Dewasa ini pendidikan mengenal dan menggalakkan manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah (shcool based quality improvement). Hal yang perlu diperhatikan dalam rangka membahas konsep manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah (MPMBS) adalah MPMBS pada dasarnya merupakan suatu pendekatan manajemen pendidikan, yaitu peralihan dari pendekatan makro menuju mikro, atau peralihan dari pendekatan district otonomy (sentralistik) menuju school otonomy (desentralisasi sekolah). MPMBS pada hakikatnya sebuah pendekatan manajemen pendidikan. selanjutnya MPMBS diperkenalkan sebagai pendekatan pembinaan sekolah oleh Departemen Pendidikan Nasional.
Secara konseptual MPMBS dapat didefinisikan sebagai proses manajemen sekolah yang diarahkan pada peningkatan mutu pendidikan sekolah yang direncanakan, diorganisasikan, dilaksanakan, dan dievaluasi sendiri oleh sekolah sesuai dengan kebutuhan sekolah dengan melibatkan semua elemen terkait dengan sekolah. Secara kontekstual dengan hakiki tersebut, MPMBS pada dasarnya sebuah pemberian wewenang kepada sekolah untuk mengelola sekolahnya sendiri (otonomi sekolah). MPMBS pada hakikatnya merupakan pemberian otonomi kepada sekolah untuk secara aktif dan mandiri mengembangkan dan melaksanakan berbagai program peningkatan mutu pendidikan sesuai dengan kebutuhan sekolah sendiri.
Dalam rangka mempertahankan dan meningkatkan kualitas eksistensinya sekolah (kepala sekolah, guru, dan staf) berusaha meningkatkan kinerjanya secara mandiri, mencari cara-cara baru (kreativitas), dan berusaha melibatkan masyarakat layanannya. Pilar penerapan MPMBS adalah 1) peningkatan mutu, 2) kemandirian, 3) partisipasi, dan 4) transparansi.
Pilar Peningkatan Mutu
MPMBS merupakan suatu pendekatan manajemen yang menempatkan mutu pendidikan sebagai hal utama aktivitas substansi manajemen pendidikan (kurikulum, peserta didik, SDM, sarpras, keuangan, dan hubungan masyarakat). Tidak ada MPMBS tanpa rumusan visi, misi, tujuan kelembagaan sekolah yang merefleksikan konsep-konsep sekolah yang baik (the good school), sekolah yang efektif (the effective school), sekolah yang unggul (the excellent school), dan sekolah masa depan (the future school).
Sehingga diperlukan suatu konsep tentang sekolah bermutu. Terdapat dua model teoritik sebagai pendekatan dalam menetapkan sekolah yang baik yaitu model tujuan dan model sistem (Hoy dan Ferguson, 1985). Model tujuan atau disebut juga dengan pendekatan pencapaian tujuan, dikembangkan berdasarkan pada pandangan tradisional tentang keefektifan organisasi. Berdasarkan pandangan tradisional organisasi dikategorikan efektif apabila mencapai tujuan yang telah ditetapkan (Sergiovanni, 1987), sehingga pengukurannya dengan melihat tujuan-tujuan operasional yang telah dicapai organisasi (Daft dan Steers, 1986).
Sekolah sebagai sebuah organisasi dengan demikian dapat dikategorikan baik apabila mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Frymer, dkk. (1984) mengemukakan dasar pengukuran sekolah dengan tes prestasi berstandar. Dengan demikian jika digunakan model tujuan maka prestasi akademik siswa memiliki peranan penting dalam menetapkan baik-tidaknya sebuah sekolah. Penelitian tentang keefektifan sekolah dengan menggunakan model tujuan yang menyandarkan pada penetapannya semata-mata kepada prestasi siswa, sebagaimana diukur melalui tes terstandar sebagai kriteria keefektifannya.
Edmons (1979) memiliki asumsi bahwa sekolah memang memiliki banyak tujuan, namun betapapun banyaknya, sekolah tidak akan dikatakan baik oleh siswa, orangtua, dan masyarakat selama sekolah tersebut tidak sukses dalam mengajarkan keterampilan dasar. Sementara popularitas model tujuan ini adalah kemudahan bagi peneliti dalam mendefinisikan dan mengukur keefektifan sekolah sebagai sebuah institusi (Sergiovanni, 1987).
Namun penyandaran penetapan keefektifan sekolah pada prestasi siswa semata, sebagaimana diukur melalui tes prestasi akademik terstandar telah banyak mendapat kritikan. Kelemahannya adalah pertama terletak pada pendefinisian keefektifannya yang sangat sempit, dimana keefektifan sekolah diukur hanya dari satu dimensi, yaitu prestasi akademik siswa (nilai Ujian Nasional). Kedua walaupun metode tujuan didasarkan pada asumsi yang logis dan dapat dianggap penting, namun keberlangsungannya sengat terancam, karena dalam rangka menerapkannya sekolah harus dalam kondisi memiliki tujuan, dan tujuan tersebut harus diidentifikasi dan didefinisikan cukup tegas sehingga dimengerti dan disepakati oleh warga sekolah, dan mereka sendiri harus mampu mengukur perkembangan pencapaiannya. Padahal dalam kenyataannya kondisi tersebut sering sekali tidak ditemukan di sekolah.
Sedangkan model sistem, disebut juga dengan pendekatan proses atau pendekatan multidimensional, berkembang berdasarkan pada konsep sistem terbuka, digunakan khususnya oleh para analis yang berpandangan bahwa organisasi sebagai sebuah sistem terdiri yang terdiri dari komponen masukan, transformasi, dan keluaran (Hoy dan Miskel, 1982). Berdasarkan pandangan model sistem, keefektifan organisasi dilihat bukan dari tingkat pencapaian tujuannya, sebagaimana dalam pandangan model tujuan, melainkan konsistensi internal, efisiensi penggunaan sumber daya yang ada, dan kesuksesan dalam mekanisme kerjanya.
Terdapat asumsi yang mendasari model sistem. Pertama organisasi merupakan sebuah sistem terbuka yang harus mampu memanfaatkan dan merefleksikan lingkungan sekitarnya. Kedua organisasi merupakan sebuah sistem yang dinamis, dan begitu menjadi besar maka kebutuhannya semakin kompleks, sehingga tidak mungkin didefinisikan hanya melalui sejumlah kecil tujuan organisasi yang bermakna. Berorientasi pada model sistem maka baik-tidaknya sekolah dilihat bukan dari tingkat pencapaian tujuannya, melainkan proses dan kondisinya yang disebut dengan karakteristik sekolah.
Owens (1987) mengemukakan karakteristik sekolah mencakup karakteristik internal dan eksternal. Karakteristik internal sekolah meliputi gaya kepemimpinan, proses komunikasi, sistem pengajaran, kedisiplinan, dan proses pembuatan keputusan. Karakteristik eksternal sekolah merupakan karakteristik situasi di dalam mana sekolah sebagai sebuah organisasi berada dan terletak. Sudah barang tentu yang demikian mencakup karakteristik masyarakat, seperti kekayaan, tradisi sosiokultural, struktur kekuatan politik, dan demografi.
Model sistem sebagai suatu pandangan dalam menentukan baik-tidaknya sekolah telah banyak dikenal dan diterima oleh pakar manajemen pendidikan (Sergiovenni dan Starrat, 1983). Lebih lanjut Sergiovenni dan Starrat (1983) mengasumsikan bahwa ada hubungan antara karakteristik sekolah dan kualitas keluaran siswa. Beberapa hasil penelitian juga menunjukkan adanya hubungan demikian. Austin (1979) dalam penelitiannya menemukan bahwa sekolah-sekolah yang kepemimpinan sekolahnya terlibat dalam pemrograman cenderung memiliki siswa dengan berprestasi tinggi apabila dibandingkan sekolah-sekolah yang tidak atau kurang memiliki karakteristik tersebut. Sementara itu Rutter, dkk. (1987) pada penelitiannya menyimpulkan bahwa iklim dan kepemimpinan sekolah dadalah alat yang penting bagi peningkatan kualitas keluaran siswa.
Oleh karena itu, para ahli manajemen pendidikan menegaskan bahwa kepala sekolah memang bisa memengaruhi kualitas keluaran sekolah, tetapi harus melalui pemberian perhatian sebaik mungkin pada pembinaan proses dan kondisi yang mempertinggi kualitas keluaran siswa. Walaupun model sistem sebagai suatu pendekatan dalam menentukan baik-tidaknya sekolah telah diterima oleh banyak peneliti manajemen pendidikan, namun model sistem tersebut diduga memiliki kelemahan, terutama apabila diaplikasikan di dalam lembaga pendidikan (Hoy dan Miskel, 1982). Dengan terlalu menekankan pada masukan, alat, dan proses di dalam melihat baik-tidaknya sekolah sebagaimana model sistem, maka masalah keluarannya cenderung terabaikan.
Kedua model teoritik tersebut memang tampak berbeda. Model tujuan lebih menekankan pada keberhasilan pencapaian tujuan dalam menetapkan baik-tidaknya sekolah, sementara model sistem lebih menekankan karakteristik proses dan kondisi, seperti konsistensi internal, kesuksesan mekanisme kerja, dan efisiensi dalam mendayagunakan semua sumber yang tersedia dalam menetapkan baik-tidaknya sekolah. Walaupun begitu, keduanya tidak perlu dipertentangkan yang dapat menghasilkan suatu konsep tentang sekolah yang baik.
Hal ini dipertegas oleh Sergiovanni (1987) yang menganjurkan kepada para kepala sekolah, pakar, dan peneliti tidak memilih salah satu diantaranya, melainkan keduanya. Apabila model tujuan dikombinasikan dengan model sistem, maka siapa pun orangnya akan lebih komprehensif dalam memahami kesuksesan sekolah.
Pilar Kemandirian
MPMBS merupakan sebuah model pengelolaan sekolah yang sangat menuntut adanya kemandirian seluruh personel sekolah untuk maju dengan sendirinya. Oleh karena itu, konsep mengelola sendiri (self managing), merencanakan sendiri (self planning), mengorganisasikan sendiri aktivitas sekolah (self organizing), mengarahkan sendiri (self direction), dan mengontrol/mengevaluasi sendiri seluruh program sekolah yang telah direncanakan (self control) sangat melekat pada konsep MPMBS. Adanya penerapan MPMBS, sekolah tampak diberi otonomi untuk merencanakan sendiri, melaksanakan sendiri, dan mengevaluasi sendiri keseluruhan program kerjanya dengan melibatkan seluruh elemen terkait dengan peningkatan mutu pendidikan sekolah.
Seberapa jauh kewenangan sekolah untuk secara mandiri mengembangkan program-programnya? Berdasarkan perspektif filosofis dalam kerangka Indonesia sebagai negara kesatuan, kewenangan otonomi daerah dan sekolah tidak dapat diartikan kebebasan penuh dari suatu sekolah untuk menjalankan hak dan fungsi otonominya menurut sekehendaknya tanpa mempertimbangkan kepentingan nasional secara keseluruhan. Lebih-lebih pendidikan memiliki dua misi utama, yaitu: (1) mencerdaskan kehidupan bangsa, dan (2) sebagai alat pemersatu bangsa.
Secara teoretis, upaya mencerdaskan kehidupan bangsa ini tentu akan lebih mencapai sasaran apabila program pembinaan pendidikan yang ada disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing daerah dan sekolah. Artinya, pelibatan secara aktif, bahkan pemberian tanggung jawab secara penuh kepada daerah dan sekolah untuk merancang sendiri, melaksanakan sendiri, dan mengevaluasi sendiri merupakan hal yang secara teori dapat diandalkan. Namun, dalam kerangka sebagai alat pemersatu bangsa, keanekaragaman pembinaan pendidikan sebagai akibat perbedaan kepentingan masing-masing daerah dan sekolah, kalau tidak dilaksanakan secara hati-hati bisa mengancam persatuan dan kesatuan bangsa.
Pendidikan merupakan bidang pembangunan yang sangat strategis dalam penanaman nilai-nilai persatuan dan kesatuan. Oleh karena itu, yang seharusnya dirintis adalah pengelolaan pendidikan nasional yang berwawasan Bhineka Tunggal Ika.
Pilar Partisipasi
MPMBS merupakan satu model pengelolaan sekolah yang sangat menekankan pada partisipasi seluruh elemen terka dengan peningkatan mutu pendidikan di sekolah. Elemen yang dimaksud tidak hanya dalam bentuk partisipasi orangtua siswa, melainkan juga masyarakat umum, toko agama, tokoh masyarakat, tokoh adat, lembaga swadaya masyarakat, perusahaan, dan lembaga-lembaga sosial yang lain. Di sinilah letak pentingnya hubungan sekolah dengan masyarakat (strategic marketing for school).
Pilar Transparansi
MPMBS merupakan satu model pengelolaan sekolah yang menuntut adanya transparansi keuangan. Transparansi keuangan sangat diperlukan dalam rangka meningkatkan dukungan orangtua dan masyarakat dalam penyelenggaraan seluruh program pendidikan di sekolah. Di sinilah letak pentingnya penerapan manajemen keuangan yang profesional, termasuk di dalamnya adalah akuntansi keuangan sekolah.
MENERAPKAN MPMBS DI SEKOLAH
Bilamana merujuk kepada keempat pilar konsep dasar MPMBS dan sikap positif masyarakat terhadap kualitas, partisipasi, transparansi, dan informasi sebagaimana telah dikedepankan di atas, MPMBS merupakan satu pola manajemen pendidikan yang sepatutnya diterapkan di sekolah-sekolah. Di sisi lain, adanya perubahan dari pola lama menuju pola baru dalam pengelolaan pendidikan secara makro (dari subordinasi menuju otonomi, dari pengambilan keputusan terpusat menuju pengambilan keputusan partisipatif, dari pendekatan birokratik menuju pendekatan profesional, dari sentralistik menuju desentralistik, dari pengarahan menuju fasilitasi) merupakan satu peluang besar bagi kemudahan dalam mengimplementasi MPMBS di sekolah-sekolah.
Menurut Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah (2005) MPMBS bertujuan untuk memandirikan atau memberdayakan sekolah melalui pemberian wewenang, keluwesan, dan sumber daya untuk meningkatkan mutu sekolah. Dengan kemandiriannya, maka diharapkan: (1) sekolah sebagai lembaga pendidikan yang lebih mengetahui kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman bagi dirinya dapat mengoptimalkan sumber daya yang tersedia untuk memajukan sekolah, (2) sekolah dapat mengembangkan sendiri program-program sesuai dengan kebutuhannya, (3) sekolah dapat bertanggung jawab tentang mutu pendidikan masing-masing kepada orangtua, masyarakat, dan pemerintah, dan 4) sekolah dapat melakukan persaingan sehat dengan sekolah lain untuk meningkatkan mutu pendidikan.
Lebih lanjut menurut Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah (2005) penerapan MPMBS di sekolah itu melalui (1) penyusunan data dan profil sekolah yang komprehensif, akurat, valid, dan sistematis, (2) melakukan evaluasi diri (menganalisis kekuatan dan kelemahan seluruh komponen sekolah), (3) mengidentifikasi kebutuhan sekolah, merumuskan visi, misi, dan tujuan dalam rangka peningkatan kualitas pendidikan bagi siswa berdasarkan hasil evaluasi diri, (4) menyusun program kerja jangka panjang dan jangka pendek sesuai dengan visi, misi, dan tujuan yang telah dirumuskan, yang diprioritaskan pada peningkatan mutu pendidikan, (5) mengimplementasikan program kerja, (6) melakukan monitoring dan evaluasi atas program kerja yang diimplementasikan, dan 7) menyusun program lanjutan (untuk tahun berikutnya) atas dasar hasil monitoring dan evaluasi.
Berdasarkan konsep di atas, disimpulkan MPMBS merupakan proses yang bersiklus, terdiri tiga kegiatan pokok, yaitu: (1) analisis masalah dan perencanaan program kerja, (2) pelaksanaan program kerja, dan (3) monitoring dan evaluasi pelaksanaan program. Hasil monitoring dan evaluasi dijadikan landasan untuk penyusunan program berikutnya.
Pertama, analisis masalah dan perencanaan program. Pada tahap ini seluruh elemen sekolah (kepala sekolah, guru, staf, orangtua, komite sekolah, tokoh masyarakat, dan berbagai lembaga terkait dengan pendidikan) berpartisipasi aktif, mandiri, dan dinamis menyusun profil sekolah secara komprehensif, melakkan evaluasi diri (menganalisis kelemahan dan kekuatan) seluruh komponen sekola mengidentifikasi kebutuhan sekolah, merumuskan visi dan misi serta dan tujuan dalam rangka peningkatan kualitas pendidikan bagi siswa berdasarkan hasil evaluasi di menyusun program kerja. Kedua, pelaksanaan program kerja. Pada tahap sekolah berusa semaksimal mungkin melaksanakan semua program yang telah disusun, baik progra jangka pendek maupun jangka panjang. Keterlibatan seluruh elemen, terutama orangtua siswa dan masyarakat umum, harus ditumbuhkembangkan. Dalam rangka itu diperlukan adanya manajemen yang transparan. Ketiga, adalah monitoring dan evaluasi atas program kerja yang dilaksanakan. Monitoring dilakukan secara objektif, komprehensif, dan transparan dengan tetap melibatkan orangtua siswa dan masyarakat. Hasil monitori dan evaluasi tersebut diharapkan menjadi masukan untuk penyusunan program lanjut (untuk tahun berikutnya).
DAFTAR RUJUKAN
Daft, R. L., dan Steers, R. M. 1986. Organization: A Micro/Macro Approach. Glenview: Scott, Foresman, and Company.
Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah. 2005. Konsep Dasar Manajemen Berbasis Sekolah. Jakarta: Direktorat Pendidikan Lanjutan Pertama Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Departemen Pendidikan Nasional.
Edmons, R. 1979. Some Schools Work and More Can. Social Policy, 2(2): 28-32.
Frymer, J., Cornbleth, C., Donmoyer, R., Gansneder, B. M., Jeter, J. T., Klein, M. F., Schwab, M., dan Alexander, W. M. 1984. One Hundred Good Schools. Indiana: Phi Delta Kappa Publication.
Hoy, W. K., dan Ferguson, J. 1985. A Theoritical Framework and Explanation of Organizational Effectiveness of School. Administration Quarterly, 2(11): 117-132.
Hoy, W. K., dan Miskel, C. G. 1982. Educational Administration: Theory, Research, and Practice. New York: Random House, Inc.
Owens, R. G. 1987. Organizational Behavior in Education. New Jersey: Printice Hall Inc.
Rutter, M., Moughan, B., Mortimore, P., Ouston, J., dan Smith, A. 1979. Fifteen Thousand Hours: Secondary Schools and Their Effects on Children. Dalam Sergiovanni, T. J. 1987. The Principalship: A Relective Practice Perspective. Boston: Allyn and Bacon, Inc.
Sergiovanni, T. J. 1987. The Principalship: A Relective Practice Perspective. Boston: Allyn and Bacon, Inc.
Sergiovanni, T. J., dan Starrat, R. J. 1983. Supervision: Human Perspective. New York: McGraw Hill Company.
Tidak ada komentar:
Komentar baru tidak diizinkan.