29 Juni 2010

KEMAMPUAN PENGENDALIAN KONFLIK DAN KINERJA

    Konflik

    1. Pengertian Konflik

Konflik berasal dari kata conflict (Inggris) yang berarti percekcokan, perselisihan, dan pertentangan. Kata “konflik” berasal dari kata confliegere, confflictm yang berarti saling berbenturan. Arti kata ini menunjuk pada semua bentuk benturan, tabrakan, ketidaksesuaian, ketidakserasian, perkelahian, oposisi, dan interaksi yang antagonis (Kartono, 1991:213). Menurut Kamaludin (2002:141) konflik adalah segala sesuatu (interaksi) pertentangan atau antagonis antara dua pihak atau lebih. Konflik juga merupakan suatu interaksi yang antagonis mencakup tingkah laku lahiriah yang tampak jelas mulai dari bentuk-bentuk perlawanan halus, terkontrol, tersembunyi, tak langsung, sampai pada bentuk perlawanan terbuka (Clinton dalam Soetopo dan Supriyanto, 1993:3).

Konflik adalah relasi-relasi psikologis yang antagonis, berkaitan dengan tujuan-tujuan yang tak bisa dipertemukan, sikap-sikap emosional yang bermusuhan, dan struktur-struktur nilai yang berbeda. Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa konflik adalah suatu keadaan dari seseorang atau kelompok dalam organisasi yang mengalami suatu perbedaan dalam menghadapi atau memandang suatu hal yang diwujudkan melalui perilaku yang tidak sejalan dengan pihak lain. Ketidaksetujuan dan ketidaksejalanan tersebut diperlihatkan dengan berbagai macam cara. Caranya dapat berupa perlawanan tertutup maupun terbuka.

    1. Jenis Konflik

Jenis-jenis konflik yang ada dalam kehidupan organisasi menurut Kamaludin (2002:143) terdiri dari: (1) konflik dalam diri sendiri (person role conflict), yaitu konflik yang terjadi manakala seseorang menghadapi suatu ketidakpastian tentang pekerjaan yang ia harapkan untuk melaksanakannya, atau bila permintaan suatu pekerjaan bertentangan dengan kemauannya, (2) konflik antar individu, yaitu konflik yang timbul karena adanya perbedaan-perbedaan kepribadian individu dalam organisasi, (3) konflik antarindividu dengan kelompok, yaitu konflik yang muncul manakala seseorang menghadapi suatu tekanan kuat untuk memenuhi tuntutan kebutuhan banyak orang/kelompok.

Morris (2003:16) menyatakan bahwa ada beberapa konflik diantaranya yaitu: (1) konflik internal, yaitu konflik yang merupakan kekacauan yang meledak dalam diri seseorang yang merefleksikan kesenjangan pemisah antara apa yang diinginkan, apa yang dikatakan, dengan apa yang diperbuat, (2) konflik antar pribadi, yaitu merupakan konflik yang muncul di antara satu orang dengan orang lainnya, (3) dinamika konflik kelompok, adalah konflik yang berada di antara pribadi-pribadi dengan sebuah kelompok khusus (tim, departemen, perusahaan, dan sebagainya). Tidak hanya individu-individu harus berhubungan dengan persoalan internal mereka dan di antara mereka sendiri sebagai pribadi, mereka juga harus menanggulangi keseluruhan interaksi semua pelaku yang terlibat. Jadi, dapat disimpulkan bahwa jenis-jenis konflik terdiri dari konflik dalam diri sendiri (person role conflict), konflik antar individu, dan konflik antar individu dengan kelompok.

    1. Sumber Konflik

Konflik lahir dari tekanan-tekanan yang tidak dapat diterima oleh individu-individu anggota organisasi (Owens, 1991). Adapun pendapat yang menyatakan bahwa sumber konflik dalam suatu organisasi menurut Wahjosumidjo (1995) adalah: (a) manusia dan perilakunya, (b) struktur organisasi, (c) komunikasi. Banyak hal yang dapat memicu terjadinya konflik dalam suatu organisasi.

Menurut Kamaludin (2002:144), sumber-sumber yang dapat memicu terjadinya konflik yaitu: (1) perbedaan-perbedaan dalam tujuan, (2) saling ketergantungan kegiatan-kegiatan kerja, (3) perbedaan nilai-nilai atau persepsi, (4) gaya-gaya individual. Menurut Yulk dan Wexley (1988:231), beberapa penyebab terjadinya konflik, diantaranya: (a) persaingan terhadap sumber-sumber seperti sumber dana anggaran, ruang, dan sumber-sumber penting lainnya, (b) ketergantungan tugas, (c) kekaburan batas bidang kerja, (d) masalah status, contohnya: senioritas, jenis kelamin, kecakapan, pendidikan serta prestasi yang diraih, (e) sifat-sifat individu. Sumber-sumber yang menjadi pendahulu terjadinya konflik organisasi antara lain: (1) persaingan terhadap sumber-sumber, (2) ketergantungan pekerjaan, (3) kekaburan bidang tugas, (4) perbedaan tujuan, (5) problem status, (6) rintangan komunikasi, (7) sifat-sifat individu.

Faktor-faktor yang menyebabkan adanya konflik menurut Hardjana (1994:20) diantaranya yaitu: (a) komunikasi, contohnya: salah dalam penggunaan bahasa, pengucapan, bahasa yang sulit dimengerti, dan informasi yang disampaikan tidak jelas, sehingga dapat menimbulkan kesalahpahaman antar karyawan, (b) perbedaan individu dalam hal perbedaan pendirian dan perasaan, (c) perbedaan latar belakang kebudayaan, (d) perbedaan kepentingan antara individu atau kelompok. Berdasarkan beberapa pendapat yang telah dikemukakan di atas, disimpulkan bahwa faktor-faktor penyebab atau sumber-sumber terjadinya konflik diantaranya karena adanya perbedaan dalam tujuan, perbedaan persepsi, dan gaya individu.

    Pengendalian Konflik

Pengendalian konflik atau manajemen konflik merupakan suatu strategi yang digunakan oleh pemimpin untuk mencegah konflik yang merusak, melainkan dapat menjadikan konflik sebagai suatu keadaan yang bersifat memperbaiki dalam mencapai tujuan organisasi. Petterson (2004:82) menegaskan bahwa apapun konflik yang dihadapi, konsentrasi pemikiran harus diarahkan kepada bagaimana mengatasi konflik yang negatif dan memelihara konflik yang positif. Terdapat dua hal yang menjadi pertimbangan dalam menghadapi suatu konflik: (a) tujuan atau kepentingan pribadi, (b) tujuan pribadi ini jika penting maka akan dipertahankan habis-habisan, sebaliknya apabila tidak terlalu penting maka dengan mudah untuk dikorbankan, (c) hubungan baik dengan pihak lain, (d) sama seperti tujuan pribadi, hubungan baik dengan pihak lain juga akan menjadi sesuatu yang penting atau sama sekali tidak penting untuk dipertimbangkan.

Adapun teknik pengendalian konflik menurut Umar (1997:86) ada 5 macam, yaitu: (a) kompetisi, (b) kolaborasi, (c) penghindaran, (d) akomodasi, dan (e) kompromi. Kompetisi disebut juga dengan strategi “kalah-menang” yaitu suatu penyelesaian konflik yang dilakukan dengan cara menggunakan kekuasaan dan kekuatan. Strategi ini cocok dilakukan pada saat darurat, menyangkut perkara penting, dan pada saat melawan orang yang mengambil keuntungan demi perilaku yang tidak kompetitif.

Kolaborasi disebut sebagai strategi “menang-menang” dimana pihak-pihak yang berkonflik mencari penyelesaian konflik yang sama-sama menguntungkan bagi keduabelah pihak. Strategi ini cocok digunakan pada saat mencari solusi terpadu jika ada dua masalah yang terlalu penting untuk dikompromikan, untuk menggabungkan pandangan dari orang-orang dengan sudut pandang yang berbeda, dan berkaitan dengan perasaan yang telah ikut terlibat dalam suatu hubungan.

Penghindaran yaitu strategi menjauhi sumber konflik dengan mengalihkan persoalan sehingga konflik tidak sampai muncul. Strategi ini cocok digunakan pada saat menghadapi perkara yang begitu pelik, penting dan mendesak, jika tidak ada peluang untuk memuaskan pimpinan, jika gangguan potensial lebih besar dari keuntungan penyelesaian konflik yang didapat, memberi kesempatan pada orang lain untuk berpikir jernih, mengumpulkan informasi lebih daripada keputusan yang tepat. Jika orang lain dapat mengatasi konflik dengan lebih baik, jika isu muncul sebagai gejala dari isu lain.

Akomodasi, adalah strategi yang menempatkan seluruh kepentingan lawan di atas kepentingan diri sendiri. Strategi ini cocok dilakukan pada saat anda sadar bahwa anda salah dalam mendapatkan posisi yang baik untuk didengar, belajar dan menunjukkan anda rasional, jika isu tertentu lebih penting untuk orang lain daripada untuk diri anda dan untuk memuaskan orang lain dan memelihara kerja sama, untuk menegaskan kepercayaan bagi isu yang akan datang, dan memberi kesempatan belajar dari kesalahan.

Kompromi sering juga disebut dengan strategi “kalah-kalah”, di mana pihak-pihak yang terlibat sama-sama mengorbankan sebagian dari sasarannya dan mendapatkan hasil yang maksimal. Strategi ini cocok dilakukan pada saat menginginkan tujuan yang dianggap penting tetapi tidak seimbang dengan usaha atau daya potensi gangguan yang lebih kuat, jika lawan dengan kekuatan sama rela berkorban untuk tujuan yang berbeda, untuk mencapai penyelesaian sementara atas isu yang rumit, untuk mencapai pemecahan yang tepat sesaat dengan tekanan waktu, dan sebagai cadangan untuk berjaga-jaga jika kolaborasi/kompetisi tidak berhasil.

Adapun dua pendekatan dalam mengendalikan konflik (Owens, 1991), yaitu cooperativeness dan asertiveness. Cooperativeness adalah keinginan untuk memenuhi kebutuhan dan minat pihak lain. Asertiveness adalah keinginan untuk memenuhi keinginan dan minat diri-sendiri. Kedua pendekatan tersebut merupakan teknik-teknik dalam mengendalikan konflik yang efektif. Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat beberapa teknik dalam pengendalian konflik, diantaranya: (1) teknik kompetisi, (2) teknik penghindaran, (3) teknik akomodasi, (4) teknik kompromi, (5) teknik kolaborasi

    Kinerja

  1. Pengertian Kinerja

Kinerja atau prestasi kerja adalah hasil kerja seseorang selama periode tertentu dibandingkan dengan kemungkinan, misalnya standar, target, atau kinerja yang terlebih dahulu dan telah disepakati bersama (Suprihanto dalam Srimulyo, 1999:33). Pendapat lain dikemukakan oleh Dharma (1991:54) yang mengungkapkan bahwa kinerja adalah sesuatu yang dikerjakan atau produk atau jasa yang dihasilkan atau diberikan seseorang atau kelompok orang. Hampir seluruh cara dalam pengukuran kinerja dipertimbangkan berdasarkan ketepatan kerja, kualitas pekerjaan, dan ketepatan waktu. Selain itu, kinerja juga dapat diartikan sebagai hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seorang karyawan atau pegawai dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang telah diberikan padanya.

Melalui beberapa pendapat di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa kinerja adalah prestasi kerja atau hasil kerja karyawan yang diukur berdasarkan ketepatan kerja, kualitas pekerjaan, dan ketepatan waktu dalam menyelesaikan pekerjaannya sesuai dengan tugas dan tanggung jawab yang telah diberikan.

  1. Penilaian Kinerja

Mengungkapkan penyebab-penyebab dasar dari buruknya kinerja adalah suatu fungsi yang penting tetapi sering diabaikan dalam proses penilaian kinerja. Penilaian kinerja adalah suatu cara untuk meningkatkan keterlibatan karyawan (Timpe, 1992:233). Sasaran proses penilaian adalah untuk membuat karyawan memandang diri mereka sendiri seperti adanya, mengenali kebutuhan perbaikan kinerja, dan untuk berperan serta dalam membuat rencana perbaikan kinerja.

Owens (1991) mengemukakan penilaian terhadap kinerja meniliki tujuan sebagai berikut: (a) tujuan evaluasi: berkaitan dengan penentuan gaji, promosi, penurunan pangkat, pemberhentian sementara, dan pemecatan pegawai, (b) tujuan pengembangan: yaitu berkenaan dengan penelitian, umpan balik, pengembangan karier pegawai dan pengembangan organisasi, perencanaan sumber daya manusia, perbaikan kinerja dan komunikasi.

Faktor-faktor yang menjadi penentu kinerja terdiri dari: keterampilan, tingkat upaya, dan kondisi eksternal. Keterampilan yang dimaksud adalah bahan mentah (pengetahuan, kemampuan, kecakapan interpersonal, kecakapan teknis) seorang karyawan yang dibawa ke tempat kerja. Tingkat upaya adalah motivasi karyawan dalam melaksanakan pekerjaan. Sedangkan kondisi eksternal yaitu dapat berupa situasi persaingan yang ketat, kondisi ekonomi yang buruk, alat-alat rusak, dan lain-lain.

Adapun aspek-aspek kinerja menurut Mitchell (1978) meliputi: (1) kualitas kerja, kualitas kerja yang baik menunjukkan bahwa seseorang tersebut memiliki kinerja yang baik. Sebaliknya apabila kualitas pekerjaannya jelek, maka kinerjanya lemah. (2) ketepatan, seseorang yang dapat bekerja dengan tepat sesuai dengan petunjuk yang seharusnya, didukung dengan kecepatan seseorang dalam bekerja, menandakan bahwa orang tersebut memiliki kinerja yang baik. Glimore (1974) berpendapat bahwa seseorang yang kinerjanya baik, mampu bekerja dengan tepat, cepat, dan rapi. (3) inisiatif, seseorang yang memiliki kinerja yang baik memiliki inisiatif yang tinggi dalam melaksanakan setiap tugas dan tanggung jawab yang dibebankan kepadanya (Greenberg, 1974). Ia memanfaatkan potensi pikirannya untuk senantiasa menemukan kreativitas-kreativitas baru yang dapat meningkatkan hasil kerjanya, memiliki ide, temuan-temuan baru. Orang seperti ini banyak belajar dari buku maupun dengan bertanya. (4) kapabilitas, tingkat kinerja yang baik dapat diamati dari kapabilitas. Seseorang yang mempunyai kemampuan yang baik akan dapat menyelesaikan semua permasalahan yang muncul dalam pekerjaan dengan baik dan senang menerima tantangan, tidak mudah menyerah, tidak mudah mengeluh, tidak mudah emosi, segala kemampuannya dioptimalkan untuk menyelesaikan tugasnya, dan ketika kemampuan yang dimiliki dirasakan tidak dapat mengatasi masalah yang dihadapi, maka ia akan berusaha untuk belajar (Luthans, 1981), (5) komunikasi, seseorang yang tingkat kinerjanya tinggi, dapat berkomunikasi dengan baik. Baik dengan atasan maupun dengan teman sejawat. Mitchell (1978) mengemukakan apabila segala sesuatu dikomunikasikan dengan baik, maka kondisi yang dihadapi dapat diatasi dengan baik.

Kinerja merupakan faktor penentu dalam keberhasilan atau kegagalan suatu perusahaan. Baik buruknya suatu kinerja dipengaruhi oleh beberapa hal, diantaranya: (a) sifat pekerjaan itu sendiri, (b) kejelasan tugas, yaitu: jelas kapan harus dilakukan, jelas mengenai apa yang diharapkan, terdapat standar kinerja, dianggap dapat dicapai oleh individu, hanya sedikit atau tidak ada tugas-tugas lain yang mengganggu, (c) sumber daya: data, waktu, peralatan, materi, uang, tenaga kerja, (d) individu: kapasitas mental, fisik, kemampuan, keterampilan, kesediaan untuk bekerja, (e) umpan balik: persyaratan-persyaratan penting yang diukur sehubungan dengan harapan pekerjaan atau tugas, (f) akibat-akibat: positif apabila melakukan pekerjaan seperti yang diharapkan, negatif atau netral apabila tidak berprestasi, tidak negatif bila tidak berprestasi, tidak negatif bila berprestasi.

Berdasarkan pendapat tersebut di atas, maka diketahui beberapa aspek penilaian terhadap kinerja individu dalam organisasi, diantaranya: kualitas kerja, ketepatan, inisiatif, kapabilitas, komunikasi. Adapun indikator suatu keberhasilan atau kegagalan suatu perusahaan dapat ditinjau dari dua faktor, yaitu faktor internal (pribadi) dan faktor eksternal (lingkungan). Berikut ini adalah tabel yang menjelaskan suatu keberhasilan dan kegagalan suatu perusahaan (Timpe, 1992:33):

Tabel 2.1 Mengapa di Balik Keberhasilan dan Kegagalan

Kinerja

Internal (pribadi)

Eksternal (lingkungan)

Kinerja baik

  • Kemampuan tinggi

  • Kerja keras

  • Pekerjaan mudah

  • Nasib baik

  • Bantuan dari rekan-rekan

  • Pimpinan yang baik

Kinerja buruk

  • Kemampuan jelek

  • Upaya sedikit

  • Pekerjaan sulit

  • Nasib buruk

  • Rekan kerja tidak produktif

  • Pimpinan yang tidak simpatik

    Hubungan Tingkat Pengendalian Konflik Dengan Kinerja

Konflik lahir dari tekanan-tekanan yang tidak dapat diterima oleh individu-individu anggota organisasi (Owens, 1991). Konflik dapat diketahui sedini mungkin dengan cara memperhatikan hubungan-hubungan yang ada, karena pada umumnya hubungan yang tidak normal merupakan gejala konflik, misalnya: ketegangan, kekakuan, ketakutan, kekalutan, dan saling fitnah. Meskipun demikian, tidak semua konflik dapat diketahui gejalanya.

Handoko (1998:284) menggambarkan hubungan antara konflik dengan kinerja organisasi yaitu apabila penanganan konflik dilakukan secara optimal akan menghasilkan kinerja yang maksimal. Bilamana tingkat penanganan konflik itu terlalu rendah, kinerja organisasi bisa mengalami stagnansi, dan kelangsungan hidup organisasi terancam. Di lain pihak, bila tingkat konflik terlalu tinggi, kekacauan dan perpecahan juga bisa membahayakan kelangsungan hidup organisasi. Konflik dapat menghambat kinerja apabila dibiarkan berkepanjangan dan tidak mendapatkan penyelesaian yang jelas. Akan tetapi, konflik akan mendorong kinerja karyawan menjadi lebih baik apabila dikelola dan dikendalikan dengan tepat.

Pendapat lain dikemukakan oleh Winardi (1994) yang menyatakan bahwa adanya konflik akan menimbulkan keuntungan dan bukan kerugian bagi individu atau organisasi. Keuntungan yang dapat dicapai dari adanya konflik, diantaranya: (a) kreativitas dan inovasi yang meningkat akibat adanya konflik. Orang-orang berupaya melaksanakan pekerjaannya atau berupaya menciptakan cara-cara baru yang lebih baik, (b) upaya yang mengikuti intensitasnya. Konflik dapat menyebabkan diatasinya perasaan apatis dan dapat menyebabkan orang-orang yang terlibat akan bekerja lebih keras, dengan demikian kinerja akan meningkat, (c) ikatan/kohesi yang makin kuat. Konflik yang terjadi dengan pihak luar dapat menyebabkan diperkuatnya ikatan /kohesi dan komitmen untuk mencapai tujuan bersama, dengan demikian kinerja individu-individu dalam organisasi akan meningkat.

Melalui beberapa pendapat tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara pengendalian konflik dengan kinerja. Apabila penanganan konflik dilakukan secara optimal akan menghasilkan kinerja yang maksimal. Bilamana tingkat penanganan konflik itu terlalu rendah, kinerja organisasi bisa mengalami stagnansi, dan kelangsungan hidup organisasi terancam.

DAFTAR RUJUKAN

Arikunto, S. 2002. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: PT. Rineka Cipta.

Best, J. W. 1982. Metodologi Penelitian Pendidikan. Terjemahan olej Arief Furchan. Surabaya: Usaha Nasional

Cohen, D. 1983. Statistic Analysis. New York: Holt Rinchart and Winston, Inc.

Dharma, A. 1990. Human Behavior at Work (Alih Bahasa). Jakarta: Erlangga.

Handoko, H. 1992. Manajemen Personalia dan Sumber Daya Manusia. Yogyakarta: BPFE

Handoko, H. 2000. Manajemen Personalia dan Sumber Daya Manusia. Edisi 2. Yogyakarta: BPFE

Kamaludin. 2002. Manajemen Personalia. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Kusnadi, dan Wahyudi. 2001. Teori dan Manajemen Konflik. Malang: Penerbit Taroda.

Luthans, F. 1981. Organizational Behavior 3rd ed. New York: McGraw-Hill Book Company.

Mantja, W. 1996. Konpetensi Kepala Sekolah Landasan Peran dan Tanggung Jawab. Jurnal Filsafat Teori dan Praktek Kependidikan Tahun 2003 Nomor 1, Januari, Malang.

Mitchell, E. 1995. Organizational Development for Operating Manager. Terjemahan Ny. Roehmulyadi. Bandung: Amaco.

Mulyasa, E. 2005. Menjadi Kepala Sekolah Profesional (Cetakan IV). Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Owens, R.G. 1991. Organizational Behavior in Education. Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice-Hall, Inc.

Riduwan. 2004. Belajar Mudah Penelitian Mudah Bagi Guru Karyawan dan Peneliti Pemula. Bandung: Alfabeta.

Salladien. 1997. Metodologi Penelitian Pendidikan. Malang: Percetakan IKIP Malang.

Soetopo, H. 1985. Administrasi Pendidikan: Dasar Teoritik untuk Praktek Profesional. Bandung: PT. Angkasa.

Sudjana, N. 1998. Metode Statistika. Bandung: Tarsito.

Sugiyono. 1999. Metode Penelitian Administrasi. Bandung: Alfabeta.

Sugiyono. 2000. Statistik untuk Penelitian. Bandung: Sinar Baru.

Thoha, M. 1956. Kepemimpinan dalam Manajemen, Suatu Pendekatan Perilaku. Jakarta: Raja Grafindo.

Timpe, A.D. 1989. The Art and Science of Bussiness Management Performance. New York: Kend Publishing.

Wahjosumidjo. 1995. Kepemimpinan dan Motivasi. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Wexley, K., N. 1992. Perilaku Organisasi dan PsychologyPersonalia. Terjemahan oleh Sobaruddin. Jakarta: Rineka Cipta.

Winardi. 1994. Manajemen Konflik (Konflik Perubahan Pengembangan). Bandung: Penerbit Mandar Maju.

4 komentar: