Sekolah dalam rangka meningkatkan daya saing memerlukan pembelajaran yang lebih efektif dan padu antara dimensi pengetahuan dan dimensi pengetahuan dengan dimensi proses kognitif pembelajarannya di dalam domain pilar pendidikan. Tujuan kompetensi akan dicapai melalui kurikulum. Kompetensi dinyatakan dalam bentuk penguasaan dimensi prosedural pengetahuan dan dimensi kognitif pada jenjang kreativitas, melalui berbagai cara/metode pembelajaran. Di dalam materi pembelajaran tersebut dimensi afektif dan psikomotorik pengetahuan telah disatukan dengan kognitif.
Oleh karena itu materi dan proses pembelajaran di sekolah tidak lagi berbentuk teacher-centered content-oriented (TCCO), tetapi diganti dengan menggunakan prinsip student-centered learning (SCL). Kemajuan teknologi informasi dan komunikasi menyediakan banyak cara mendapatkan informasi sumber belajar. Hal ini memberikan peluang untuk mengembangkan metode pembelajaran baru yang secara optimal memanfaatkan teknologi tersebut untuk mencapai kompetensi yang diharapkan.Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan pasal 19 ayat 1 menyatakan proses pembelajaran pada satuan pendidikan diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas dan kemandirian sesuai dengan minat, bakat dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik. Berdasarkan hal tersebut disimpulkan terdapat tuntutan adanya pergeseran paradigma pengajaran ke paradigma pembelajaran.
Paradigma pengajaran yang lebih menitikberatkan peran pendidik dalam mentransformasikan pengetahuan kepada peserta didiknya bergeser pada paradigma pembelajaran yang memberikan peran lebih banyak kepada peserta didik untuk mengembangkan potensi dan kreativitas dirinya dalam rangka membentuk manusia yang memiliki kekuatan spiritual keagamaan, berakhlak mulia, berkepribadian, memiliki kecerdasan, memiliki estetika, sehat jasmani dan rohani, serta keterampilan yang dibutuhkan bagi dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Pola pembelajaran yang terpusat pada guru sudah tidak memadai untuk mencapai tujuan pendidikan. Permasalahan yang dihadapi karena disebabkan:
1. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) dan seni yang sangat pesat menghasilkan berbagai kemudahan bagi siswa untuk mengakses sumber-sumber belajar yang sulit dapat dipenuhi oleh seorang guru,
2. Perubahan kompetensi kekaryaan yang berlangsung sangat cepat memerlukan materi dan proses pembelajaran yang lebih fleksibel,
3. Kebutuhan untuk mengakomodasi demokratisasi partisipasif dalam proses pembelajaran di perguruan tinggi. Oleh karena itu pembelajaran sekolah ke depan di dorong menjadi berpusat pada siswa (SCL) dengan memfokuskan pada tercapainya kompetensi yang diharapkan. Hal ini berarti siswa harus didorong untuk memiliki motivasi dalam diri mereka sendiri, kemudian berupaya keras mencapai kompetensi yang diinginkan.
Kurikulum merupakan seperangkat usaha sekolah untuk mempengaruhi siswa belajar, mencakup pengalaman, lingkungan belajar, kemampuan, dan minat siswa. Oliva (1992:4) mengemukakan that in every school in which teachers are instructing student a curriculum exists. Setiap sekolah di mana guru mengajar siswa itu mencerminkan terdapat kurikulum. Disimpulkan dalam mengelola kurikulum di sekolah, salah satu aktivitas terpenting adalah mengelola kegiatan pembelajaran sebagai aplikasi kurikulum di sekolah. Penguasaan materi oleh guru dalam pelaksanaan kegiatan pembelajaran merupakan hal penting, media dan metode menyesuaikan dengan materi pelajaran.
Penggunaan media dan metode pembelajaran diharapkan dapat meningkatkan daya serap siswa terhadap materi pelajaran. Kegiatan pembelajaran yang dilaksanakan diupayakan aktif, kreatif, dan menyenangkan, agar siswa termotivasi dalam belajar. Mutu kegiatan pembelajaran menjadi faktor yang berpengaruh terhadap mutu pendidikan. Efektivitas kegiatan pembelajaran dipengaruhi oleh 1) lama waktu belajar, 2) materi, metode, dan media pembelajaran, 3) penilaian, umpan balik, dan bentuk penghargaan bagi siswa, dan (4) jumlah siswa dalam satu kelas.
B. Konsep Interactive Skill Station
Pengembangan metode pembelajaran Interactive Skill Station (ISS) yang merupakan pendekatan dalam upaya peningkatan optimalisasi kegiatan pembelajaran, dilaksanakan secara sinergis dan aplikatif. Secara garis besar penerapan kegiatan pembelajaran dengan ISS menurut Sakti, dkk. (2008) ialah dengan membagi peserta di dalam kelas menjadi sejumlah kelompok kecil dengan tugas masing-masing untuk mempersiapkan materi ajar, mempelajari topik bahasan sesuai dengan penugasan yang diberikan. Setiap topik bahasan didiskusikan, dan menjadi tugas setiap anggota kelompok untuk menjelaskan kembali apa yang telah dipelajari kepada peserta belajar di luar kelompoknya.
Peran guru di dalam metode ISS ialah sebagai fasilitator dan nara sumber di dalam setiap kelompok diskusi, dan di dalam diskusi pleno yang dilakukan sesudah diskusi kelompok berlangsung. Metode ISS menurut Sakti, dkk. (2008) memberikan beberapa manfaat, yaitu 1) melatih rasa percaya diri siswa untuk menyatakan pendapat dan berbicara di depan umum, 2) melatih kreativitas siswa, dan 3) ada penilaian obyektif antarsiswa.
Pemanfaatan teknologi informasi mampu meningkatkan banyak aspek dari pendidikan, yang meliputi pembelajaran siswa, pengembangan profesional guru, dan manajemen kelas. Dengan teknologi informasi materi ajar lebih lengkap, disajikan lebih menarik, dan dengan mudah serta cepat dapat didistribusikan melalui media on-line maupun off-line. Komunikasi sumber belajar dengan siswa lebih mudah dan akses materi ajar dapat dilayani tanpa batasan waktu dan tempat.
Oleh karena itu metode ini kemudian oleh SMAN 3 Malang diterapkan dengan nama metode ISS-IT yang mempunyai makna Interactive Skill Station-Information Technology Based, artinya suatu pembelajaran dengan pendekatan keterampilan konseling interaktif antarsiswa dengan mempergunakan teknologi informasi. Bagi siswa kegiatan pembelajaran menggunakan metode ISS-IT membuat suasana belajar tidak membosankan, karena pembelajaran atau tatap muka dapat dilakukan tidak hanya di ruang kelas, tetapi dapat dilakukan di gazebo, teras kelas, dan jika perlu dapat dilakukan di luar kelas, tidak perlu lagi rebutan kelas.
Kegiatan pembelajaran menggunakan metode ISS-IT memberikan porsi pada siswa lebih besar dibanding metode yang selama ini berlangsung. Metode lama siswa datang-duduk-ngantuk, sudah bukan jamannya lagi. Metode ISS-IT membuat siswa berperan secara aktif dalam proses belajar mengajar, misalnya dengan aktif mencari sendiri sumber belajar (learning resources), bekerja sama dalam kelompok dan dapat mengembangkan kreativitas.
Sistem penilaian dalam metode pembelajaran ISS-IT ini dinilai yang paling menguntungkan, yang diharapkan apabila siswa akan mendapatkan nilai maksimal (melampau standar). Sementara itu Sakti, dkk. (2008) berpendapat kegiatan pembelajaran menggunakan metode ISS-IT membuat siswa lebih kreatif dalam presentasi, seperti membuat PowerPoint dan program SwishMax dengan beberapa aplikasinya, yang sebelumnya tidak pernah menggunakan menjadi terbiasa, sedang yang tidak tahu menjadi terpacu untuk belajar membuat suatu presentasi menjadi lebih menarik.
Siswa tidak kekurangan bahan karena dapat keterampilan baru cara mengakses data dari internet, siswa dapat memadukan bahan ajar dengan mata pelajaran yang lain. Metode ISS-IT memacu siswa untuk berani mengeluarkan pendapat, karena semakin aktif nilainya akan semakin baik. Siswa yang tidak terbiasa beradu argumentasi akan kelihatan tidak aktif.
C. Inovasi Interactive Skill Station-Information Technology Based sebagai Pengubah Perilaku Belajar
Tujuan dari kegiatan penerapan Interactive Skill Station-Information Technology (ISS-IT) adalah untuk meningkatkan education atmosphere melalui peningkatan kualitas pembelajaran dengan optimalisasi kerja SDM dalam hal ini guru dengan hasil akhir yang diharapkan yaitu meningkatnya pemahaman siswa terhadap materi yang diajarkan terhadap teman-temannya. Peningkatan kemampuan dan pengetahuan siswa secara langsung akan meningkatkan derajat pengetahuan dan pada akhirnya meningkatnya nilai, reputasi akademik, dan praktik (soft skill).. Harapan lebih lanjut adalah adanya program pembelajaran berkelanjutan di universitas melalui pelatihan terstruktur.
Menurut Bowe (1997) tanpa memahami prinsip belajar, sulit bagi seorang guru untuk menyusun strategi pembelajaran, metode mengajar, dan teknik evaluasi yang sesuai dengan karakteristik siswa dan materi yang disajikan. Sementara itu Dervilie (2003) mengemukakan prinsip belajar yaitu:
1. Mengajar adalah memotivasi dan memberikan fasilitas kepada responden atau pasien agar dapat belajar sendiri,
2. Learning by doing, dengan perpaduan pepatah “jika saya dengar saya akan lupa, jika saya lihat saya akan ingat, dan jika saya lakukan saya akan paham”,
3. Semakin banyak alat kerja yang diaktifkan (multisensors) dalam kegiatan belajar, maka akan semakin banyak informasi yang terserap,
4. Belajar pada banyak hal adalah suatu pengalaman. Oleh sebab itu keterlibatan siswa dan guru merupakan salah satu faktor penting dalam proses pembelajaran,
5. Materi akan lebih mudah dikuasai apabila siswa terlibat secara emosional dalam kegiatan pembelajaran. Siswa akan terlibat secara emosional apabila pelajaran itu bermakna bagi siswa,
6. Belajar dipengaruhi oleh motivasi intrinsik dan ekstrinsik dari siswa,
7. Makna pelajaran bagi pasien merupakan motivasi intrinsik yang kuat sedangkan faktor kejutan (faktor “Aha”) merupakan motivasi luar,
8. Setiap otak adalah unik, karena itu setiap siswa memiliki persamaan dan perbedaan cara terbaik dalam memahami materi pengajaran,
9. Otak akan lebih mudah merekam input jika dalam keadaan santai daripada keadaan kelas yang tegang dan dalam posisi yang tidak nyaman,
10. Semua manusia, termasuk siswa dan guru ingin dihargai dan dipuji,
11. Dalam mengajar orang dewasa, jangan perlakukan mereka seperti anak-anak, karena mereka berbeda dengan anak dalam: bersikap dan belajar.
Salah satu definisi modern tentang belajar menurut Lackey, dkk. (2004) ialah bahwa belajar merupakan pengalaman terencana yang membawa perubahan tingkah laku menjadi lebih baik. Senada dengan ini maka mengajar, berarti juga memotivasi dan menyediakan fasilitas agar terjadi proses belajar pada diri si pelajar atau dalam hal ini siswa. Berdasarkan pengertian disimpulkan pengajar/fasilitator/guru bertanggung jawab dalam:
1. Mengidentifikasi perubahan perilaku yang diharapkan,
2. Menyusun sumber-sumber belajar termasuk isi dan media instruksi untuk menyediakan suatu pengalaman agar siswa memperoleh kesempatan mengubah tingkah lakunya,
3. Menyelenggarakan kegiatan mengajar,
4. Mengevaluasi apakah perubahan tingkah laku telah tercapai.
Bloom dalam Johnson dan Lamb (2000) berpendapat bahwa tingkah laku dapat dibedakan atas tiga ranah yakni pengetahuan, keterampilan, dan sikap. Tiga ranah tingkah laku tersebut diilustrasikan seperti pada Gambar 2.1.
Gambar 2.1 Ranah Pengetahuan, Keterampilan, dan Sikap
Jika pendapat Bloom tersebut diterapkan dalam menetapkan tujuan proses pembelajaran, maka tiga domain tingkah laku tersebut harus diidentifikasi, dicapai dan dievaluasi dalam kegiatan belajar mengajar. Lebih lanjut Bloom dalam Johnson dan Lamb (2000) mengilustrasikan tingkah laku pembelajaran yang diubah seperti pada Gambar 2.2.
Gambar 2.2 Tingkah Laku Pembelajaran yang Diubah
Hal senada dikemukakan oleh Prochaska dan D’Clemente dalam Sakti (2008) bahwa dalam perubahan perilaku terdapat lima tahap hingga perilaku baru benar-benar terjadi. Pentahapan tersebut yakni 1) precontemplation, pada dasarnya manusia tidak ingin mengubah perilaku, 2) contemplation, mempertimbangkan untuk berubah, 3) preparation, membuat sedikit perubahan, 4) action, terikat pada perilaku baru, dan 5) maintenance, mempertahankan perilaku baru.
Walaupun masih ada beberapa kendala penerimaan (resistensi) beberapa pihak baik dari sarana maupun dari personalnya, namun secara teoritis ISS-IT telah mampu mengubah persepsi dan sikap guru dan siswa serta mempunyai penilaian tersendiri akan manfaat adanya perubahan metode pembelajaran ini. Kekurangan ini telah dapat diatasi dengan tersedianya Buku Panduan ISS-IT yang dalam kelanjutannya akan dikembangkan sebagai Buku Ajar Metode ISS-IT serta e-Learning.
D. Paradigma Pembelajaran Berbasis Information Technology
Seiring dengan perkembangan jaman, proses pembelajaran tidak lagi terpusat pada suatu pusat pendidikan seperti kampus, sekolah, kursus, ataupun pusat pelatihan (Suryaningtyas, 2008). Perubahan tersebut telah mengarahkan proses pembelajaran untuk mendapatkan pengetahuan ke arah tersebar. Paradigma pergeseran dalam proses pembelajaran ini telah dikenal sejak dekade awal tahun 1990-an, dan kini keadaan tersebut telah dikenal luas oleh masyarakat dunia pada umumnya.
Kegiatan proses pembelajaran terus diarahkan ke arah yang lebih fleksibel dalam kaitannya dengan ruang dan waktu. Karena memang sudah semestinya, dalam mendapatkan suatu pengetahuan, ruang dan waktu seharusnya bukanlah suatu batasan yang menyulitkan bahkan tidak memungkinkan seseorang untuk mendapatkan suatu pengetahuan yang ingin diketahuinya.
Belajar merupakan rangkaian proses pengembangan individu yang dilakukan seumur hidup. Belajar tidak harus di lingkungan formal seperti sekolah, kampus, tempat kursus ataupun pusat pelatihan dan pengembangan individu. Dengan berpegang pada pernyataan demikian, dapat ditelusuri bahwa belajar harus menumbuhkan suatu sikap kemampuan belajar secara mandiri, tanpa peduli ada tidaknya faktor luar yang mempengaruhi proses belajar tersebut seperti staf pengajar dan atau ruang kelas. Belajar yang dikatakan sebagai rangkaian proses pengembangan individu selama seumur hidup, sudah tentu memerlukan adanya pengembangan sikap memotivasi kemampuan belajar secara mandiri.
Lingkup pendidikan formal yang lebih sempit seperti institusi pendidikan, biasanya menerapkan suatu sistem penyeleksian calon siswa baru dan pada umumnya sekolah yang bereputasi baik, seleksi ketat merupakan suatu keharusan dan juga sebagai tolak ukur tingkat kualitas pendidikan yang akan diberikan di sekolah tersebut. Dengan adanya hal tersebut, terkesan proses penerimaan siswa baru merupakan suatu proses yang mempersulit.
Akan tetapi dengan sistem pembelajaran berbasis teknologi informasi, hal tersebut bukanlah merupakan hal yang utama lagi, karena kegiatan pembelajaran tidak diseragamkan dengan sekelompok siswa dengan tingkat kemampuan penyerapan materi mata pelajaran tertentu. Akan tetapi, kesuksesan kegiatan pembelajaran tergantung pada motivasi, kecerdasan, dan usaha dari siswa. Sehingga diskriminasi dalam proses kegiatan pembelajaran dapat diminimalisasi atau bahkan ditiadakan.
Paradigma lainnya adalah perubahan dalam konteks pusat pembelajaran. Apabila dahulu, pendidik (guru) merupakan pusat pembelajaran kini bergeser menjadi murid (siswa) sebagai pusat pembelajaran. Kemajuan teknologi informasi dan komunikasi menyediakan banyak cara mendapatkan informasi sumber belajar. Hal ini memberikan peluang untuk mengembangkan metode pembelajaran baru yang secara optimal memanfaatkan teknologi tersebut untuk mencapai kompetensi yang diharapkan.
E. Teknologi Informasi dalam Pembelajaran
Seiring berkembangnya teknologi informasi, seorang guru dituntut mengikuti kemajuan teknologi informasi dan kemudian memanfaatkannya dalam pembelajaran, agar kualitas pendidikan menjadi semakin baik. Menurut Priyanto (2009) sekarang ini siswa seharusnya sudah dibiasakan menggunakan model komputerisasi dalam belajar, tidak hanya di kelas, namun juga komunikasi di luar kelas. Lebih lanjut Priyanto (2009) menyatakan dengan kemajuan teknologi guru tidak lagi mendikte siswa dengan soal-soal atau menulis mata pelajaran di papan tulis, namun menggunakan perangkat multimedia atau aplikasi program, seperti presentasi dengan Liquit Cristal Display (LCD) proyektor.
Guru mengajar dengan memanfaatkan teknologi menjadi hal yang penting untuk era sekarang ini. Selain perangkat multimedia yang digunakan di dalam kelas untuk mengajar, di luar kelas pun guru bisa menggunakan media internet, seperti website, blog, electronic-mail (email), dan membaca di situs ensiklopedia. Siswa tidak lagi mendapatkan tugas tertulis dari guru, tetapi mereka dapat mengakses tugas ataupun pekerjaan rumah melalui website atau blog dan mengirim tugas atau pekerjaan rumah ke email guru yang bersangkutan.
Pemilihan metode ISS-IT mendukung siswa meningkatkan pengetahuan dan keterampilannya. Outcome yang diharapkan adalah peningkatan pengetahuan dan keterampilan komunikasi yang berkualitas dan saling introspeksi akan kelebihan dan kekurangan masing-masing dalam upaya melakukan proses pembelajaran. Melatih siswa untuk kreatif, proaktif dan mampu bekerja sama dengan baik sehingga dapat mengatur ketaatan pembelajaran dan komitmen belajar yang baik.
Proses pembelajaran peningkatan citra diri dari dan untuk siswa diharapkan dapat tercipta suasana yang kondusif, minimal mengurangi kejenuhan siswa akan suasana pengajaran yang monoton. Metode ISS-IT dapat meningkatkan motivasi belajar dan rasa percaya diri. Siswa tidak dianggap sebagai individu yang kurang pandai. Berdasarkan segi internal management and organization, metode ISS-IT dengan melibatkan para guru, staf administrasi, kepala sekolah, dan siswa sendiri, akan terjadi suatu kegiatan saling memonitor dan tercipta evaluasi internal yang konstruktif dan kondusif.
Berdasarkan kajian di atas disimpulkan kedudukan teknologi informasi dalam pembelajaran sangat penting yaitu sebagai media pembelajaran juga sumber informasi dan penyedia bahan ajar bagi proses pembelajaran. Jika jaman dahulu bahkan sekarang ini kebanyakan institusi pendidikan masih menggunakan cara lama dalam proses pembelajaran maka diasumsikan siswa akan mengalami kebosanan dalam hal belajar, selain memang kebosanan itu juga bisa diakibatkan faktor lain.
Akan tetapi jika seorang guru dapat menyajikan pembelajaran yang menyenangkan maka siswa pun akan merasa bergairah dalam mengikuti pelajaran. Hal ini dipertegas oleh Suryaningtyas (2008) yang berpendapat memang pembelajaran yang menyenangkan itu juga bisa dilakukan tanpa teknologi informasi, misalnya belajar di alam bebas, menggunakan media lingkungan sekitar, tetapi tuntutan di era globalisasi adalah bisa menjadi manusia yang selain pandai, cerdas, bertakwa tetapi juga modern dan berpikir global dan juga tidak gagap teknologi (gaptek), oleh karena itu pemanfaatan teknologi dalam pembelajaran tidak ada salahnya dilakukan dalam proses pembelajaran.
Kedudukan teknologi informasi dalam pembelajaran adalah sebagai sumber informasi dan sarana mencari media yang akan di gunakan dalam pembelajaran, sehingga memudahkan guru dan siswa dalam proses pembelajaran. Fasilitas yang ada dalam internet sebagai salah satu teknologi informasi dapat dimanfaatkan untuk mencari bahan dan media pembelajaran, bahkan bila pembelajaran betul-betul memanfaatkan teknologi informasi, maka pembelajaran bisa dilakukan di luar kelas.
Penggunaan teknologi informasi pada proses pembelajaran yang biasa ditemui dalam sebuah ruang kelas, dilakukan secara live namun virtual, artinya dalam saat yang sama, seorang guru mengajar di depan sebuah komputer yang ada di suatu tempat, sedangkan para siswa mengikuti pelajaran tersebut dari komputer lain di tempat yang berbeda. Dalam hal ini menurut Suryaningtyas (2008) secara langsung guru dan siswa tidak saling berkomunikasi, namun secara tidak langsung mereka saling berinteraksi pada waktu yang sama.
Proses pembelajaran dilakukan di depan sebuah komputer yang terhubung ke jaringan internet dan semua fasilitas yang biasa tersedia di sebuah sekolah dapat tergantikan fungsinya hanya oleh menu yang terpampang pada layar monitor komputer. Materi pelajaran pun dapat diperoleh secara langsung dalam bentuk file-file yang dapat diunduh (download), sedangkan interaksi antara guru dan siswa dalam bentuk pemberian tugas dapat dilakukan secara lebih intensif dalam bentuk forum diskusi dan email. Berdasarkan kajian di atas diilustrasikan komponen metode ISS-IT seperti pada Gambar 2.3.
Gambar 2.3 Komponen Metode ISS-IT (Suryaningtyas, 2008)
Konten dan bahan ajar yang ada pada e-Learning system adalah Learning Management System. Konten dan bahan ajar ini bisa dalam bentuk Multimedia-based Content (konten berbentuk multimedia interaktif) atau Text-based Content (konten berbentuk teks seperti pada buku pelajaran biasa). Sistem perangkat lunak yang memvirtualisasi proses belajar mengajar konvensional. Pelaksanaan manajemen kelas, pembuatan materi atau konten, forum diskusi, sistem penilaian (rapor), sistem ujian online, dan segala fitur yang berhubungan dengan manajemen proses belajar mengajar.
Infrastruktur e-Learning dapat berupa personal computer (PC), jaringan komputer, internet, dan perlengkapan multimedia. Termasuk di dalamnya peralatan teleconference apabila sekolah memberikan layanan synchronous learning melalui teleconference. Sedangkan aktor yang ada dalam pelaksanakan e-Learning boleh dikatakan sama dengan proses pembelajaran konvensional, yaitu perlu adanya pengajar (guru) yang membimbing siswa yang menerima bahan ajar dan administrator yang mengelola administrasi dan proses belajar mengajar.
Menurut Duplin dan Cross (2003) terdapat tiga fungsi pembelajaran elektronik terhadap kegiatan pembelajaran, yaitu:
1. Suplemen (tambahan)
Dikategorikan sebagai suplemen (tambahan) yang sifatnya pilihan atau opsional, apabila siswa mempunyai kebebasan memilih, apakah akan memanfaatkan materi pembelajaran elektronik atau tidak. Dalam hal ini, tidak ada kewajiban/keharusan bagi siswa untuk mengakses materi pembelajaran elektronik. Sekalipun sifatnya opsional, siswa yang memanfaatkannya tentu akan memiliki tambahan pengetahuan atau wawasan.
2. Komplemen (pelengkap)
Dikategorikan sebagai komplemen (pelengkap), apabila materi pembelajaran elektronik diprogramkan untuk melengkapi materi pembelajaran yang diterima siswa (Hartley, 2001). Sebagai komplemen, materi pembelajaran elektronik diprogramkan untuk menjadi materi pengayaan atau remedial bagi siswa di dalam mengikuti kegiatan pembelajaran konvensional. Materi pembelajaran elektronik dikatakan sebagai enrichment (memperkaya), apabila siswa yang dapat dengan cepat memahami materi pelajaran yang disampaikan instruktur secara tatap muka diberikan kesempatan mengakses materi pembelajaran elektronik yang secara khusus dikembangkan untuk mereka.
Tujuannya agar semakin memantapkan tingkat penguasaan peserta didik terhadap materi pelajaran yang disajikan oleh instruktur. Dikatakan sebagai program remedial, apabila kepada siswa yang mengalami kesulitan memahami materi pelajaran yang disajikan instruktur secara tatap muka di kelas (slow learners) diberikan kesempatan untuk memanfaatkan materi pembelajaran elektronik yang memang secara khusus dirancang untuk mereka. Tujuannya agar peserta didik semakin lebih mudah memahami materi pelajaran yang disajikan instruktur.
3. Substitusi (pengganti)
Beberapa institusi di negara-negara maju memberikan beberapa alternatif model kegiatan pembelajaran kepada para peserta didiknya. Tujuannya agar para peserta didik dapat secara fleksibel mengelola kegiatan pengajarannya sesuai dengan waktu dan aktivitas lain sehari-hari peserta didik. Terdapat tiga alternatif model kegiatan pembelajaran yang dapat dipilih peserta didik, yakni:
a) Sepenuhnya secara tatap muka (konvensional),
b) Sebagian secara tatap muka dan sebagian lagi melalui internet, atau bahkan
c) Sepenuhnya melalui internet.
Alternatif model pembelajaran mana pun yang akan dipilih siswa tidak menjadi masalah dalam penilaian. Karena ketiga model penyajian materi pembelajaran mendapatkan pengakuan atau penilaian yang sama. Keadaan yang sangat fleksibel ini dinilai sangat membantu siswa untuk mempercepat penyelesaian pembelajarannya.
F. Manfaat Metode ISS-IT
Keuntungan menggunakan Metode ISS-IT adalah:
1. Fleksibel dan menghemat waktu proses pembelajaran
Metode ISS-IT memberikan fleksibilitas dalam memilih waktu dan tempat untuk mengakses pelajaran. Siswa tidak perlu mengadakan perjalanan menuju tempat pelajaran disampaikan, ISS-IT bisa dilakukan dari mana saja baik yang memiliki akses internet ataupun tidak. Bagi yang tidak memiliki akses internet, ISS-IT didistribusikan melalui movable media compact disc (CD). Siswa saat ini dapat memanfaatkan mobile technology seperti notebook dan telepon seluler untuk mengakses ISS-IT. Hal ini juga di dukung adanya berbagai tempat yang menyediakan akses internet (hot spot) gratis menggunakan wi-fi atau wimax.
2. Melatih guru dan siswa lebih mandiri dalam mendapatkan ilmu pengetahuan
ISS-IT memberikan kesempatan bagi guru dan siswa secara mandiri memegang kendali atas keberhasilan belajar. Pembelajar bebas menentukan kapan akan mulai, kapan akan menyelesaikan, dan bagian mana dalam satu modul yang ingin dipelajarinya terlebih dulu. Seandainya, setelah diulang masih ada hal yang belum ia pahami, siswa bisa menghubungi guru melalui email, chat, atau ikut dialog interaktif pada waktu-waktu tertentu. Sesuai dengan kebutuhan, guru dapat pula memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengakses bahan belajar tertentu maupun soal-soal ujian yang hanya dapat diakses oleh siswa sekali saja dan dalam rentangan waktu tertentu pula.
3. Meningkatkan kadar interaksi pembelajaran antara siswa dan guru (enhance interactivity)
Apabila dirancang secara cermat, metode ISS-iT dapat meningkatkan kadar interaksi pembelajaran, baik antara peserta didik dan guru, antara sesama siswa, maupun antara siswa dan bahan belajar (enhance interactivity). Berbeda halnya dengan pembelajaran yang bersifat konvensional, tidak semua siswa dalam kegiatan pembelajaran konvensional dapat, berani, atau mempunyai kesempatan untuk mengajukan pertanyaan atau pun menyampaikan pendapatnya di dalam diskusi.
Loftus dalam Hartley (2001) berpendapat pembelajaran yang bersifat konvensional, kesempatan yang ada atau yang disediakan guru untuk berdiskusi atau bertanya jawab sangat terbatas. Wahono (2007) berpendapat bahwa kesempatan yang terbatas ini juga cenderung didominasi oleh beberapa siswa yang cepat tanggap dan berani. Keadaan yang demikian ini tidak akan terjadi pada pembelajaran elektronik. Siswa yang malu maupun yang ragu-ragu atau kurang berani mempunyai peluang yang luas untuk mengajukan pertanyaan maupun menyampaikan pernyataan/pendapat tanpa merasa diawasi atau mendapat tekanan dari teman sekelas.
4. Memungkinkan terjadinya interaksi pembelajaran dari mana dan kapan saja (time and place flexibility)
Dowling dalam Hartley (2001) menyatakan mengingat sumber belajar yang sudah dikemas secara elektronik dan tersedia untuk diakses oleh peserta didik melalui internet, maka siswa dapat melakukan interaksi dengan sumber belajar ini kapan saja dan dari mana saja. Demikian juga dengan tugas-tugas kegiatan pembelajaran, dapat diserahkan kepada guru begitu selesai dikerjakan. Tidak perlu menunggu sampai ada janji untuk bertemu dengan guru. Siswa tidak terikat ketat dengan waktu dan tempat penyelenggaraan kegiatan pembelajaran sebagaimana halnya pada pendidikan konvensional.
5. Menjangkau siswa dalam cakupan yang luas (potential to reach a global audience)
Adanya fleksibilitas waktu dan tempat, jumlah siswa yang dapat dijangkau melalui kegiatan pembelajaran elektronik semakin lebih banyak atau meluas. Ruang dan tempat serta waktu tidak lagi menjadi hambatan. Siapa saja, di mana saja, dan kapan saja, seseorang dapat belajar. Interaksi dengan sumber belajar dilakukan melalui internet. Kesempatan belajar benar-benar terbuka lebar bagi siapa saja yang membutuhkan.
6. Mempermudah penyempurnaan dan penyimpanan materi pembelajaran (easy updating of content as well as archivable capabilities)
Fasilitas yang tersedia dalam ISS-It berupa teknologi internet dan berbagai perangkat lunak yang terus berkembang turut membantu mempermudah pengembangan bahan belajar elektronik. Demikian juga dengan penyempurnaan atau pemutakhiran bahan belajar sesuai dengan tuntutan perkembangan materi keilmuannya dapat dilakukan secara periodik dan mudah. Di samping itu, penyempurnaan metode penyajian materi pembelajaran dapat pula dilakukan, baik yang didasarkan atas umpan balik dari peserta didik maupun atas hasil penilaian instruktur selaku penanggung jawab atau pembina materi pembelajaran itu sendiri.
Pengetahuan dan keterampilan untuk pengembangan bahan belajar elektronik ini perlu dikuasai terlebih dahulu oleh instruktur yang akan mengembangkan bahan belajar elektronik. Demikian juga dengan pengelolaan kegiatan pembelajarannya sendiri. Harus ada komitmen dari instruktur yang akan memantau perkembangan kegiatan belajar peserta didiknya dan sekaligus secara teratur memotivasi peserta didiknya.
G. Tinjauan Teoritis Program Intensifikasi dan Perubahan Perilaku Proses Pembelajaran
Evaluasi kemajuan dan perubahan perilaku guru peserta ISS-IT. Pada akhir tahap dilakukan evaluasi untuk melihat hasil proses pembelajaran dengan metode ISS-IT dibandingkan dengan metode sebelumnya, yaitu proses pembelajaran yang berpusat pada guru. Evaluasi ini dikategorikan berdasarkan beberapa faktor yang mempengaruhi sikap dan perubahan perilaku antara lain : keyakinan dan nilai diri, kebutuhan diri, kebiasaan, norma sosial, dan konsekuensi dari apa yang diharapkannya.
Perubahan perilaku tersebut diilustrasikan seperti pada Gambar 5.1.
Gambar 5.1 Perubahan Perilaku (Sakti, dkk., 2008)
Sikap merupakan perasaan, keyakinan, dan kecenderungan untuk bertindak terhadap orang lain, kelompok, gagasan, dan obyek-obyek lain. Perilaku merupakan setiap tanggapan atau reaksi dari seseorang yang tidak hanya mencakup reaksi dan gerakan fisik saja, tetapi juga pernyataan verbal dan pengalaman subyektif. Kebiasaan merupakan setiap tindakan yang diulang secara teratur oleh seseorang yang telah dipelajari dan yang nampak bagi orang lain.
Norma sosial merupakan sebuah standar yang harus dipatuhi oleh anggota kelompok sosial dengan sangsi positif atau negatif. Konsekuensi yang diharapkan merupakan evaluasi yang dibuat seseorang mengenai apa yang mungkin akan terjadi akibat suatu perilaku tertentu. Perubahan perilaku guru dan siswa diharapkan ke arah yang lebih baik, sehingga kualitas kegiatan pembelajaran di sekolah dapat meningkat.
H. Penjabaran Hasil Evaluasi dari Guru
Keyakinan diri dan penilaian positif guru terhadap siswa, guru dapat mengetahui potensi, bakat, dan kreativitas siswa, karena jika dengan metode konvensional siswa kurang aktif atau pasif tidak menunjukkan jati dirinya. Sikap (penilaian) positif guru terhadap siswa (sebagai kebutuhan pribadi), guru mendapat banyak makalah dan jurnal terkini dari siswa bahkan telah tersusun rapi dan telah dibahas dalam diskusi antarkelompok. Metode sangat menyenangkan, karena siswa menjadi lebih kreatif dan termotivasi untuk belajar.
Komunikasi untuk mengubah kebiasaan, selaku fasilitator, melihat bahwa perlu sekali dilakukan diskusi dengan siswa yang bertugas sebagai ambassador untuk memastikan materi yang nanti disampaikan apakah menyimpang atau tidak. Sakti, dkk. (2008) berpendapat meski guru sudah memberikan batasan masalah, siswa masih sering keluar dari topik yang harusnya dibahas.
Konsekuensi yang diharap berkaitan dengan 1) waktu, pengajaran yang 90 menit (2 jam pelajaran) menjadi sangat tidak mencukupi untuk pembelajaran model ISS-IT, solusinya tidak semua pokok bahasan diterapkan dengan metode ini dan harus disesuaikan dengan jumlah kelompok, 2) tempat, ruangan yang dibutuhkan harus luas agar tidak saling mengganggu antara kelompok satu dengan yang lain, kalaupun dilaksanakan di luar ruang (misalnya halaman kampus) kurang memadai karena belum adanya setting ground, 3) kesiapan guru, guru harus siap dengan materi atau jurnal yang berkaitan dengan materi atau case study yang akan diselenggarakan.
Norma sosial dan introspeksi diri, cara berkomunikasi siswa dengan guru menjadi lebih baik, sopan dan berbobot, begitu pula antar sesama siswa, metode ini seharusnya akan lebih baik bila dilakukan dalam team teaching. Introspeksi diri dan peran FEE terhadap e-Learning, guru harus menyiapkan beberapa rekomendasi alamat rujukan di internet untuk memberi kemudahan siswa mengakses dokumen dari beberapa situs (sekaligus mengingatkan peran guru sebagai FEE). Introspeksi diri dan motivasi sebagai efikasi diri, tugas guru tidak begitu melelahkan namun justru harus terus meng-update pengetahuannya serta rajin belajar dalam memperkaya pengetahuannya agar dapat menjadi fasilitator yang baik bagi siswanya.
Guru merasa terpacu untuk mengungguli pengetahuan siswanya. Perilaku baru dan tujuan perubahan paradigma pendidikan, siswa dan guru dapat saling bertukar informasi, paradigma pembelajaran tampak sudah terlihat perubahannya dan tercapainya tujuan akselerasi pembelajaran. Sekolah mensosialisasikan lebih luas, karena dari evaluasi akhir pada ujian akhir semester, pokok bahasan yang diberikan dengan metode ISS-IT hasilnya memuaskan dan siswa mengatakan selalu teringat bahan pelajaran yang pernah mereka dapatkan dari rekannya ataupun siswa itu sendiri ketika menjadi ambassador. Hal ini menunjukkan adanya discovery learning.
Disimpulkan dari uraian evaluasi guru adalah tercapainya tujuan perubahan paradigma pendidikan, yaitu perubahan perilaku guru dalam mengajar yang didasari pada kebutuhan akan kreativitas dan keunggulan diri guru dibanding siswa. Ketika keyakinan itu muncul dari diri mereka sendiri tanpa paksaan, berarti ada suatu efikasi diri yang sangat kuat. Uraian tersebut dapat diilustrasikan seperti pada Gambar 5.2.
Gambar 5.2 Self Efficacy dan Commitment pada Perubahan Perilaku (Schwarzer dan Fuchs, 1995)
Bandura yang dikenal sebagai pelopor teori pembelajaran sosial atau teori sosial-kognitif, mengemukakan relevansi efikasi diri pada Social Cognitive Theory (SCT). Menurut Bandura dalam Wrightsman dan Deaux (1981:28) teradat tiga elemen yang saling terkait menurut teori ini, yaitu faktor manusia, lingkungan dan perilaku. Dalam bahasan perilaku di sini mencakup masalah harapan dan insentif. Keyakinan seseorang bahwa dia bisa menampilkan suatu perilaku tertentu, merupakan perwujudan dari rasa mampunya (mastery) dan keberhasilannya, sehingga perilaku tersebut selalu akan terpakai.
Model dari keyakinan atas kemampuan diri (mastery) ini mencakup empat hal, yaitu 1) outcome expectancy, harapan pada hasil, di mana dalam pelaksanaannya perilaku tertentu akan terlibat manakala diyakini akan membawa hasil yang diharapkan, 2) self efficacy expectancy, suatu keyakinan seseorang bahwa dia akan berhasil, 3) expectancy about environmental cues, suatu keyakinan akan bagaimana suatu hal berhubungan dengan kejadian di sekitarnya, dan 4) incentive (or reinforcement), Nilai dari hasil akhir yang diharapkan (status kesehatan, prestasi belajar, penampilan, pernyataan orang lain, pertumbuhan ekonomi).
Sedangkan dimensi dari efikasi diri (self efficacy) adalah 1) magnitude, kuatnya kemampuan individu untuk melakukan hal yang sederhana ke yang kompleks, 2) generality, harapan akan kemampuannya untuk menyamakan suatu hal pada situasi lain, dan 3) strength, kuatnya harapan seseorang untuk mempunyai rasa mampu mengatasi masalah (mastery). Berkaitan dengan efikasi diri dan komitmen, Bandura dalam Wrightsman dan Deaux (1981:28) menyatakan bahwa self efficacy merupakan bagian dari mastery. Pada perkembangannya, ketika teori social cognitive ini dikembangkan untuk strategi intervensi oleh Maddi dalam Sakti, dkk. (2008) disimpulkan bahwa ada tiga keyakinan yang membantu orang menjadi lebih baik yaitu komitmen, kontrol diri, dan kesempatan untuk mengubah perilaku.
Oleh karena itu dapat diasumsikan bahwa self efficacy dan commitment merupakan bagian yang penting dalam upaya mengubah perilaku dalam hal ini pada pengubahan paradigma pembelajaran. Dalam uraian evaluasi SMAN 3 Malang (2008) menyatakan adanya keinginan guru untuk menyiapkan diri, belajar ilmu yang terkini serta berusaha mengungguli pengetahuan siswanya agar menjadi fasilitator yang baik.
I. Penjabaran Hasil Evaluasi dari Siswa
Keyakinan dan nilai diri kelompok siswa yang didatangi ambassador harus juga belajar topik yang akan dibawakan oleh ambasador lebih dahulu, sehingga akan lebih banyak diskusi. ISS IT membangun rasa percaya diri dan menumbuhkan kreativitas siswa. Sikap siswa setuju dan senang dengan metode pembelajaran ISS-IT ini. Materi yang disajikan dengan metode ISS-IT lebih mudah diserap dan dimengerti daripada metode pembelajaran konvensional. Walaupun dilakukan siang hari setelah pukul 13.00 siswa tetap tidak mengantuk.
Siswa senang diberi kesempatan dan tanggung jawab untuk bicara di depan umum dengan materi yang mereka cari sendiri dan mereka pertahankan sesuai bukti ilmiah yang ada dan siswa belajar berbicara diplomatis dan ilmiah. Berdasarkan aspek kebiasaan, kondisi masih belum santai, sehingga materi belum tersampaikan secara maksimal. Masih ada beberapa siswa yang menjelaskan dengan cara membaca tanpa tatapan mata kepada audience. Hal ini bisa menjadi introspeksi bagi siswa lain.
Berdasarkan aspek norma sosial, siswa dapat mengenal watak teman-temannya, dapat meningkatkan rasa solidaritas dan memiliki rasa kekompakan. Bahasa tubuh teman ketika menjelaskan dapat menjadi acuan bila baik, dan tidak dicontoh bila kurang memuaskan teman-temannya. Masih ada yang menyangsikan kemampuan akademik temannya sehingga cenderung tidak setuju dengan metode ini (dua orang). Hal ini wajar sebagai suatu kondisi prekontemplasi pada perubahan perilaku.
Konsekuensi yang diharap menurut Sakti, dkk. (2008) adalah guru harus berdiskusi dan menguji ambassador sebelum presentasi dilaksanakan. Hal ini dilakukan agar materi yang nanti disampaikan akan lebih baik, tidak asal-asalan. Jika ambassador tidak menguasai materi, maka kelompok yang didatangi akan efektif. Materi kurang tersampaikan dengan baik dan diskusi tidak menarik. Guru membahas secara keseluruhan materi secara garis besarnya. Suasana ISS IT dibuat lebih menyenangkan dan santai. Dilaksanakan di outdoor agar lebih santai dan fasilitas harus memadai.
Berdasarkan perubahan perilaku siswa, metode ini lebih baik, karena penjelasan kepada beberapa orang saja sehingga lebih interaktif. siswa yang sebelumnya pasif karena kurang percaya diri, akhirnya dapat melatih berbicara di depan teman-temannya. Metode ini sudah cukup baik karena siswa jadi lebih aktif dan belajar berdiskusi serta menyampaikan pendapat dan bertanya secara resmi dalam suatu forum kelas.
Siswa menjadi mengetahui perkembangan terakhir metode maupun materi yang diberikan dari hasil browsing internet dan dapat memantau nilai yang secara transparan didapatkan dari teman-teman pada hari itu. Kendalanya adalah sulit dalam persiapan dan biaya. Hal ini sebagai suatu proses prekontemplasi menuju suatu perubahan, sehingga mendorong pihak sekolah untuk memberikan kemudahan akses internet di kelas (bagi kelas yang belum memaksimalkan jaringan akses internet).
Disimpulkan dari evaluasi siswa adalah tercapainya perubahan atmosphere academic yang dirasa positif untuk meningkatkan soft skill berbicara di depan umum, meningkatkan kemampuan berpendapat, meningkatkan rasa percaya diri dan rasa toleransi dengan kelompok. Siswa dapat pula saling belajar untuk mengerti pribadi teman, tanpa mengurangi esensi dari kualitas yang diajarkan kepada temannya, metode ISS-IT ini dapat pula sebagai ajang menilai kreativitas dan menemukan bakat siswa. Adanya suatu rasa dihargai dan dibutuhkan kelompok inilah yang menimbulkan rasa percaya diri mereka.
Keinginan siswa dan pendekatan proses belajar dalam kelas besar, pada awalnya ISS-IT ini diciptakan untuk mengatasi kondisi kelas besar, dengan mengingat berbagai variasi dari aspek guru, maupun siswa. Kejenuhan akan kondisi cara mengajar yang monoton (konvensional atau one way communication) membuat siswa mengantuk dan ada kesempatan untuk tidak memperhatikan guru saat mengajar. Aspek penting dalam mengelola kelas besar adalah dengan mengetahui keinginan dan kebutuhan siswa. Sebuah pengajaran yang baik menurut pengamatan Holmquist dalam Sakti, dkk. (2008) adalah 1) pengajaran harus terstruktur, (2) guru mengerti topik yang akan diberikan, dan 3) pelajaran tidak terlalu mudah dan tidak terlalu sukar.
Bressler dan Bressler menunjukkan hasil penelitian yang serupa bahwa keinginan siswa terhadap metode atau alat yang digunakan gurun dalam mengajar di kelas mempunyai korelasi dengan hasil atau skor yang mereka raih (Dublin dan Cross, 2003). Jika siswa senang terhadap metode tertentu, maka dia akan mendapatkan hasil yang baik dari metode itu. Temuan pada metode ISS-IT ini serupa dengan penelitian yang pernah dilakukan oleh Hikmat dan Amsykuroh dalam Sakti, dkk. (2008) yang menyatakan bahwa dengan menerapkan pendekatan belajar secara bersama, siswa dilatih untuk berani berdiskusi tentang bahan ajar dengan temannya pada kelompok kecil daripada langsung dengan guru di depan kelas. Pendekatan ini juga meningkatkan usaha mandiri dan kemampuan dalam belajar, serta mampu berkompetisi.
Haddad dalam Sakti, dkk. (2008) menganjurkan agar tugas menjadi menyenangkan dan mempunyai arti bagi guru dan siswa, maka seharusnya 1) memilih tugas yang relevan dengan topik dan tujuan yang akan dicapai 2) mendesain tugas yang dapat menunjukkan hasil apakah siswa bisa menyingkap atau mengutarakan pendapat sehingga mereka dapat mengaplikasikan yang dipelajari, tidak hanya sekedar mengerti, 3) memberi pengarahan dengan jelas, dan 4) memberikan variasi tugas untuk melihat apa yang mereka telah dipelajari.
Semua siswa memiliki cara mengatasi masalah, namun guru selalu menginginkan siswa mengerti mengapa mereka mendapat hasil/jawaban tertentu, bukan hanya bagaimana mereka mendapatkan hasil. Mengelola kelas besar adalah suatu masalah manajemen dan organisasi, bukan sekedar masalah mengajar. Oleh karena itu metode mengajar dan mengorganisasikan bentuk kelas, mempunyai dampak besar terhadap kualitas pembelajaran. Metode pembelajaran ISS-IT yang berorientasi SCL tidak hanya untuk meningkatkan prestasi belajar, namun juga berfungsi sebagai penyeimbang kinerja otak kanan dan otak kiri, serta dapat memupuk kearifan siswa (sebagai salah satu tipe kepribadian kesarjanaan).
J. Penutup
Tujuan dari kegiatan inovasi model pembelajaran ISS-IT adalah untuk meningkatkan academic atmosphere melalui peningkatan kualitas proses pembelajaran dengan optimalisasi kerja SDM dalam hal ini guru, maka didapatkan hasil akhir yaitu adanya peningkatan pemahaman siswa terhadap pengajaran. Peningkatan kemampuan siswa ini berdampak pada nilai akhir ujian dan diharapkan secara langsung akan meningkatkan nilai Ujian Nasional (UN), reputasi akademik, dan praktik siswa. Perubahan perilaku guru dalam mengajar yang didasari pada kebutuhan akan kreativitas dan keunggulan diri guru dibanding siswa. Ketika keyakinan itu muncul dari diri mereka sendiri tanpa paksaan, berarti ada suatu efikasi diri yang sangat kuat. Adanya program ekstensifikasi yang inovatif dan terlaksana dengan baik, menunjukkan adanya komitmen terhadap proses pembelajaran berbasis SCL. Dampak positif dari penerapan metode ini adalah terjadinya peningkatan soft skill siswa seperti berani bicara di depan umum, percaya diri, dan dapat lebih menyerap serta mengingat materi pelajaran. Oleh karena itu pembelajaran dengan metode ISS-IT yang berpusat pada siswa (SCL) dapat lebih memfokuskan pada tercapainya kompetensi kekaryaan yang diharapkan.
Setuju dengan artikel di atas dimana guru dan siswa akan sama sama kreatif.
BalasHapusada rekomendasi referensinya kh min?
BalasHapus