologi yang setiap saat mengalami perubahan dan perkembangan akan ketinggalan dan tergilas dengan kemajuan jaman. Pendidikan merupakan alat untuk menuju perkembangan yang modern, perubahan sosial budaya, dan pengembangan ilmu pengetahuan, penyesuaian sikap dan nilai yang mendukung pembangunan. Pembangunan pendidikan memerlukan anggaran, isi materi, metode, dan dukungan sosial budaya. Dukungan tersebut diperlukan untuk relevansi pengembangan pendidikan dengan dunia kerja dan realita sosial. Semua unsur yang diperlukan dalam pengembangan pendidikan saling berhubungan, saling ketergantungan, dan saling memengaruhi dalam proses perubahan sosial budaya masyarakat dan proses pembangunan masyarakat.

3. Perubahan Sosial Budaya

Proses perubahan sosial yang terjadi di masyarakat dari tradisional menuju ke masyarakat yang modern. Arah perubahan sosial budaya, modernisasi, dan pembangunan direncakan dan dilaksanakan oleh masyarakat dimana ilmu pengetahuan dan teknologi menjadi alat untuk membantu dan mempermudah aktivitas manusia. Kehidupan sekarang dan di masa mendatang menuntut penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Individu atau masyarakat yang tidak dapat mengusai teknologi akan tertinggal di belakang.

Pendidikan sebagai konsekuensi dari adanya kebutuhan ekonomi, sosial, budaya, politik, dan hukum. Pendidikan merupakan institusi yang dibentuk untuk tujuan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi serta pembangunan bangsa. Hagen (1962) mengemukakan faktor yang mempengaruhi perubahan masyarakat tradisional ke arah modern yaitu (1) meluasnya sifat kreatifitas, kesanggupan menyelesaikan masalah, dan menggunakannya untuk maksud ekonomis, (2) sikap positif terhadap kerja teknologi dan keseimbangan lingkungan alam. Kedua faktor tersebut disalurkan ke arah inovasi teknologi.

Proses pembangunan aspek kehidupan mencakup proses modernisasi dilakukan secara kontinyu, sistematis, dan komprehensif dengan memaksimalkan penggunaan potensi sumber daya secara efektif dan efisien. Kemampuan tersebut diformulasikan dalam bentuk gagasan dan pelaksanaan dalam memenuhi berbegai kebutuhan manusia dan menghasilkan norma selanjutnya menciptakan institusi pendidikan sebagai alat penopang pembangunan. Pendidikan diharapkan dapat mengarahan kepada perkembangan sosial budaya dan mendukung pembangunan dan penguasaan berbagai keterampilan dalam inovasi menciptakan peralatan teknologi dan menggunakannya untuk kesejahteraan masyarakat.

D. Kajian Sosial Budaya dan Pendidikan Islam

Pendidikan merupakan proses budaya untuk meningkatkan harkat dan martabat manusia yang berlangsung sepanjang hayat. Pendidikan selalu berkembang dan dihadapkan pada perubahan jaman. Pendidikan harus direncanakan mengikuti irama perubahan tersebut, apabila pendidikan tidak direncanakan mengikuti irama perubahan, maka pendidikan akan ketinggalan dengan lajunya perkembangan jaman itu sendiri. Pendidikan Islam sekarang ini dihadapkan pada tantangan kehidupan manusia modern. Pendidikan Islam harus diarahkan pada kebutuhan perubahan masyarakat modern dan dalam menghadapi suatu perubahan diperlukan suatu disain paradigma baru didalam menghadapi tuntutan-tuntutan yang baru. Apabila tantangan-tantangan baru tersebut dihadapi dengan menggunakan paradigma lama, maka segala usaha yang dijalankan akan memenuhi kegagalan.

Pendidikan Islam, suatu pendidikan yang melatih perasaan murid-murid dengan cara begitu rupa sehingga dalam sikap hidup, tindakan, keputusan, dan pendekatan mereka terhadap segala jenis pengetahuan, mereka dipengaruhi sekali oleh nilai spritual dan sangat sadar akan nilai etis Islam (Husain dan Ashraf, 1986:2), atau pendidikan Islam mengantarkan manusia pada perilaku dan perbuatan manusia yang berpedoman pada syariat Allah (Nahlawi, 1995:26). Pendidikan Islam bukan sekedar transfer of knowledge ataupun transfer of training, tetapi lebih merupakan suatu sistem yang ditata di atas pondasi keimanan dan kesalehan, suatu sistem yang terkait secara langsung dengan Tuhan (Achwan, 1991:50). Pendidikan Islam suatu kegiatan yang mengarahkan dengan sengaja perkembangan seseorang sesuai atau sejalan dengan nilai-nilai Islam.

Pendidikan merupakan sistem untuk meningkatkan kualitas hidup manusia dalam segala aspek kehidupan. Sejarah umat manusia hampir tidak ada kelompok manusia yang tidak menggunakan pendidikan sebagai alat pembudayaan dan peningkatan kualitasnya. Pendidikan dibutuhkan untuk menyiapkan anak manusia demi menunjang perannya di masa datang. Upaya pendidikan yang dilakukan oleh suatu bangsa memiliki hubungan yang signifikan dengan rekayasa bangsa tersebut di masa mendatang. Pendidikan merupakan sarana terbaik untuk menciptakan suatu generasi baru yang tidak akan kehilangan ikatan dengan tradisi tetapi juga sekaligus tidak menjadi individu yang ketinggalan secara intelektual atau terbelakang dalam pendidikan mereka atau tidak menyadari adanya perkembangan disetiap cabang pengetahuan manusia.

Permasalahan pendidikan Islam saat ini menurut Masud (2008) adalah public image bahwa Islamic learning identik dengan kejumudan, kemandegan, serta kemunduran. Kesan ini didasarkan pada kenyataan bahwa dewasa ini mayoritas umat Islam hidup di negara-negara dunia ketiga dalam serba keterbelakangan ekonomi dan pendidikan. Lebih tragis lagi adalah berkembangnya cara berfikir serba dikotomis dan hitam putih sebagian besar umat Islam seperti Islam dengan non-Islam, Timur-Barat, dan ilmu-ilmu agama dengan secular sciences. Pola berfikir semacam ini biasanya sangat dipengaruhi oleh anggapan bahwa sains dan tehnologi tinggi yang merupakan lambang kemajuan budaya dan peradaban bangsa dewasa ini tumbuh dan berkembang di dunia Barat yang notabene negera non-Muslim. Akibat pemahaman semacan ini, penjajahan Barat atas Timur semakin menguat.

Dominasi Barat dalam berbagai hal seperti sains dan tehnologi modern, informasi, ekonomi, dan kultur makin menyisihkan umat Islam yang berada dalam kedalaman inferior complex (orang bawahan). Umat Islam tidak hanya didikte oleh hegemoni Barat, tapi lebih parah lagi mereka kehilangan jati diri dan penghargaan diri (self-identity and self esteem) sebagai akibat dari kemunduran ekonomi, politik, pendidikan, dan kebudayaan yang berkepanjangan. Konsekuensi logis dari situasi ini adalah proses marginalisasi umat Islam semakin menjadi-jadi (the marginalization of Islamic world continues). Menghadapi peradaban modern, yang perlu diselesaikan adalah persoalan-persoalan umum internal pendidikan Islam yaitu (1) persoalan dikotomik, (2) tujuan dan fungsi lembaga pendidikan Islam, (3) persoalan kurikulum atau materi. Ketiga persoalan ini saling interdependensi antara satu dengan lainnya.

Persolan dikotomik pendidikan Islam merupakan persoalan lama yang belum terselesaikan sampai sekarang. Pendidikan Islam harus menuju pada integritas antara ilmu agama dan ilmu umum untuk tidak melahirkan jurang pemisah antara ilmu agama dan ilmu bukan agama. Pandangan seorang Muslim ilmu pengetahuan adalah satu yaitu yang berasal dari Allah SWT (Suroyo dalam Usa, 1991:45). Melakukan modernisasi pendidikan Islam yakni membuat pendidikan mampu untuk meningkatkan produktivitas intelektual Islam yang kreatif dalam semua bidang usaha intelektual bersama-sama dengan keterkaiatan yang serius kepada Islam (Rahman, 1982:155-160). Konsep dikotomik jika berhasil diselesaikan, maka dalam jangka panjang sistem pendidikan Islam juga akan berubah secara keseluruhan, mulai dari tingkat dasar sampai ke perguruan tinggi.

Pengkajian pemikiran kembali tujuan dan fungsi lembaga-lembaga pendidikan Islam merupakan keperluan untuk menyesuaikan dengan perkembangan (Jasin, 1985:15). Penyesuaian lembaga pendidikan berarti lembaga pendidikan memenuhi keinginan untuk menjadikan lembaga tersebut sebagai tempat untuk mempelajari ilmu umum dan ilmu agama serta keterampilan. Kenyataannya penyesuaian tersebut lebih merupakan peniruan dengan pola tambal sulam atau dengan kata lain mengadopsi model yang dilakukan oleh lembaga-lembaga pendidikan umum, artinya ada perasaan harga diri bahwa apa yang bisa dilakukan oleh lembaga pendidikan umum dapat juga dilakukan oleh lembaga-lembaga pendidikan agama, sehingga akibatnya beban kurikulum yang terlalu banyak dan cukup berat dan terjadi tumpang tindih. Sebenarnya lembaga pendidikan Islam harus memilih satu di antara dua fungsi, apakah mendisain model pendidikan umum Islami yang handal dan mampu bersaing dengan lembaga pendidikan yang lain, atau mengkhususkan pada disain pendidikan keagamaan yang berkualitas, mampu bersaing, dan mampu mempersiapkan peserta didik yang berkualitas.

Persoalan kurikulum atau materi pendidikan Islam merupakan hal yang perlu dikaji. Materi pendidikan Islam terlalu dominasi masalah yang bersifat normatif dan ritual. Fadjar (1995:5) mengemukanan materi pendidikan Islam disampaikan dengan semangat ortodoksi keagamaan, suatu cara dimana peserta didik dipaksa tunduk pada suatu narasi yang ada, tanpa diberi peluang untuk melakukan telaah secara kritis, yang mengakibatkan pendidikan Islam tidak fungsional dalam kehidupan sehari-hari, kecuali hanya sedikit aktivitas verbal dan formal untuk menghabiskan materi atau kurikulum yang telah diprogramkan dengan batas waktu yang telah ditentukan.

Mencermati persoalan yang dikemukakan di atas, maka perlu menyelesaikan persoalan yang dihadapi pendidikan Islam secara mendasar dan tuntas. Pendidikan sekarang ini dihadapkan pada persoalan-persoalan yang kompleks yakni bagaimana pendidikan mampu mempersiapkan manusia yang berkualitas, bermoral tinggi dalam menghadapi perubahan masyarakat yang begitu cepat, sehingga produk pendidikan Islam tidak hanya melayani dunia modern, tetapi mempunyai pasar baru atau mampu bersaing secara kompettif dan proaktif dalam dunia masyarakat modern.

Langkah yang dapat dilakukan untuk mengatasi permasalahan sosial budaya pendidikan Islam adalah pertama lembaga pendidikan Islam perlu mendisain ulang fungsi pendidikannya, dengan memilih apakah (1) model pendidikan yang mengkhususkan diri pada pendidikan keagamaan saja untuk mempersiapkan dan melahirkan ulama (peserta didik) tangguh dalam bidangnya dan mampu menjawab persoalan aktual atau kontemporer sesuai dengan perubahan jaman, (2) model pendidikan umum Islami, kurikulumnya integratif antara materi pendidikan umum dan agama, untuk mempersiapkan intelektual Islam yang berfikir secara komprehensif, (3) model pendidikan modern dan mengisinya dengan konsep Islam, (4) atau menolak produk pendidikan barat, yang berarti harus mendisain model pendidikan yang sesuai dengan konsep dasar Islam dan sesuai dengan lingkungan sosial budaya, (5) pendidikan agama tidak dilaksanakan di sekolah tetapi dilaksanakan di luar sekolah, artinya pendidikan agama dilaksanakan di rumah atau lingkungan keluarga dan lingkungan masyarakat berupa seperti pesantren (Sanaky, 2008).

Kedua disain pendidikan harus diarahkan pada dua dimensi, yakni (1) dimensi dialektika (horisontal) dan dimensi ketunduhan vertikal (Sudiro, 1995:2). Dimensi dialektika (horisontal) pendidikan hendaknya dapat mengembangkan pemahaman tentang kehidupan manusia dalam hubungannya dengan alam dan lingkungan sosialnya. Peserta didik mampu mengatasi tantangan dan kendala dunia sekitarnya melalui pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, dan (2) dimensi ketunduhan vertikal, pendidikan selain menjadi alat untuk memantapkan, memelihara sumber daya alami, juga menjembatani dalam memahamai fenomena dan misteri kehidupan yang abadi dengan Maha Pencipta, yang berarti pendidikan harus disertai dengan pendekatan hati.

Ketiga paradigma yang dikemukakan Djohar (1999:12) yaitu untuk membangun paradiga baru pendidikan Islam maka (1) pendidikan adalah proses pembebasan, (2) pendidikan sebagai proses pencerdasan, (3) pendidikan menjunjung tinggi hak peserta didik, (4) pendidikan menghasilkan tindakan perdamaian, (5) pendidikan adalah proses pemberdayaan potensi manusia, (6) pendidikan menjadikan peserta didik berwawasan integratif, (7) pendidikan wahana membangun watak persatuan, (8) pendidikan menghasilkan manusia demokratik, (9) pendidikan menghasilkan manusia yang peduli terhadap lingkungan, dan (10) sekolah bukan satu-satunya instrumen pendidikan.

Tiga hal yang dikemukakan merupakan alternatif desain pendidikan Islam yang perlu diupayakan untuk membangun paradigma pendidikan Islam dalam menghadapi perkembangan perubahan jaman modern. Kondisi masyarakat lebih bersifat praktis dalam hal aspirasi dan harapan terhadap pendidikan (Parker, 1990), sehingga tidak statis atau hanya berjalan di tempat dalam menatap persoalan yang dihadapi pada era masyarakat modern. Pendidikan dalam masyarakat modern berfungsi untuk memberikan kaitan peserta didik dengan lingkungan sosiokulturalnya yang terus berubah dengan cepat dan pada saat yang sama, pendidikan secara sadar digunakan sebagai instrumen untuk perubahan dalam sistem politik, ekonomi, sosial, dan budaya secara keseluruhan.

DAFTAR RUJUKAN

Achwan, R. 1991. Prinsip-Prinsip Pendidikan Islam Versi Mursi. Jurnal Pendidikan Islam IAIN Sunan Kalijaga. 1(1): 50.

Archie, M. 2008. Theories of Cultural Centeredness: Multiculturalism and Realities (online). (http://www.carleton.ca, diakses tanggal 10 Oktober 2008).

Danim, S. 2003. Agenda Pembaharuan Sistem Pendididikan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Dewey, J. 2001. Democracy and Education. Pennsylvania: Pennsylvania State University.

Djohar. 4 Mei 1999. Omong Kosong tanpa Mengubah UU Nomor 2 Tahun 1989. Kedaulatan Rakyat, hlm 6.

Fadjar, A. M. 1995. Menyiasati Kebutuhan Masyarakat Modern terhadap Pendidikan Agama Luar Sekolah. Makalah disajikan dalam Seminar dan Lokakarya Pengembangan Pendidikan Islam Menyongsong Abad 21, IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 31 Agustus sampai dengan 1 September 1995.

Hagen, E. E. 1962. On the Theory of Social Change. Homewood: The Darsey Press.

Hansen, J. F. 1979. Socio Cultural Perspektive on Learning. Englewood Cliffs: Prentice Hall.

Hassan, F. 2004. Pendidikan Adalah Pembudayaan Pendidikan Manusia Indonesia. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

Herskovits, M. J. 1964. Cultural Dynamics. New York: Alped A Kopf.

Hunt, M. P. 1975. Foundations of Education Social and Cultural Perspectives. New York: Hold Rinchars and Winston.

Husaian, S. S., dan Ashraf, S. A. Tanpa tahun. Krisis Pendidikan Islam. Terjemahan oleh Rahmani Astuti. 1986. Bandung: Risalah.

Jasin, A. 1985. Kerangka Dasar Pembaharuan Pendidikan Islam Tinjauan Filosofis. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Kartono, K. 1977. Tinjauan Holistik Mengenai Tujuan Pendidikan Nasional. Jakarta: Pradnya Paramita.

Koentjaraningrat. 1974. Kebudayaan Mentalitet dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia.

Manan, I. 1989. Dasar-Dasar Sosial Budaya Pendidikan. Jakarta: Dirjen Dikti Depdikbud.

Masud, A. 2008. Umat Islam dan Permasalahannya (online). (http://www.mentaritimur.com, diakses tanggal 9 November 2008).

Murdock, G. P. 1965. How Culture Changes. New York: Mc Graw Hill.

Nahlawi, A. Tanpa tahun. Pendidikan Islam di Rumah Sekolah dan Masyarakat. Terjemahan oleh Shihabuddin. 1995. Jakarta: Gema Insani Press.

Oliva, P. F. 1992. Developing the Curriculum. New York: Harper Collins Publishers.

Parker, S. R. 1990. Sosiologi Industri. Jakarta: Rineka Cipta.

Pidarta, M. 1997. Landasan Kependidikan Stimulus Ilmu Pendidikan Bercorak Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.

Rahman, F. 1982. Islam dan Moderninasi, Tradisi Transformasi Intelektual. Terjemahan oleh Ahsin Mohammad. 1985. Tanpa kota: Pustaka.

Sanaky, H. A. H. 2008. Studi Pemikiran Pendidikan Islam Modern (online). (http://www.mentaritimur.com, diakses tanggal 9 November 2008).

Sudiro, M. I. 1995. Pendidikan Agama dalam Masyarakat Modern, Seminar dan Lokakarya Nasional Revitalisasi Pendidikan Agama Luar Sekolah dalam Masyarakat Modern, Pemkot Cirebon, Cirebon, 30-31 Agusrus 1995.

Suzuki, L. A., and Ponterotto, J. G. 2008. Hand Book of Multicultural Assessment Clinical, Psychological, and Educational Applications. San Francisco: John Wiley & Sons, Inc.

Tilaar, A. R. 2004. Paradigma Baru Pendidikan Nasional. Jakarta: Rineka Cipta.

Tirtarahardja, U., dan Sulo, S. 2005. Pengantar Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. 2003. Bandung: Citra Umbara.

Usa, M. 1991. Pendidikan Islam di Indonesia antara Cita dan Fakta. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Zubaedi. 2005. Pendidikan Berbasis Sekolah Upaya Menawarkan Solusi terhadap Berbagai Problem Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Tidak ada komentar: