17 April 2009

MANAJEMAN KEUANGAN SEKOLAH

A. Pendahuluan Pendidikan merupakan salah satu kunci utama mengatasi masa depan, karena pendidikan berorientasi pada penyiapan peserta didik untuk berperan aktif di masa yang akan datang. Keberhasilan antisipasi terhadap masa depan pada akhirnya ditentukan oleh kualitas sumber daya manusia yang dihasilkan melalui pendidikan, oleh karena itu pembangunan pendidikan dilaksanakan secara terus menerus untuk mencapai tujuan nasional. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menjelaskan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara. Pendidikan tidak terlepas dari kebutuhan dana untuk mendukung terselenggaranya program pendidikan secara efektif dan efisien. Campbell dkk. (1983) mengemukakan penyelenggaraan pendidikan di sekolah dalam segala aktivitasnya memerlukan sarana dan prasarana untuk proses pembelajaran, layanan, pelaksanaan program supervisi, penggajian, dan kesejahteraan para guru dan staf lainnya, kesemuanya itu memerlukan anggaran dan keuangan. Pembiayaan pendidikan terdiri atas biaya investasi, biaya personal, dan biaya operasi (BSNP, 2009). Berdasarkan perspektif politik, sebelum disahkan UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas, sistem pendidikan nasional mengacu pada UU Nomor 2 tahun 1989 tentang Sisdiknas, dimana pendanaan tidak diatur secara khusus. UU Nomor 20 Tahun 2003 mengatur pendanaan pendidikan secara khusus dalam Bab XIII yang secara substansi menyatakan bahwa 1) pendanaan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat, 2) sumber pendanaan pendidikan ditentukan berdasarkan prinsip keadilan, kecukupan, dan keberanjuran, 3) pengelolaan dana pendidikan berdasarkan prinsip keadilan, efisiensi, transparansi, dan akuntabilitas publik, dan 4) pengalokasian dana pendidikan. Paradigma pendidikan sebagai bentuk investasi jangka panjang telah berkembang di masyarakat umumnya dan orangtua peserta didik khususnya. Tingkat pendidikan seseorang mempengaruhi tingkat pendapatannya nanti. McMahon dan Geske (1982:121) mengemukakan pendidikan adalah sebagai investasi sumber daya manusia (SDM) yang memberi manfaat moneter dan nonmoneter. Manfaat moneter adalah manfaat ekonomis yaitu berupa tambahan pendapatan seseorang yang telah menyelesaikan tingkat pendidikan tertentu dibandingkan dengan pendapatan lulusan pendidikan dibawahnya. Manfaat nonmoneter dari pendidikan adalah diperolehnya kondisi kerja yang lebih baik, kepuasan kerja, efisiensi konsumsi, kepuasan menikmati masa pensiun, dan manfaat hidup yang lebih lama karena peningkatan gizi dan kesehatan. Sekolah mengupayakan dana dari orangtua perlu memperhatikan hal yang dapat menurunkan kredibilitas sekolah dalam pengelolaan dana. Orangtua diposisikan sebagai partner dalam pengelolaan sekolah, tidak bertindak sebagai sumber dana saja bagi kegiatan sekolah. Sekolah mengembangkan nilai kebersamaan membangun komunitas sekolah dan partisipatif orangtua. Prinsip Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) yang mengedepankan pola aktif partisipatif dewan guru dan orangtua siswa merupakan pedoman sekolah. Kepala sekolah tidak menjadi pemegang otoritas tunggal. Hal ini ditegaskan dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) Nomor 19 Tahun 2007 tentang Standar Pengelolaan Pendidikan oleh Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah yang menyatakan peran manajemen sekolah tidak dikuasai secara mutlak kepala sekolah melainkan mengedepankan pola berbasis kontrol pemangku kepentingan sekolah atau menerapkan MBS. B. Manajemen Keuangan Manajemen keuangan berarti suatu proses melakukan kegiatan mengatur keuangan dengan menggerakkan sumber daya yang ada untuk mencapai tujuan secara efektif dan efisien (Tim Pakar Manajemen Pendidikan FIP UM, 2003:97). Kegiatan pengelolaan keuangan dimulai dari perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, sampai dengan pengawasan. Kepala sekolah dalam mengelola sekolah perlu memahami manajemen keuangan sekolah. Higgins (Tanpa Tahun:85) mengemukakan: Financial is to a company’s planning activities for at least two reasonts. First, much of the language of forcesting and planning is financial. Plans are stated in terms of financial statements and many of the measures used to evaluate plans are financial. Keuangan organisasi merupakan aktivitas perencanaan yang setidaknya memiliki dua alasan yaitu organisasi mengkomunikasikan perkiraan keuangan (pendapatan dan belanja) dan perencanaan keuangan organisasi. Langkah pertama adalah menekankan masalah keuangan dalam organisasi dan mengevaluasi pelaksanaan anggaran. Pengelolaan keuangan sekolah harus terbuka sehingga dapat mengurangi potensi penyelewengan kebijakan serta praktik korupsi yang kerap menghantui sektor pendidikan. Keterbukaan terutama berkaitan dengan dana yang dipungut dari masyarakat, khususnya dari orangtua peserta didik. Perencanaan dan evaluasi keuangan sekolah diberi kewenangan untuk melakukan perencanaan sekolah sesuai dengan kebutuhannya (school based plan). Oleh karena itu, sekolah harus melakukan analisis kebutuhan anggaran dan rencana strategis, berdasarkan hasil analisis tersebut kemudian sekolah membuat rencana peningkatan mutu. Sekolah diberi wewenang untuk melakukan evaluasi, khususnya evaluasi yang dilakukan secara internal. Evaluasi internal dilakukan oleh warga sekolah untuk memantau proses pelaksanaan dan untuk mengevaluasi hasil program-program yang telah dilaksanakan. Evaluasi semacam ini sering disebut evaluasi diri. Evaluasi diri harus jujur dan transparan agar benar-benar dapat mengungkap informasi yang sebenarnya. C. Manajemen Keuangan Sekolah Tim Pakar Manajemen Pendidikan FIP UM (2003:98) mengemukakan fungsi kepala sekolah dalam manajemen keuangan sekolah adalah sebagai otorisator, ordonator, dan bendaharawan. Fungsi otorisator kepala sekolah memiliki wewenang untuk mengambil tindakan yang berkaitan dengan penerimaan dan pengeluaran anggaran. Fungsi ordonator kepala sekolah memeliki wewenang melakukan pengujian dan memerintahkan pembayaran atas segala tindakan berdasarkan otorisasi yang telah ditetapkan. Fungsi bendaharawan kepala sekolah berwenang melakukan penerimaan dan pengeluaran keuangan atau surat berharga lainnya yang dapat dinilai dengan uang dan diwajibkan membuat perhitungan dan pertanggungjawaban. Kepala sekolah selaku pimpinan satuan kerja melakukan pengawasan ke dalam keuangan sekolah. Hal ini sesuai dengan Permendiknas Nomor 13 Tahun 2007 tentang Standar Kepala Sekolah atau Madrasah yang menyatakan kepala sekolah mengelola keuangan sekolah atau madrasah sesuai dengan prinsip pengelolaan yang akuntabel, transparan, dan efisien. Pembiayaan pendidikan terdiri atas biaya investasi, biaya personal, dan biaya operasi (BSNP, 2009). Biaya investasi pendidikan meliputi biaya penyediaan sarana dan prasarana, pengembangan sumber daya manusia, dan modal kerja tetap. Biaya personal pendidikan meliputi biaya pendidikan yang harus dikeluarkan oleh peserta didik untuk bisa mengikuti proses pembelajaran secara teratur dan berkelanjutan. Biaya operasi pendidikan meliputi 1) gaji pendidik dan tenaga kependidikan serta segala tunjangan yang melekat pada gaji, 2) bahan atau peralatan pendidikan habis pakai, dan 3) biaya operasi pendidikan tak langsung berupa daya, air, jasa telekomunikasi, pemeliharaan sarana dan prasarana, uang lembur, transportasi, konsumsi, pajak, dan asuransi. Prowle dan Morgan (2005:100-101) mengemukakan: Purpose of a budgeting system to contain expenditure within pre-defined limits. This can be achieved in any large organization without a sophisticated budget system by means of a number of fairly crude measures such as 1) freezing staff vacancies, 2) cutting back on buildings and equipment maintenance to the bare minimum, and 3) deferral of purchases to a later date. Tujuan sistem penganggaran berisi pembatasan pengeluaran yang telah ditetapkan sebelumnya. Hal ini dapat tercapai di beberapa organisasi besar dengan pengalaman sistem anggaran belanja yang berarti dari sejumlah organisasi agak baik dalam mengukur seperti 1) peluang pembekuan staf, 2) memotong kembali pada biaya bangunan dan meminimalkan pemeliharaan perlengkapan yang kosong, dan 3) pengadaan pada waktunya. Berdasarkan konsep tersebut sekolah menyusun Rencana Kegiatan dan Anggaran Sekolah (RKAS) sebagai pedoman dalam melaksanakan kegiatan sekolah yang disesuaikan dengan keuangan sekolah. Alokasi seperti pembiayaan penggajian dan pemeliharaan menjadi jelas karena terdapat rincian kegiatan dan anggaran. Ketersediaan sejumlah dana yang dimiliki sekolah merupakan salah satu faktor pendukung terselenggaranya program pendidikan. Ketersediaan dana yang dimiliki sekolah berkaitan dengan sumber dana sekolah mencakup pemerintah, orangtua peserta didik, bantuan pihak asing yang tidak mengikat, dan masyarakat. Pemerintah pusat membantu keuangan sekolah melalui beberapa cara, yaitu 1) hibah dan dana bantuan biaya operasional kepada sekolah, 2) membayar gaji guru, 3) membantu sekolah untuk mengadakan proyek penggalangan dana dengan menyediakan bantuan teknis termasuk bahan dan perlengkapan, dan 4) mendanai pembangunan dan rehabilitasi bangunan sekolah. Pemerintah juga melakukan kontribusi tidak langsung kepada sekolah, seperti melalui pelatihan kepala sekolah dan guru, menyiapkan silabus dan bahan, dan melakukan pengawasan. Ruslan (2008) menyatakan kebutuhan ketersediaan biaya sekolah pertumbuhannya lebih cepat daripada inflasi, sehingga sekolah menghadapi permasalahan keuangan yang serius, sekolah sangat memahami masalah keuangan sekolah, menetapkan kurangnya dukungan keuangan sebagai masalah utama. Sekolah mengupayakan dana dari orangtua perlu memperhatikan hal yang dapat menurunkan kredibilitas sekolah dalam pengelolaan dana. Orangtua diposisikan sebagai partner dalam pengelolaan sekolah, tidak bertindak sebagai sumber dana saja bagi kegiatan sekolah. Sekolah mengembangkan nilai kebersamaan membangun komunitas sekolah dan partisipatif orangtua. Prinsip Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) yang mengedepankan pola aktif partisipatif dewan guru dan orangtua siswa merupakan pedoman sekolah. Kepala sekolah tidak menjadi pemegang otoritas tunggal. Hal ini ditegaskan dalam Permendiknas Nomor 19 Tahun 2007 tentang Standar Pengelolaan Pendidikan oleh Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah yang menyatakan peran manajemen sekolah tidak dikuasai secara mutlak kepala sekolah melainkan mengedepankan pola berbasis kontrol pemangku kepentingan sekolah atau menerapkan MBS. Kontribusi orangtua merupakan keharusan karena pemerintah belum mampu mendanai seluruh kebutuhan dasar dana sekolah. Pemerintah belum dapat membangun fasilitas pendidikan yang baik, menyediakan guru yang cakap, dan menyediakan dana untuk berbagai program sekolah, sehingga orangtua peserta didik memiliki tanggung jawab untuk menyumbang dana atau berbagai peralatan yang diperlukan sekolah. Hal ini merupakan konsekuensi orangtua yang secara umum menginginkan agar peserta didik dapat memasuki dunia nyata dengan bekal pendidikan terbaik yang dapat mereka peroleh dan memiliki keunggulan ketika memasuki dunia kerja. Sekolah mengupayakan dana dari orangtua perlu memperhatikan hal yang dapat menurunkan kredibilitas sekolah dalam pengelolaan dana. Orangtua diposisikan sebagai partner dalam pengelolaan sekolah, tidak bertindak sebagai sumber dana saja bagi kegiatan sekolah. Sekolah mengembangkan nilai kebersamaan membangun komunitas sekolah dan partisipatif orangtua. Prinsip Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) yang mengedepankan pola aktif partisipatif dewan guru dan orangtua siswa merupakan pedoman sekolah. Kepala sekolah tidak menjadi pemegang otoritas tunggal. Hal ini ditegaskan dalam Permendiknas Nomor 19 Tahun 2007 tentang Standar Pengelolaan Pendidikan oleh Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah yang menyatakan peran manajemen sekolah tidak dikuasai secara mutlak kepala sekolah melainkan mengedepankan pola berbasis kontrol pemangku kepentingan sekolah atau menerapkan MBS. Lembaga asing dapat berperan dalam pendanaan sekolah dan bersifat tidak mengikat. Sumber dana pendidikan dari luar tercantum dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (BHP) pasal 45 ayat 1 yang menyatakan salah satu mekanisme dari BHP dapat memperoleh dana operasional yaitu dengan menarik dan membuka investasi dari luar negeri. Berkenaan dengan sumber dana dari luar, sekolah harus transparan dalam pengelolaan dana. Lembaga pendidikan lebih bersikap bijak agar tidak merugikan sekolah karena berkaitan dengan orientasi investor yang dapat diasumsikan bahwa investor akan menginvestasikan dananya di sektor yang diprediksi dapat memberikan keuntungan baginya, baik secara finansial maupun keuntungan lain seperti ideologi. Kelompok masyarakat termasuk sebagai sumber pendanaan sekolah. Kelompok ini dimobilisasi untuk melaksanakan tugas dari para tokohnya (utamanya informal) di masyarakat, seperti kaum ulama. Di Indonesia, banyak sekolah swasta yang dibangun dan diselenggarakan oleh kelompok masyarakat. Di dalam masyarakat kemungkinan ada orang yang juga memutuskan untuk membantu satu atau beberapa sekolah dengan dana, seperti pengusaha yang mendermakan sesuatu bagi satu atau lebih sekolah. Kontribusi seperti ini hendaknya disambut dengan baik dan bahkan sebaiknya didorong. Perumusan rencana strategis merupakan upaya sekolah dalam mempengaruhi dan mendorong masyarakat untuk ikut serta membantu penyelenggaraan pendidikan sekolah. Sumber dana minor sekolah mencakup dana yang berasal dari hasil lelang dan laba unit usaha. Hasil dana yang didapat dari lelang merupakan sumber dana sekolah. Sekolah dapat melelang sarana dan prasarana yang tidak dimanfaatkan oleh sekolah dalam pembelajaran kepada masyarakat. Proses pelelangan tetap berpedoman pada peraturan yang berlaku sehingga sekolah dalam menerima hasil dana lelang tidak cacat hukum. Unit usaha yang dikelola sekolah seperti koperasi siswa (kopsis) tentunya selain menyediakan kebutuhan siswa juga mencari laba untuk mendukung berjalannya operasional kopsis. Laba dari usaha merupakan sumber dana yang dapat dijadikan sumber penerimaan sekolah dalam menunjang pelaksanaan kegiatan pembelajaran. Sebagai contoh berdasarkan laporan anggaran dana umumnya sumber dana SMA Negeri se-Kota Malang berasal dari beberapa sumber yaitu: Sumbangan Penyelenggaraan Pendidikan (SPP), diperoleh dari siswa pada tiap bulan, biasanya dalam pembayaran SPP tak jarang dibayarkan oleh orangtua atau wali siswa dengan datang langsung ke sekolah, Biaya Operasional Sekolah (BOS), merupakan dana yang diperoleh sekolah dari kas pemerintah, UUDP (Uang Untuk Dana Pendidikan), diperoleh dari Pemerintah Kota Malang yang digunakan sekolah untuk membiayai pelaksanaan kegiatan pendidikan yang diselenggarakan oleh sekolah, Donatur, berasal dari sumbangan orang tua atau wali siswa secara suka rela dan swadaya masyarakat. Orang tua atau wali siswa dari golongan mampu biasanya menyumbangkan dana untuk sekolah. Swadaya masyarakat berasal dari dana yang dikumpulkan masyarakat sendiri tanpa ada campur tangan dari pihak sekolah (Gunawan, 2006). Sebagai contoh berdasarkan laporan anggaran dana umumnya alokasi penggunaan dana SMA Negeri se-Kota Malang adalah 1) gaji pegawai, 2) belanja pemeliharaan, 3) belanja daya dan jasa, 4) belanja barang, 5) program unggulan, 6) peningkatan mutu, 7) kesiswaan, 8) administrasi, 9) sarana dan prasarana, 10) kegiatan perjalanan dinas, 11) koordinasi dengan instansi lain, 12) insentif gutu tetap (GT), pegawai tetap (PT), guru tidak tetap (GTT), dan pegawai tidak tetap (PTT), 13) biaya operasional dewan sekolah, 14) pengembangan sekolah, 15) cadangan, dan 16) lain-lain (Gunawan, 2006). Tingkat makro alokasi anggaran pemerintah terdiri atas anggaran rutin dan anggaran pembangunan. Anggaran rutin Departemen Pendidikan Nasional dialokasikan untuk gaji, pengembangan, dan peningkatan kualitas. Guna mengalokasikan anggaran sekolah pada tingkat mikro menyusun Rencana Kegiatan dan Anggaran Sekolah (RKAS). Sekolah dalam menyusun rencana anggaran dapat memilih salah satu atau kombinasi dari asas penganggaran yaitu anggaran berimbang, penganggaran surplus, atau penganggaran defisit (Tim Pakar Manajemen Pendidikan UM, 2004:110). RKAS disusun dengan berpedoman pada rencana strategis dan rencana operasional yang dimiliki sekolah. Sony (2008) mengemukakan alokasi pengeluaran atau anggaran sekolah pada dasarnya dapat diklasifikasikan ke dalam dua kategori, yaitu anggaran nondiskresioner (operasional) dan anggaran diskresioner (anggaran modal atau investasi). Anggaran nondiskresioner disebut juga anggaran operasional merupakan jumlah terbesar dari anggaran. Anggaran nondiskresioner termasuk hal-hal seperti gaji dan tunjangan kesejahteraan lainnya, supervisi, pengajaran, staf pelayanan, dan dukungan khusus, biaya pemeliharaan dan pengoperasian lainnya dalam hal perjalanan dinas dan komunikasi, serta bahan-bahan pembelajaran. Ini semua adalah pengeluaran yang sifatnya habis pakai. Anggaran diskresioner (anggaran investasi atau modal) adalah bentuk pengeluaran atas pembelian barang modal seperti bangunan, furnitur, peralatan, dan kendaraan. Anggaran diskresioner bersifat investasi yang tidak rutin dilakukan. Jumlah anggaran nondiskresioner yang diperlukan sekolah tidak hanya ditentukan oleh pertumbuhan sekolah, tetapi juga faktor di luar sekolah. Faktor sekolah misalnya perubahan jumlah peserta didik dan guru, perluasan fasilitas, dan pengadaan kegiatan ekstrakurikuler. Faktor bukan sekolah misalnya peningkatan atau penurunan kondisi perekonomian negara. Atau dapat juga karena realokasi keuangan oleh pemerintah dari sektor lain, misalnya dari pertahanan ke sektor pendidikan. Setelah RKAS disetujui oleh pihak yang berwenang, sekolah memasuki langkah berikutnya yaitu melaksanakan, memantau, mensupervisi, dan mengendalikan anggaran sekolah. Tahap ini adalah tahap yang paling penting dari daur anggaran karena anggaran yang dikelola dengan baik seyogianya mengarah pada tingkat pencapaian tujuan sekolah yang lebih efektif. Rasijo (2002) mengemukakan komponen alokasi dana sekolah yang dapat didanai adalah 1) gaji dan kesejahteraan guru dan karyawan sekolah, 2) kegiatan teknis edukatif untuk proses pembelajaran, 3) kegiatan penunjang operasional kegiatan pembelajaran, kantor, dan kegiatan ekstrakurikuler, 4) perawatan sarana dan prasarana pendidikan, 5) perjalanan dinas, 6) kegiatan kemasyarakatan, 7) rapat dinas, 8) langganan daya dan jasa, 9) pekan olah raga dan seni (Porseni) dan kegiatan lomba, dan 10) program khusus kegiatan peningkatan mutu sekolah, termasuk peningkatan profesionalisme tenaga kependidikan. Manajemen keuangan sekolah berpedoman pada peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh pemerintah. Peraturan tersebut harus dipedomani sekolah dalam menyelenggarakan pendidikan termasuk pengelolaan keuangan. Tujuan dari peraturan tersebut adalah agar pendidikan memiliki arah dalam penyelenggaraannya, dapat dipertanggungjawabkan penyelenggaraan pendidikan kepada publik, meningkatkan pelayanan efektif dan efisien bidang pendidikan, dan peningkatan kepastian hukum termasuk pembenahan koordinasi terhadap peraturan daerah dan pusat. Penyelenggaraan pendidikan berpedoman pada SNP yang berfungsi sebagai dasar dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan pendidikan dalam rangka mewujudkan pendidikan nasional yang bermutu (BSNP, 2009. Memperhatikan sumber pendanaan sekolah umumnya tidak berasal dari satu sumber, pengelolaan keuangan sekolah yang mencakup sumber dana, alokasi, realisasi pengeluaran, dan bukti pengeluarannya maka memerlukan peraturan sebagai pedoman pengelolaan sekolah (Tim Pakar Manajemen Pendidikan UM, 2004:116). Sehingga tiap sumber dana mendapatkan laporan penggunaannya beserta bukti pendukung. Hal ini sangat penting karena pelaporan realisasi anggaran yang kredibel dan rinci berpengaruh terhadap keberanjuran (sustainabelitas) pendanaan oleh penyandang dana di masa yang akan datang. Berdasarkan konsep tersebut urgensi peraturan mengenai pengelolaan sekolah sangat dibutuhkan demi menunjang peningkatan kualitas pendidikan sekolah. Peraturan tentang pengelolaan keuangan sekolah mengacu peraturan perundang-undangan yang secara hierarkis adalah Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas, Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang SNP, dan Permendiknas Nomor 19 Tahun 2007 tentang Standar Pengelolaan Pendidikan oleh Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. Pengelolaan keuangan terutama pengalokasian anggaran sudah sepantasnya dilakukan oleh sekolah. Hal ini juga didasari oleh kenyataan bahwa sekolahlah yang paling memahami kebutuhannya sehingga desentraslisasi pengalokasian/penggunaan uang sudah seharusnya dilimpahkan ke sekolah. Sekolah juga harus diberi kebebasan untuk melakukan kegiatan yang mendatangkan penghasilan (income generating activities) (Dikmenum, 2007) sehingga sumber keuangan tidak semata-mata tergantung pada pemerintah. D. Penutup Pengelolaan keuangan sekolah yang dibutuhkan dan akan digunakan dimasukkan dalam RKAS, mengelola keuangan dengan transparan dan akuntabel, pembukuan keuangan rapi, dan da laporan pertanggungjawaban keuangan setiap bulan. Manajemen keuangan sekolah dengan mengedepankan transparansi melalui RKAS partisipatif merupakan sebagai bentuk pertanggungjawaban keuangan sekolah kepada publik. DAFTAR RUJUKAN BSNP. 2009. Standar Nasional Pendidikan (online). (http://www.bsnp-indonesia.org, diakses tanggal 26 Januari 2009). Campbell, R. F., Bridges, E. M., dan Nystrand, R. O. 1983. Introduction to Educational Administration. Boston: Allyn an Bacon, Inc. Dikmenum. 2007. Manajemen Berbasis Sekolah (online). (http://www.dikmenum.go.id, diakses tanggal 18 februari 2007). Gunawan, I. 2006. Laporan Observasi Kuliah Kerja Lapangan SMA Negeri Kota Malang. Malang: Jurusan Administrasi Pendidikan Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Malang. Higgins, R. C. Tanpa Tahun. Analysis for Financial Management. New York: McGraw Hill Education. McMahon, W. W., dan Geske, T. G. 1982. Financing Education: Overcoming Inefficiency and Inequity. Illionis: University of Illionis. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 13 Tahun 2007 tentang Standar Kepala Sekolah/Madrasah (online). (http://www.bsnp-indonesia.org, diakses tanggal 26 Januari 2009). Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 19 Tahun 2007 tentang Standar Pengelolaan Pendidikan oleh Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah (online). (http://www.bsnp-indonesia.org, diakses tanggal 26 Januari 2009). Prowle, M., dan Morgan, E. 2005. Financial Management and Control in Higher Education. New York: Routledge Falmer. Rasijo. 2002. Kebijakan Pendidikan di Jawa Timur. Jurnal Genteng Kali, 1(1):31-41. Ruslan, A. 2008. Dana Pendidikan di Amerika Serikat (online). (http://re-searchengines.com, diakses tanggal 7 September 2008). Sony. 2008. Manajemen Keuangan (online). (http://www.scribd.com, diakses tanggal 18 Oktober 2008). Tim Pakar Manajemen Pendidikan FIP UM. 2003. Manajemen Pendidikan Analisis Substantif dan Aplikasinya dalam Latar Institusi Pendidikan. Malang: Universitas Negeri Malang. Tim Pakar Manajemen Pendidikan UM. 2004. Perspektif Manajemen Pendidikan Berbasis Sekolah. Malang: Universitas Negeri Malang. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (online). (http://www.depdiknas.go.id, diakses tanggal 26 Januari 2009). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. 2006. Bandung: Fokus Media.

Tidak ada komentar: